HUKUMAN JILID DAN RAJAM BAGI PEZINA DALAM PERSPEKTIF HADITS [1]

Admin Thursday, December 16, 2010
Oleh : Moh. Thohir, S.Sos.I

A.  Pendahuluan
Seks bebas dalam bahasa agama disebut zina, yaitu hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan yang sah. Ini berbeda dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku di Indonesia, yang salah satu unsur pidananya adalah antara yang sudah menikah dan ada unsur paksaan.
Pidana perzinaan itupun dikatagorikan sebagai delik aduan, Jadi meskipun di dalamnya terpenuhi unsur-unsur pidananya, jika pihak yang dirugikan tidak mengadukan kepada aparat, maka tidak cukup disebut sebagai tindak pidana. [2] 
Banyak faktor sebenarnya yang mendorong dan menyebabkan orang melakukan perzinahan, faktor-faktor tersebut antara lain ; Pertama, faktor internal berupa dorongan kebutuhan biologis yang tinggi karena ketidakmampuannnya menjaga pandangan dan kemaluan karena sebab-sebeb tertentu.[3] Kedua, faktor eksternal berupa faktor ekonomi yang pas-pasan dan pengaruh lingkungan yang merusak, terutama pengaruh media cetak dan elektronik yang akhir-akhir ini banyak memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses gambar-gambar porno melalui internet, majalah, atau televisi baik secara vulgar maupun implisit. 
Dalam Islam, zina dianggap sebagai perbuatan yang tercela, dimana dampaknya tidak hanya pada perseorangan tetapi juga berdampak buruk kepada masyarakat, maka sejak awal Islam memberikan peringatan terhadap larangan berbuat zina bahkan mendekati saja tidak boleh, seperti yang telah dijelaskan dalam surah al-Isra’ ayat 32.  Dan agar tidak terjadi perzinahan, Islam sendiri telah memberi solusi dengan jalam menikah, karena menikah merupakan jalan yang paling sehat dan tepat untuk  menyalurkan kebutuhan biologis (instink sex). Pernikahan juga merupakan sarana yang tepat untuk memperoleh keturunan selain merupakan kebutuhan biologis, pernikahan juga akan mencegah kerusakan yang tidak dikehendaki agama dan masyarakat.
Dalam Islam, terjadi perbedaan dalam penerapan hukuman bagi pezina. Bagi pezina muhsan (sudah menikah), hukumannya berupa rajam dan bagi pezina ghoiru muhsan (belum menikah), hukumannya berupa cambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.[4]  Namun sejarah telah mencatat adanya perbedaan dalam penerapan sangsi dalam kasus yang sama seperti sangsi zina. Hukuman zina yang dianggap sebagai jarimah hudud [5] telah diberlakukan teori gradasi berupa tahapan-tahapan dalam menerapkan hukum dengan melihat kondisi individu dan struktur masyarakat. Awal sangsi zina adalah cercaan dan hinaan (surat an-Nisa ayat 16), selanjutnya kurungan dalam rumah (surat an-Nisa ayat 15), tahap berikutnya hukuman dera (surat an-Nur ayat 2), sementara hukum rajam yang sumbernya berasal dari hadis Nabi masih diperdebatkan keautentikannya. Terlebih jika hukum rajam dikaitkan dengan surat an-Nisa ayat 25 dan surat al Ahzab ayat 30.  Dengan demikian nampaknya para fuqaha disamping menerapkan teori gradasi juga merasionalisasikan prinsip nasakh. [6]
Dalam pelaksanaan hukuman tersebut, juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Lalu bagaimana sebenarnya  latar belakang penerapan hukuman jilid dan rajam bagi pezina dalam konteks zaman Nabi, dan masih relevankah jika diterapkan dalam konteks masa kini dan akan datang ? Berikut penulis uraikan dengan singkat penelusuran mengenai hal diatas dalam perspektif  hadist.
B. Definisi  Dan Pelaksanaan Hukuman Zina
 Definisi zina menurut Abu Bakar Jabir Al Jazairi yaitu melakukan hubungan seksual yang diharamkan di kemaluan atau  oleh dua orang yang bukan suami istri dan hukumnya termasuk dosa besar. [7] Mengenai definisi zina sebenarnya terjadi perbedaan di kalangan ulama, namun secara garis besar mereka sepakat  bahwa zina dapat diuraikan dalam tiga unsur yaitu ; a). Persetubuhan antara laki-laki dan perempuan berupa masuknya kepala dzakar seorang laki-laki kedalam lubang farj perempuan.  b). Dilakukan atas kehendak bersama yaitu suka sama suka dan tidak ada paksaan satu sama lain, c). Dilakukan tanpa melalui pernikahan yang sah terlebih dahulu.[8]  Adapun syarat-syarat pelaksanaan hukuman bagi pezina yaitu ; [9]
1.   Pelakunya adalah orang Muslim yang berakal, baligh dan melakukan zina  dengan suka rela dalam arti tidak dipaksa.
2.       Perzinaan betul-betul terbukti antara lain melalui pengakuan si pelaku  atau empat orang saksi yang adil yang bersaksi bahwa mereka benar-benar melihat terjadinya perzinahan. Dan lewat kehamilan pada seorang wanita yang tidak bisa mendatangkan barang bukti yang bisa menghapus hukuman zina darinya.
3.       Pelaku tidak menarik pengakuannya sampai hukuman ditetapkan padanya.
Mengenai cara pelaksanaan hukuman bagi pezina dapat dibagi dua yaitu, hukuman bagi pezina muhshan dan ghairu muhshan. Bagi pelaku zina muhshan cukup dibuatkan galian di tanah dengan kedalaman hingga dadanya, kemudian ia dimasukkan ke dalamnya dan dirajam dengan batu hingga meninggal dunia disaksikan imam atau wakilnya dan sekelompok kaum muslimin minimal empat orang sebagaimana tertulis dalam surat An Nur ayat 2. [10] Sedangakan hukuman bagi pezina ghaira muhshan cukup dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun lamanya.
C.  Hukuman Bagi Pezina Dalam Perspektif Hadis
a.  Teks Hadis
Hadis sebagai sumber kedua dalam hukum Islam mempunyai posisi sebagai penjelas dari apa yang ada dalam Al Qur'an. Berkaitan dengan hukuman bagi pezina, diatas telah dijelaskan bahwa hukum jilid /dera telah disebutkan dalam surat  an-Nur ayat 2, sedangkan hukum rajam bersumber dari hadis Nabi yang masih diperdebatkan keautentikannya. Untuk memperjelas, maka dalam makalah ini penulis mencoba menelusuri satu hadis saja dari beberapa hadis berkaitan dengan hukuman bagi pezina yang bersumber dari hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yaitu :  [11]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ صَدَقَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ فَقَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا فِي أَهْلِ هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ وَإِنِّي سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْمِائَةُ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَيَا أُنَيْسُ اغْدُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَسَلْهَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
b.   Pemaknaan Secara Tekstual
Arti hadis diatas : " ….. Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhani berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. seraya berkata : Saya tidak meminta kepadamu, kecuali engkau putuskan antara kami berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an) lalu lawannya berdiri, dan dia lebih mengerti dari laki-laki itu, lalu dia berkata ; Dia benar. Hukumlah antara kami berdasarkan Kitabullah. Izinkanlah aku untuk berkata, ya, Rasulullah Saw, lalu Nabi saw bersabda : Katakanlah (terangkanlah), lalu laki-laki itu berkata : Sesungguhnya anakkku menjadi buruh pada pada keluarga laki-laki ini, lalu ia berzina dengan istrinya ; lalu saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang pelayan, setelah kutanyakan beberapa orang ulama, lalu mereka memberitahukan kepadaku, bahwa hukuman atas anakku berupa cambuk (dera) seratuskali dan pengasingan selama setahun.  Dan sesungguhnya hukuman atas istri laki-laki itu adalah rajam. Lalu Nabi bersabda : Demi Allah yang jiwaku ditangannya sungguh aku putuskan antara kamu berdua berdasarkan kitabullah ; seratus kambing dan seorang pelayan kembali kepadamu, dan hukuman atas anakmu dera seratuskali dan pengasingan setahun. Wahai Unais, pergilah engkau kepada istri laki-laki itu, lalu tanyakan padanya, jika ia mengakui perbuatannya, maka rajamlah dia setelah ia mengakuinya, maka Unais merajamnya ".
c.  Kualitas Hadis
Hadis diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan kualitas hadis tersebut termasuk katagori hadis shahih. [12]  Mengenai  matan hadis diatas yang berkaitan dengan hukuman jilid (dera) dan rajam bagi pezina berdasarkan penelusuran penulis lewat bantuan CD ROOM Mausua'ah                    al Hadis as Syarifah [13]  dapat ditemukan dalam hadis-hadis lain yang terdapat dalam  ;
1.       Shahih Bukhari, bab hudud, hadis nomer 6353
2.       Shahih Muslim, bab hudud, hadis nomer 3210
3.       Sunan at Turmidzi, bab hudud, hadis nomer 1353
4.       Sunan Abu Dawud, bab hudud, hadis nomer 3855
5.       Sunan Ibnu Majah, bab hudud, hadis nomer  2539
6.       Sunan an Nasaie, bab adabul qudhod, nomer hadis 5315
7.       Sunan ad Darimi, bab hudud, hadis nomer 2214
8.       Musnad Imam Malik, bab hudud, hadis nomer 1292
9.       Musnad Imam Ahmad, bab hudud, hadis nomer16423
Berikut  keterangan lebih jelas beberapa matan dari hadis tersebut diatas yaitu :
a.       Shahih Bukhari, bab hudud, hadis nomer 6353
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ قَالَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَامَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ فَقَالَ صَدَقَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ فَقَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا فِي أَهْلِ هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ وَإِنِّي سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْمِائَةُ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَيَا أُنَيْسُ اغْدُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَسَلْهَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا

b.       Shahih Muslim, bab hudud, hadis nomer 3210
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ ح و حَدَّثَنَاه مُحَمَّدُ بْنُ رُمْحٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُمَا قَالَا إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَعْرَابِ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ لِي بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَالَ الْخَصْمُ الْآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ نَعَمْ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ وَإِنِّي أُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَوَلِيدَةٍ فَسَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْوَلِيدَةُ وَالْغَنَمُ رَدٌّ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا قَالَ فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَأَمَرَ بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرُجِمَتْ و حَدَّثَنَا أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ ح و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ صَالِحٍ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ مَعْمَرٍ كُلُّهُمْ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ
c.       Sunan at Turmidzi, bab hudud, hadis nomer 1353
عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَشِبْلٍ قَالُوا كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَكَذَا رَوَى ابْنُ عُيَيْنَةَ الْحَدِيثَيْنِ جَمِيعًا عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَشِبْلٍ وَحَدِيثُ ابْنِ عُيَيْنَةَ وَهِمَ فِيهِ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ أَدْخَلَ حَدِيثًا فِي حَدِيثٍ وَالصَّحِيحُ مَا رَوَى مُحَمَّدُ بْنُ الْوَلِيدِ الزُّبَيْدِيُّ وَيُونُسُ بْنُ عُبَيْدٍ وَابْنُ أَخِي الزُّهْرِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا زَنَتْ الْأَمَةُ فَاجْلِدُوهَا وَالزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ شِبْلِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ الْأَوْسِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا زَنَتْ الْأَمَةُ وَهَذَا الصَّحِيحُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَشِبْلُ بْنُ خَالِدٍ لَمْ يُدْرِكْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا رَوَى شِبْلٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَالِكٍ الْأَوْسِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهَذَا الصَّحِيحُ وَحَدِيثُ ابْنِ عُيَيْنَةَ غَيْرُ مَحْفُوظٍ وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ شِبْلُ بْنُ حَامِدٍ وَهُوَ خَطَأٌ إِنَّمَا هُوَ شِبْلُ بْنُ خَالِدٍ وَيُقَالُ أَيْضًا شِبْلُ بْنُ خُلَيْدٍ

d.       Sunan Abu Dawud, bab hudud, hadis nomer 3855
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ وَكَانَ أَفْقَهَهُمَا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي أَنْ أَتَكَلَّمَ قَالَ تَكَلَّمْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا وَالْعَسِيفُ الْأَجِيرُ فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَبِجَارِيَةٍ لِي ثُمَّ إِنِّي سَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَإِنَّمَا الرَّجْمُ عَلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ أَمَّا غَنَمُكَ وَجَارِيَتُكَ فَرَدٌّ إِلَيْكَ وَجَلَدَ ابْنَهُ مِائَةً وَغَرَّبَهُ عَامًا وَأَمَرَ أُنَيْسًا الْأَسْلَمِيَّ أَنْ يَأْتِيَ امْرَأَةَ الْآخَرِ فَإِنْ اعْتَرَفَتْ رَجَمَهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
e.       Sunan Ibnu Majah, bab hudud, hadis nomer  2539
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَهِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَشِبْلٍ قَالُوا كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ لَمَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَالَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي حَتَّى أَقُولَ قَالَ قُلْ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا وَإِنَّهُ زَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ فَسَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأُخْبِرْتُ أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْمِائَةُ الشَّاةُ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا قَالَ هِشَامٌ فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
f.         Sunan an Nasaie, bab adabul qudhod, nomer hadis 5315
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُهُمَا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي فِي أَنْ أَتَكَلَّمَ قَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَبِجَارِيَةٍ لِي ثُمَّ إِنِّي سَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَإِنَّمَا الرَّجْمُ عَلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ أَمَّا غَنَمُكَ وَجَارِيَتُكَ فَرَدٌّ إِلَيْكَ وَجَلَدَ ابْنَهُ مِائَةً وَغَرَّبَهُ عَامًا وَأَمَرَ أُنَيْسًا أَنْ يَأْتِيَ امْرَأَةَ الْآخَرِ فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا
g.       Sunan ad Darimi, bab hudud, hadis nomer 2214
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ وَشِبْلٍ قَالُوا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْشُدُكَ اللَّهَ إِلَّا قَضَيْتَ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَالَ خَصْمُهُ وَكَانَ أَفْقَهَ مِنْهُ صَدَقَ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي يَا رَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْ فَقَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى أَهْلِ هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَخَادِمٍ وَإِنِّي سَأَلْتُ رِجَالًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ فَقَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ الْمِائَةُ شَاةٍ وَالْخَادِمُ رَدٌّ عَلَيْكَ وَعَلَى ابْنِكَ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَيَا أُنَيْسُ اغْدُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَسَلْهَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا


h.       Musnad Imam Malik, bab hudud, hadis nomer 1292
حَدَّثَنِي مَالِك عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُمَا أَخْبَرَاهُ أَنَّ رَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَحَدُهُمَا يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَقَالَ الْآخَرُ وَهُوَ أَفْقَهُهُمَا أَجَلْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ وَأْذَنْ لِي فِي أَنْ أَتَكَلَّمَ قَالَ تَكَلَّمْ فَقَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِمِائَةِ شَاةٍ وَبِجَارِيَةٍ لِي ثُمَّ إِنِّي سَأَلْتُ أَهْلَ الْعِلْمِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ مَا عَلَى ابْنِي جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ وَأَخْبَرُونِي أَنَّمَا الرَّجْمُ عَلَى امْرَأَتِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ أَمَّا غَنَمُكَ وَجَارِيَتُكَ فَرَدٌّ عَلَيْكَ وَجَلَدَ ابْنَهُ مِائَةً وَغَرَّبَهُ عَامًا وَأَمَرَ أُنَيْسًا الْأَسْلَمِيَّ أَنْ يَأْتِيَ امْرَأَةَ الْآخَرِ فَإِنْ اعْتَرَفَتْ رَجَمَهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا قَالَ مَالِك وَالْعَسِيفُ الْأَجِيرُ
i.         Musnad Imam Ahmad, bab hudud, hadis nomer16423
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَزَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ ابْنِي كَانَ عَسِيفًا عَلَى هَذَا فَزَنَى بِامْرَأَتِهِ فَأَخْبَرُونِي أَنَّ عَلَى ابْنِي الرَّجْمَ فَافْتَدَيْتُ مِنْهُ بِوَلِيدَةٍ وَبِمِائَةِ شَاةٍ ثُمَّ أَخْبَرَنِي أَهْلُ الْعِلْمِ أَنَّ عَلَى ابْنِي جَلْدَ مِائَةٍ وَتَغْرِيبَ عَامٍ وَأَنَّ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا الرَّجْمَ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ فَاقْضِ بَيْنَنَا بِكِتَابِ اللَّهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَأَقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ اللَّهِ أَمَّا الْغَنَمُ وَالْوَلِيدَةُ فَرَدٌّ عَلَيْكَ وَأَمَّا ابْنُكَ فَعَلَيْهِ جَلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيبُ عَامٍ ثُمَّ قَالَ لِرَجُلٍ مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهُ أُنَيْسٌ قُمْ يَا أُنَيْسُ فَاسْأَلْ امْرَأَةَ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا
         Dari hadis-hadis yang telah diriwayatkan oleh sembilan penyusun kitab hadis sebagaimana yang telah disebutkan diatas, ternyata mempunyai jalur sanad yang berbeda-beda dalam periwayatannya. Maka untuk meringkas pembahasan sanad hadis berkaitan dengan  hukum jilid dan rajam bagi pezina, dalam kajian ini penulis hanya  akan meneliti kualitas sanad hadis  dari jalur Imam Bukhari saja, sekedar munguatkan apakah para perawi hadis tersebut dapat digolongkan tsiqah dalam meriwayatkan hadis tersebut dan tidak cacat menurut ilmu hadis, sehingga hadis tersebut dapat diterima oleh masyarakat dalam hal periwayatannya.
            Untuk membuktikan hal tersebut, penulis berusaha mengecek lewat Kitab Tahzib at Tahzib karya Imam  al-Hafidz Syekh al-Islam Syihabuddin Ahmad bin Afi bin Hajar al-Asqalani, dan Tarikh Tsiqah oleh Al-Ajali. Dan berikut jalur sanad hadis yang penulis  ambil dari jalur Imam Bukhari saja, yaitu :
1.  Abu Hurairah (Wafat 59 th. )
Nama lengkapnya Abdurrahman bin shohr bin ghanam bin Abdillah. Nama panggilannya Abu Hurairah. Ia lahir di Medinah tahun 21 sebelum hijrah (kira-kira tahun 602 H).[14] Ia adalah seorang periwayat hadis yang paling banyak meriwayatkan hadis Nabi, di samping Abdullah bin Umar, Anas bin Malik dalan lain sebagainya.
Dalam  menyampaikan hadis Nabi, ia mengawali dengan kata-kata "Qola Rasulullah Saw." Dengan kata-kata tersebut memberi kemungkinan bahwa ia barangkali menerima hadis langsung dari Nabi, atau menerima dari perantaraan para sahabat Nabi.. [15]  Dan diantara yang meriwayatkan hadis darinya  adalah  Ubaidillah bin Abdillah bin utbah,  Atho' bin Yazid Al-Laiys, Ubaidah bin sufyan al-Hadromi.
Adapun penilaian terhadap Abu Hurairah, ia  termasuk tsiqah dalam periwayatan hadis seperti kata Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Abu Hurairah khairun minni wa a'lamu dalam hal hadis.


2.  Ubaidillah bin Abdillah  (Wafat th. 95 H)
Nama  lengkapnya adalah Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas'ud. Ia banyak meriwayatkan hadis dari ayahnya Abdullah bin Mas'ud, Umar bin Yasir, Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, dan lain-lainnya. Dan diantara mereka yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah  Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah, Muhammad bin Kaab bin Malik, Musa bin Hajr dll.  
Adapun pendapat ulama tentang Ubaidillah bin Abdillah, munurut al Waqidi ia termasuk orang yang alim dan tsiqah dalam meriwayatkan banyak hadis.
3.  Muhammad bin Muslim (Wafat th. 124 H).
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Shihab. Nama panggilannya Abu Bakar. Ia lahir di Medinah dan termasuk para tabiin pertengahan  Ia pernah meriwatkan hadis dari Ubaidillah bin Abdillah bin Utbah bin Mas'ud,  Ubaidillah bin Abdillah bin Tsa'labah, Ubaidillah bin Abdillah bin Tsauri dll. Adpun mereka yang pernah meriwayatkan hadis darinya antara lain. Sufyan bin Uyainah bin Abi Imron, Sufyan bin Said bin Masrun, Sulaiman bin Arqam. Ia wafat pada tahun 124 H.
4.  Sufyan bin Uyainan (Wafat 198 H)
Nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imron Maimun Al Halaly. Nama panggilannya Abu Muhammad lahir di Kufah dan menurut al Waqidi ia wafat di Marwah pada hari sabtu bulan Rajab tahun 198 H. Ia termasuk tabiin pertengahan dan telah meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Shihab, Mushab bin Salim, Muammar bin Rasyid dll. Adapum mereka yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah Muhammad bin Yusuf,  Abdullah bin Abi Husain, Ibrahim bin Dinar, Ahmad bin Tsabit, dll.
Adapun pendapat ulama tentang Sufyan bin Uyainah, menurut Ibnu Wahhab ia termasuk orang yang mengerti Al Qur'an dan Menurut Al Ajali ia termasuk tsiqah dalam meriwayatkan hadis.
5.  Muhammad bin Yusuf 
Nama lengkapnya Muhammad bin Yusuf.  Nama panggilannya Abu Ahmad, ia tinggal di bukhara. Dan termasuk tabiin tabiin. Ia meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah bin Abi Imron Maimun, Sofyan bin Said bin Masruq, Himad bin Usamah bin Zaid dll. Adapun diantara murid yang pernah meriwayatkan hadis darinya adalah salah seorang guru Imam Bukhori. Adapun pendapat ulama tentang Muhammd bin Yusuf, Menurut Hilal ia termasuk tsiqah dalam periwayatn hadis.
            Dari penjelasan diatas, dapatlah penulis simpulkan bahwa para perawi hadis tentang hukuman jilid dan rajam bagi pezina yang diambil dari jalur Imam Bukhari, ternyata ada keterkaitan alias pertemuan antara guru dan murid. Hal ini dapat dilihat dari data wafatnya dan kesinambungan dalam periwayatan hadis antara guru dan murid. Oleh karena itu, hadis yang menjelaskan adanya hukuman jilid dan rajam yang sanadnya diambil dari jalur Imam bukhori bisa dikatagorikan hadis shahih.
d.   Konteks Historis Mikro dan makro
      1.  Konteks Historis Mikro
Mengenai konteks historis mikro hadis tentang hukuman jilid dan rajam bagi pezina, dapat diketahui dari matan hadis tersebut, dimana munculnya hadis tersebut dilatarbelakangi adanya pengaduan seorang laki-laki kepada Rasulullah yang meminta dari beliau agar memberikan kepastian hukum berdasarkan kitabullah (hukum Al-Qur'an) berkaitan dengan perbuatan anaknya (sebagai buruh) yang telah berzina dengan istri majikannya. Dan ia telah menebusnya dengan seratus kambing dan seorang pelayan. Lalu Rasulullah memberikan hukuman kepada anak laki-lakinya berupa dera (cambukan) seratus kali dan pengasingan setahun (karena statusnya belum nikah) dan istri tuannya berupa rajam (karena statusnya sudah nikah) berdasarkan perintah Nabi kepada Unais. 
Adapun pelajaran yang terkandung dalam hadis tersebut yaitu ; [16]
a.        Semua putusan hukuman harus berdasarkan Al Qur'an dan Hadis
b.       Putusan hukuman yang tidak sesuai dengan Al Qur'an  dan Hadis   tidak berlaku.
c.       Hukuman atas pezina ghairu muhshan, dera seratus kali dan pengasingan (pembuangan) selama setahun.
d.      Hukuman atas pezina muhshan adalah rajam
e.       Tidak boleh ada penyuapan dan penebusan dalam hukuman 
2.  Konteks Historis Makro
Mengenai konteks historis makro munculnya hukuman jilid dan rajam,  secara garis besar hukuman jilid dan rajam telah ada sebelum Nabi Muhammad lahir, yang merupakan  bagian dari tradisi kaum Yahudi. Dan pada awal Islam  sanksi perzinahan mengalami tahapan-tahapan yakni,    berupa kurungan dalam rumah bagi wanita yang telah kawin dan bagi gadis dicerca, sedang bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca dihadapan khalayak ramai (surat an-Nisa' ayat 15-16), tahap berikutnya hukuman dera (surat an-Nur ayat 2),  Sementara hukuman rajam bersumber dari hadis Nabi. [17] Dan sesudah Nabi Muhammad wafat  hukum jilid dan rajam  bagi pezina tetap dilaksanakan oleh para sahabat tanpa pandang status sosial di masyarakat. Hal itu terbukti terhadap apa yang dialami oleh Abi Syamlah  (Putra kedua Umar bin Khattab) yang dicambuk seratus kali sampai meninggal setelah terbukti melakukan perzinahan kepada seorang wanita Yahudi  sampai hamil  saat ia dalam keadaan mabuk setelah meminim anggur. [18]  
e.   Ide Dasar
Ide dasar munculnya hukumaan julid dan rajam bagi pezina berdasarkan hadis Nabi sebagaimana termaktub diatas yakni sebagai upaya dan antisipasi Nabi  kepada umatnya agar bisa menjaga kehormatan/kesucian diri dan menjaga keturunan yang sah secara hukum agama, dengan benar-benar menjauhi perbuatan zina yang dalam Al-Qur'an termasuk perbuatan fahisyah (keji), dan sangsi tersebut sebagai bentuk tindakan preventif / pemberian efek jera bagi sang pelaku.  Sebagai solusi agar tidak berbuat zina, Rasulullah menganjurkan umatnya untuk menikah atau berpuasa. 
D. Polemik Seputar Hukuman Jilid dan Rajam Bagi Pezina
            Pada dasarnya hukum Islam tidak hanya berfungsi untuk mendapatkan kedaulatan, tetapi juga berfungsi untuk proses pendidikan, dan di dalam Islam sendiri terkandung nilai-nilai edukatif yang sangat tinggi. Berangkat dari situlah dalam proses hukum, Islam selalu melibatkan masyarakat dalam pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana, seperti pemberian sanksi dan unsur-unsur negatif perbuatan zina. Hal ini agar masyarakat sadar bahwa zina adalah tindak pidana yang tercela dan menimbulkan dampak yang besar di masyarakat, maka dari itu, jelas bahwa hukum Islam tidak hanya bermanfaat terhadap pelaku akan tetapi juga bermanfaat terhadap masyarakat.
            Setelah mengetahui tinjauan hadis mengenai hukuman bagi pezina, berikut penulis paparkan juga perbedaan pandangan ulama mengenai hal tersebut yaitu :

1.       Masalah Hukuman Jilid dan Pengasingan
Para ulama telah sepakat, hukuman bagi pezina ghoiru muhsan di dera atau dijilit seratus kali, hal itu berdasarkan berdasarkan firman Allah pada surah an-Nur ayat 2.  Meskipun para ulama’ sudah sepakat atas wajibnya menghukum pelaku zina, tetapi kebanyakan para ulama’ juga masih terjadi perbedaan mengenai penambahan hukuman pengasingan selama setahun. Perbedaan pendapat dikalangan ulama tersebut antara lain :  [19]
a.       Menurut pendapat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal hukuman dera dibersamakan dengan hukuman pengasingan selama satu tahun. Hal ini didasarkan oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan Zaid ibn Khalid.
b.      Menurut Imam Malik dan Auza’i, hukuman pengasingan hanya berlaku bagi jejaka yang merdeka, tidak berlaku bagi wanita. Wanita merdeka tidak dikenakan hukuman buang, sebab merupakan aurat yang harus disembunyikan atau ditutupi.
c.       Menurut Imam Abu Hanifah, hukuman buang tidak mutlak seperti hukuman dera. Pembuangan atau pengasingan bisa saja dijatuhkan manakala dipandang perlu, tetapi jangka waktunya ditetapkan menurut para hakim itu sendiri.
Hukuman jilid dijatuhkan dalam rangka memerangi faktor psikologis yang mendorong diperbuatnya jarimah zina, yaitu keinginan untuk mendapatkan kesenangan. Faktor psikologis yang menyebabkan seseorang meninggalkan keinginan mengulang lagi karena adanya ancaman rasa sakit yaitu seratus jilid. Sehingga mendorongnya untuk berfikif kembali mengulangi perbuatan tersebut [20]
2.      Pro Kontra Soal Hukum Rajam
Hukum rajam adalah sangsi hukum yang dianggap tidak berkeprimanusiaan oleh kalangan masyarakat, karena bertujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang,  dengan jalan melemparinya dengan batu sampai mati.. Eksekusi ini dijatuhkan kepada pelaku zina muhsan, baik laki-laki maupun perempuan. Seorang pelaku zina muhsan yaitu: seorang mukallaf, berakal, waras, baligh. Ia adalah seorang yang merdeka bukan hamba sahaya, dan ia sudah terikat dalam perkawinan atau sudah pernah merasakan persetubuhan dalam ikatan perkawinan. [21]
Hukum rajam memang tidak tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi sebagian fuqaha’ setuju dengan hukuman rajam, dengan dasar hadis Nabi sebagai sandaran hukum. [22] Namun sebagian Fuqaha’ yang lain menyatakan tidak setuju dengan hukuman rajam, karena mereka  mengganggap bahwa hadis tersebut tidak cukup sebagai dasar hukum. Oleh karena itu hukuman rajam menjadi pro dan kontra dikalangan fuqaha’. Sebagian fuqaha’ yang tidak setuju dengan hukuman rajam adalah khawarij, sebagian ulama’Syi’ah dan sebagian mu’tazilah. [23]
Munculnya perbedaan pandangan terhadap hukuman rajam berpangkal pada: pertama, perbedaan pemahaman atas kandungan hukum pada surah an-Nur ayat 2. Kedua, perbedaan penilaian terhadap sah dan tidaknya penetapan hukuman rajam berdasarkan hadis yang tidak kuat. Ketiga, keyakinan oleh sementara pihak yang berpendapat bahwa hukuman rajam pernah diterapkan oleh Nabi adalah terjadi sebelum turunnya surah an-Nur ayat 2, dan sanksi rajam tersebut tidak berlaku lagi setelah turunnya surah an-Nur ayat 2..
Menurut Anwar Haryono, bahwa rajam pertama kali dilakukan oleh Nabi adalah dijatuhkan terhadap orang Yahudi berdasarkan kitab Taurat. Keputusan tersebut kemudian menjadi preseden didalam hukum, oleh karena itu siapa yang berbuat zina dijatuhi hukuman rajam, begitu juga diterapkan terhadap orang Islam. [24]
Demikian juga halnya dengan pendapat Hasbi ash-Shiddiqy, ia menarik kesimpulan bahwa hadist yang diriwayatkan dari Nabi, baik qouli maupun fi’li mengenai rajam berlaku atau diturunkan sebelum surah an-Nur ayat 1-7 dan sebelum surah an-Nisa’ ayat 25, maka hukum yang muhkam yang berlaku sekarang adalah hukum jilid.[25] Sementara Hamka berpendapat bahwa rajam tidak tersebut dalam Al-Qur’an, tetapi hal tersebut telah dilakukan Rasul dan dijadikan sandaran hukum oleh para perawi seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Said Al-khudri dan Abu Hurairoh.[26]
Terlepas adanya perbedaan pendapat mengenai hukuman rajam, penulis menganggap bahwa pada dasarnya Rasulullah tidak pernah mensyari’ahkan suatu hukum yang bertentangan dengan Al-Qur’an. Karena hukum-hukum yang ditetapkan Rasulullah tidak melampui dari tiga bidang berikut ini:
1.      Taqrir, yaitu menetapkan hukum yang telah disyari’atkan al-Qur’an
2.      Tahyin, yaitu menjelaskan hukum yang telah disayri’ahkan al-Qur’an
3.      Tashri’ yaitu mengundangkan hukum terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan dalam al-Qur’an.
E. Relevansi Hukuman Jilid dan Rajam Bagi Pezina
Walaupun hukum jilid dan rajam belum menjadi kesepakatan pendapat ulama tentang eksistensinya sebagai sangsi hukum yang harus ditegakkan, namun apabila diperhatikan fungsi Hadis Nabi sebagai pembawa hukum baru yang tidak ditetapkan dalam Al Qur'an, maka tidak sepantasnya kita menolak keberadaan hukum jilid dan rajam tersebut, karena ketentuan yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sumber hukum kedua tidak boleh diabaikan. Dan dibalik pengakuan terhadap eksistensi hukum rajam, juga diperlukan pengkajian serius, sebab penetapan eksekusi jilid dan rajam harus memenuhi syarat-syarat tertentu terutama adanya empat orang saksi yang meyakinkan akan  perbuatan tersebut.[27]
Namun perlu diperhatikan juga, bagi penulis sendiri hukum rajam atau dera seratus kali bagi pezina bukanlah suatu kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur dengan teorinya halah al-had al-a'la (Batas maksimal ketentuan hukum Allah), yakni Hakim dapat mempelajari kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, sehingga ia dapat menetakan apakah pelaku kejahatan tersebut pantas diberikan hukuman maksimal, ayau cukup dengan hukuman lain yang lebih ringan.[28]  Dan  hukum rajam (dera) bisa dipahami sebagai hukum tertinggi dan adanya upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut dapat dibenarkan. Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui oleh orang lain, Islam memberikan peluang terhadapnya untuk bertaubat. Sebagaimana yang terjadi pada diri Ma'iz bin Malik. [29]
Penulis sendiri sependapat dengan Kang Jalaluddin Rahmat yang berpendapat bahwa hukum rajam mempunyai fungsi sebagai penjera yang dalam konteks masyarakat modern dapat diganti dengan hukuman lain. Namun disisi lain hukum Islam harus diberlakukan secara substansial dengan tidak meninggalkan ruh syariah. Senada dengan pernyataan diatas menurutnya dalam memahami hukum Islam , teori gradasi layak dipertimbangkan, demikian juga dengan prinsip nasikh wa mansukh, serta kondisi masyarakat sebagai syarat mutlak dalam pemberlakuan sistem hukum. [30]
Penulis juga sependapat dengan Dr. Yusuf Qardawi yang menyatakan bahwa sangsi perzinahan akan efektif diberlakukan sebagaimana yang diinginkan oleh nas jika masyarakat sempurna memahami agamanya. Sebaliknya, masyarakat yang lemah imannya, lingkungannya yang tidak mendukung, seperti banyaknya wanita mempertontonkan kecantikannnya, beredarnya film-film porno, adegan perzinahan terbuka lebar dimana-mana, kondisi seperti ini tidak efektif untuk memberlakukan hukum secara difinitif. [31]         
Dari berbagai pendapat diatas, penulis menyadari bahwa hukuman jilid dan rajam bagi pezina harus diakui sebagai hukum ilahi yang berlandaskan Al Qur'an dan Hadis Nabi yang harus ditegakkan dalam pelaksanaan. Namun penulis pun menyadari bahwa relevansi hukuman tersebut dalam konteks masa kini masih perlu ditinjau ulang. Dalam hal ini penulis sependapat dengan Dr. Yusuf Qordawi bahwa penerapannya harus kontekstual dengan kondisi masyarakat, dalam artian harus melihat berbagai aspek maslahat dan mudharatnya, dan harus diingat pula bahwa hukuman tersebut harus mempunyai fungsi penjera, dalam hal ini penulis sependapat juga dengan Kang Jalaluddin Rahmat hukum jilid dan rajam saya kira bisa  diganti dengan hukuman lain tanpa meninggalkan subtansi yang ada.
F. Hukuman Bagi Pezina Dalam Konteks Hukum Indonesia
Sebelum menentukan bentuk hukuman  yang relevan bagi pezina agar menimbulkan efek jera dalam konteks masa kini, khususnya di Indonesia. Maka    penulis terlebih dahulu akan memberkan gambaran secara umum perbandingan masalah hukuman bagi pezina sebagaimana yang terdapat dalam RUU KUHP dengan hukum pidana Islam sebagai dasar pemahaman, yaitu ;
1.  Dalam RUU KUHP tahun 2005  zina masuk dalam delik kesusilaan pasal 484 yang berbunyi :
a.       Dipidana dengan lima tahun penjara apabila :
1)      Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan    dengan perempuan yang bukan istrinya;
2)      Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
3)      Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
4)      Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan.
5)      Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
b.      Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan   penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar.
c.       Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku   ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28.
d.      Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.[32]
2.       Dalam hukum Islam bentuk hukuman zina sangatlah jelas, yaitu hukuman dera seratus kali dan pengasingan bagi pezina yang belum kawin dan hukuman rajam bagi pezina yang sudah kawin.
Dengan melihat perbedaan antara RUU KUHP dan hukum Islam, maka pada dasarnya hukum Islam lebih memberikan penekanan terhadap masalah tersebut, karena dampak dari perbuatan tersebut sangat besar bagi pelaku dan masyarakat. Islam memberikan hukuman yang berat dengan tujuan supaya orang akan merasa jera dan takut melakukan tindak pidana tersebut.
Perbuatan zina dimasukkan ke dalam Jinayah atau Jarimah hudud adalah dalam rangka memelihara keturunan dan kehormatan keluarga. Dengan berbuat zina keturunan menjadi tidak jelas, selain itu juga mengakibatkan rusaknya rumah tangga serta putusnya tali perkawinan. Lebih lanjut menurut Sayyid Sabiq, bahwa perbuatan zina adalah satu diantara yang mengakibatkan kerusakan hubungan sosial dan menyebabkan menularnya penyakit yang berbahaya dan bisa mendorong manusia untuk membujang dan praktik hidup bersama tanpa nikah.
Dari uraian diatas, menurut pendapat penulis sebelum menerapkan hukuman yang tepat bagi pezina dalam konteks hukum Indonesia  yang belum menerapkan sistem Negara Islam,  pemerintah Indonesia diharapkan melakukan lagkah-langkah  preventif terlebih dahulu yang bisa menjauhkan masyarakat dari perbuatan zina, antara lain dengan cara :
1.       Menutup lokalisasi dan melakukan progam pemberdayaan bagi para WTS
2.       Menindak tegas kegiatan-kegiatan  yang mengandung unsur pornografi, terutama kepada media cetak atau elektronik dll. 
3.       Melakukan pembinaan keagamaan yang lebih intensif  dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan sebagai upaya menjaga iman dan moral masyarakat.
4.       Membuat dan merevisi undang-undang yang ada,  dengan berisi sangsi yang lebih tegas bagi pelaku perzinaan dan tidak memberikan multitafsir sehingga memberikan celah untuk melegalkan perzinahan, antara lain mengadopsi hukum Islam, sebagai hukum alternatif.  
            Mengingat  Indonesia Negara Pancasila dan bukan Negara Islam, dimana masyarakatnya cukup pluralis, maka hukum Islam belum dapat diterapkan secara komprehensif. Dan kalau ditanya hukuman apa yang paling tepat bagi pezina agar menimbulkan efek jera bagi masyarakat Indonesia? , penulis dengan tegas menjawab, hukuman jilid dan rajam, dengan catatan jika Syariat Islam telah ditegakkan di bumi Indonesia. Selama hal itu belum berlaku, maka sebagai langkah awal teori gradasi (sangsi bertahap) yang penulis pilih yaitu :
1.       Dipenjara  terlebih dahulu selama 5 tahun sesuai dengan undang-undang yang ada, dengan harapan ada efek jera dan proses penyadaran. Dengan hukuman penjara yang cukup lama, diharapkan pelaku akan berfikir ulang untuk berbuat zina.
2.       Jika hukuman penjara belum menimbulkan efek jera, maka menurut hemat penulis hukum Islam (jilid dan rajam), perlu diterapkan dan dipertimbangkan sebagai hukuman alternatif dan hukuman terberat agar benar-benar efektif untuk tidak memberikan ruang perzinaan di Indonesia. Karena penulis melihat, bahwa untuk mencegah perzinaan di Indonesia saat ini masih setengah hati alias tidak serius. Disatu sisi ada undang-undang hukuman perzinahan (walau gak tegas), di sisi lain kondisi dan kegiatan-kegitan yang melegalkan perzinahan terbuka lebar. Jadi bagi penulis ini sebuah dilema luar biasa. Disinilah diuji ketegasan pemerintah yang harus didukung oleh semua unsur masyarakat untuk bersama-sama tidak memberi ruang pada prilaku perzinahan.
Sebagai catatan dari penulis,  bahwa  kedua hukuman diatas ketika diterapkan harus benar-benar memenuhi unsur-unsur keadilan masyarakat. Artinya jangan sampai ada kedholiman pemerintah dengan bertindak diskriminatif, yakni disatu sisi menghukum pelaku perzinaan dengan sangsi yang tegas, sisi lain ruang dan fazilitas untuk melakukan perzinahan terbuka lebar. Maka hukuman tersebut tidak akan menjadi efektif  antara harapan dan kenyataan.
G. Penutup
            Dari uraian singkat mengenai hukuman jilid dan rajam bagi pezina dalam perspektif hadis diatas, dapatlah penulis simpulkan yaitu :
  1. Bahwa Perzinahan merupakan perbuatan tercela dan termasuk dalam kelompok dosa besar yang harus dihindari. Dan Islam sendiri telah memberikan solusi berupa jalan pernikahan atau dengan jalan berpuasa.
  2. Dalam hukum Islam zina dibagi menjadi dua macam, yaitu pelaku zina muhsan (terikat perkawinan) dan sangsinya berupa rajam dan zina ghoiru muhsan (tidak terikat perkawinan) dan sangsinya berupa dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun.
  3. Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan tentang hudud (hukuman) bagi pezina termasuk kataqori hadis shohih dengan sanad yang tsiqah pula karena ada keterkaitan antara guru dan murid. Dan sababul wurudnya berupa laporan sahabat yang meminta hukuman berdasarkan kitabullah tentang perbuatan anaknya yang berzina dengan istri tuannya, yang berujung pada perintah jilid dan rajam sebagai bentuk penegakan hukum Allah.
  4. Penegakan hukum jilid dan rajam bagi pezina mengandung hikmah dan manfaat yang besar sebagai bentuk tindakan preventif dari rusaknya moral umat dan memberikan dampak jera bagi pelakunya.
  5. Hukuman jilid dan rajam bagi pezina harus diakui sebagai hukum ilahi yang berdasarkan Al Qur'an dan Hadis Nabi yang harus ditegakkan dalam pelaksanaan. Namun relevansi hukuman tersebut dalam konteks masa kini masih perlu dikaji ulang dengan melihat kondisi masyarakat dengan  aspek maslahat dan mudharatnya, dan hukuman tersebut harus mempunyai fungsi penjera, dalam hal ini hukum jilid dan rajam bisa  digantikan dengan hukuman lain tanpa meninggalkan subtansi yang ada.
  6. Hukuman yang paling tepat yang bisa menimbulkan efek jera bagi pezina di Indonesia  yaitu  hukuman gradasi (hukuman bertahap) mengingat  Indonesia Negara Pancasila, bukan Negara Islam. Hukuman tersebut ; 1). Dipenjara selama 5 tahun sesuai dengan undang-undang yang ada  2). Dijilid dan rajam (menerapkan hukum Islam) sebagai hukuman alternatif  sebagai solusi terakhir, dengan tetap memperhatikan aspek keadilan masyarakat  dan efektifitas hukuman yang diterapkan. 
Demikian uraian singkat dari penulis berkaitan dengan hukuman jilid dan rajam dalam perspektif hadis, kurang lebihnya mohon maaf dan atas saran dan masukan dalam penyempurnaan makalah ini, penulis ucapkan terima kasih.





DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Muhammad, Hadis Tarbiyah III, Surabaya : Karya Abitama , 1997.
Abu Bakr Jabir Al- Jazairi, Ensiklopedi Muslim, Jakarta : Darul Falah, 2004.
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Bulan Bintang, 1990.
CD.ROOM  Mausu'ah al Hadis as Syarif , Global Islamic Software Company,
1991-1997, terbitan ke II.   
Hasby Ash-Siddiqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur, Jakarta: Bulan
               Bintang, 1965
………..  Ridjalul Hadis, Jogjakarta : Matahari Masa, 1970.           
Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XVIII, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982.
Imam Syafie, alih bahasa Baihaqi safiuddin, Hukum Al Qur'an, Surabaya: Bungkul Indah, 1994.
Jalaluddin Rahmat, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung: Mizan, 1996.
Makhrus Munajat, Dekunstruksi Hukum Pidana IslamJogjakarta : Logung
Pustaka, 2004.
Noer Wahidah, Pidana Mati dalam Hukum Pidana Islam, Surabaya : Al-Ikhlas,
               1994.
Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif  ke Pemaknaan Sosial, Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2004. 
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh Problem, Solusi, dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2003.   
Sa'dullah As Sa'idi, Hadis-Hadis Sekte, Jogjakarta:Pustaka Pelajar, 1996
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah  jilid 1X, Bandung: al-Ma’arif, 1995.
Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur'an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al Qur'an, Jakarta : Penamadani,2005.
Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
HUKUM JILID DAN RAJAM
BAGI PEZINA DALAM PERSPEKTIF HADIS



REVISI  MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Isu-Isu Aktual kontemporer Perspektif Al-Qur'an Dan Hadis
Dosen Pengampu : Dr. Nurun Najwah, M.Ag.

Oleh :
Muhammad Thohir, S.Sos.I
NIM : 07.213.516



KONSENTRASI STUDI AL-QUR'AN DAN AL HADIS
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
PASCA SARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
JOGJAKARTA
2008



 [1].  Makalah Mata  Kuliah Isu-Isu Aktual Kontemporer Perspektif Al-Qur'an dan Hadits Prodi AF/STH Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Dosen Pengampu Dr. Nurun Najwah, M.Ag. disampaikan pada hari Rabu, tanggal  8 Mei 2008.
[2]. Ahmad Rofiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 2004 ), hal. 161
[3]. Sebab-sebab tertentu disini dikarenakan ia belum menikah atau sudah menikah tetapi mencari kepuasan lain dengan jalan berzina. Maka dalam rangka mencegah dari berbuat zina,                     Al-Qur'an sendiri menganjurkan untuk selalu menjaga pandangan mata dan kemaluan dan dalam hadis Nabi pun  menganjurkan untuk berpuasa bagi pemuda yang belum mampu menikah.
[4]. Imam Syafii, alih bahasa Baihaqi Safiuddin, Hukum Al Qur'an As-Syafie dan Ijtihadnya, (Surabaya: Bungkul Indah, 1994), hal. 264.
[5]. Jarimah hudud disini sering diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sangsinya ditetapkan secara mutlak oleh Allah. Dan menurut jumhurul ulama jarimah hudud ada tujuh ; zina, qadzaf, sariqah, hirabah, riddah, al baghy, dan syurb khamr. Lihat, Mahrus Munajat, Dekunstruksi Hukum Pidana Islam, Jogjakarta : Logung Pustaka, 2004), HAL.95.
[6]. Ibid,  Mahrus Munajat, Dekunstruksi Hukum Pidana Islam, hal. 96
 4.  Abu Bakr Jabir Al- Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2004), hal. 692
 [8]. Noer Wahidah, Pidana Mati dalam Hukum Pidana Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1994),  hlm. 45         
[9] . Ibid, Abu Bakr Jabir Al- Jazairi, Ensiklopedi Muslim, hal. 693
[10]Lihat , Al Qur'an dan Terjemahannya, (Saudi Arabia: Hadiah Raja Fahd, 1971), hal. 543
[11]. Hadis ini penulis kutip dari  Abu Bakar Muhammad, Hadis Tarbiyah III, (Surabaya : Karya Abitama , 1997), hal. 162-163.
[12].  Kualitas hadis tersebut penulis katagorikan hadis shahih, setelah penulis melacak sanad dan matan dari hadis tersebut lewat bantuan CD.ROOM  Mausu'ah al Hadis as Syarif , (Global Islamic Software Company, 1991-1997), terbitan ke II.   
[13] .  CD.ROOM  Mausu'ah al Hadis as Syarif , (Global Islamic Software Company, 1991-1997), terbitan ke II.   

[14]. Lihat Hasbi Ash-Shiddiqi, Rijalul Hadis, (Jogjakarta: Matahari, 1970), hal. 9 
[15] . Sa'dullah As Sa'di, Hadis-Hadis Sekte, (Jogjakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal. 47-48
[16].  Ibid, Abu Bakar Muhammad, Hadis Tarbiyah III, hal. 164
[17].  Rasulullah telah merajam Maiz bin Malik yang telah mengaku berzina sampai empat kali, Rasulullah  juga menghukum janda yang  berzina dengan jaka dengan hukuman rajam bagi jandan dan hukum dera 100 kali bagi jaka. Ibid,  Mahrus Munajat, Dekunstruksi Hukum Pidana Islam, hal. 88-89
[18]. Zainuddin Ali, Pengantar Ilmu Hukum  Islam di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hal. 110-111 .
[19]. Pendapat para ulama tersebut dikutib dari Sayyid Sabiq, alih bahasa Muh. Nabhan Husain Fikih Sunnah  jilid 1X, (Bandung: al-Ma’arif, 1995), hlm.  95-99
[20].  Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 7
[21]. Umar Shihab, Kontekstualisasi Al Qur'an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al Qur'an, (Jakarta, Penamadani,2005), hal. 438
[22]. Dalam satu riwayat, hadis tersebut berisi tentang laporan Maiz bin Malik kepada Rasulullah yang menyatakan bahwa dirinya telah melakukan zina dan meminta hukuman atas perbuatannya. Namun Nabi selalu berpaling hingga terulang empat kali, dan barulah yang keempat kalinya beliau memutuskan rajam atas diri Maiz. Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu dawud dari Nu'aim bin Hazzal. Ibid. Umar Shihab, Kontekstualisasi Al Qur'an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al Qur'an, hal. 439   
[23]. Alasan mereka menolak hukum rajam ; pertama, Hukum Rajam dianggap paling berat diantara hukum yang ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam Al Qur'an. Kedua, Hukuman bagi hamba sahaya separuh dari orang merdeka, kalau rajam dianggap sebagai hukuman hukuman mati, apa ada hukuman separuh mati. Ketiga, hukum dera yang tertera dalam surat an Nur ayat 2 berlaku umum, yakni pezina muhsan dan ghairu muhsan. Sementara hadis Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah. Lihat, Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004). Hal. 100-102 
[24]. Ibid., Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Hal. 102-104
[25] Hasby Ash-Siddiqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur (Jakarta: Bulan Bintang, 1965),                hlm. 88.
[26]  Hamka, Tafsir al-Azhar, Jilid XVIII (Jakareta: Pustaka Panji Mas, 1982), hlm. 130.
[27]. Ibid, Umar Shihab, Kontekstualisasi Al Qur'an Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum Dalam Al Qur'an, hal. 440
[28]. Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi Menuju pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), hal. 112. 
[29]. Ibid, Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, hal. 105
[30]. Jalaluddin Rahmat, Islam dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1996), hal.16 
[31]. Ibid., Makhrus Munajat, hal. 104
[32] Pasal 484 Bagian ke enam delik kesusilaan RUU KUHP.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar