ETIKA JAWA

Admin Monday, December 20, 2010

(Kebijaksanaan Hidup dan Relativisme Etis)

oleh: Agus Riyadi, Agus Sutono, Abdullah Rokhmat

Etika Sebagai Kebijaksanaan Hidup
Bab VII ini bertujuan untuk menangkap ciri khas teoritis etika Jawa. Dalam bahasan ini ditempat 7 sub-bab. Pertama, etika dan pengertian. Kedua, bukan masalah aksi. Ketiga, kedudukan keutamaan-keutamaan moral. Keempat, relativasi baik dan buruk. Kelima, moral dan estetika. Keenam, etika kebijaksanaan.
Etika Jawa sangat menekankan unsur pengertian dan rasa. Dua hal ini titik tolak Frans Magnis menjelaskan kebijaksaan hidup dalam etika Jawa. Makna dua hal itu dekat dengan "kekuatan batin" (kesakten) sebagaimana terungkap dalam kata ngelmu: ngelmu sekaligus berarti "ilmu pengetahuan", ”pengertian” (lebih-lebih dalam arti mistik) dan "kekuatan magis", misalnya dalam arti suatu kemampuan khusus untuk pembelaan diri secara fisik.   
Semakin tinggi pengertian dan rasa seseorang, semakin tinggi pula kualitas hidupnya. Etika Jawa melihat kelakuan yang salah itu sebagai kekurangan pengertin (durung ngerti). Orang yang salah (during ngerti) tidak dianggap jahat, melainkan kurang berkembang sebagai manusia, ia dianggap berada di tingkat sama dengan anak-anak dan orang gila.  Orang yang mengikuti tata karma dan adat istiadat merupakan orang yang berkembang rasa-nya. Dengan rasanya ia tahu bagaimana ia harus membawakan diri dan kelakuan yang sesuai. Orang yang belum mengembangkan rasa-nya, orang Jawa tidak mengharap kelakuan yang betul. Orang yang mencapai pengertian dan rasa, orang tersebut sampai dengan kategori "halus" dan "kasar". Orang yang dalam rasa-nya telah "halus" dan Orang "kasar" adalah yang sebaliknya. Makin "halus" sesuatu, makin sesuatu itu baik dan betul.
Tujuan terakhir etika bukanlah suatu aksi. Tapi ini tidak berarti bahwa etika Jawa suatu etika kemalasan. Tindakan yang dituntut itu bukan suatu aksi, bukan tindakan yang keluar dari diri sendiri, dan tujuannya bukanlah suatu perubahan kategori terhadap dunia. Tuntutan etika Jawa suatu proses perkembangan kematangan. Dalam kerangka paham Jawa bertindak itu tidak dimengerti sebagai pengaktifan bakat-bakat, melainkan sebagai keadaan di mana kita tertanam secara selaras dalam kosmos seluruhnya, sesuai dengan kondrat manusia sebagai unsur kosmos itu.
Seseorang yang telah mengalami kematangan akan terarah pada keutamaan-keutamaan dalam etika Jawa. Keutamaan-keutamaan itu adalah untuk membatasi diri (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi kewajiban masing-masing dengan setia (rame ing gawe). Orang yang sepi ing pamrih tidak lagi mempertahankan haknya untuk kepentingan-kepentingan sendiri, baik yang bersifat bukan moral ataupun yang bersifat moral. Dan orang yang rame ing gawe bersedia untuk memenuhi apa saja yang menunjukkan diri sebagai kewajiban pangkat dan kedudukannya. Dua-duanya menuntut agar bukan kehendak saya yang menjadi penentu sikap saya, melainkan harapan masyarakat.
Tuntutan-tuntutan etika Jawa menunjukkan jalan terbaik untuk mencapai ketenangan dan ketentraman batin, untuk memiliki diri dengan tenang, untuk bebas dari frustasi, dan untuk bertemu dengan yang ilahi. Jadi etika Jawa menawarkan kepenuhan eksistensi. Siapa yang hidup mengikuti etika Jawa, akan merasa slamet dan menikmati katentremaning ati (ketentraman hati). Oleh karena itu mengikuti tuntutan etika Jawa masuk akal. Manusia yang bijaksana akan hidup sesuai dengan norma-normanya. Dalam kerangkan etika Jawa pemenuhan kewajiban-kewajiban merupakan cara hidup yang rasional. 

Etika Jawa dan Relativisme Etis
Bab VIII merupakan bab penutup buku Etika Jawa ini. Dalam bab ini penulis bertitik tolak dari dua pertanyaan. Pertama, manakah perbedaan-perbedaan Etika Jawa dan etika Barat? Apakah perbedaan-perbedaan itu secara fundamental?. Pembahasan itu ditempatkan dalam empat sub-bab. Pertama, perbedaan antara etika Jawa dan etika barat. Kedua, relativisme etis?. Ketiga, tahap-tahap perkembangan kesadaran moral masyarakat?. Keempat, penutup.
Ada beberpa perbedaan antara etika Jawa dan etika Barat. Etika Jawa merupakan etika kebijaksaan sedangkan etika Barat adalah etika kewajiban. Kemudian, etika Jawa sangat menekankan keselarasan/mencegah konflik dan mengakui tatanan sosial dalam masyarakat tapi etika Barat lebih pada tuntutan norma-norma moral. Soal kewajiban, dalam etika kebijaksanaan bukanlah ketekadan-batin yang mendasari pemenuhan tuntutan itu, melainkan agar tuntutan itu betul-betul dipenuhi. Etika kebijaksanaan yang dipentingkan adalah tindakan bijaksana dan bukan pelbagai sikap batin atau jangan engkau merugikan masyarakat, maka jagalah selalu keselarasan. Adanya pernedaan itu apakah membuktikan kebenaran pendapat relativisme etis? Relativisme etis berpendapat bahwa "prinsip-prinsip moral dari individu-individu atau kelompokkelompok yang berbeda" sering "berbeda dan bertentangan secara fundamental?".
Frans Magnis menganalisis etika Jawa dari sudut pandang teori Lawrence Kohlberg. Kohlberg merumuskan teori bahwa perkembangan kemampuan individi untuk memberikan penilaian moral berlangsung dalam tahap-tahap tertentu. Seluruhnya Kohlberg membedakan enam tahap perkembangan kesadaran moral yang dianggapnya berlaku dalam semua kebudayaan. Dalam tahapan Kohlberg Etika Jawa menurut Frans Magnis memiliki kemiripan paling besar dengan tahap ketiga.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar