DOSA DALAM AL-QUR'AN

Admin Friday, December 24, 2010

DOSA DALAM AL-QUR'AN (Upaya Klasifikasi Makna dengan Pendekatan Semantik)


A.     Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk dijadikan sebagai pedoman (way of life) bagi manusia dan sekaligus sebagai sumber nilai dan norma setelah al-sunnah. Norma atau akhlak merupakan salah satu aspek ajaran Islam yang penting dalam perjalanan hidup manusia sebab akhlak memberi norma yang baik dan buruk.

Berkaitan dengan baik dan buruk, dosa merupakan pengklasifikasian perbuatan-perbuatan buruk dalam pandangan Islam. Kata dosa dalam bahasa Arab kerapkali disebut zanbun, ismun atau jarmun. Kata-kata ini juga digunakan dalam al-Qur’an. Di sisi lain, masih banyak terma-terma lain yang bermakna dosa dalam al-Qur’an. Setiap kata itu menjelaskan macam-macam akibat dosa atau aneka ragam bentuk dosa seperti, sayyi’ah (su, khati’ah, munkar, junah, fisq, isyan, fasd dan ‘utuw

Begitu beragam terma dosa di dalam al-Qur’an. Berdasarkan itulah, makalah ini hanya difokuskan pada lima terma, yaitu; khati’ah, jarmun, zanbun, ismun dan junah. Lima terma tersebut, di dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Departeman Agama Republik Indonesia, seringkali diterjemahkan menjadi dosa. Sebagai salah satu aspek bahasa, maka penulisan ilmiah ini menggunakan pendekatan semantik,

B.     Seputar Semantik

Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama, yakni sebagai sarana komunikasi antar manusia dan sebagai sarana budaya mempersatukan kelompok manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Oleh karena itu, maka dengan sendirinya bahasa memerlukan aspek filosofis. Dari sinilah yang dinamakan filsafat bahasa. 

Setidaknya, uraian filsafat bahasa mencakup beberapa hal, diantaranya; analisis konseptual, penggunaan serta fungsi bahasa, hakikat bahasa sebagai objek material dan filsafat sebagai teori dan dimensi makna. Disinilah filsafat bahasa menemukan hubungannya yang erat dengan linguistik dan semantic.[1]

Dalam aras semantic, setidaknya ada empat aras yang perlu dilewati untuk menyampaikan makna dan memahami makna, yaitu makna linguistic, proposisi, pragmatic dan makna kontekstual.[2]
Semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang sign. Selain itu, bahasa dalam sistem semiotic dibedakan dalam tiga komponen system. Pertama sintaksis, yaitu berkaitan dengan lambang serta bentuk hubungannya. Kedua, semantik yaitu unsur yang berkaitan antara unsur dengan dunia luar yang diacunya. Ketiga, pragmatik yaitu kajian yang berkaitan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.[3]

Menurut Charles Morris sebagaimana dikutip oleh J.D Parera bahwa telaah semantic yang berhubungan dengan sign ada dua cara. Pertama, semantic berhubungan dengan apa yang hendak dirujuk oleh sign itu. Istilah ini menggunakan tujuan bahasa. Kedua, cara bagaimana merujuk sesuatu. Istilah ini disebut modus. [4]

Masih menurutnya, bahasa dilihat dari macam penggunaannya terdiri dari informativ[5], valuatif[6], iniatif[7] dan sistemik[8]. Setiap tujuan penggunaan bahasa mempunyai modus tertentu. Dalam hal ini, ia membedakan empat macam modus penggunaan bahasa kepada designative, aprasial, deskriptif dan formatif.[9]

Melihat beberapa keterangan di atas, maka dapat ditarik benang merah bahwa kajian semantic memiliki dua kecenderungan. Pertama, makna bahasa dipengaruhi oleh konteks di luar bahasa, benda objek dan peristiwa yang ada. Kedua, makna bahasa ditentukan oleh konteks bahasa, yakni gramatikal bahasa

C.      Dosa dalam al-Qur'an

a. Pengertian Dosa

Dalam al-Qur’an terma dosa disebut dengan beragam kata yang kesemuanya menurut pandangan umum memiliki wilayah pengertian dan makna yang hampir sama, di antara terma-terma tersebut: Khati’ah, zanbun, Ismun, Fisq, Isyan, ‘Utwun dan Fasad.[10]

Inilah beberapa terma untuk kata dosa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Kata-kata ini digunakan oleh al-Qur’an untuk menyatakan suatu sikap dan perbuatan manusia yang bersifat pelanggaran terhadap moral dan hukum Tuhan. Walaupun al-Qur’an menyebutkan kata-kata itu dengan terma yang berbeda-beda, namun perbedaan yang prinsipil tidak ada, secara umum artinya hampir sama.[11]

Diterangkan bahwa konsep tentang dosa itu sendiri tidaklah sulit untuk dirumuskan dalam Islam. Al-Qur’an menyatakan bahwa seseorang yang berdosa adalah orang yang tidak mematuhi perintah Tuhan. Dengan kata lain, yang disebut dosa ialah perbuatan “tidak patuh”. Konsep Islam tentang dosa didasarkan pada perlawanan kata.[12]

Seperti kata ta’ah yang artinya bahwa seseorang berbuat sesuatu dengan apa yang diperintahkan oleh orang lain untuk dilakukan. Siapapun yang melakukan adalah “patuh”. Dengan demikian maksiyah artinya bahwa seseorang berbuat berlawanan dengan apa yang telah diperintahkan untuk dilakukan, dan melakukan apa yang telah dilarang.

Dengan bertitik tolak dari beberapa ungkapan seperti tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa yang dimaksud dengan dosa adalah melakukan sesuatu yang dilarang, atau meninggalkan suatu perbuatan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang mana perbuatan tersebut akan berakibat (sanksi) bagi pelaku baik di dunia maupun di akhirat.

b. Lima Term Dosa dalam Al-Qur’an

Dosa dalam al-Qur'an menggunakan ragam lafad, diantaranya khati’ah, jarmun, ismun, zanbun dan junah. Berikut keteranga luasnya serta cakupan makna masing masing kata.

1. Khati’ah

Kata khati’ah  berasal dari kata khata’a. Kata ini berserta turunannya disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh dua kali.[13] Lima belas kata berada di dalam surah-surah Makiyyah dan sisanya tujuh kata berada di dalam surah-surah Madaniyyah.

Dari sisi bahasa, setiap kata yang tersusun dari huruf kha’, ta’ dan huruf mu’tal dan mahmuz (wawu atau hamzah) menunjukkan الشئ تعدى yakni melampaui sesuatu. Kata khata’a adalah antonim dari kata as-sawab (benar).[14]

Dalam Lisan al-‘Arab kata الخَطَأُ adalah kesalahan yang tidak disengaja, sedangkan الخطء bermakna kesalahan yang disengaja. أخطأ يخطئ  Digunakan untuk menyatakan berlakunya kesalahan baik itu disengaja ataupun karena lupa. Kata الخَاطِئُ bermakna seseorang yang melakukan sesuatu yang tidak selayaknya. Kata khati’ah bermakna zanbun yang disengaja.[15] Ar-Raghib al-Asfihani, mengartikan kata al-khit'u dengan arti melenceng dari arah yang sebenarnya. Pengertian melenceng seperti diungkap al-Asfihani ini, memiliki beberapa kemungkinan. Pertama, niat mengerjakan sesuatu yang salah, kemudian benar-benar dikerjakan. Kesalahan seperti ini dinamakan al-khith'u al-tamm (betul-betul salah). Kedua, niat mengerjakan sesuatu yang boleh dikerjakan tetapi yang dikerjakan justru sebaliknya. Dengan kata lain, benar niatnya, tetapi tindakannya salah. Ketiga, niat mengerjakan yang tidak boleh dikerjakan, tetapi yang dilakukan sebaliknya, yaitu mengerjakan perbuatan yang boleh dilakukan. Yang disebut ketiga ini, salah niatnya tetapi benar tindakannya. Kata khati’ah dan sayyi’ah biasanya bersandingan, tetapi kata khati’ah lebih sering disebut ketimbang sayyi’ah.[16] Perbedaan khati’ah dan ismun itu adalah bahwa kalau khati’ah dilakukan dengan tanpa sengaja dan perbuatan itu tidak akan menjadi ismun  kecuali dengan sengaja.[17]

Dari pengertian bahasa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa medan makna kata khata’a meliputi salah (lawan dari benar), kesalahan baik disengaja maupun karena lupa; melakukan sesuatu yang tidak selayaknya; khati’ah yang disengaja bernama zanbun dan ismun;

Seperti contoh surat Yusuf ayat 97

قَالُوا يَاأَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ

Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata khata’a menunjukkan sebuah kesalahan yang bersifat umum, bisa saja kesalahan tersebut memuat dosa jenis zanbun ataupun ismun dan terkadang juga kata ini menunjukkan jenis kesalahan yang tidak disengaja.

2.      Jarmun
Kata yang sering digunakan untuk menyebut dosa di dalam al-Qur’an adalah kata jarmun, sebab kata ini dan turunannya disebutkan sebanyak 66 kali. Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa الجَرْم itu artinya memotong. Kata ini juga bermakna كسب  atau جنى (memperoleh). Sedangkan ar-Ragib al-Asfihani dalam Mu’jam Mufradat Alfaz al-Qur’an menyatakan hampir sama bahwa makna asal kata tersebut adalah ‘memotong sesuatu yang seharusnya masih bersambung’. Pemotongan ini merupakan suatu pelanggaran atau perbuatan dosa. Dari sini bahasa menggunakan kata jarama untuk segala macam pekerjaan yang tidak baik. Dengan begitu, kata mujrim diartikan dengan yang berdosa atau yang berbuat kesalahan. [18]

Kemudian Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arab menjelaskan bahwa kata  الجُرمُbermakna التعدى (menganiaya) dan perbuatan ini termasuk  الذنب (dosa), sehingga terkadang jarmun itu bisa bermakna zanbun. Kata ajrama bermakna melakukan tindak kriminal (jinayah). Sedangkan kata الجِِرْمُ bermakna jasad (tubuh). Dan kata جَرَمُ digunakan untuk menyebutkan besarnya dosa. [19]

Dari pengertian bahasa tersebut rupanya bisa ditarik kesimpulan bahwa wilayah makna kata jarmun berada pada ‘pelanggaran, perbuatan dosa, maksiat,  penganiayaan dan kriminal (yang berkaitan dengan tubuh) dan ada semacam penekanan ‘sangat’ dalam melakukan dosa.’

Dilihat dari wilayah maknanya, tampaknya kata ini digunakan untuk menyatakan dosa yang lebih umum yang bisa memuat berbagai jenis dosa, namun ia juga digunakan untuk memberikan tekanan kepada jenis dosa. Dengan kata lain digunakan untuk menyebutkan dosa yang berlebihan.

Kata jarmun berserta turunannya terjadi di dalam al-Qur’an sebanyak 66.[20] Lima puluh dua kata berbentuk isim fa’il (pelaku). Isim fa’il memiliki faidah menunjukkan pelaku. Mujrim berarti pelaku dosa yang pekerjaannya memang melakukan dosa. Dari 52 kata jarmun yang berbentuk ism fail, 50 di antaranya berbentuk jamak (mujrimin dan mujrimun), 2 kata berbentuk mufrad (tunggal). Isim fail menunjukkan pelaku, ini juga menunjukkan bahwa mujrimun merupakan orang-orang yang sudah terbiasa melakukan dosa.

Enam puluh kata terdapat di dalam surah-surah Makkiyah. Ini artinya, kata jarmun lebih banyak digunakan pada periode Makkah di mana orang-orang kafir Makkah memiliki rasa permusuhan yang sangat kepada Islam dan Muhammad. Selebihnya enam kata berada di dalam surah-surah Madaniyah.

Kata jarmun tampaknya digunakan untuk penutup bagi mereka yang sering melakukan dosa, bisa jadi dalam bentuk mengingkari ayat-ayat Allah, mendustakan Rasul-rasul Allah atau dengan kata lain, kata ini digunakan untuk menunjukkan akumulasi dosa. Untuk mendukung asumsi ini berikut ini ada sejumlah ayat yang menunjukkan dan menguatkan kecenderungan tersebut.

Ayat-ayat tersebut misalnya Q.S. al-An’am (6):124.

وَإِذَا جَاءَتْهُمْ ءَايَةٌ قَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ حَتَّى نُؤْتَى مِثْلَ مَا أُوتِيَ رُسُلُ اللَّهِ اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسَالَتَهُ سَيُصِيبُ الَّذِينَ أَجْرَمُوا صَغَارٌ عِنْدَ اللَّهِ وَعَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا كَانُوا يَمْكُرُونَ

“Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata: "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah". Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya”.

Ayat-ayat sebelumnya menyebutkan banyak jenis dosa yang dilakukan oleh kaum musyrikin, di antarnya tidak mau beriman kepada Allah, tidak beriman kepada hari Kiamat, mereka selalu mengikuti persangkaan mereka sendiri, tidak mau mengikuti kitab Allah,  tidak memakan makanan yang sudah dihalalkan, padahal Allah telah menjelaskan itu semua dan mereka benar-benar sesat. Hingga pada puncaknya ditutup dengan Q.S. al-An’am ayat 124 yang menyatakan bahwa mereka itulah orang-orang yang ajramu (melakukan dosa) dan mereka akan mendapatkan siska yang pedih.

Karena kata jarmun digunakan untuk menyebutkan akumulasi dosa yang berlebihan, maka jenis-jenis perbuatan jarmun sangat banyak. Jenis-jenis zanbun dan ismun, sebagaimana yang akan dijelaskan pada poin berikutnya, bisa jadi masuk dalam jenis jarmun.

3.      Zanbun

Kata zanbun dengan berbagai derivasinya muncul 39 kali dalam al-Qur'an. Dua puluh satu kata berada di dalam surah-surah Makkiyah dan sisanya 18 kata berada di dalam surah-surah Madaniyah. Hampir sebagian besar, 28 kata berbentuk jamak (plural) dan sisanya, 11 berbentuk mufrad (singular).[21] 

Hitungan-hitungan tersebut bisa mengisyaratkan: pertama, bahwa kata zanbun sering digunakan oleh al-Qur’an ketika berinteraksi dengan orang-orang Makkah dan kedua, kata zanbun yang seringkali muncul dalam bentuk jamak, menunjukkan bahwa zanbun memiliki jenis perbuatan.

Kata zanbun tersusun dari tiga huruf, zal, nun dan ba’ memiliki tiga arti pokok, yakni dosa  الجُرم  akhir sesuatu dan bagian.[22] Dalam Lisan al-‘Arab dijelaskan bahwa zanbun itu bermakna ismun, jarmun dan ma’siyah. Kata  الذنابى berarti ekor; ذنانى الطائر berarti ekor burung. Ekor binatang biasanya terletak di belakang, dekat dengan tempat keluarnya kotoran. Ekor, kalau begitu, menggambarkan keterbelakangan atau kehinaan. Ungkapan zanab al-qaum berarti masyarakat terbelakang. Sedangkan kata اذناب الامور berarti akhir persoalan. Kata الذناب dibaca kasrah z\al-nya bermakna akibat dari segala sesuatu.[23]

Dalam Mu’jam karya ‘Abd al-Rauf, kata zanbun adalah perbuatan yang tidak doperbolehkan oleh syari’at. Asal zanbun adalah menyiksa dengan dosa atas suatu perbuatan, misalnya dikatakan: “anda menyiksa dia ketika dia melakukan dosa”, maka penggunaan dosa dalam setiap tempat yang merusak yang membawa akibat sebagai gambaran telah melakukan dosa. Oleh karena itu, zanbun dinamai sebagai pengikut  dari segala sesuatu yang mendatangkan akibat atau siksa.[24]

Dari pengertian bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa medan makna kata zanbun berada pada sekitar dosa, akhir sesuatu, keterbelakangan, kehinaan, perilaku buruk yang mendatangkan akibat atau siksa. 

Di samping itu, kata zanbun seringkali digunakan dalam konteks menunjukkan dosa yang sudah lampau, kecuali Q.S. al-Fath (48):2.

لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

“Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus”.

Dua puluh satu ayat yang mengandung kata zanbun diturunkan di Makkah. Sisanya 18 ayat diturunkan di Madinah. Penghitungan ini menunjukkan bahwa sebagian kata zanbun digunakan dalam surah-surah Makkiyah, di mana dalam surah ini menggambarkan masih awalnya agama Islam dalam menanamkan ajaran-ajarannya dan masih kuatnya permusuhan orang-orang kafir dan musyrik kepada Islam, sehingga muncullah ancaman atau black list dari Allah dengan mengatakan kata zanbun yang sering terjadi di dalam surah-surah Makkiyah.

Kata zanbun disebutkan di dalam Q.S. al-Rahman (55):39. Dalam surah ini, selalu muncul pertanyaan tentang manakah nikmat Tuhan yang kamu dustakan.

فَبِأَيِّ ءَالَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ(38)فَيَوْمَئِذٍ لَا يُسْأَلُ عَنْ ذَنْبِهِ إِنْسٌ وَلَا جَانٌّ

“Maka ni`mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Pada waktu itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya”.

Dari sini tampak sekali bahwa kata zanbun digunakan dalam konteks menanyakan kepada jin dan manusia apakah mereka akan mendustakan nikmat Allah, dan jika berdusta maka itulah zanbun.

Dalam hadis ini, zanbun disebutkan dalam konteks zanbun yang sudah lampau. Sekali lagi hal ini tampaknya menguatkan bahwa kata zanbun memang digunakan untuk menyebutkan dosa yang sudah lampau yang sifatnya umum. Makanya tidak heran jika kata zanbun seringkali disebutkan dengan bentuk jamak (zunub).

Dari keterangan-keterangan di atas, baik dari al-Qur’an maupun hadis, kebanyakan kata zanbun muncul dalam bentuk yang sangat umum, sehingga tidak dapat diketahui apakah dosa yang ditunjukkannya termasuk dosa besar atau dosa kecil. Tampaknya sulit untuk mengidentifikasi sebab di dalam al-Qur’an tidak menyebutkan, misalnya zanbun azimun atau zanbun sagirun. Namun walaupun demikian, dapat ditemukan beberapa contoh jenis perbuatan yang termasuk ke dalam jenis dosa besar meski tanpa ditunjukan dengan penggunaan terma-terma yang khusus. Seperti membunuh dengan sengaja (at-Takwir (81):8-9) dan dalam hadis Nabi, serta durhaka kepada Allah, sebagaimana dalam Q.S. al-Furqan (25):58.

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kata zanbun mencakup makna dosa, akhir sesuatu, keterbelakangan, kehinaan, perilaku buruk yang mendatangkan akibat atau siksa. Kata ini juga kebanyakan digunakan untuk menunjukkan dosa yang sudah lampau dan digunakan dalam konteks melawan atau menentang Allah.

4.      Ismun

Kata yang tersusun dari huruf alif, sa’ dan mim menunjukkan makna   البطء  (asal) dan التأخر yakni lambat/lama dan akhir. Oleh sebab itu al-ismu  bisa berarti ‘jauh/lambat dari kebaikan atau mengakhirkan kebaikan.[25] Dalam kamus Lisan al-‘Arab dinyatakan bahwa i\mun adalah melakukan sesuatu yang tidak halal. Sedangkan bentuk turunan dari kata ini adalah أثٌَم yang berarti bertaubat dari dosa dan beristigfar;أثِمَ  bermakna jatuh dalam dosa; الأَثَامْ berarti balasan dari dosa, yakni al-‘uqubah (siksa).[26]

Menurut ar-Ragib al-Asfihani, ismun adalah nama perbuatan-perbuatan yang menghambat tercapainya pahala. Dengan kata lain, is\mun adalah sebutan bagi tindakan yang menghambat terwujudnya kebaikan. Dia juga menyatakan bahwa is\mun itu lebih umum ketimbang ‘udwan dengan merujuk pada ayat يسارعون فى الإثم والعدوان .[27] Ismun secara bahasa juga bermakna at-taqsir (memendekkan). Oleh sebab itu mengapa khamr disebut sebagai is\mun, karena dengan sedikitnya minum khamr akal ini bisa hilang (memendekkan kerja akal). [28] Sehingga tidak heran jika sejumlah kata ismun di dalam al-Qur’an terlihat digunakan untuk menyebutkan pelanggaran yang memiliki efek negatif dalam kehidupan seseorang atau masyarakat.

Dari definisi bahasa ini ditemukanlah cakupan wilayah makna kata ismun, yakni perbuatan yang jauh dari pahala, menghambat datangnya kebaikan dan memiliki efek negatif. Sense kata is\mun dihubungkan dengan sesuatu yang menggelisahkan hati, malu dilihat orang lain  dan memiliki efek negatif.

Kata ini di dalam al-Qur’an disebut sebanyak 48 kali dengan ragam bentuk turunannya. Bentuk kata yang paling sering disebut adalah is\mun, yakni sebanyak 35 kali, sisanya berbetuk آثمين, آثما, أثما, أثيم. Tiga puluh tujuh ayat yang memuat kata is\mun termasuk dalam surah Madaniyyah, sisanya 11 ayat termasuk dalam surah Makkiyah.[29] Hal ini menunjukkan bahwa kata is\mun lebih banyak terjadi di Madinah di mana Islam sudah berkembang dan menghadapi berbagai problem hukum.

Kata ini selalu dipakai dalam bentuk tunggal (mufrad). Seandainya ada dalam bentuk jamakpun, ia hadir dalam isim fail (subjek), yakni asimin, tidak sebagai isim (kata benda). Tampaknya, hal ini menunjukkan bahwa kata ismun akan menunjukkan jenis dosa yang jelas dan tunggal untuk setiap ayatnya.

Di dalam al-Qur’an, kata ismun digunakan dalam konteks yang beragam, salah satunya adalah dalam konteks melawan Allah, Rasul dan menolak kitab-kitab yang diturunkan Allah, sebagimana dalam Q.S. al-Baqarah (2):85, yakni cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah.

ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”.



Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Hingga di antara kedua suku Yahudi itu pun terjadi peperangan dan tawan menawan karena membantu sekutunya. Tetapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya saling berperang. Di dalam ayat ini, kata ismun disejajarkan dengan ‘udwan  (permusuhan) dan dalam konteks ini sense kata ismun mengarah pada strategi perpolitikan antar suku yang merugikan dan mengancam keselamatan suku lainnya atau membawa akibat buruk.

Q.S. Al-Baqarah (2): 206 menjelaskan perbuatan orang munafik, ketika mereka disuruh disuruh bertaqwa kepada Allah, mereka malah sombong dan berbuat dosa.

وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللَّهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِالْإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertakwalah kepada Allah", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahanam. Dan sungguh neraka Jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”.



Kata ismun dalam ayat ini memiliki konteks melawan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Di sini ternyata penggunaan ismun memang lebih luas, namun seringkali digunakan untuk dosa yang berhubungan dengan hal-hal yang sudah diharamkan.

5.      Junah

Junah merupakan salah satu di antara kata-kata lainnya di dalam al-Qur’an yang diterjemahkan sebagai dosa. Makna asli satu yakni الميل (cenderung/berbelok/miring), dan .العدوان  (permusuhan). Jadi kalau ada kalimat جنح إلى bermakna ميل إلى (cenderung ke). Kata جَنَاحْ dimaknai sebagai الإثم  karena berbalik dari yang haq. Sedangkan جَنَاحْ itu merupakan bagian dari anggota tubuh burung yakni sayap. Dikatakan janah karena keduanya (sayap) itu miring.[30] Kata junah} dalam ولا جناح عليكم فيما عرضتم به   dimaknai sebagai al-Jinayah dan al-Jurm. Kalau ada kata la junaha biasanya dimaknai la isma alaikum wa la tudayyiq (tidak ada dosa bagi kalian dan tidak merepotkan).[31]

Ar-Ragib Al-Asfihani memberikan pernyataan menarik dalam ulasan kata ini, yakni bahwa setiap ismun itu merupakan junah.[32] Hal senada juga diungkapkan oleh ‘Abd al-Rauf al-Misri bahwa kata junah  di dalam al-Qur’an memiliki banyak makna di antaranya adalah al-ism, al-kharaj, al-mani’ (larangan) dan al-tib’ah (akibah / tanggung jawab) sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah (2):236-239 dan Q.S. al-Mumtah}anah (60):10.

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

 “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut`ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”

 Kebanyakan kata ini digunakan dalam konteks berpasangan (ada dua pilihan), terkadang digunakan untuk menunjukkan mana salah satu yang baik (dari dua itu), menjelaskan hukum (dua hal) dan ini merupakan bagian dari cara tasyri’ al-Qur’an. Janaha bermakna miring atau condong, maka ada ungkapan janahat al-safinah iza malat ila ahadi janibiha (perahu itu condong atau miring pada salah satu pinggirnya.[33]

Dalam kitab Al-Wujuh wa al-Naza’ir: Alfaz Kitabillah al-Aziz dinyatakan bahwa kata junah} dalam al-Qur’an memiliki dua makna, yakni al-kharaj sebagaimana Q.S. al-Baqarah (2):198, 234 dan 236;

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِنْ كُنْتُمْ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ



 “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari `Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`aril haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”.



Dari pengertian bahasa tersebut dapat disimpulkan bahwa wilayah makna kata junah berada pada sesuatu yang ‘cenderung ke dosa (ismun), permusuhan, miring atau sesuatu yang tidak pas (pantas) dan biasanya kata junah} selalu menawarkan dua pilihan. ‘Dua pilihan’ ini terinspirasi dari sayap burung yang berjumlah dua dan kata ‘condong’ itu juga menawarkan dua hal misalnya, condong ke kiri atau ke kanan.

Beberapa ayat di dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa kata junah digunakan untuk menunjukkan perbuatan yang dulunya dianggap tidak pantas dan cenderung dosa atau bertentangan dengan agama Islam, padahal perbuatan tersebut tidaklah merupakan dosa. Al-Qur’an menyebutkan perbuatan (yang dulunya dianggap dosa padahal tidak itu) dengan menggunakan kata junah, misalnya Al-Baqarah (2):158.

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ



“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi`ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui”.



Al-Qur’an mengungkapkan dengan perkataan (fala junaha) tidak ada dosa sebab sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakan sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala dan di masa jahiliyah pun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. Untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini. Jadi, dulu sa’i di Shafa dan Marwah dianggap kurang pantas atau cenderung dosa padahal sebetulnya tidak dan perbuatan tersebut tidaklah condong ke dosa.

Dari keterangan di atas tampaknya dapat disimpulkan bahwa bahwa kata junah berarti suatu perbuatan yang kelihatannya tidak pantas dilakukan padahal perbuatan tersebut tidak merupakan atau tidak cenderung kepada perbuatan dosa. Kata junah juga selalu digunakan dalam bentuk kalimat negatif. Ketika kata ini digabungkan dengan kalimat negatif maka berarti perbuatan yang dilakukan itu tidak berakibat dosa, atau perbuatan itu tidak apa-apa. Kadang kata ini juga memberi pilihan dari dua hal yang sama-sama boleh dilakukan. Jadi, memilih salah satunya bukan merupakan dosa.



c.   Skema Lima Kata Dosa dalam Al-Qur’an

Skema ini dibuat berdasarkan pada keluasan cakupan makna lima kata dosa (khati’ah, jarmun, zanbun, ismun dan junahun)



















































1.   Khati’ah

Lingkaran terluar dan paling besar tersebut adalah khati’ah yang memiliki makna dosa secara umum. Hal ini terlihat dari dua puluh satu kata dari dua puluh kata khati’ah  di dalam al-Qur’an disebutkan dalam bentuk nakirah. Bentuk nakirah menunjukkan keumuman makna sehingga dengan sendirinya kata ini memiliki cakupan yang luas. Kata ini bisa mencakup kata z\anbun, is\mun atau yang lainnya. Dosa jenis khati’ah memuat jenis dosa baik yang disengaja maupun tidak, melakukan perbuatan yang tidak selayaknya yang berkaitan dengan etika, dan bisa juga dosa dalam konteks bertentangan dengan Allah SWT.

2.   Jarmun

Kata ini lebih banyak digunakan untuk menunjukkan akumulasi berbagai dosa, memuat berbagai jenis dosa hingga pada tingkat yang melampaui batas. Dalam lingkaran jarmun ini terdapat jenis-jenis perbuatan dosa yang beragam, bisa berupa zanbun. Dari banyaknya perbuatan-perbuatan dosa tersebut, maka terakumulasikanlah ke dalam sebuah lingkaran besar atau  bisa dikatakan bahwa jarmun adalah bentuk dosa yang sudah keterlaluan dan sudah melampaui batas.

3.   Zanbun

Kata zanbun kebanyakan digunakan untuk menunjukan dosa yang sudah lampau dan digunakan dalam konteks menentang Allah dan rasul-Nya. Sedikit sekali kata ini digunakan dalam konteks dosa bertentangan dengan manusia atau melakukan dosa atau kesalahan terhadap manusia.

4.   Ismun

Kata ini hampir sama penggunaannya dengan zanbun tapi penekanannya lebih pada konteks dosa karena melanggar hal-hal yang sudah diharamkan. Dan hal-hal yang sudah diharamkan ini, berarti sudah ada hukum yang berjalan di masyarakat pada saat itu. Makanya, kata ini lebih banyak turun di Madinah. Sehingga kata ini cakupannya lebih kecil ketimbang kata zanbun. Meskipun terkadang juga kata is\mun bermakna melawan Allah dan Rasul-Nya, mengingkari ayat-ayat Allah, dan perbuatan yang mendatangkan keburukan, permusuhan, dan menjauhkan dari manfaat, pahala dan kebaikan.

5.   Junah

Junah} lebih banyak digunakan untuk menyebut perbuatan yang dulunya dianggap dosa atau bertentangan dengan agama Islam, padahal perbuatan tersebut tidaklah merupakan dosa. Kata ini selalu didahului dengan kata laisa, fala dan la, untuk menyatakan bahwa perbuatan tersebut tidak berdosa, meskipun dulu perbuatan tersebut dianggap dosa. Dapat disimpulkan bentuk dosa seperti ini cakupannya lebih kecil dan lebih khusus.

C. Perbincangan Tentang Perbuatan Dosa

Al-Qur’an menyebut dosa dengan berbagai kata, sebagaimana dijelaskan di atas. Al-Qur’an membedakan kelima terma dosa yang menjadi objek kajian tersebut dalam makna dan penggunaan. Namun di dalam wacana kehidupan sehari-hari sejumlah ulama tidak begitu menaruh perhatian pada pembedaan terma tersebut.

Dosa dibicarakan dalam khazanah fikih, teologi, dan tasawuf. Dalam fiqih, perbuatan biasanya dibagi ke dalam lima kategori, yakni: wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram. Menurut para fuqaha tidak mengerjakan perbuatan yang wajib atau mengerjakan perbuatan yang haram berarti melakukan perbuatan dosa atau perbuatan yang menghasilkan dosa.[34] Ulama fikih sendiri tidak membedakan terma-terma dosa tersebut.

Dosa sebagai akibat buruk atau jahat dari perbuatan buruk atau jahat menurut ajaran Islam dapat dirasakan oleh pelakunya. Bila di dunia ini pelakunya belum merasakan akibat buruk atau jahat dari perbuatan dosa itu, niscaya kelak di hari akhirat pasti ia rasakan sebagai sesuatu yang membuatnya menderita atau merasa pahit dan tidak berbahagia.[35]

Dalam wacana teologi Islam, kaum Khawarij berkeyakinan bahwa dosa besar bila dilakukan oleh seorang mukmin dan ia tidak bertobat dari dosa besarnya itu, maka ia jatuh ke dalam status kafir. Ia kelak akan kekal di neraka. Mayoritas umat dan ulama Islam dari dulu sampai sekarang menolak pandangan Khawarij tersebut dan menilai bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar itu tetap disebut sebagai mukmin bukan kafir, meskipun terkadang disebut dengan sebutan mukmin yang berdosa.[36]

Lain lagi dengan pandangan Mu’tazilah. Dosa besar yang dilakukan oleh orang yang meyakini keesaan Allah dan kerasulan Muhammad, menurut Mu’tazilah, menjatuhkan posisi pelakunya kepada posisi fasik dan tidak sampai jatuh ke posisi kafir. Baik kafir maupun fasik, menurut pandangan mereka, akan diazab dengan azab yang kekal di neraka. Kendati azab untuk fasik lebih ringan dari azab untuk kafir.[37]

Perbuatan dosa dapat berakibat kepada diri pribadi pelakunya, sebagaimana dalam QS. Al-Jasiyah (45):15.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ

 “Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan”.



Artinya, seorang yang melakukan perbuatan dosa atau melanggar hukum syariat, di akhirat akan dijerumuskan dalam api neraka. Apabila yang dilakukan itu perbuatan pidana, maka di dunia orang tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukannya, seperti hukuman qisas (pembunuhan), potong tangan, dera, dan lain-lain.



D. Penutup

Dari beberapa penjelasan dan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa makna dosa dalam al-Qur’an menggunakan banyak ragam lafadnya, diantaranya khati’ah, jarmun, ismun, zanbun dan junah. Penggunaan kalimat tersebut bisa disimpulkan menjadi

1.      Khata’a menunjukkan sebuah kesalahan yang bersifat umum.

2.      Jarmun digunakan untuk menunjukkan sebuah dosa yang sudah berlebihan atau digunakan untuk menunjukkan pelaku dosa yang sudah berulang kali melakukan dosa. Karena itu, kata jarmun digunakan untuk menyebutkan akumulasi dosa. Maka jenis-jenis perbuatan jarmun sangat banyak.

3.      Zanbun disebutkan dalam konteks zanbun yang sudah lampau dan digunakan dalam konteks melawan atau menentang Allah.

4.      Ismun seringkali digunakan untuk dosa yang berhubungan dengan hal-hal yang sudah diharamkan.

5.      Junah selalu digunakan dalam bentuk kalimat negative, sering digunakan untuk mengganggap perbuatan tidak pantas meskipun bukan perbuatan dosa. Kata ini memiliki makna ‘cenderung pada dosa atau tidak sampai pada dosa’.



























DAFTAR PUSTAKA



Abi Hilal al-‘Askari, Mu’jam al-Furuq al-Lugawiyyah, Cairo: Dar al-Hadis, 1990

Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, Cairo: Dar al-Hadis, 1998.

Ali Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, Bandung: Risalah Gusti, 1986

Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna, Malang: Sinar Baru, 2001

Ar-Ragib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat Alfad} al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.th

IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992

Ibnu Manz}ur, Lisan al-‘Arab, Cairo: Dar al-Hadis, 2001

Jos Daniel Parera, Teori Semantik, Jakarta: Erlangga 2004

Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, 2002

Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, Caito: Dar al-Hadis, 2001

Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam., Penerjemah: Agus Fahri Husain, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994

Yahya Jaya, Peran Dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, Jakarta: YPI Ruhama, 1989

             [1]Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 22

                [2]Jos Daniel Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga 2004), hal. 2-5

                [3]Aminuddin, Semantik: Pengantar Studi tentang Makna, (Malang: Sinar Baru, 2001), hlm. 38

                [4]Jos Daniel Parera, Teori Semantik,… hlm. 11

                [5]Bersifat rasional. Bahasa ini menggambarkan apa yang telah lampau, sekarang dan akan datang

                [6]Menimbulkan emosi dan perasaan tertentu pada pendengar atau pembaca. 

                [7]Menimbulkan tindakan atau aksi

                [8]Bahasa yang bersifat mengatur, memberikan pikiran yang kritis dan spekulatif

                [9] Jos Daniel Parera, Teori Semantik,… hlm. 11-12

[10] Ali Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa Dalam Pandangan Islam, (Bandung: Risalah Gusti, 1986), cet. Ke-III, hlm. 34

[11] Yahya Jaya, Peran Dan Maaf Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta: YPI Ruhama, 1989), cet. ke-1, hlm. 30.



[12] Toshihiko Izutsu, Konsep Kepercayaan Dalam Teologi Islam., Penerjemah: Agus Fahri Husain, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 40.



[13] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, (Caito: Dar al-Hadis, 2001), hlm. 288.

[14] Abu al-Husain Ahmad Ibn Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis al-Lugah, (Cairo: Dar al-Hadis, 1998), juz 2, hlm. 450.

[15] Ibnu Manz}ur, Lisan al-‘Arab,  (Cairo: Dar al-Hadis, 2001), juz 5, hlm. 134-135.



[16]Ar-Ragib al-Asfihani, Mu’jam Mufradat Alfad} al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 151-152



[17]Abi Hilal al-‘Askari, Mu’jam al-Furuq al-Lugawiyyah (Cairo: Dar al-Hadis, 1990),  hlm. 48.

[18] Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat...,  hlm. 89

[19] Ibnu Manzur, Lisan...,  juz  2, hlm. 104-105.



[20] ‘Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras...,  hlm. 151-152.

[21] ‘Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras..., hlm.  339

[22] Ibn Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis..., juz 2, hlm. 130.

[23] Ibnu Manzur, Lisan..., juz 3. hlm. 89

[24] Al-Misri, Mu’jam al-Qur’an..., juz 1, hlm. 229.

[25]  Ibn Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis..., juz 1, hlm. 60

[26] Ibnu Manzur, Lisan..., juz 1, hlm. 79

[27] Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat..., hlm. 6. Lihat juga Al-Misri, Mu’jam al-Qur’an..., juz 1, hlm. 23.

[28] Al-‘Askari, Mu’jam al-Furuq...,  hlm. 9

[29] ‘Abd al-Baqi, Mu’jam Mufahras..., hlm. 40-42.

[30] Ibn Faris Zakariyya, Mu’jam Maqayis., juz 2, hlm 208.

[31] Ibnu Manzur, Lisan..., juz 2, 225.

[32] Al-Asfihani, Mu’jam Mufradat..., hlm. 98.



[33] Al-Mis}ri, Mu’jam al-Qur’an..., juz 1, hlm. 169.



[34] IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm.224.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Ibid

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar