A. PENDAHULUAN
Dalam kata pengantar terhadap kitab tafsir al Quran, Tafhim al Qur’an, Khursid Ahmad membuka komentarnya dengan mengatakan, keunikan Islam terletak pada kenyataan bahwa agama ini mendasarkan diri pada sebuah kitab, yakni al-Qur’an. Demikian pula dengan umatnya. Jika Islam sebagai agama bersumber pada al-Qur’an dan kehidupan umatnya juga bersumbear padanya, maka kita melihat hubungan segi tiga al-Qur’an_Agama_Umat. Itu berarti: identitas, personalitas histories, kebudayaan dan peradaban kaum muslim itu, berasal dan dibentuk oleh al-Qur’an[1].
Permasalahan yang timbul kemudian adalah, seberapa jauh pemahaman seseorang terhadad kitab suci ini dan aplikasinya terhadap kehidupan sosial terutama kalangan masyarakat awam. Itu berarti, diperlukan orang-orang, yang dengan pengetahuan luas, mampu memahami maksud-maksud al-Qur’an untuk ditransformasikan pada masyarakat. Satu diantara sekian orang itu adalah KH.Mohammad Hasyim Asy’ari, prototype ulama salaf yang menguasai berbagai ilmu agama secara mendalam.
B. MENGENAL SOSOK KH.HASYIM ASY’ARI
Lahir di sebuah dusun tepencil benama Gedang, 2 Kilometer sebelah utara Jombang, Jawa Timur, pada tanggal14 Februari 1871 di lingkungan pesantren yang kelak terkenal dengan nama Tambakberas, setelah selama 14 bulan dalam kandungan ibunya, Halimah. Anak ketiga dari sebelas bersaudara. Nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim, ayahnya bernama Kyai Asy’ari berasal dari Demak Jawa Tengah. Semasa hidupnya ia mendapat pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah berusia 14 tahun, ia berkelana menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, mula-mula di pondok Wononkoyo, Probolinggo. Kemudian ke Langitan ( Tuban ), Demangan ( Bangkalan ), dan Siwalan ( Sidoarjo ). Setelah lama menimba ilmu di Sidoarjo Hasyim muda mengesankan dirinya untuk meneruskan studi. Ia berguru kepada Kyai Ya’kub yang merupakan pengasuh di pesantren tersebut[2]. Melihat keistimewaan yang dimiliki muridnya, Kyai Ya’kub mengambilnya sebagai menantu untuk putrinya, Nafisah yang dilangsungkan pada tahun 1892 saat usia Hasyim 21 tahun.
Setelah itu Hasyim mennunaikan ibadah haji bersama mertua dan istrinya yang hamil. Ketika di Makkah itulah istrinya wafat saat melahhirkan, disusul kemudian putranya, Abdullah, wafat. Tidak lama setelah itu ia pulang ke tanah air tetapi mertuanya segera menganjurkan Hasyim untuk kembali ke Makkah menuntut ilmu disana. Dimungkinkan hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama belum dikaatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Makkah selama bertahun-tahun. Kematian istrinya memberi inspirasi untuk terus mengejar cita-cita: menjadi orang ‘alim, dan pemimpin bagi muslim Indonesia.
Guru-gurunya sewaktu belajar di Makkah adalah: Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfudz at-Termasi dan Syaikh Khatib Minangkabaw, sebelum beliau mengikuti faham reformasi Syaikh Muhammad Abduh. Juga kepada Syaikh Ahmad Amin al-Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmatullah dan Syaikh Sholeh Bafadlal. Dari Kyai Mahfudz, Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Hal ini cukup beralasan karena sebagian santri telah mempelajari fiqh dengan baik di Jawa, sementara di Makkah, mereka perlu mempelajari ilmu hadits disamping al-Qur’an beserta tafsirnya, sehingga dapat menyempurnakan pemahaman mereka terhadap fiqh. Oleh karena itu KH. Hasyim Asy’ari tercatat sebagai orang pertama yang mengajarkan hadits di pesantren, bahkan karena luasnya ilmu KH. Hasyim dalam bidang hadits, seorang gurunya, KH. Kholil Bangkalan pernah hadir dalam halaqah hadits yang disampaikannya.[3]
Ketika belajar di tanah suci ini Hasyim menunjukkan minatnya pada semua ilmu, tapi yang paling menonjol adalah di bidang hadits. Sesudah enam tahun bermukim di Makkah, datangalah kelurga Kyai Romli untuk menunaikan ibadah haji bersama putrinya, Khadijah. Kedatangan keluarga ini mengubah hidup Hasyim muda, karena tak lama kemudian Hasyim dinikahkan Kyai Romli dengan putrinya. Usai menikah, keluarga itu pulang ke tanah air.
C. KETERLIBATAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Sepulang dari tanah suci, Hasyim langsung terjun di dunia pendidikan, ini tak lain karena kepentingan memperjuangkan agama yang sudah menjadi bagian hidupnya. Karena itu ia ingin mendirikan pesantren. Ketika tekad itu disampaikan kepada beberapa temannya dan pesantraean itu akan didirikan di daerah Teabuireng yang terletak jauh dari kota Jombang, teman-teman Hasyim tidak semuanya mendukung.
Mereka tidak setuju beralasan, daerah itu tidak cocok untuk didirikan pesantren bukan hanya jauh dari kota Jombang, tetapi merupakan daerah yang sangat tidak aman. Di sana bercokol masyarakat yang belum beragama dan adat istiadatnya bertentangan dengan perikemanusiaan, seperti merampok, berjudi, berzina dan berbagai kemaksiatan lainnya. Di sepanjang jalan menuju Tebuireng waktu itu penuh dengan rumah-rumah prostitusi dan warung minuman keras.
Menghadapi kondisi seperti itu tekad Hasyim tidak surut, justru semakin mendorong semangatnya untuk segera mendirikan pesantren di Tebuireng. Dia berprinsip,bahwa menyiarkan agama berarti memperbaiki maasyarakat yang belum baik. Jika moral masyarakat sudah baik, maka apalagi yang perlu diperbaiki. Keputusan mendirikan pesantren baru ini dimaksudkan untuk menyampaikan ilmu yang telah diperoleh dan menggunakan pesantren sebagai sebuah agent social change. of Dia ingin mengubah struktur dalam masyarakat. Dia memandang pesantren lebih dari sekedar tempat pendidikan ataupun lembaga moral dan religius, tetapi sebuah sarana penting untuk membuat perubahan yang berarti dalam masyarakat secara luas. Hal ini merupakan bukti dalam menghadapi kritik, dia menggunakan contoh kehidupan Nabi dan upaya-upaya yang dilakukan Walisongo dalam mengislamkan masyarakat Jawa, sebagai model yang bijak untuk meyakinkan para kyai lain tentang perihal rencananya.
D. SETTING SOSIAL
Pendidikan pesantren mengalami kemajuan yang pesat sampai dengan akhir perang Diponegoro (1785-1855). Setelah itu, pendidikan Islam, meski secara kuantitas naik tapi secara kualitas mengalami kemunduran. Menurunnya kualitas itu antara lain karena pesantren selama masa perang dianggap sebagai kubu perang gerilya. Posisis ini terang sangat membahayakan pemerintah penjajah Belanda. Keadaan ini semakin diperparah ketika pada 1888 terjadi pemberontakan para kyai dan petani di Cilegon yang dipimpin pleh Kyai Wasir.[4]
Pemberontakan itu menjalar ke berbagai pelosok Jawa Barat. Sejak itu semua kegiatan pesantren diawasi oleh Belanda, bahkan penjajah melarang masuknya kitab-kitab agama tertentu dari luar negeri. Sejak itu pula penjajah menugaskan orientalis sejati, Snouck Hurgronye, untuk menyelidiki jemaah haji. Menurut Belanda, setiap pemberontakan berawal dari orang-orang yang naik haji dan pimpinan pesantren yang dianggap memiliki basis massa yang kuat. Berikutnya pada 1905 keluar ordonansi yang berisi ketentuan pengawasan terhadap perguruan yang hanya mengajarkan agama Islam.
Akibat itu semua terjadilah penurunan kualitas pesantren disamping karena minimnya literature juga karena renggangnya hubungan antar ulama pesantren. Kondisi seperti itu jelas tidak bias melahirkan kader-kader pemimpin dari pesantren yang berpandangan luas. Karena itu butuh pembaharuan, dalam kondisi seperti itulah muncul Kyai Hasyim Asy’ari lewat pesantrennya, Tebuireng. Hal lain yang perlu dicatat adalah, masa ketika Hasyim Asy’ari belajar di Makkah adalah masa dimana faham Wahabi mendapatkan tempatnya di hati penguasa Saudi Arabia, Raja Abdul Azis bin Saud. Penguasa ini tidak memberi kebebasan bagi pengikut madzab yang lain.
Ditengarai, bermukimnnya KH. Hasyim As’ari selama di Makkah telah menumbuhkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Interaksi sosial yang terjalin antar sesama pelajar dari Jawa khususnya dan daerah jajahan pada umumnya, talah membentuk kesadaran resistensi terhadap kolonialisme[5]. KH. Hasyim Asy’ari bukan iintelektual an sich yang bergumul dengan buku dan pesantren, sseperti tercermin dalam beberapa karyanya, tetapi memanfaatkan posisinya sebagai elit keagamaan dalam politik.
E. PAHAM KEAGAMAAN KH. HASYIM ASY’ARI
Fikiran yang paling mendasar dari KH. Hasyim Asy’ari, adalah pembelaannya terhadap cara beragama dengan sistim mahzab. Inilah pandangan yang erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas kaum muslim yang selama ini disebut Ahlussunnah wal jama’ah. Paham bermahzab timbul sebagai upaya untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah secara benar. Sebab, dalam sejarahnya, berbagai upaya pemahaman kedua sumber itu sering munimbulkan perselisihan pendapat. Perselisihan pendapat ini kemudian melahirkan para mujtahid besar dalam bidang keagamaan. Menurut Kyai Hasyim, untuk pemahaman dan pengalaman keagamaan ( fiqh ) ditetapkan empat mahzab ( Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi ). Sebenarnya tidak hanya empat mahzab itu saja yang boleh diikuti umat. Mahzab yang lain seperti Sufyan al- Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Ruhawaih dan Daud al-Zahiri, juga boleh diikuti, tetapi karena literature yang memuat fikiran-fikiran mereka tidak banyak, antara lain karena tidak terkodifikasi dengan baik, maka mata rantai pemikiran mereka jadi terputus. Itulah sebabnya, para pengikut Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang disetujui Kyai Hasyim selain mahzab empat, tidak diperbolehkan. Alasannya, Dikhawatirkan menyimpang dari pendapat pendirinya karena tidak adanya pelestarian kodifikasi tadi.[6]
Ditegaskan pula bahwa kini tidak mungkin memahammi maksud yang dikandung al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa mempelajari pendapat para ulama besar yang disebut imam mahzab. Jadi, fikiran-fikiran KH. Hasyim yang kemudian dibakukan menjadi semacam pedoman buat Nahdlatul Ulama, tentu saja tetap mengacu pada dua ujaran utama Islam yakni al-Qur’an dan al-Hadits, tetapi tetap menggunakan referensi pendapat ulama besar terdahulu. Sebab, seperti yang dikemukakan Zamachsari Dhofier, ”menafsirkan al-Qur’an dan al-Sunnah tanpa meneliti “kitab-kitab kuning”itu, hanya akan menghasilkan pemutar-balikkan fakta dari ajaran Islan yang sebenarnya.”[7]
F. PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY’ARI
1. Tentang Pendidikan
Kitab Adab al-Ta’lim wa al-Muta’alim merupakan tentang karya, konsep pendidikan. KH. Hasyim menulis kitab ini didasari atas kesadaran akan perlunya literature tentang etika dalam mencari ilmu. Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang mencarinya harus pula menunjukkan etika-etika yang luhur. Secara ringkas kitab ini memuat delapan bab yang dapat diklarifikasikan dalam tiga bagian, yakni tentang signifikansi pendidikan, tanggungjawab guru terhadap murid, dan tanggung jawab murid terhadap guru.
Kecenderungan lain dalam pemikkiran KH. Hasyim adalah mengetengahkan nilai-nilai estetis, kecenderungan ini terbaca dalam sikapnya yang sangat mementingkan ilmu dan pengajaran, misalnya dalam kitab tersebut KH. Hasyim mengawali pembahasannya dengan urutan-urutan argumentasi nash al-Qur’an kemudian Hadits dan pendapat para ulama. KH. Hasyim memaparkan tingginya status penuntut ilmu dan ulama dengan mengetengahkan dalil bahwa, Allah mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman beberapa derajat.
Ketegasan tingginya derajat orang berilmu sering diulang, mmisalnya dengan argument hadits al ‘ulama warasat al ‘anbiya’ ( ulama adalah pewaris para Nabi ). Hadits ini, menurut beliau, sesungguhnya menyatakan dengan jelas bahwa kedudukan para ulama adalah setingkat di bawah para Nabi, padahal tidak ada kedudukan yang lebih tinggi daripada Nabi. Karena itu derajat ahli ibadah masih kalah dengan ahli ilmu.
2. Tentang Sunnah dan Bid’ah
Dalam kitab Risalah Ahlu as Sunnah wa al_Jama’ah, KH. Hasyim menjelaskan uraiannya: Lafal as-Sunnah, dengan dibaca dhammah sin_nya dan ditasdid ( dicampur ) sebagaimana dikatakan oleh Abu al-Baqa’ dalam kuliahnya, secara bahasa berarti jalan yang diridhoi. Sedangkan menurut syara’ berearti nama bagi suatu jalan yang diridhoi yang diamalkan dalam agama sebagaiman yang diajarkan oleh Nabi SAW, nabi-nabi lainnya, dan orang-orang yang mengetahui tentang agama, seperti para sahabat RA ( radhiyallahu ‘anhum ). Hal ini berdasarkan sabda Nabi, “ Peganglah dengan kuat sunnahku dan sunnah khulafa’ al-rasyidin sesudahku.”
Adapun menurut tradisi, Sunnah adalah sesuatu yang dipegang teguh seorang pengikut, baik Nabi maupun Wali. Bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruuq dalam kitabnya ‘Iddah al-Murid, secara syara’ adalah membuat hal-hal baru dalam masalah agama seolah-olah termasuk bagian dari agama, padahal sebenarnya tidak. Setiap ulama yang mengemukakan suatu pendapat, maka pendapatnya itu tidak bisa disebut suatu bid’ah apabila mereka menentukan suatu hukum susuai dengan ijtihad masing-masing, yang tidak melewati batas. Juga tidak sah mengatakan bahwa pendapat yang lain batal karena ada syubhat. Karena seandainya seperti itu akan terjadi pembid’ahan umat secara keseluruhan. Suatu ketika Nabi SAW. pernah bersabda pada para Sahabat yang sedang menempuh perjalanan menuju tempat Bani Quraidhah, jangan sampai ada yang melakukan salat ashar kecuali di tempat Bani Quraidhah. Ternyata mereka bertemu waktu salat ashar ketika dalam perjalanan. Sebagian mereka berkata,” Kita diperintahkan untuk menyegerakan salat ( di awal waktu ), makanya mereka langsung mengerjakan salat ashar di jalan. Sementara sebagian yang lain mengatakan, Kita diperintahkan mengerjakan salat di daerah Bani Quraidah, makanya mereka menunda pelaksanaannya. Terhadap kedua pendapat tersebut, Rasul tidak menyalahkannya. Ini menunjukkan sahnya sebuah amalan berdasarkan pemahaman tentang syar’i, selama pemahaman itu tidak bersumber pada hawa nafsu[8].
Dalam kitab yang sama KH. Hasyim menyatakan,umat Islam di Jawa pada masa lalu telah mengikuti mahzab Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’I dalam fiqh, mengikuti mahzab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili dan Imam al-Ghazali dalam masalah Tasawuf. Kemudian pada 1330 H muncul bermacam-macam golongan, pemikiran-pemikiran yang berseberangan, dan para tokoh yang tarik-menarik. Diantara mereka ada ulama salaf ( tradisional ) yang konsisten terhadap prilaku ulama terdahulu dan pada mahzab tertentu, dan berpegang tetguh pada kitab-kitab yang representative. Sebagian yang lain adalah golomgan yang mengikuti pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, golongan terakhir ini mengharamkan apa yang telah disepakati umat Islam untuk dianjurkan, antara lain berziarah ke makam Nabi SAW, zikir dengan keras,dan lain-lainnya[9].
Pada dasarnya KH. Hasyim mengakui pendapat-pendapat Abduh dalam menghidupkan kembali nilai-nilai Islam. Namun ia menolak idenya yang lain untuk melepaskan diri dari ikatan mahzab. Berdasarkan poin kedua ini ia sepakat dengan Ahmad Khatib, namun ia tidak menganggap bahwa sufi dan praktik-praktik sunni yang lain bertentangan dengan ajaran Islam. Baginya, adalah mustahil untuk bisa mencapai signifikansi ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Hadits tanpa mempelajari dan memahami kitab-kitab klasik ulama abad pertengahan. Oleh karena itu, untuk memberikan interpretasi al-Qur’an dan hadits tanpa melakukan upaya-upaya ini merupakan pendistorsian terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya[10]
3.Kewajiban Taqlid Bagi Orang yang Bukan Mujtahid
Menurut mayoritas ulama yang alim, setiap orang yang tidak mempunyai kemampuan ijtihad, wajib mengikuti pendapat ulama mujtahid dan menerima fatwa-fatwa mereka walaupun ia telah memperoleh sebagian ilmu yang masuk kualifikasi ijtihad. Allah berfirman,”…maka betanyalah pada orang-orang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui ( an-Nahl ;43 ). Menurut KH. Hasyiim Asy’ari, Allah mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak berpengetahuan. Kata Ahl al-Dzikri pada ayat itu ditafsiri dengan “orang-orang yang berpengetahuan”. Itu berarti harus taqlid pada orang yang berpetahuan, mencakup apapun yang tidak mereka ketahui.[11]
Sejak masa sahabat dan tabi’in, ketika muncul permasalahan baru, mereka memohon fatwa pada para ulama mujtahid dalam masalah syari’at dan kemudian mereka mengikutinya. Sebagian ulama ada yang langsung menjawabnya tanpa harus menunjukkan dalil terebih dahulu. Sudah menjadi kesepakatan ulama, agar orang awam mengikuti mujtahid, karena pemahaman orang awam terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah tidak bisa dijadikan pegangan. Sesungguhnya, orang yang membuat bid’ah dan orang yang menyesatkan, mereka itu faham hukum al-Qur’an danas-Sunnah yang batal tetapi mereka tetap mengambil darinya, dan tetap tidak mau mengikuti kebenaran.
Orang awam tidak wajib mengikuti secara teguh satu mahzab untuk setiap persoalan. Orang yang taqlid, boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah persoalan yang terjadi, misalnya dia boleh mengikuti satu imam dalam salat dhuhur dan mengikuti imam yang lain dalam salat ashar. Taqlid setelah melakukan suatu pekerjaan hukumnya boleh.
Namun demikian, ada ancaman bagi mereka yang berijtihad menurut nafsunya. Firman Allah dalam QS. An-Nahl; 25 “ ( Ucapan mereka ) menyebabkan mereka pada hari kiyamat memikul dosa-dosanya sendiri dan dosa orang-orang yang mereka sesatkan “, dilanjutkan dengan hadits Nabi SAW ; ”Barangsiapa menciptakan tradisi kebajikan dalam Islam, maka dia akan peroleh pahalanya, dan pahala orang-orang yang mengikuti tradisi itu sesudahnya. Sementara siapa saja yang menciptakan tradisi tercela dalam Islam, maka dia akan peroleh dosa dan juga dosa orang lain yang mengamalkan tradisi itu sesudahnya, tanpa dikurangi sedikitpun dosa-dosa mereka.” Hadits diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Hilal dari Abdullah al-Bujly dalam Shahih Muslim[12]
- KARYA-KARYA KH. HASYIM ASY’ARI
Sebagai seorang intelektual, KH. Hasyim Asy’ari menyumbangkan banyak hal berharga bagi pengembangan peradaban. Diantaranya adalh sejumlah literature yang berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis Kyai Hasyim yang terkenal adalah sebagai berikut:
- Adab al-Alim wa al-Muta’alim Fima yahtaj ilail al-Muta’alim fi Ahwal Ta’alum wa ma yatawaqaf ‘alaih al-Muta’alim fi Maqamat Ta’limi ( Kitab yang membahas tentang tatacara mencari ilmu dan prilaku guru dan murid ).
- Ziyadat Ta’liqat, Radda fiha Mahzumat al-Syekh Abdullah bin Yasin al-Fasurani allati Bihujubiha ‘ala Ahl al-Jam’iyah Nahdlat al-‘Ulama ( Tambahan catatan-catatan. Kitab ini berisa tentang jawaban-jawaban KH. Hasyim Asy’ari terhadap pernyataan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan, yang dianggao beliau melemahkan warga Nahdlatul Ulama).
- al-Tanbihat al-Wajihat Liman Yashna’ al-Maulid al-Munkarat ( Mengingatkan hal-hal yang wajib. Kitab ini berisi peringatan kepada para santri dan umat Islam terhadap hal-hal yang wajib bagi orang yang mengadakan peringatan maulid Nabi Muhammad dengan cara-cara yang ingkar ).
- al-Risalat al-Jamiat, Sarh fiha Ahwaal al-Mauta wa Asyrath al-Sa’at ma’ bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah ( Kumpulan risalah-risalah. Kitab ini berisi tentang penjelasan-penjelasan orang yang meninggal dunia dan tanda-tanda hari kiyamat serta penjelasan tentang bid’ah dan sunnah ).
- Hasyiyah ‘ala Fath al-Rahman bi Sarh Risalat al-Wali Ruslan li Syekh al-Islam Zakariya al Anshari ( Kitab ini merupakan penjelasan/ syarah atas risalah wali Ruslan karya Syaikh al-Islam Zakariya al-Anshari ).
- al-Nur al-Mubbin fi Mahabbah Syayid al-Mursalin, Bain Fihi a’na al-Muhabbah li Rasul Allah Ma’wa yata’allaq Biha Man Ittiba’iha wa Ihya al-Sunnatih ( Cahaya penerang dalam mencintai sayidul mursalin. Kitab ini berisi tentang makna cinta kepada Nabi Muhammad SAW dan hal-hal yang mesti diikuti dalam rangka menghidupkan sunnahnya ).
- al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqathi’ah al-Ikhwan, bian fih Ahammiyat Shillat al-Rahim wa Dzarrur Qath’iha ( Larangan memutuskan persahabatan. Kitab ini menerangkan tentang pentingnya menjalin hubungan sillaturahim antar sesama muslim dan bahaya memutuskan sillaturrahin tersebut ).
- al-Durar al-Muntatsirah fi al-Masail al-Tis’a Asyarat, Sarh fiha Masalat al-Thariqah wa al-Wilayah wama Yata’allaq wa Umar al-Muhimmah li Ahl al-Thariqah ( Taburan permata indah tentang sembilan belas perkara. Kitab ini membahas 19 masalah thariqat ).
- al-Risalat al-Tauhidiyah, wahiya Risalah Shaghirah fi Bayan ‘Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ( Risalah ketauhidan. Kitab ini merupakan risalah kecil tentang ahlussunnah wal jama’ah ).
- al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min al-Aqo’id ( Kalung perhiasan. Kitab ini menerangkan tentang aqidah-aqidah yang wajib ).
Mungkin masih banyak kitab-kitab lain yang ditulis oleh KH. Hasyim Asy’ari, tetapi belum berhasil diungkapkan, namun karya-karya di atas sudah cukup untuk mewakili karya-karya beliau.
[1] M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Qur’an ( Jakarta: Paramadina, 2002 )
[2] KH. Azis Masyhuri, 99 Kyai Kharismatik Indonesia ( Yogyakarta, Kutub, 2008 )
[3] Ibid. hal. 226
[4] Ibid. hal. 282
[5] Muhammad Ainun Najib, Islam sebagai etika politik, perspektif KH. HAsyim Asy’ari ( Surabaya, Antologi Kajian Islam, IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007 )
[6] Hal 264
[7] Zamachsary Dhofier, Tradisi Pesantren ( Jakarta LP3S,1985 )
[8] Risalah ahl as sunnah wal jama’ah hal 5-6
[9] Risalah Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah
[10] 99 Kyai Kharismatik Indonesia hal 245
[11] Risalah hal.16
[12] Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah hal.22
Makalah Pemikiran Kiayi Hasyim Asy'ari, Biografi Kiyai Hasyim Asy'ari
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar