ANALISIS OTENTITAS HADIS DALAM PERSPEKTIF HERBERT BERG

Admin Thursday, December 16, 2010

Oleh: M. Su’ud, Lc.



A.    Pendahuluan
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Realitas tersebut jelas menempatkan hadis sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur'an. Oleh karena itu dari masa-kemasa kajian-kajian atas hadis semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan maraknya perbincangan dan ketertarikan para orientalis (ilmuan barat yang mengkaji peradaban timur termasuk islam) mencoba untuk mengkaji lebih detail terhadap khazanah (terutama klasik) Islam terutama ketertarikan mereka terhadap salah satu sumber pokok ajaran Islam yaitu, hadis nabi.[1]
Berdasarkan hal di atas, Herbert Berg (seorang tokoh orientalis kontemporer) kemudian mencoba untuk mencipkatan sebuah metode baru untuk membuktikan keotentikan hadis-hadis nabi, yang penelitiannya ia fokuskan kepada hadis-hadis yang termuat dalam tafsirnya imam at-Tabari. Pemilihan sampel oleh Berg yang nantinya akan melibatkan at-Tabari sebagai objek kajian kitab dan Ibn Abbas sebagai objek jalur periwayatan hadis tentunya mempunyai alasan tersendiri yang menarik untuk kita kaji.
Dalam kajian singkat ini, penulis mencoba untuk menghadirkan sumbangan pemikiran Herbert Berg tentang otentitas hadis-hadis nabi yang termuat dalam kitab tafsir at-Tabari, dengan mendeskripsikan metode-metode yang digunakan oleh Berg untuk menganalisa otentitas hadis tersebut.

B.     Biografi Singkat
Herbert berg dilahirkan pada tahun 1964 di brasil dan tumbuh berkembang di kanada. Meskipun demikian, sesungguhnya secara etnis dia adalah keturunan Jerman. Menurutnya, bahasa yang pertama kali dia kuasai adalah bahasa Jerman, kemudian Iggris dan Arab. [2]
Pada tahun (1983-89) Berg mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Universitas Waterloo dan menyelesaikan Bachelor of Mathematics, Honours Computer Science, setelah itu ditempat yang sama, pada tahun (1988-89) ia menyelesaikan pendidikannya Bachelor of Arts, Honours Religious Studies / Middle Eastern Studies Option. Setelah itu ia tidak hanya puas berhenti untuk mengenyam dunia pendidikan, melainkan ia terus bergelut dengan dunia akademisi, dan ini terbukti pada tahun 1990 ia menyelesaikan program magisternya dibidang Master of Arts, Centre for Religious Studies, di Universitas Toronto. Di tempat ini juga ia menamatkan program Doctor of Philosophy, Centre for the Study of Religion (1990–96).[3]
Pada tahun 1990–92 berg memulai karir akademiknya dengan menjadi asisten dosen di department of Middle East and Islamic Studies dan department of Religious Studies di Universitas Toronto. Kemudian pada tahun 1995–96 ia mengajar di department of Religion, Universitas Vermont. Dan tahun 1994–95 ia mendapat penghargaan untuk menjadi visiting Instructor department of Religion di kampus Middlebury. Sejak tahun 2003 hingga 2006, berg banyak beraktivitas di Universitas North Carolina Wilmington, disamping menjadi tim pengajar, dia juga banyak menghasilkan karya-karya tulis diberbagai bidang. Ia juga banyak mendapatkan apresiasi dibidang akademik karena prestasinya yang gemilang.[4]

o   Karya-karyanya[5]
Berg dikenal sebagai penulis yang produktif dalam berbagai bidang disiplin ilmu dan aktif melakukan penelitian sehingga banyak menghasilkan karya. Diantaranya adalah:[6]
·         Buku tentang al-Qur’an dan Hadis
The Development of Exegesis in Early Islam: The Authentiety of Muslim Literature from The Formative Period.
·         Artikel tentang al-Qur’an dan Hadis
“Early African American Muslim Movements and the Qur’an.” Journal of Qur’anic Studies, 8.1 (2006): 22–37.
“Context: Muhammad.” Blackwell Companion to the Qur’.n, edited by Andrew Rippin, 187–204. Malden: Blackwell Publishing, 2006.
“Ibn ‘Abb.s in `Abb.sid-Era Tafs.r.” Abbasid Studies: Occasional Papers of the School of Abbasid Studies, Cambridge 6–10 July 2002, edited by James E. Montgomery, 129–146. Orientalia Lovaniensia Analecta, 135. Leuven: Peeters Publishers, 2004.
“Competing Paradigms in the Study of Islamic Origins: Qur’.n 15:89-91 and the Value of Isn.ds.” Methods and Theories in the Study of Islamic Origins, edited by Herbert Berg, 259–290. Leiden: Brill Academic Publishers, 2003.
“Weaknesses in the Arguments for the Early Dating of tafs.r.” In With Reverence for the Word: Medieval Scriptural Exegesis in Judaism, Christianity, and Islam, edited by Jane Dammen McAuliffe, Barry D. Walfish, and Joseph W. Goering, 329–345. Oxford: Oxford University Press, 2003.
“Elijah Muhammad and the Qur’.n: The Evolution of His Tafs.r.” Muslim World 89 (1999): 42–55.
“Elijah Muhammad: An African American Muslim mufassir?” Arabica: Revue d’études Arabes 45 (1998): 320–46.
“The Implications of, and Opposition to, the Methods and Theories of John Wansbrough.” Method & Theory in the Study of Religion 9.1 (1997): 3–22. Reprinted in The Questfor the Historical Muhammad, edited by Ibn Warraq, 489–509. Amherst: PrometheusBooks, 2000.
“Tabari’s Exegesis of the Qur’.nic Term al-kit.b.” Journal of the American Academy of Religion 63.4 (1995): 761–774.







C.    Metode Verifikasi Otentitas Hadis Menurut Berg
Pertanyaan tentang kapan, oleh siapa, dan dimana hadis nabi muncul merupakan salah satu permasalahan pokok dalam studi hadis di Barat. Mereka mencoba menganalisa otentitas hadis dengan berbagai variasi metode dan pendekatan untuk menguji apakah ia benar-benar otentik berasal dari nabi atau hanya merupakan hadis hasil rekayasa orang lain. Dalam hal ini Berg mencoba untuk mengemukakan problem mengenai keabsahan isnad (mata rantai periwayatan hadis) yang menjadi jaminan keaslian leteratur-literatur Islam. Ia berpendapat bahwa, para sarjana yang sudah mencoba untuk meneliti otentitas hadis yang sudah ada sejauh ini masih menyisakan pertikaian akademis yang tidak berkesudahan dan akhirnya mereka terjebak di jalan yang buntu. Oleh karena itu ia kemudian mencoba untuk menjebatani pertikaian tersebut dengan mengambil posisi tengah tanpa terlibat dalam salah satu dari dua kelompok yang sedang bertikai. Dengan alasan inilah Berg kemudian mengkalaisfikasikan sikap para sarjana terhadap otentitas hadis menjadi tiga kelompok 1) Skeptis, 2) sanguin, 3)middle ground.[7]
Di dalam bukunya The Development of Exegesis in Early Islam: The Authentiety of Muslim Literature from The Formative Period, Berg berusaha memunculkan sebuah teori baru untuk menguji keotentikan sebuah hadis, teori ini muncul sebagai metode alternatif dari beberapa pemikiran yang sudah ada. Berg menyimpulkan, bahwa terdapat tiga ketegori pemikiran tentang pendapat para tokoh dalam menetapkan asal-usul dan otentitas sebuah hadis, diantaranya adalah skeptis, sanguine, dan middle ground.
 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa selama ini perdebatan tentang asal-usul dan otentitas hadis lebih menitik beratkan kepada hadis-hadis hukum, oleh karena itu sebagai metode alternatif yang menjembatani kedua kelompok tersebut, maka disini Berg mencoba mengkaji hadis-hadis tafsir (exegetical hadis) dan hadis-hadis sejarah(historical hadis) sebagai objek kajian dalam menentukan otentitas hadis. Namun agar tidak terjebak dalam argumen yang bersifat sirkular, Berg mencoba berangkat dari kekosongan asumsi akan kualitas hadis. Untuk menganalisa kesahihan sebuah hadis, berg mencoba menguji konsistensi exegetical device (perangkat penafsiran) yang ada pada matan. Untuk melancarkan experimennya dalam mengkaji otentitas hadis, Berg mencoba meminjam teori exegetical device yang digagas oleh John Wansbrough yang menyatakan bahwa exegetical device ini terbagi menjadi dua, yaitu exegetical type yang mengklasifikasikan kajian terhadap al-Qur’an menurut jenis tafsir: 1). Haggadic (yang berkenaan dengan narasi), 2) halakhic (yang berkenaan dengan hukum), 3) masoretic (yang berkenaan dengan teks), 4) rhetorical (yang berkenaan dengan ungkapan sastra), 5)allegoric (pengunaan ungkapan-ungkapan simbolis).  dan explicative element atau perangkat prosedural yang digunakan oleh seorang mufassir. Dalam hal ini terdapat 12 elemen penafsiran: 1) Variant reading (penggunaan beragam bacaan), 2) poetic citations penggunaan teks-teks puitis), 3) lexical explanation (penjelasan makna kata), 4) grammatical explanation (penjelasan struktur tata bahasa), 5) rehetorical explanation (penjelasan ungkapan sastra yang menunjukkan keindahan), 6) pheriprasis (penggunaan ungkapan secara tidak langsung dengan banyak komentar), 7) analogy (menjelaskan sesuatu dengan membandingkan satu dengan yang lain), 8) abrogation (pencabutan ketetapan), 9) circumtances of revelation ( fakta atau kondisi yang berkenaan dengan suatu kejadian yang menyebebkan turunnya wahyu), 10) identification (proses pengenalan dan pemahaman), 11) prophetic tradition (sunnah nabi), 12) anecdote (cerita tentang suatu peristiwa yang menghibur.[8]
Namun menurut Berg teori tersebut tidak sepenuhnya mendukung kelancaran metode yang digagas oleh Berg, karena ternyata ada beberapa hadis yang tidak cocok untuk dimasukkan ke dalam kategori yang telah dirumuskan oleh John Wansbrough tersebut. Oleh karena itu Berg menambahkan tiga kategori lagi untuk menampung semua yang dianggapnya belum terwakili oleh teori exegetical device yang dibangun oleh Wansbrough.
1.      Simple Gloss atau Paraphrase, kategori ini diperuntukkan menganalisa sebuah hadis yang mempunyai kata-kata ambigu, identifikasi leksikal yang sangat singkat, serta kemoentar yang setara.
“simple gloss or paraphrase: This device is not unique category. It is a category designed to encompass all of the ambiguous glosses, very short lexical identifications, and paraphrastic equivalences.”[9]

2.      Quranic Loci, kategori ini diperuntukkan untuk menampung elemen perangkat penafsiran yang mempunyai keterhubungan dengan sebuah hadis. Munculnya kategori ini dikarenakan banyaknya hadis nabi yang menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an dalam kandungannya, seperti masalah abrogasi, pemberian makna leksikal, sintatik, atau analogi gramatikal terhadap ayat-ayat lain. Begitu juga dalam satu kesempatan ternyata ada beberapa ayat yang menjadi bagian dari cerita dimana ayat itu sendiri merupakan asbabun nuzul (sebab turunya wahyu) bagi ayat yang lain.
Quranic Loci: there are many hadiths which cite Quranic verses ather than the one under discussion. Often the discussion in such a hadith has little to do with one quranic verse abrogating the other or with one providing a lexical, syntactical, or grammatical analogue for the other. Also, several discrete verses may appear as part of a large narrative, which itself might serve as a asbab al-nuzul for all of them.”[10]

3.      Non Exegetical, kategori ini dimunculkan untuk menampung hadis-hadis yang tidak masuk dalam kategori exegetical device, karena pada kenyataannya ditemukan hadis yang tidak bisa dimasukkan kedalam ketegori  exegetical device.[11] 

 Demikianlah beberapa kategori yang dianut oleh Berg untuk digunakan sebagai alat analisa otentitas hadis, jika exegetical device itu sejak dari sumber penafsiran hingga perawi-perawi yang menjembetani hadis-hadis tafsir itu mempunyai konsistensi yang tidak berubah, maka disimpulkan bahwa isnad dari hadis-hadis tafsir tersebut layak untuk dipercaya. Namun jika tidak, maka dapat disimpulkan bahwa isnad hadis tersebut tidak dapat dipercaya.
“My experiment will therefore seek to test the consistency of style at the various levels of transmission. An exegete can only express his tafsir using the exegetical devices with which he is familiar. He may have agility with quite a number of such devices and amploy them as circumstances demend. His use of these devices can be used to construct a profile of his method –a stylistic fingerprint, one might say. Likewise, a fabricator whether he is unscrupulously lying or piously inventing, is also limited in the manner in which he is familiar. And so a profile af his exegetical methods can also be constructed”[12]

Menurut Berg, dalam menguji otentitas sebuah hadis, pertama-tama ia akan menguraikan terlebih dahulu matas hadis-hadis tafsir ke dalam exegetical device, setelah itu dilakukan penghitungan pada masing-masing tingkatan perawi kemudian dilakukanlah perbandingan periwayatan oleha masing-masing perawi tersebut. Dari hasil perbandingan itulah akan terlihat kesistensi penggunaan exegetical device oleh masing-masing level periwayatan.
Dengan kata lain, jika dalam sebuah kitab tafsir, misalkan tafsir at-Tabari, mulai dari mufassir pertama, kemudian tafsiran itu diriwayatkan oleh murid –muridnyaya, dan diteruskan lagi oleh hingga pada level yang menjadi informan akhir bagi penghimpun hadis-hadis setelah dilakukan pengujian dan terbukti tidak konsisten, maka dapat disimpulkan bahwa isnad yang menjembatani matan hadis-hadis tafsir tersebut palsu. Sebaliknya, jika matan hadis tersebut dari awal muncul hingga level yang menjadi informan bagi penghimpun hadis konsisten, maka dapat disimpulkan bahwa isnad-nya asli dan dapat dipercaya.
“Very generally speaking, if the profiles for a particular exegete or his student very significantly when they are preseved via different transmission, then it would seem that some, or all, of the hadiths must be considered to be later fabrications. In other word, their isnad are unreliable. If, on other hand, the profiles from different transmission are much the same, the implication is that the isnad are reliable”.[13]

D.    Contoh Aplikasi
1.      At-Tabari dan Ibn Abbas Sebagai Alat Analisa
Sebelum melangkah lebih jauh dalam tahap analisa otentitas hadis, maka pertama kali Berg mencoba untuk memilih objek kajian tentang otentitas hadis-hadis yang ada dalam tafsir at-Tabari dari Ibn Abbas. Kedua tokoh tersebut yang akhirnya terpilih menjadi parameter, karena menurut Berg masing-masing layak dijadikan sampel analisa bagi otentitas hadis.
o   at-Tabari adalah seorang penghimpun hadis, namun cara Tabari menyeleksi, menyusun, mengkontekstualisasikan, dan menginterpretasi-kan hadis menjadikannya bukan hanya sebagai seorang penghimpun hadis, akan tetapi lebih sebagai mufassir.
...yes, al-Tabari was a compiler ofhadiths. But the way in which he selected and arranged those hadiths, contextualized them, and interpreted them make him just as much an exegete. [14]
o   Ibn Abbas merupakan figur yang layak untuk diuji karena ketokohannya yang sangat diakui. Dalam hal ini ia cenderung setuju dengan pernyataan Sezegin, bahwa tidak masuk akal kalau seseorang yang berpengetahuan luas seperti Ibn Abbas tidak terekam dalam sejarah, sedangkan ia adalah termasuk salah seorang tokoh yang sangat menguasai segala macam ilmu pengetahuan seperti, puisi, genelogi, peperangan, kehidupan nabi, serta mahir dalam segala urusan agama.[15]




2.      Analisa Otentitas Hadis dari Ibn Abbas dalam Tafsir At-Tabari
Setelah mempertimbangkan bahwa kitab tafsir at-Tabari yang layak untuk diuji otentitas hadis yang termuat di dalamnya, maka kemudian Berg mencoba menganalisa satu-persatu hadis-hadis yang ada di dalam kitab tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, Berg memebrikan skenario hipotetik yang menyatakan, Jika exegetical device itu sejak dari sumber penafsiran hingga perawi-perawi yang menjembetani hadis-hadis tafsir itu mempunyai konsistensi yang tidak berubah, maka disimpulkan bahwa isnad dari hadis-hadis tafsir tersebut layak untuk dipercaya. Namun jika tidak, maka dapat disimpulkan bahwa isnad hadis tersebut tidak dapat dipercaya. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel-tabel berikut ini:
o   Langkah Pertama
a.      Perbandingan Jumlah Pemakaian exegetical device antara Ibn Abbas dan Murid-muridnya.[16]




Lihat dibuku aslinya hal. 174






Jika kita perhatikan, jumlah penggunaan masing-masing exegetical device antara Ibn Abbas dan murid-muridnya terlihat ada perbedaan mencolok, dan hampir secara keseluruhan terdapat kesenjangan bilangan yang berbeda. Menurut Berg analisa di atas adalah proses awal dalam menentukan otentitas hadis-hadis yang ada di dalam kitan tafsir at-Tabari. Setelah diketahui perbandingan jumlah pemakaian exegetical device antara Ibn Abbas dan murid-muridnya, maka langkah kedua adalah mengetahui perbandingan jumlah pemakaian exegetical device antara Ibn Abbas dan informan at-Tabari sebagai berikut:

b.      perbandingan jumlah pemakaian exegetical device antara Ibn Abbas dan informan at-Tabari.[17]






Lihat dibuku aslinya








Berdasarkan hasil perbandingan dalam menggunakan exegetical device oleh masing-masing level isnad dari kedua tabel di atas, maka yang tampak adalah tidak semua murid konsisten dengan Ibn Abbas. Sedangkan mengenai informan at-Tabari di atas telah ditemukan ketidakkonsistenan denga Ibn Abbas. Kenyataan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa Isnad dipandang tidak otentik.

o   Langkah Kedua
a.      Prosentasi pemakaian exegetical device oleh informan at-Tabari dari Isnad Ibn Jubair[18]





Lihat dibuku aslinya









b.      Prosentasi pemakaian exegetical device oleh informan at-Tabari dari Isnad Ikrimah[19]



Lihat dibuku aslinya








c.       Prosentasi pemakaian exegetical device oleh informan at-Tabari dari Isnad Mujahid[20]





Lihat dibuku aslinya





Berdasarkan analisa dari langkah kedua tersebut, Berg menyimpulkan bahwa penyampaian hadis dari murid-murid Ibn Abbas kepada informan at-Tabari ternyata hampir secara keseluruhan tidak konsisten.
“Taken as a whole, the distribution of exegetikal devices in teh hadiths going from Ibn Jubayr, Ikrima, and Mujahid to Abu Kurayb, Sufyan, Ibn Humayd, Ibn Bashar, Ibn al-Muthanna, al-Muthanna, Ya’qub and al-Qasim is very inconsistent.”[21]

Oleh karena itu pada kesimpulan akhir Berg menyatakan bahwa kemungkinan besar isnad yang ada dalam tafsir at-Tabari telah dipalsukan. Seperti terlihat dalam pernyataannya “.....Both scenarios suggest that the isnad attached to the hadiths of the sample are fabricated”[22]

3.      Asal-usul Munculnya Hadis-hadis Tafsir
Setalah menyimak beberapa penjelasan di atas, maka akan timbul pertanyaan darimana sebenarnya asal-usul atau kronologi munculnya hadis-hadis tafsir yang terdapat dalam tafsir at-Tabari yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas tersebut? Dan setelah dianalisa ternyata mempunyai kemumngkinan besar bahwa isnad hadis banyak yang telah dipalsukan.
Dalam hal ini Berg memberikan komentar dari beberapa tokoh, diantaranya adalah pernyataan Gilliot bahwa Ibn Abbas terkenal dengan cerita-cerita mitosnya dalam memberikan penafsiran terhadap al-Qur’an. Sehingga metodologi dan kecenderungnnya dalam penafsiran-penafsiran al-Qur’an yang banyak mengandung motos sering dihubungkan dengan dirinya dan akhirnya dimanfaatkan oleh generasi-generasi sesudahnya. Hal inilah yang menyebabkan suburnya hadis-hadis dengan isnad lemah bermunculan dalan tafsir at-Tabari melalui jalur Ibn Abbas.
Dalam kesempatan yang lain, ia mengemukakan pendapat bahwa dari 38.388 hadis yang ada di dalam tafsir at-Tabari, hanya terdapat 5.835 yang disandarkan kepada Ibn Abbas. Menurut Berg, sebagian besar hadis-hadis tersebut berasal dari tokoh-tokoh tafsir yang muncul belakangan, dimana mereka mengklaim penafsiran-penafsiran mereka kepada murid-murid Ibn Abbas seakan-akan penafsiran tersebut bersumber langsung dari Ibn Abbas. [23]


E.     Penutup
Dengan teori yang sudah ia bangun tersebut, Berg ingin mencari jalan keluar bagi kedua kelompok yang saling berseteru (skeptis dan non skeptis), ia menempatkan dirinya sebagai middle gound dengan menyatakan bahwa teori-teori yang menjadi senjata masing-masing kelompok tersebut ternyata masih menyisakan kebuntuan dan menambah problem yang tidak pernah usai. Sehingga pada kesimpulan akhir Berg berpendapat bahwa isnad yang ada dalam tafsir at-Tabari telah dipalsukan sesuai dengan metode analisa otentitas hadis yang telah diciptakannya.
Namun penulis mendapati keraguan apakah teori tersebut benar-benar bisa menjadi tolak ukur yang valid untuk menguji otentitas hadis. Karena menurut pengamatan penulis metode yang digunakan Berg tersebut menggunakan metode statistik yang pada tataran aplikasinya sangat berbeda dengan cara kerja teori-teori yang ulama hadis yang ada. Sehingga hasil akhir yang dicapai dari kedua metode tersebut juga akan berbeda. Oleh karena itu butuh pengujian yang lebih mendalam atas teori-teori yang sudah diperkenalkan oleh Berg tersebut.
Disamping itu Berg dalam penelitiannya sama sekali tidak mempertimbangkan faktor-fator sosial yang melatarbelakangi munculnya hadis tersebut, sehingga terkesan ada ketimpangan dari metode yang digunakan oleh Berg karena untuk menguji otentitas hadis dengan mengabaikan faktor sosial yang tejadi pada waktu itu, sama hanya dengan  memperkeruh keadaan. Dalam hal ini Yusuf al-Qaradlawi memberikan kerangka konseptual guna memahami hadis secara utuh mempunyai tolak ukur tersendiri, diantaranya adalah Adanya upaya memahami hadis sesuai dengan latar belakang dan tujuan utama munculnya hadis. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hadis-hadis yang disabdakan beliau lahir mengikuti situasi dan kondisi pada masa itu.[24]














DAFTAR PUSTAKA
Berg, Herbert, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authentiety of Muslim Literature from The Formative Period, Great Britain, Curzon Press: 2000.
Qaradlawi, Yusuf al-,  Kaifa Nata’amal ma’as-Sunnah an-Nabawiah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2005.
Riadly, Fahmi, “Asal-usul Hadis Menurut Herbert Berg”, Tesis, program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007.
_____________, Orientalisme al-Qur’an dan Hadis, t.t, Nawesea: 2007.
Wansbrough, John, Quranic Studies: Sourcer and Methods of Scriptural Interpretation, New York: Prometheus Books, 2004.
Wizan, Adnan M., Akar Gerakan Orientalisme: dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru: 2003.
http://people.uncw.edu/bergh/cv.PDF. diakses tanggal 19 Nopenber 2008.





[1] Pada mulanya wilayah kajian orientalisme hanya terbatas pada kajian ke-Islam-an, peradaban Islam, bahasa, dan sastra Arab. Kemudian wilayah kajian ini meluas dan mencakup seluruh aspek kajian ketimuran (the Orient), yakni mulai dari aspek bahasa, agama-agama, adat-istiadat, hingga budaya ketimura. Sedangkan focus utama kajian orientalis adalah agama Islam dan bahasa Arab, karena keduanya merupakan factor terbesar dari ketertarikan kaum orientalis dan menggambarkan kontroversi gagasan, politik, dan teologi yang mewarnai kehidupan dimasa kini. Sebagaimana dikutip oleh Adnan M. Wizan, Akar Gerakan Orientalisme: dari Perang Fisik Menuju Perang Fikir, Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru: 2003), hlm. 1.
[2] Fahmi Riadly, “Asal-usul Hadis Menurut Herbert Berg”, Tesis, program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2007), hlm. 20.
[3] http://people.uncw.edu/bergh/cv.PDF. diakses tanggal 19 Nopenber 2008.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Berg mempunyai asumsi bahwa, hadis secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk dipalsukan atu mungkin juga otentik berasal dari perawi yang hidup dimasa nabi. Dalam hal ini hasil yang akan dicapai tergantung paradigma atau niat seseorang dalam mengkaji hadis. Jika niatnya didasari oleh keinginan untuk menyalahkan, maka kesalahanlah yang akan tersimpulkan. Sebaliknya, jika niatnya didasari oleh keinginan untuk membenarkan, maka kebenaranlah yang akan dihasilkan. Lihat Fahmi Riyadi, Orientalisme al-Qur’an dan Hadis, (t.t, Nawesea: 2007), hlm. 211.
[8] John Wansbrough, Quranic Studies: Sourcer and Methods of Scriptural Interpretation, (New York: Prometheus Books, 2004), hlm. 119-121.
[9] Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authentiety of Muslim Literature from The Formative Period, (Great Britain, Curzon Press: 2000), hlm. 155.
[10] Ibid., hlm. 156.
[11] Sebagai contoh, terdapat sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Ibn Abbas pernah ditanya tentang ayat al-Qur’an 4:24 yang menyatakan bahwa “ diharamkan untuk mengawini wanita bersuami, kecuali budak-budak yang telah kamu miliki”, akan tetapi dalam hadis tersebut Ibn Abbas tidak mengatakan apapun untuk menjawabnya. Ibid.
[12] Herbert Berg, The Development of Exegesis in Early Islam: The Authentiety of Muslim Literature from The Formative Period, (Great Britain, Curzon Press: 2000), hlm. 119-120
[13] Ibid., hlm. 120.
[14] Ibid., hlm 129.
[15] Ibid., hlm 132.
[16] Ibid., hlm. 174.
[17] Ibid., hlm. 175.
[18] Ibid., hlm. 192.
[19] Ibid., hlm. 194.
[20] Ibid., hlm. 196.
[21] Ibid., hlm. 207.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 209-210.
[24] Yusuf al-Qaradlawi,  Kaifa Nata’amal ma’as-Sunnah an-Nabawiah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2005), hlm. 111.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar