Ilmu Hudhuri

Admin Thursday, December 16, 2010
(Bentuk Eksistensi Epistemologi Islam)


A. Pendahuluan
Tradisi filsafat Islam yang tidak meninggalkan warisan berbentuk epistemologi, membawa dampak eksistensi epistemologi Islam selalu dipertanyakan. Apakah epistemologi Islam ada atau tidak ada. Jawaban atas pertanyaan ini, masih terdapat silang pendapat diantara para pakar. Disatu pihak menyatakan dengan tegas epistemologi Islam tidak ada, sebab ilmu itu sifatnya netral, tidak memihak salah satu agama. Sedangkan dipihak lain berpendapat, epistemologi Islam ada, paling tidak dalam tahap pencarian bentuknya. Sehingga dengan lahirnya teori Ilmu Hudhuri yang pertama kali diuraikan dalam filsafat pencerahan (al-Hikamh al-Isyraqiyyah) melalui pemikiran Syihabuddin Suhrawardi adalah merupakan jawaban dari keraguan akan eksistensi epistemologi Islam yang selama ini sedang dipertanyakan, dan sekaligus merupakan petunjuk yang dapat dijadikan pedoman untuk menguak misteri epistemologi Islam yang selama ini masih dalam proses mencari-cari bentuknya.
Ilmu Hudhuri merupakan sebuah bentuk riil dari epistemologi Islam yang mendasarkan sebuah pengetahuan diperoleh dengan kehadiran (al-Ilmu al-Hudhuri) yang mempunyai cara kerja berbeda dengan pengetahuan melalui konsep atau konseptualisasi (al-Ilmu al-Hushuli). Berdasarkan teori ini para filosof Islam yang mencoba mengkritisi filosof-filosof yang mengembangkan epistemologi mereka seperti Kant, Russel, Wittgenstein, dan lain-lain, tanpa kesadaran akan realitas makna “pengetahuan dengan kehadiran” atau yang biasa dikenal dengan Ilmu Hudhuri, karna menurut mereka (filosof Islam) manusia pada hakikatnya memiliki kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh lewat representasi atau data indra melainkan melalui pikiran yang mengetahui sesuatu tanpa representasi (data indrawi).
Oleh karena itu dalam kajian ini akan kami jelaskan tentang latar belakang munculnya ilmu Hudhuri, ciri-ciri dan sumbernya, serta pembahasan-pembahasan lain yang akan membantu memberikan pemahaman tentang ilmu Hudhuri melalui sumber primer Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi Dlam Filsafat Islam sebuah karya dari Mehdi Ha’iri Yazdi, serta buku-buka skunder yang ada kaitannya dengan pembahasan kali ini.

B. Sejarah Munculnya Ilmu Hudhuri
Semenjak zaman Plato dan Aristoteles, arus utama tradisi epistemologi memang telah berselisih, khususnya tentang pengetahuan akal manusia. Ketidaksamaan ini melahirkan dua jalur yang berbeda secara diametrik. Menurut Plato, pengetahuan intelektual merupakan refleksi akal pikiran manusia mengenai objek-objek yang unik, sederhana, universal, tak berubah dan tanpa substansi. Dalam pandangan ini, pengetahuan intelaktual adalah penampakan akal terhadap objek-objek “transenden”. Pengetahuan bisa dianggap sebagai “persepsi akal” dan bukannya “konseptualisai abtraksi teoritis akal”. Lain halnya menurut Aristoteles. Filosof terakhir ini menegaskan bahwa tidak ada keidentikan antara “melihat” dan “mengetahui”. Karena mengetahui tidak akan pernah berarti melihat, jika tidak ada benda terindai yang bisa dilihat. Singkatnya karena Aristoteles jelas-jelas menolak eksistensi benda-benda yang bisa dicerap di luar fitrah manusia dan terpisah dari besaran-besaran spasiotemporal yang terindai, maka ia tidak setuju dengan Plato. Dia menolak pandangan Plato yang mengatakan bahwa pengetahuan intelektual adalah persepsi akal terhadap objek-objek.
Perselisihan ini sejak awal membuat sejarah filsafat melakukan pemeriksaan terhadap konsep pengetahuan melalui dua pendekatan yang berbeda. Seiring perkembangan tradisi filsafat barat, pembagian ini menjadi demikian jelas dan mengesampingkan kesatuan tujuan akhir kedua madzhab tersebut, hingga banyak filosof medern kemudian menyimpulkan bahwa filsafat Platonik dan Aristotelian pada hakikatnya bertentangan secara mutlak. Upaya apapun untuk membawa keduanya ke dalam kesatuan yang sistematis akan sia-sia belaka
Namun, lain halnya dengan filsafat Islam. Menurut Ha’ri, sejak awal mula sejarahnya, dalam filsafat Islam telah terdapat kesepakatan untuk menegakkan landasan bersama dari Plato dan Aristoteles dalam masalah pengetahuan manusia. Fusi terhadap pendekatan Plato dan Aristoteles itu, pada akhirnya membuat filsafat Islam meluas dan menegaskan bahwa kedua pandangan tersebut (Plato dan Aristoteles) dapat ditegakkan kembali di atas satu landasan ontologis bagi “abstarksi” maupun “akal” sehingga semua jenis kesadaran manusia bisa mengalir darinya.
Sebagaimana diketahui, metode filsafat ini memang telah dirintis oleh kaum Neoplatinis “pagan” yang bermula dari Plotinus dan berakhir pada Proclus di Barat. Mereka mula-mula menggunakan gagasan “emanasi” pemahaman dengan kehadiran, dan “pencerahan”, yang semuanya berfungsi sebagai langkah –langkah menuju pandangan filsafat mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua pengetahuan. Akan tetapi, kaum Neoplatonis pada umumnya tidak menaruh perhatian terhadap masalah dasar tentang; (a). Apakah ada dasar-dasar eksistensial bagi semua mode pemahaman dan epistemologi manusia atau tidak?. (b). Adakah landasan bersama bagi semua mode pengetahuan manusia?. (c). Adakah landasan bersama bagi penampakan akal Platonik, pengetahuan abstrak Aristoteles, pengetahuan tentang diri, pengetahuan indrawi, serta pengalaman mistik?. Neoplatonis tidak secara eksplisit mengidentikkan mode primordial pengetahuan dengan keadaan-keadaan eksistensial realitas diri itu sendiri, meskipun ketika menjumpai masalah-masalah mistisme ia menyentuh dasar tersebut dan berbicara tentang sejenis ilmu hudhuri, lebih jauh lagi. Akan tetapi dalam filsafat pencerahan Islam semua langkah ini ada secara nyata, dan menjelaskan apa yang dimaksud dengan ilmu hudhuri.
Adapun puncak perjalanan ilmu hudhuri sebenarnya muncul dimualai dari Ibnu Rusyd yang terdorong ke arah sejenis pengetahuan melalu penyatuan eksistensial dengan substansi-substansi Ilahi yang terpisah, namun dia belum berhasil memberikan penjelasan yang lengkap mengenai teori ilmu hudhuri. Baru kemudian penjelasan filosofis mengenai ilmu hudhuri ini muncul pertama kalinya melalui Suhrawardi, Nashir as-Din ath-Thusi (w. 1274) juga telah memberikan kontribusi penting bagi eksistensi ilmu hudhuri ini dimana ia telah menjelaskan pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya dan pengetahuan-Nya tentang alam yang semua ini sangat erat sekali hubungannya dengan ilmu hudhuri.
Semua tokoh ini merintis penjelasan mengenai ilmu Hudhuri sebagai pengetahuan yang pada dasarnya “swaobjektif”. Rintisan inilah yang kelak oleh tokoh seperti Mulla Shadra, dikembangkan lagi dengan corak filsafat yang disebutnya sebagai Ashalah al-Wujud (filsafat eksistensi) lewat metodologi pemikiran metafilsafatnya (al—Hikmah al-Muta’aliyah). Usaha Mulla Shadra ini adalah memberikan sebuah makna yang bersifat univok, segera dan primordial pada eksistensi.
Penjelasan tentang proses historis munculnya cikal bakal ilmu hudhuri diatas telah memberikan pemahaman yang penting bagi kita dalam pemeriksaan konsep ilmu hudhuri.
C. Hakikat Ilmu Hudhuri
Pada hakikatnya pengetahuan dilihat dari proses kemunculannya dalam diri manusia terdiri dari dua macam:
1) Pengetahuan Hudhuri, Yaitu realitas eksistensial yang hadir dalam diri subyek atau diketahui secara kehadiran tanpa perantara apapun
2) Pengetahuan Hushuli, Yaitu gambaran tentang sesuatu yang ditangkap oleh jiwa dengan salah satu dari panca indera eksoterik.
Pembagian ini menurut Muhsin Labib dalam bukunya Mengurai Tasawwuf, Irfan dan Kebatian adalah bersifat deduktif rasional, sehingga tidak akan pernah muncul lagi jenis pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui dua jalur tersebut. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa Ilmu Hudhuri dalam ajaran tasawuf dikaitkan atau dianggap sama dengan ilmu ladunni, karena pengertian ladunni menurut bahasa adalah “sisi-Ku”. Maksudnya, ilmu yang langsung diperoleh dari sisi Tuhan.
Dalam menjelaskan hakekat ilmu hudhuri ini penulis akan menjelaskan pandangan Ha’iri dalam bukunya Ilmu Hudhuri; Prisip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, beliau mengatakan bahwa ada dua jenis pengetahuan, yang antara satu sama lainnya memang benar-benar berbeda. Pertama, pengetahuan dengan kehadiran (ilmu hudhuri) dan kedua, pengetahuan dengan korespondensi. Menurut Ha’iri, pengetahuan dengan kehadiran sesungguhnya adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut benar, tanpa implikasi apapun terhadap acuan objektif eksternal yang membutuhkan hubungan eksterior. Artinya, hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahua tersebut adalah hubungan swaobjek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal.
Dalam ilmu hudhuri, jenis objek yang esensial dan bersifat imanen dalam pikiran subjek yang mengetahui, mutlak bersatu dengan objek objektif. Dalam pengetahuan jenis ini, objek objektif dan objek subjektif adalah satu. Karenanya, pengetahuan ini terdiri dari pengertian sederhana tentang objektivitas yang langsung hadir dalam pikiran subjektif yang mengetahui. Dan dengan demikian secara logis tersirat dalam dalam definisi konsepsi pengetahuan itu sendiri. Sedangkan pengetahuan dengan korespondensi adalah jenis pengetahuan yang melibatkan objek objektif maupun objek subjektif secara terpisah, dan yang mencakup hubungan korespondensi antara salah satu objek itu dengan yang lain. Korespondensi benar-benar merupakan hubungan dua pihak secara hakiki hingga dapat dikatakan dengan logis bahwa jika hubungan ini terjadi, pasti ada konjngsi antara objek A, dengan objek lain, B. Seandainya tidak ada objek eksternal, maka tidak akan ada representasinya yang mengakibatkan tidak ada kemungkinan korespondensi.



D. Karakteristik Ilmu Hudhuri
Seperti halnya ilmu pada umumnya, ilmu hudhuri memiliki ciri-ciri (karakteristik) tersendiri yang dapat membedakan antara pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi (Ilmu Hushuli). Adapun ciri-ciri pengetahuan dengan kehadiran adalah:
Pertama: Adalah jenis pengetahuan yang tidak membutuhkan data indrawi dan objek transitif eksternal, yakni pengetauan dengan kehadiran dicirikan oleh swaobjektivitas (self-object-knowledge) , yang dengan sendirinya dijelaskan oleh bentuk dasar pengetahuan, tanpa memiliki objek fisik eksternal yang berkoresponden dengan objek yang hadir secara esensial. Dalam hal ini Ha’iri menyatakan bahwa pengetahuan dengan kehadiran berbeda dengan pengetahuan dengan pengenalan yang dikemuakan oleh Russell, meskipun memang ada kemiripan diantara keduanya. Namun perbedaan yang mendasar diantara keduanya adalah pengetahuan dengan pengenalannya Russell dipeorleh melalui data inderawi dan dicirikan dengan mengambil implikasi korespondensi objek fisik, sedangkan pengetahuan dengan kehadiran adalah pengenalan dengan perasaan dan penginderaan subjek secara mutlak bebas dari implikasi apapun, atau bersosialisasi dengan objek eksternal.
Untuk lebih memperjelas pernyataan di atas, Ha’iri mengajukan sebuah contoh tentang luka di jari manusia. Ia mengatakan, adalah suatu kenyataan fisiologis bahwa perasaan seseorang akan luka jarinya tidak lain adalah pengenalannya dengan luka pada jari itu sendiri, bukan melalui representasi atau data inderawi tentang luka itu. Sedangkan realitas sakit mutlak hadir dalam pikiran atau dalam ebagian dari kuasa mental subjek yang menderita yang semuanya itu hadir secara langsung dalam pikirannya.
Menurut Ha’iri, menjelaskan rasa sakit yang sedang dirasakan tidak bisa melalui data inderawi, seperti penampakan kaki yang patah; warnanya, bentuknya, kekerasannya, kehalusannya, dan sebagainya. Karena menurut Ha’iri, saya bisa melihat dan menyentuh kaki saya yang rusak dari luar dan mengenal data-inderawi yang membentuk penampakan kaki saya, seperti yang dilakukan dokter saya, tetapi pengenalan semacam ini tidak sama dengan pengenalan saya dengan rasa sakit itu sendiri.
Kedua: ciri lain pengetahuan dengan kehadiran adalah kebebasannya dari pembedaan antara pengetahuan dengan “konsepsi” dan pengetahuan dengan “kepercayaan”. Tidak seperti pengetahuan dengan korespondensi, pengetahuan dengan kehadiran tidak tunduk kepada pembedaan ini. Pembedaan ini mula-mula dibuat oleh Ibnu Sina dalam karyanya “Logika” untuk menguraikan definisi demonstrasi dan konfirmasi.
Ketiga: jenis pengetahuan dengan kehadiran memiliki kebebasan dari dualisme kebenaran dan kesalahan. Hal ini karena esensi pola ilmu kehadiran tidak berkaitan dengan gagasan korespondensi yang berhubungan dengan objek external yang mengakibatkan mempunyai unsur dualisme kebenaran dan kesalahan.
Keempat: Ilmu hudhuri termasuk ilmu yang bersifat mistis, yang berarti secara metodologis berkaitan dengan mistisme. Meskipun demikian ia dapat digolongkan sebagai bentuk pengetahuan, karena telah banyak filosof yang sepakat bahwa mistisme adalah suatu kesadaran manusia yang bercorak neotic (pengetahuan yang diperoleh manusia tanpa perantara indra). Pengalaman mistik ini merupakan satu bentuk pengetahuan yang merupakan pendekatan lain kesadaran manusia terhadap realitas dunia yang tidak mungkin diperoleh melalui pemikiran dan penalaran, akan tetapi melalui praktek-praktek asketik. Menurut Suhrawardi pengetahuan kita sesungguhnya diterangi oleh prinsip-prinsip dan kekuatan-kekuatan yang terletak di atas dan di balik kita. Seperti ini dapat tersinari (illuminated) sedemikian rupa sehingga kehadiran semua itu tidak bisa dibantah dan tak memberi ruang perbedaan antara konsep dan objeknya.


Dalam epistemologi Sadra ada lima ciri khas ilmu hudhuri, diantaranya:
1. ilmu hudhuri tidak berperantara. Dengan demikian objek yang diketahui secara hudhuri adalah objek itu sendiri dengan eksistensinya yang berdimensi intelektual immaterial.
2. pengetahuan ini bebas dari konsepsi (korespondensi) dan bebas dari assensi (verivikasi).
3. pengetahuan ini tidak dapat dideskripsikan dan dipindahkan kepada orang lain.
4. pengetahuan ini tidak mengalami kekeliruan dan kesalahan.
5. pengetahuan ini bergantung kepada spiritual subyek.
Dari ciri-ciri yang sudah kami paparkan diatas dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya ilmu hudhuri bergantung kepada spiritualitas subyek yang tidak membutuhkan verifikasi dan tidak mempunyai objek fisik eksternal yang berkoresponden dengan objek yang bersifat misitis dan langsung hadir dalam pikiran secara esensial sehingga apapun yang ditangkap oleh pikiran secara otomatis akan menjadi sebuah pengetahuan yang hadir tanpa keterpautan dengan dualisme kebenaran dan kesalahan.
Dalam pandangan Oliver leaman, ilmu hudhuri adalah pengetahuan kehadiran, intinya adalah sejenis pengetahuan yang demikian jelas dan sederhanya sehingga mustahil dapat diragukan. Untuk lebih memudahkan pemahaman akan ilmu hudhuri ini, dapat diketahui ciri-ciri yang mengikat di dalamnya. Yaitu (1) langsung, yakni begitu perasaan itu hadir, ia langsung terecap oleh benak kita (2) sederhana, artinya ia tidak terdiri atas bagian-bagian, sehingga untuk menjadi nyata tidak perlu mengumpulkan lebih dulu bagian-bagian itu.

E. Sumber Ilmu Hudhuri
Sudah menjadi sebuah kajian yang sangat penting dalam tradisi epistemologi, untuk mengetahui sumber-sumber pengetahuannya, oleh karena yang kita bahas kali ini adalah tentang ilmu hudhuri maka bagi kami suatu keniscayaan untuk mengetahui sumber utamanya. Karena sumber pengetahuan sering diartikan sebagai alat pokok untuk mengetahui sesuatu. Bagian dari diri seseorang yang dapat memasok pengetahuan itulah yang kita sebut sebgai sumber. Sampai sekarang dikenal ada tiga sumber pengetahuan; indera, akal, dan intuisi, tetapi ada juga yang menambahnya dengan “otoritas”. Yang dimaksud dengan otoritas disini bukanlah termasuk bagian dari pada indra, akal, maupun intuisi, melainkan teks-teks agama, kesaksian orang lain maupun fakta-fakta dalam berbagai pengetahuan. Berbicara tentang pengetahuan dengan kehadiran yang mempnyai ciri-ciri yang membedakannya dengan pengetahuhan korespondensi seperti telah dibahas sebelumnya, maka sudah pasti bisa ditebak, sumber pengetahuan mana yang paling bertanggung jawab atau setidaknya mendekati untuk menjadi alat piranti yang dapat memasok pengetahuan. Maka jika dari awal sudah kita sepakati adanya empat sumber diatas tentunya intuisi yang akan terpilih menjadi sumber pengetahuan melalui kehadiran. Ia adalah hati atau dzauq yang menjadi sumber langsung dalam mencari hubungan mistis dengan Tuhan yang diharapkan pantulan cahaya Ilahi akan membias dihati dan mengantarkan kita kepada perolehan pengetahuan yang tidak terbatas dan tidak terikat, seperti yang telah dianut oleh alirat filsafat illuminasi (isyraq).

F. Metodologi Ilmu Hudhuri
Satu hal yang tidak bisa ditinggalkan dalam menjelaskan metodologi pengetahuan dengan kehadiran (ilmu Hudhuri), adalah keterkaitannya dengan wilayah aplikasi ilmu hudhuri, yaitu pengetahuan tentang diri (self knowledge), pengetahuan manusia tentang Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya, Pengetahuan Tuhan tentang Emanasi-Nya, dengan metode yang berbeda-beda.
Ha’iri mengikuti pendapat Suhrawardi tentang self knowledge dengan cara menyadari bahwa dalam alur perjalanan pengetahuan, manusia diharuskan menyadiri realitasnya sendiri, kemudian berlanjut kepada dunia eksternal. Ada dua cara pembuktian bahwa seseorang benar-benar sadar akan dirinya; Pertama, dengan mengetahui sesuatu selain dirinya; Kedua, dengan mengetahui diri sendiri secara langsung melalui proses perenungan.
Sebagai puncak ilmu hudhuri, Ha’iri menyebutkan “peniadaan mistik” atau dalam bahasa tasawuf sering dikenal dengan fana’. Bagi Ha’iri pengalaman seperti ini sangat dibutuhkan, karena dalam hidup ini, sesungguhnya realitas “keakuan” selalu terkait dengan “kediaan” yang keduanya tidak boleh disalingtukarkan. Dalam filsafat pencerahan, juga dikenal istilah “piramida eksistensi” dimana ada dua dimensi yang tidak mungkin untuk dicampur adukkan, yaitu dimensi vertikal dan horisontal. Karena itu, “peniadaan mistik” atau fana’ di atas adalah merupakan pengunduran diri dari dimensi horisontal menuju kepada dimensi vertikal.
Suhrawardi dalam bukunya Hikmat al-Isyraq beliau menjelaskan pandangannya tentang bagaimana pengetahuan dalam perspektif ilmuminasi diperoleh?. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa untuk mendapatkannya harus melewati proses yang terdiri dari tiga tangga. Tangga yang pertama adalah aktivitas yang melaluinya filosof mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan illuminasi, suatu jalan hidup tetentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima “pengalaman”. Tahap kedua adalah tangga illuminasi. Tahap ketiga adalah tahap konstruksi.
Awal tahap pertama ditandai dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk menerima pancaran-pancaran dari cahaya tuhan. Sedangkan tahap yang kedua adalah tangga illuminasi yang merupakan cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya ini yang akan mengantarkan kita untuk memperoleh pengetahuan yang tak terbatas dan tak terikat, sedangkan tahapan yang ketiga adalah tahap pembangunan suatu ilmu. Dalam tahap ketiga ini, filosof menggunakan analisis diskursif. Pengalaman ditempatkan pada pengujian untuk dibuktikan. Ini dilakukan lewat suatu analisis diskursif yang ditujukan untuk membuktikan pengalaman dan membangun suatu sistem tempat pengalaman itu sendiri dapat didudukkan dan validitasnya siap dideduksi, meskipun pengalaman itu sudah berakhir. Dari penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa tahapa-tahapan yang harus ditempuh untuk mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran dengan cara; pempersiapkan diri untuk memperoleh pengetahuan, menerimannya melalui proses isyraq, dan membangun suatu pandangan sistematik mengenainya sehingga hasil-hasil yang didapat melalui proses isyraq dapat di tuangkan kembali melalui kisah-kisah dan tulisan-tulisan.
Lebih lanjut Suhrawardi menjelaskan bahwa jalan sejati bagi pencapaian pengetahuan didasarkan pada penalaran diskursif dan intuisi intelektual, pada latiahan formal terhadap pikiran dan juga pada pembersihan jiwa. Melalui pernyataan ini beliau lebih lanjut membagi tingkatan orang yang berusaha mendapatkan pengetahuan sesuai dengan usaha pengembangan daya-daya tersebut dalam dirinya menjadi empat kategori:
1. mereka yang mulai merasa haus atas pengetahuan lalu memasuki jalan pencarian untuk memperolehnya.
2. mereka yang telah memperoleh pengetahuan formal dan menyempurnakan filsafat diskursif tapi masih asing dengan gnosis. Diantara mereka Suhrawardi menyebut nama Ibnu Sina dan al-Farabi.
3. mereka yang tidak peduli atas bentuk-bentuk diskursif pengetahuan sama sekali tapi telah membersihkan jiwanya hingga mencapai intuisi intelektual dan pencerahan batin (iluminasi), seperi Hallaj, Bastami dan Tustari
4. Mereka yang menyempurnakan filsafat diskursif dan juga memperoleh iluminsai atau gnosis.
Menurut Suhrawardi, kategori-kategori ini terdapat hirarki wujud-wujud spiritual yang samawi atau tak terindera, yang pada gilirannya digunakan oleh jiwa-jiwa manusia untuk mendapat iluminasi dan akhirnya menyatu dengan-Nya. Dan proses puncak dari pengalaman inilah yang sebenarnya disebut dengan ilmu hudhuri, karena pada kenyataannya pengalaman tersebut tidak bisa diungkapkan dengan definisi yang konseptual, ia hadir dan tidak terkatakan.

G. Dimensi Jangkauan Ilmu Hudhuri
Pengetahuan melalui kehadiran yang merupakan konsep temuan Ha’iri ini telah menyadarkan banyak orang, bahwa ilmu ini sesungguhnya adalah pengetahuan yang benar-benar hadir dan tidak terpresentasikan sama sekali.
Orang boleh mengira bahwa apa yang ditulis Jalaluddin Rumi dalam bukunya al-Mastnawi, Farid ad-Din Athtar dalam Mantiq ath-Thair, Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiah, atau Ghazali dalam ar-Risalah al-Ladunniahnya adalah bagian dari apa yang disebut Ha’iri sebagai ilmu hudhuri ini. Walaupun pada dasarnya semua itu lahir dari refleksi pengalaman mistik yang hadir, namun sebenarnya yang dikatakan oleh para sufi di atas bukanlah termasuk ketegori pengetahuan dengan kehadiran, karena ilmu hudhuri tidak bisa terwakili(tidak bisa untuk direpresentasikan), ia tetap tidak akan terkatakan, dan terkonseptualisasikan dalam definisi yang proposional.
Oleh karena itu Ha’iri dalam bukunya Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi Dlam Filsafat Islam telah memberikan batas jangkauan ilmu dengan kehadiran ini. Menurutnya pengetahuan yang bisa didapatkan melalui kehadiaran diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pengalaman Mistik
Ada satu tempat dalam buku Ha’iri yang secara khusus memang membahas mistisme dari sudut pandang epistemologi. Ia mengatakan bahwa dengan keabsahan epistemologi ilmu hudhuri dari sudut pandang filsafat ini, berarti mistisme secara filsafati juga harus diakui epistemologinya.
Menurut Ha’iri, ada satu inti, semua pengalaman mistik termasuk dalam kategori pengetahuan dengan kehadiran. Hal ini dikarenakan mistisme dicirikan sama sekali tidak mungkin bersifat representasional dan nonfenomenal. Menurutnya, pengalaman mistik bersifat seluruhnya dicirikan oleh kesadaran yang teratur akan dunia realitas. Ia menghadirkan sesuatu di hadapan kita sebagai kebenaran dunia ini. Mistisme terbukti bersifat nonfenomenal, oleh karena itu, tidak ada satupun yang bisa mengakomodasi mestisme kecuali ilmu hudhuri.
Hanya saja, Ha’iri kemudian merasa perlu untuk menspesifikasikan jenis kehadiran yang ia maksud. Karena tidak semua pengalaman mistik masuk dalam ketegori ilmu hudhuri, ada sebagian pengalaman mistik yang bisa terkatakan dan terkonseptualisasikan dalam term-term pengetahuan fenomenal. Menurutnya jenis kehadiran yang dimiliki kesadaran mistik adalah kehadiran dengan “penyerapan” yang merupakan sifat esensial pengetahuan mistik.
2. Pengetahuan Tuhan Tentang Diri dan Emanasi-Nya.
Salah satu wujud ilmu hudhuri adalah pengetahuan Tuhan tentang diri dan Emanasi-Nya. Dan ketika berbicara tentang pengetahuan Tuhan, Ha’iri membagi ilmu hudhuri ini menjadi dua bagian; Pertama, kehadiran dengan keidentikan; Kedua, kehadiran dengan emanasi. Kehadiran dengan keidentikan dimaksudkan sebagai pengetahuan Tuhan tentang diri-Nya yang tidak mungkin berbeda dengan realitas Diri-Nya kepada Diri-Nya, dan tidak mungkin melalui representasi Diri-Nya kepada Diri-Nya sendiri.
Sedangkan kehadiran dengan emanasi dimaksudkan sebagi pengetahuan Tuhan tentang alam semesta yang tidak lain adalah emanasi-Nya sendiri, dimana kehadiran eksistensi Tuhan di alam termanifestasikan dalam pencerahan dan supremasi atas eksistensi emanatif alam semesta.
3. Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan
Dalam pembahasan ini terlebih dahulu kita harus memahami tentang konsep “penyerapan” yang wujud (timbul) melalui proses emanasi. Meskipun pada dasarnya emanasi dan penyerapan secara linguistik berbeda, namun dalam realitasnya adalah satu hal yang sama. Dengan kata lain konsep ini pengetahuan manusia tentang Tuhan adalah karena sesungguhnya Tuhan mengetahui manusia sebagai emanasi-Nya dengan kehadiran (kehadiran emanatif). Maka sebagai konsekwensinya, manusia sebagai wujud secara otomatis terserap mengetahui Tuhan dengan Kehadiran.
Namun, perlu kita perhatikan secara cermat penggambaran tentang konsep emanasi dan penyerapan di atas, bahwa yang dimaksud dengan kehadiran emanatif adalah karena ia memancar dari Tuhan, sedangkan kehadiran dengan penyerapan karena ia mutlak bergantung pada Tuhan.
Lebih lanjut Ha’iri menjelaskan tentang pengertian ganda kehadiran, yaitu segala sesuatu yang benar bagi emanasi juga benar bagi penyerapan, dan apapun yang berlaku pada penyerapan juga berlaku pada emanasi. Inilah suatu kenyataan yang menurut beliau disebut dengan sebuah kesatuan mistik.
Menurut Ha’iri Tuhan mengetahui melalui kehadiran apa yang telah beremanasi dari Diri-Nya. Artinya, suatu wujud emanatif semisal diri, yang keuar dari Tuhan dan terserap dalam cahaya yang melimpah dari Wujud-Nya, adalah hadir di dalam Tuhan. Karena itu, Dia mengetahui Diri tidak melalui semacam kehadiran identitas diri seperti Dia mengetahui Diri-Nya sendiri, melainkan dengan kehadiran supresemua masi-Nya atas emanasi yang melimpah sebagai tindak imanen-Nya. Dengan cara ini pulalah diri mengetahui tubuh, imajinasi, dan fantasinya melalui kehadiran dengan supremasi kasual. Jadi, suatu emanasi hadir dalam supremasi eksistensial sumbernya sendiri; dan begitu juga, dengan ekivalensi antara emanasi dan penyerapan, yang terserap hadir dalam yang menyerap, yaitu Tuhan.

H. Penutup
Ilmu hudhuri adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, yaitu objek yang esensial dan bersifat imanen dalam pikiran seubjek yang mengetahui. Pengetahuan dengan kehadiran ini ditandai oleh keadaan neotic (pengetahuan yang diperoleh manusia tanpa perantaraan indera) yang menjadikannya pengetahuan swaobjek (adalah jenis pengetahuan yang tidak menunjukkan adanya kontradiksi ketika manusia sampai kepada realitas kesadaran ontologis yang mendasar, dimana kebenaran eksistensi sebjek yang mengetahui dan kesadaran tersebut bersatu dengan objek yang mengetahui). Misalnya, pengetahuan kita akan luka luka di jari, tidak lain adalah pengenalan kita pada luka jari itu sendiri. Walaupun tanpa melalui data inderawi kita akan merasakan sakit ketika jari itu sobek dan terluka, dimana perasaan tersebut hadir secara otomatis dalam pengetahuan kita tanpa mampu untuk kita katakan dalam definisi yang konseptual. Dari sini dapat kita ketahui bahwa pengetahuan dengan kehadiran adalah pengenalan dengan perasaan dan penginderaan subjek secara mutlak bebas dari implikasi apapun, atau bersosialisasi dengan objek eksternal.
Istilah ilmu hudhuri sendiri pada dasarnya telah diperkenalkan pertama kali oleh Suhrawardi melalui filasafat Illuminasinya, dan kemudian Mehdi mencoba untuk mengaktualkan kembali filsafat tersebut dengan cara menganalisanya lewat trend pemikiran filsafat barat. Oleh karena itu wajar jikalau pemikrannya berbeda dengan pendahulunya. Hal ini dapat kita ketahui ketika Suhrawardi memberikan syarat bagi yang ingin mendapatkan pengetahuan dengan kehadiran melalui empat tahapan, yakni persiapan, penerimaan, pembentukan konsep dalam pikiran, dan penuangan dalam bentuk tulisan (baca: metodologi ilmu hudhuri). Sedangkan apa yang dimaksud oleh Suhrawardi di atas menurut Mehdi bukanlah termasuk pengetahuan melalui kehadiran, melainkan bagian dari pengetahuan melalui korepondensi, karena pengetahuan tersebut mampu untuk di wujudkan dalam definisi yang konseptual. Namun satu hal yang harus kita ketahui bahwa melalui empat proses tersebut kita akan bisa sampai kepada proses “peniadaan mistik” atau dalam dunia tasawuf lebih dikenal dengan istilah fana’. Dan apabila kita sudah mencapai puncak dari proses fana’ ini, maka hal itu adalah termasuk dalam ketegori ilmu hudhuri yang tetep tidak akan pernah bisa dijelaskan dengan kata-kata. Pengalamannyapun terjadi secara tiba-tiba yang bersifat non representasional.
Di akhir makalah ini kami menyadari banyak kekurangan baik dari sistematika penulisan, maupun esensinya, akan tetapi penulis berharap semoga makalah ini bisa menjadi sebuah pengantar dalam kajian ilmu huduri.


DAFTAR PUSTAKA
“Epistemologi; Upaya Melacak Kebenaran,” Jurnal Filsafat Universitas Gajah Mada, seri 21, (Mei 1995).
Choir, Thohatul, “Epistemologi Ilmu Hudhuri Dalam Pandangan Mehdi Ha’iri Yazdi”, Tesis, program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2004)
Labib, Muhsin, Mengurai Tasawwuf, Irfan dan Kebatinan, Jakarta: Lentera Basritama, 2004.
Leaman, Oliver, Pengantar Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan Tematis, Bandung: Mizan, 2002.
Nasr, Sayyed Hossein, Tiga Madzhab Filsafat Islam, Yogyakarta: IRCisoD, 2006.
Yazdi, Mehdi Ha’iri, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi Dlam Filsafat Islam, terj. Ahsin Mohamad, Bandung: Mizan, 1994.
Ziai, Hossein, Suhrawardi dan Filsafat Pengetahuan, Pencerahan Ilmu Pengetahuan, Bandung: Wacana Mulia, 1998.


loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar
April 1, 2015 at 12:36 AM delete

mantaaap gan
di tunggu info selanjutnya
thanks

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar