HUKUM IDEAL MENURUT AL-QUR’AN

Admin Thursday, December 16, 2010

Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia, hukum merupakan komponen penting demi tercipta teraturnya kehidupan. Hukum yang akan memberikan putusan-putusan dalam permasalahan manusia. Degan hukum, kehidupan manusia akan menjadi lebih teratur dan tertib.
Dalam sejarah umat manusia, berbagai aliran hukum telah diterapkan. Pada masa Nabi-Nabi terdahulu hukum yang diterapkan adalah hukum yang terkandung dalam risalahnya. Pada masa zaman romawi, hukum yang diterapkan adalah hukum romawi kuno yang dirumuskan oleh para ahli hukum masa itu. Pada zaman Islam lahir dan dibawa oleh Rasulullah, hukum yang diterapkan adalah aturan-atura yang terkandung dalam syariat Islam. Sebagai ideal teladan, pada masa peerintahan Nabi Saw, kehidupan umat Islam dapat dikatakan mulai tertata dengan baik. Kebiasaan-kebiasaan masa jahiliyah yang tidak baik dan merugikan, sedikt demi sedikit ditinggalkan. Hal-hal yang tidak manusiawi dan tidak adil, seperti kebiasaan membunuh bayi perempuan, tidak memberikan perempuan hak waris; bahkan menjadi barang warisan, secara bertahap dirubah oleh Islam. Pelan-pelan dengan penerapan hukum yang dibawa dalam risalah Islam, keadilan dapat tercipta di sana.
Akan tetapi, persoalan hukum akhirnya menjadi problem tersendiri yang rumit. Bangsa indonesia contohnya, dalam perjalanannya, perdebatan “mazhab” hukum apa yang akan dipakai menjadi hal yang cukup menyita energi para tokoh bangsa. Ada yang menganggap bahwa hukum yang ideal untuk diterapkan adalah “hukum Islam” sebagaimana yang ada dalam berbagai mazhab fiqih Islam. Di sisi lain penerapan hukum Islam tersebut dinilai cukup rumit dan bahkan ada yang menilai tidak manusiawi. Juga mengingat tidak hanya muslim yang menjadi warga negara, di sana terdapat berbagai etnis dan agama. Oleh karenanya hukum yang sesuai diterapkan adalah hukum “produk” belanda seperti yang telah ada sekarang.
Berangkat dari hal inilah, menimbulkan pertanyaan kemudian hukum yang bagaimanakah yang ideal itu? Lebih khusus, berkait dengan al-Qur’an sebagai pegangan hidup bagi umat muslim, bagaimanakah hukum ideal menurut kitab ini. Hal inilah yang penulis coba telusuri dalam tulisan ini sebagai usaha menemukan bagaimana hukum yang ideal dalam al-Qur’an.

Hukum Ideal dalam al-Qur'an        

Kata hukum, dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab al-hukmu yang kemudian diberi pengertian a) Peraturan yang dibuat oleh penguasa (pemerintah atau adat) yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat b) keputusan yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) c) Undang-undang, peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat[1]
Dalam bahsa Arab, kata ini berasal dari akar kata (ha-ka-ma). Dalam mu’jam berarti melarang dengan suatu larangan dengan maksud perbaikan (islah). Kalimat al-hukmu bi al-syai’I berarti mengadili atau memutusi bahwa sesuatu benar demikian adanya atau tidak demikian.[2] Oleh karenanya hukum di sini bermakna menghukumi mengadili sesuatu perkara antara manusia.
Dalam al-Qur’an, kata yang berasal dari akar kata ini antara lain dalam bentuk kata hakama, Q.S. Ghafir (40): 48, hakamta, Q.S. Al-Maidah (5):42, hakamtum, an tahkumu, al-Nisa’ (4): 58,  al-hukmu, Q.S al-An’am (6): 57, Q.S. Yusuf (12):40, 67. Hakiiman, Q.S. al-Ahzab (33):1, al-hakiim, hakiimun, Q.S. Fusshilat (40): 42, Q.S. Asy-Syuura (42):3, al-Zuhruf (43):4, al-Ahqaf (46):2, al-Hahid (57):1, al-Saff (61):1, al-Jum’ah (62): 1, al-Nisa (4):56, 92,104, 111, 130, 158 dan sebagainya. Kata-kata ini tersebar  di sekitar 200 (dua ratus) tempat.[3]
            Di antara ayat yang mengandung kata hukum adalah  yang menyatakan bahwa tidak ada "hukum" selain "hukum" Allah. Hal ini terdapat dalam Surat al-An’am (6): 57.
ö@è% ÎoTÎ) 4n?tã 7puZÉit/ `ÏiB În1§ OçFö/¤Ÿ2ur ¾ÏmÎ/ 4 $tB ÏZÏã $tB šcqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ/ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
Katakanlah: "Sesungguhnya Aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik".

4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬!

 
Ketika ditelusuri Asbab Nuzulnya, tidak ditemukan Asbab Nuzul dari ayat ini. Akan tetapi dari konteks ayat dan kaitannya dengan ayat sebelumnya, ayat ini berbicara tentang larangan terhadap kaum muslim untuk membeda-bedakan martabat sesama manusia serta berkaitan dengan ketentuan azab Allah terhadap orang-orang Zalim.  Kalimat  
4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬!

 
Dalam tafsir Ibn Katsir diberi keterangan dengan bahwa perkara/urusan menyegerakan atau tidak menyegerakan azab itu adalah urusan Allah, urusan Allah, dikembalikan kepada Allah.[4].  
            Kalimat yang sama                           juga ditemukan dalam ayat lain, yaitu surat Yusuf (12):40. Sepert ayat sebelumnya (al-An’am (6):57) ayat ini juga tidak memiliki Sabab Nuzul. Dari lengkap ayatnya dapat diketahui bahwa ayat ini berbicara tentang cerita Nabi Yusuf. Yaitu tentang dakwah Nabi Yusuf ketika berada di penjara. Pada waktu di penjara Nabi Yusuf mengajak dua temannya untuk bertuhan kepada Allah.
$tB tbrßç7÷ès? `ÏB ÿ¾ÏmÏRrߊ HwÎ) [ä!$yJór& !$ydqßJçGøŠ£Jy óOçFRr& Nà2ät!$t/#uäur !$¨B tAtRr& ª!$# $pkÍ5 `ÏB ?`»sÜù=ß 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! 4 ttBr& žwr& (#ÿrßç7÷ès? HwÎ) çn$­ƒÎ) 4 y7Ï9ºsŒ ßûïÏe$!$# ãNÍhs)ø9$# £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÍÉÈ
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali Hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Kalimat "al-hukmu" di sini berkaitan dengan bahwa Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu (nama-nama yang dibuat sebagai sesembahan). Kemudian kalimat dilanjutkan dengan bahwa “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah”
Kaitan dengan kalimat ini dalam tafsir Ibn Katsir diberi pemjelasan  bahwa hukum (al-hukma), pengaturan (al-Tasharrufa), penghidupan (al-masyi’ah) dan kerajaan (mulk) kesemuanya hanyalah milik Allah dan Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menyembah hanya kepada-Nya.[5]
Selain ayat ini, ayat yang juga memuat kalimat yang sama adalah surat Yusuf (12) :67. yaitu
tA$s%ur ¢ÓÍ_t6»tƒ Ÿw (#qè=äzôs? .`ÏB 5>$t/ 7Ïnºur (#qè=äz÷Š$#ur ô`ÏB 5>ºuqö/r& 7ps%ÌhxÿtGB ( !$tBur ÓÍ_øîé& Nä3Ztã šÆÏiB «!$# `ÏB >äóÓx« ( ÈbÎ) ãNõ3çtø:$# žwÎ) ¬! ( Ïmøn=tã àMù=©.uqs? ( Ïmøn=tæur È@©.uqtGuŠù=sù tbqè=Åe2uqtFßJø9$# ÇÏÐÈ
Dan Ya'qub berkata: "Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian Aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah Aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri".

Dari ayat ini terlihat bahwa konteks kalimat ini adalah ucapan Nabi Ya’qub kepada putera-puteranya ketika hendak ke Mesir bersama Benyamin adik Yusuf.  Dalam hal ini meskipun Nabi Ya’qub telah berpesan sedemikian rupa kepada putera-puteranya supaya memasuki Mesir melalui berbagai pintu yang berbeda-beda, akan tetapi Nabi Ya’qub tetap tidak bisa melepaskan diri dari apa yang menjadi kuasa Allah dalam takdirnya. Karena keputusan menetapkan sesuatu hanyalah hak Allah. Demikian kalimat                                    ini dijelaskan dalam tafsir Ibnu Katsir.[6]
4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬!

 
4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬!

 
            Dari beberapa ayat yang mengandung kalimat                           memiliki konteks ayat yang berbeda-beda. Ayat pertama berkaitan tentang hak Alah dalam menurunkan Azab, yang kedua tentang hak Allah untuk menurunkan atau tidak nama-nama berhala yang dijadikan sesembahan kaum dzalim. Sedangkan yang ketiga adalah berkaitan dengan hak Allah dalam urusan takdir. Oleh karenanya, nampaknya, apabila mencari konsep hukum ideal dari ayat-ayat ini  tidak ditemukan dapat ditemukan. Karena dalam ayat-ayat tersebut kata "al-hukmu" dikaitkan langsung dengan kuasa-kuasa atau hak-hak Tuhan.
Dalam Surat al-Nisa (4): 58, Nampaknya terdapat “keterangan” bagaimana seharusnya berhukum. Dari bagaimana seharusnya berhukum dapat diambil benang merah bagaimana sebuah hukum ideal. Secara lengkap ayat tersebut adalah
¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Surat an-Nisa’(4) ayat 58 ini, menurut beberapa mufasir[7] dengan bersama dengan ayat setelahnya (59) merupakan dasar pendirian suatu pemerintahan. Di situlah terdapat prinsip-prinsip utama dalam bernegara/ membangun pemerintahan.
Mengenai konteksanya, berdasarkan Asbab Nuzulnya, ayat ini turun ketika peristiwa Fathu Makkah. Yaitu ketika Nabi dan para rombongan kaum muslimin tiba di kota Makkah dan memasuki Baitullah. Menurut Al-Suyuti, berdasar riwayat dari Ibnu Mardawaih, dari jalur al-Kalbiy dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas adalah berkenaan dengan peristiwa Fathu Makkah, yaitu ketika Nabi bermaksud membuka Ka’bah, Nabi memanggil Usman bin Thalhah yang merupakan pemegang kunci ka’bah dan meminta kunci tersebut. Pada waktu penyerahan kunci tersebut, Abbas berdiri dan meminta kunci tersebut supaya diserahkan kepadanya (ganti Abbas yang menjadi juru kunci ka’bah). Sehingga ia merangkap juga sebagai yang mengurus air. Maka oleh Rasulpun Usman disuruh menyerahkan kunci itu dan oleh Usman diserahkan kepada Abbas. Kemudian Rasulpun membuka ka’bah melakukan Thawaf. Kemudian, Jibril turun dan membawa perintah untuk mengembalikan kunci itu kepada Usman serta perintah kepada Nabi untuk berhukum dengan adil.[8]
            Riwayat serupa juga diberikan oleh al-Wahidi meskipun ada sedikit perbedaan informasi yaitu adanya tokoh Ali bin Abi Thalib dalam kisah itu. Hal ini tidak disebutkan dalam riwayat yang dikutip al-Suyuti. Dalam hal ini peran Ali adalah sebagai yang mengambil kunci dan membuka  ka’bah dan yang diperintah Rasul untuk menyampaikan pesan pengembalian kunci ka’bah dari Abbas kepada Usman serta adanya perintah Jibril yang mengatakan bahwa amanah penjaga ka’bah adalah di keturunan Usman bin Thalhah tersebut.[9] Sedangkan Ibnu Katsir juga memberikan riwayat yang serupa dengan yang diriwayatkan al-Suyuti.[10]
            Hal pertama dalam ayat ini adalah perintah menyampaikan amanah kepada "ahlinya", yang berhak. Menurut al-Maraghi, kata amanah berarti sesuatu yang dijaga untuk disampaikan kepada pemiliknya. Amanah ada tiga macam. 1) amanat hamba dengan Tuhannya. 2) amanat hamba dengan sesama manusia. Termasuk di sini keadilan pemimpin terhadap rakyatnya, juga keadilan hakim dalam memutuskan perkara. 3). Amanat manusia terhadap dirinya sendiri.[11]
            Lanjutan setelah perintah itu adalah perintah Tuhan untuk berlaku atau bersikap adil dalam memutusi sesuatu di antara manusia. Hal ini terlihat dari kalimat:
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/
Hal ini nampaknya sesuai dengan konteks ayat yang yang berkaitan dengan pemutusan Nabi atas suatu perkara, yaitu hal pemberian amanah penjaga ka’bah yang sebelumnya telah dipegang oleh Usman bin Thalhah akan tetapi kemudian diminta oleh Abbas dan yang akhirnya dikembalikan lagi kepada Usman. Nabi diingatkan oleh Allah melalui Jibril untuk memutuskan perkara tersebut dengan adil. Orang yang dianggap “ahlinya” dalam hal urusan menjaga ka’bah di sini adalah Usman bin Thalhah. Maka bukan menyampaikan amanah pada ahlinya jika diberikan kepada Abbas.
Berhukum dengan adil dalam ayat tersebut berkaitan dengan amanah. Hal ini saling nerkait. Selain Adil di sini berarti juga memberikan amanah kepada ahlinya juga para berarti bahwa para pemegang amanah juga diperintahkan untuk adil. Lanjutan ayat disebutkan bahwa Allah adalah sebaik-baik pemberi pendidikan. Dengan peristiwa tersebut, Allah telah memberikan pengajaran kepada Nabi tentang berlaku adil.  Dan sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Atas semua apa yang dilakukan makhluk-Nya, Allah maha mendengar dan melihat semuanya. Mana di antara perilaku-perilaku yang adil ataupun yang tidak, Allah sungguh maha mengetahui atas semua itu.
Amanah menurut Abduh adalah hak orang mukallaf yang berkaitan dengan hak orang lain untuk disampaikan, baik itu amanah ilmu maupun harta.[12] Dalam al-Manar disebutkan juga bahwa ayat ini mengandung perintah untuk berhukum di antara manusia dengan “adil” dan tidak boleh zalim. Berhukum di antara manusia ada beberapa jalan, di antaranya dengan pemerintahan secara umum maupun dalam memutuskan perkara orang yang bertikai di pengadilan.[13]

Tentang Adil,
Kata Adil menurut al-Asfahani merupakan lafaz yang memuat makna persamaan.[14] Dalam Lisan al-Arab, sebagaimana dikutip Abduh, kata al-'adlu atau al-idlu adalah al-adiil atau almatsil. Seperti dalam kalimat yu’addilu bermakna membuat sama (yusawi). Adil dalam timbangan, ukuran.[15]
Adil dalam berhukum di antara manusia adalah membuat sama di antara dua pihak yang bertikai dengan tidak mengunggulkan salah satu pihak dari yang lain tapi membuatnya sama seperti dua sisi yang sama di atas punggung keledai atau yang lainnya. Adil tercipta dengan perbuatan, penetapannya atas seuatu dakwaan sebagaimana sampainya kebenaran pada yang berhak.
Menurut Abduh, adil terkait dua hal: 1).Hakim mengetahui hukum yang telah disyari’atkan Allah dan hakim juga wajib melaksanakan atau mempraktekkan hukum yang telah diketahui tersebut dari hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. 2) Rukun adil ini terdiri dari dua hal a) Memahami dakwaan dari pendakwa dan jawaban dari terdakwa supaya dapat diketahui peta masalah yang dipersoalkan dua pihak yang bertikai dengan bukti-bukti. b) Keistiqamahan/ kelurusan hakim dan terhindar dari kecenderungan kepada salah satu pihak.[16]
            Hal ihwal adil ini menurut Abduh adalah sesuatu yang dapat diketahui secara umum oleh manusia. Ia seperti cahaya yang dapat diketahui dengan sendirinya. Oleh karena itu, menurutnya adil adalah terciptanya/tersampaikannya  kebenaran sesuai pada ahlinya/yang berhak. Hal ini tidak akan ada kecuali dengan terlaksananya dua rukun di atas. Dan orang yang tidak melaksanakannya disebut Zalim.[17]
Menurut al-Razi dan al-Syafi’I, hakim harus menyamakan perlakuannya terhadap dua pihak yang berselisih dalam lima hal, yaitu: a) dalam masuknya ke dalam majlis. b). Ketika duduk di hadapannya c). Dalam bersikap kepada mereka d) ketika mendengarkan keterangan-keterangan mereka dan e) ketika memutuskan hukuman atas mereka, hendaklah mereka sama-sama mendengar.[18]
Adil dalam al-Quran juga disebut dengan kata qisth yang juga memiliki pengertian yang sama dengan adil. Perintah Tuhan untuk berlaku adil juga ada di tempat lain dalam al-Qur’an. 
Dalam surat al-Isra (17): 35 keadilan digambarkan dengan menimbang. Cara menimbang yang baik adalah dengan ukuran yang benar, seimbang antara yang ditimbang dengan ukurannya.
            Menurut Ziauddin Sardar, sebagaimana dikuti Dawam Raharjo, Ide keadilan adalah keterkaitan antara keadilan dengan moralitas. Dalam tradisi Barat, keadilan menurut Khurshid Ahmad tidak sepenuhnya memisahkan antara moralitas dengan keadilan, tapi moralitas yang dianut hanyalah yang menyangkut kegunaan, persetujuan dan konsensus.[19]
            Dari beberapa ayat tentang keadilan, terkesan bahwa keadilan berkait erat dengan pengadilan. Beban keadilan terletak pada pundak hakim. Selain itu keadilan juga berkaitan dengan saksi. Seorang saksi haruslah berlaku adil dengan mengatakan yang sebenarnya, dengan jujur. Akibat dari ketidakjujurannya akan berakibat fatal dan menimbulkan putusan yang tidak adil pula.
            Terkait dengan s.An Nisa’ (4) 58, Allah memerintahkan untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak serta berlaku adil. Sudah barang tentu orang yang mendapatkan amanah berkewajiban untuk berlaku adil.
            Dalam surat Shaad (26): 36, konteksnya berkaitan dengan Nabi Daud yang dijadikan sebagai khalifah di muka bumi, apabila memerintah atau memutuskan permasalahan-permasalahan di antara manusia diperintahkan berhukum dengan “haq”, adil. Kata adil dalam ayat ini dipertentangkan dengan “mengikuti hawa nafsu” ayat ini oleh dawam dipahami bahwa unsur utama dalam keadilan adalah kebenaran. Oleh karenanya, kata "haq" di sini bermakna adil.[20] 
           Dalam al-Maidah (5): 42. Allah juga memerintahkan berhukum dengan adil dengan menggunakan lafaz Qisth.
šcqã軣Jy É>És3ù=Ï9 tbqè=»ž2r& ÏMós¡=Ï9 4 bÎ*sù x8râä!$y_ Nä3÷n$$sù öNæhuZ÷t/ ÷rr& óÚÍôãr& öNåk÷]tã ( bÎ)ur óÚÌ÷èè? óOßg÷Ytã `n=sù x8rŽÛØo $\«øx© ( ÷bÎ)ur |MôJs3ym Nä3÷n$$sù NæhuZ÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÍËÈ  
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram[418]. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

            Selain dalam ayat-ayat ini, keadilan juga memiliki dimensi yang lain, yaitu seperti adil dalam hal ekonomi seperti dalam surat Hud (11): 84-85, berkaitan dengan seruan Nabi Syuaib kepada kaumnya untuk tidak berlaku curang dalam menimbang. Adil berkaitan dengan ibadah dalam Q.S.Al-A'raf (7): 28-29. Adil dalam memberi kesaksian dalam Q.S. Al-Nisa (4): 135, al-Maidah(5):8, dalam mendamaikan pertikaian dalam Q.S. al-Hujurat (49):9. dalam an-Nahl (16): 90, perintah adil diiringi dengan perintah berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat.
Lawan keadilan adalah ketidakadilan atau kezaliman. Hal-hal yang merugikan manusia, hal-hal yang merampas hak-hak manusia dan yang dapat menimbulkan kerusakan pada masyarakat. Menurut Dawam Raharjo, persoalan menegakkan keadilan pada  konteks sekarang dapat berupa perjuangan hak-hak asasi manusia, perjuangan mencegah kerusakan lingkungan hidup, serta semua kegiatan yang berusaha meniadakan kerugian pada masyarakat dan mengembalikan hak-hak rakyat.[21]
Berbuat adil merupakan standar minimal perilaku manusia. Merupakan nilai dasar yang berlaku dalam kehidupan sosial. Nilai adil merupakan pusat orientasi dalam interaksi antar manusia. Jika keadilan dilanggar, akan terjadi ketidakseimbangan dalam pergaulan hidup. Karena suatu pihak akan dirugikan dan disengsarakan walaupun yang lain memperoleh keuntungan. Jika sistem sosial rusak karena dilanggarnya keadilan, maka seluruh masyarakat akan mengalami kerusakan yang dampaknya akan menimpa semua orang.[22]
            Keadilan dalam konteks al-Quran tidak lepas dari moralitas. Makna keadilan sendiri bersifat multidimensional. Keadilan berkaitan dengan kebenaran. Keadilan juga mengandung arti keseimbangan. Tidak berat sebelah, pilih kasih atas pertimbangan subyektif. Dalam hukum peradilan, keadilan berarti, menghukum orang sesuai dengan kesalahannya. Keadilan tampak juga dalam sikap hakim yang memutuskan perkara sesuai atau berdasarkan hukum dan kebenaran.
            Menurut Airlangga Pribadi Kusuma, al-Qur'an sebagai acuan syariah, memberikan beberapa etika universal berdasarkan kesamaan, kesederajatan, keadilan. Al-Qur'an menitikberatkan pada kemanusiaan universal yang tunduk pada hukum yang diciptakan bersama. Dalam konsep Syariah demokratik[23] disebutkan bahwa tujuannya adalah mendudukkan manusia sebagaimana mestinya dengan memberikan hak-hak dasarnya tanpa membedakan suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin dan agama. Hak-hak tersebut dapat menyangkut hak ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Untuk mendukung itu semua, posisi hukum sangat penting dalam rangka menentukan sejauh mana seseorang melanggar atau menegakkannya.[24]
            Dalam kaitannya dengan hukum, Menurut B.Arif Sidharta hukum muncul di dalam proses hubungan antar manusia, yakni kesadarn keharusan bertingkah laku dengan cara tertentu dalam situasi tertentu pula. Dalam proses interaksi itu terjadi penilaian, proes penetapan nilai. Hukum juga disebutkan sebagai proses perubahan dan perkembangan yang terus menerus.[25]

Penutup
Demikian apa yang dapat dipaparkan. Dari sini, yang dapat penulis tarik benang merahnya adalah bahwa hukum ideal menurut al-Qur'an adalah hukum yang adil. Hukum yang todak otoriter. Hukum yang dapat menjamin hak-hak manusia dalam kehidupan. Terserah apapun mazhab hukum yang digunakan.
             
   















DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashfihani, Al-Raghib. Mu’jam Mufradat alfazi al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt
Al-Imam Abi al-Fida al-Hafiz Ibni Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Maktabah al-Nur al-Ilmiyyah, tp.th
al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Terjemah Tafsir al-Maraghi. Semarang : Toha Putera, 1986
al-Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar, Lubab an-Nuqul fi Asbab al-Nuzul. Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, tt
al-Wahidi, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Nisabury, Asbab al-Nuzul. tp.kt: Dar al-Taqwa, tp.th..
Baqi, Muhammad Fuad ‘Abdul, Al-Mu’Jam al-Mufahras li Alfadzi al-Qur’an al-Karim. Beirut: Dar al Fikr, 1981
Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983) Jilid.V, hlm.145.
Pribadi, Airlangga, Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal. Bekasi: Gugus Press, 2002 Abdullah Ahmad an Naim, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LkiS, 1997
Raharjo, M.Dawam Ensiklopedi Al-Qur’an . Jakarta: Paramadina, 1996.
Sidharta B.Arief "Aspek Ontologi Dalam Filsafat Hukum" dalam Lili Rasyidi dan B. Arief Sidharta (edt), Filsafat Hukum; Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Al-Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar . Beirut: Dar al-Fikr, 1973 
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990





HUKUM IDEAL MENURUT AL-QUR'AN







Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Isu-Isu Aktual dan Kontemporer dalam Perspektif Al-Qur’an
Dosen Pengampu: Dr. Hamim Ilyas, M.A



Oleh
Niila Khoiru Amaliya
07.213.518





KONSENTRASI STUDI AL-QUR’AN DAN HADIS
PROGRAM STUDI AGAMA DAN FILSAFAT
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2008




[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 314.
[2] Al-Raghib al-Ashfihani, Mu’jam Mufradat alfazi al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm.126.
[3] Berdasarkan penelusuran melalui Mu’jam. Lebih lengkap lihat di Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al-Mu’Jam al-Mufahras li Alfadzi al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al Fikr, 1981), hlm. 212-215.
[4] Al-Imam Abi al-Fida al-Hafiz Ibni Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim (Beirut: Maktabah al-Nur al-Ilmiyyah, tp.th), Juz.II, hlm. 129-130
[5] Al-Imam Abi al-Fida al-Hafiz Ibni Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim…, Juz.II, hlm….
[6] Al-Imam Abi al-Fida al-Hafiz Ibni Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim…, Juz.II, hlm. 466.

[7] Seperti Al-Qurthubi, Rasyid Ridla, Muhammad Abduh.
[8] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuti, Lubab an-Nuqul fi Asbab al-Nuzul (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, tt), hlm. 66.
[9] Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi al-Nisabury, Asbab al-Nuzul (tp.kt: Dar al-Taqwa, tp.th), hlm. 96.
[10] Al-Imam Abi al-Fida al-Hafiz Ibni Katsir al-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim (Beirut: Maktabah al-Nur al-Ilmiyyah, tp.th), Juz.I, hlm. 498.
[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (Semarang : Toha Putera, 1986), jld. V, hlm.116.
[12] Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Al-Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), Juz V, hlm.170
[13] Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Al-Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), Juz V, hlm.172. 
[14] al-Raghib al-Ashfihani, Al-Mu’jam al-Mufradat al Alfaz al-Qur’an….)
[15] Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Al-Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), Juz V, hlm.174
[16] Ibid
[17] Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Al-Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), Juz V, hlm.172. 
[18] Syeikh Muhammad Rasyid Ridla, Muhammad Abduh, Al-Tafsir al-Qur’an al-Hakim al-Syahir bi al-Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), Juz V, hlm.174. Lihat juga dalam Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1983) Jilid.V, hlm.145.
[19] M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm.377.
[20] M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an… , Ibid., hlm. 383
[21] M.Dawam Raharjo, Ensiklopedi Al-Qur’an…Ibid., hlm. 387.

[22] Ibid.
[23] Konsep ini digagas oleh Abdullah Ahmed al-Naim. Hal ini lahir dari pergulatan hukum nasional dengan syariah (hukum Islam) di Negara Sudan. Sebuah usaha radikal yang digali dari kesadaran perlunya hukum baru dan harus benar-benar ditegakkan. Diinspirasi oleh kecintaan pada hukum Tuhan dan kepedulian pada hukum positif yang bersifat rasional. Lenih lengkap lihat Airlangga Pribadi, Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal (Bekasi: Gugus Press, 2002), hlm. 290. Lihat pula Abdullah Ahmad an Naim, Dekonstruksi Syariah, terj. Ahmad Suaedi dan Amiruddin arrani (Yogyakarta: LkiS, 1997)

[24] Airlangga Pribadi, Yudhie R. Haryono, Post Islam Liberal (Bekasi: Gugus Press, 2002), hlm.293
[25] B.Arief Sidharta, "Aspek Ontologi Dalam Filsafat Hukum" dalam Lili Rasyidi dan B. Arief Sidharta (edt), Filsafat Hukum; Mazhab dan Refleksinya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 260-261.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar