PEMIKIRAN HADIS DI KALANGAN SYI’AH | Hadis Menurut Mazhab Syiah

Admin Thursday, December 16, 2010
Oleh: M. Su’ud, Lc.

A. Pendahuluan
Sebagai salah satu kajian terhadap teks-teks keagamaan seperti tafsir, fiqh dan tauhid, hadits nampaknya terlahir sebagai sebuah kajian awal dalam diskursus keagamaan agama Islam. Bahkan dalam tataran wacana, eksistensi kajian terhadap hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam yang secara umum mempunyai posisi sebagai penjelas bagi al-Qur'an. Realitas tersebut jelas menempatkan hadits sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur'an.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah, ditemukannya sebuah kenyataan bahwa terdapat perbedaan keyakinan dalam aliran-aliran Islam dalam menyikapi hadis nabi Muhammad sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Diantaranya adalah perbedaan konsepsi secara metodologis yang bergulir dalam wilayah kajian epistemologis seputar hadis nabi.
Oleh karena itu dalam kajian ini, penulis berusaha untuk menelusuri konsep epistemologis kolompok Syi’ah dalam kajian hadis nabi, dan bagaimana Implikasinya terhadap kuwalitas hadis nabi.

B. Syi’ah Dalam Lintasan Sejarah
1. Syi‘ah dan Sejarah Kemunculannya
Secara etimologi, kata Syi’ah dalam bahasa Arab terambil dari akar kata shya’a—shiya’an yang berarti mengikuti atau menemani (تبع, رافق). Senada dengan itu adalah yang ditulis oleh Quraish Shihab dalam Sunah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungknkah menjelaskan bahwa, syi’ah berarti pengikut, pendukung, pembela, pecinta yang kesemuanya mengarah kepada makna dukungan kepada ide atau individu dan kelompok tertentu.
Pendapat diatas sejalan dengan apa yang ada di dalam Al-Qur’an, dimana kata Syi’ah juga digunakan dalam Al-Qur’an dalam pengertian pendukung kuat dan pengikut setia:
   
Dan Sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (QS. Ash-Shaffat, 37:83).

Adapun secara terminologi, Al-Shahrastani mendefinisikan Syi’ah sebagai:
الذين شايعوا عليا رضي الله عنه على الخصوص وقالوا بإمامته وخلافته نصا ووصية إما جليا وإما خفيا واعتقدوا أن الإمامة لا تخرج من أولاده وإن خرجت فبظلم يكـون من غيره أو بتقيــة من عنده.
Yakni, mereka yang mengikuti ‘Ali secara khusus dan mengatakan bahwa ada nas dan wasiyah atas kekhalifahan dan keimaman beliau serta beri’tiqad bahwa imamah tidak boleh jatuh ke tangan selain keturunan ‘Ali, jika sampai jatuh ke tangan orang lain maka hal itu terjadi sebagai kedzaliman atau taqiyah daripadanya.
Senada dengan itu adalah yang dinyatakan oleh Ibn Hazm, menurut dia barangsiapa yang sependapat bahwa ‘Ali adalah sebaik-baik manusia setelah Rasul saw. dan orang yang paling berhak menjadi imam beserta keturunannya, merekalah yang disebut Syi’ah.
Dari beberapa pengertian tentang Syi’ah tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Syi’ah secara umum dikenal sebagai nama bagi segolongan orang yang mengutamakan ‘Ali dan ahl al-bait dan berkeyakinan bahwa merekalah yang paling berhak atas imamah/khilafah sepeninggal Rasulullah saw.
Terkait masa kemunculannya, ulama banyak berbeda pendapat, dimana sebagian menyatakan bahwa Syi’ah mulai lahir setelah wafatnya Nabi saw, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa Syi’ah muncul pada peristiwa terbunuhnya ‘Uthman. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa pada masa kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Uthman tidak ada seorang pun yang disebut sebagai Syi’ah dan pula label Syi’ah tidak disandarkan pada siapapun. Ketika ‘Uthman terbunuh, umat Islam tercerai berai, satu kelompok mendukung ‘Uthman dan yang lain mendukung ‘Ali, ketika itu pulalah disebut sebagai Syi’ah ‘Uthman dan Syi’ah ‘Ali. Selanjutnya, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa lahirnya Syi’ah adalah pada masa perang shiffin, atau lebih tepatnya saat peristiwa tahkim antara ‘Ali dan Mu‘awiyyah, pada masa itulah Syi’ah lahir bersama pula lahir kelompok Khawarij.
Namun penulis lebih cenderung setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa aliran Syi’ah sudah ada sejak masa Rasulullah dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut ini:
Pertama, ketika Rasulullah saw. mendapat perintah dari Allah swt. untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan wasi-ku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali ‘Ali.
Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahl al-Sunah dan Syi’ah, Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa ‘Ali. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, ‘Ali adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullâh saw. di malam peristiwa lailah al-mabit ketika Rasulullah saw. hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, Peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh ‘Ali, di hadapan seratus dua puluh ribu umat, beliau mengangkat tangan ‘Ali tinggi-tinggi dan mengatakan: “Barangsiapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya, maka ‘Ali adalah pemimpinnya juga”.
Keterangan di atas, sesuai dengan Ibn al-Atsir yang meriwayatkan bahwa nabi s.a.w. berkata kepada Ali: “kamu beserta para pengikut dan pendukung setiamu akan datang di hadapan Allah dalam keadaan ridha dan diridhai, sedangkan musuh-musuhmu akan berang dan adalam kondisi terbelenggu,” dan kemudian nabi s.a.w. melingkarkan tangannya ke lehernya untuk memperlihatkan bagaimana kejadiannya kelak.
Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa aliran Syi’ah adalah pengikut dan pendukung Ahlulbait nabi s.a.w. yang lahir pada zaman nabi s.a.w, dan berkembang menjadi sebuah kelompok politik dan filosofi yang mendukung Imam Ali setelah wafatnya nabi Muhammad s.a.w.

2. Perpecahan dalam Syi’ah hingga Lahirnya Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Ashariyyah
Dalam sejarah perjalanan Syi’ah, telah terjadi banyak perpecahan yang tidak mungkin untuk kami ungkapkan dalam tulisan singkat ini. Namun, secara umum perpecahan yang terjadi di kalangan Syi’ah tersebut bermula dari persoalan imamah. Pada akhirnya, semua kelompok dan aliran Syi’ah yang sekian banyak telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyyah, Syi’ah Isma‘iliyyah dan Syi’ah Imamiyyah Ithna ‘Ashariyyah. Lebih jauh mengenai ketiga aliran tersebut adalah sebagai berikut:
a. Syi’ah Zaidiyyah
Zaidiyyah adalah para pengikut Zaid bin ‘Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner. Ia lahir dan dibesarkan, bahkan hidup dalam kondisi social yang tidak menyenangkan dimana semua orang mendambakan keadilan atas penindasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh pemerintahan.
Syi’ah Zaidiyah menetapkan bahwa Imamah dapat diemban oleh siapa saja yang memiliki garis keturunan sampai dengan Fatimah, puteri rasul s.a.w. asalkan yang bersangkutan mempunyai kepandaian, adil, dan berani mengangkat senjata melawan kezaliman. Syi’ah Zaidiyah kendati berkeyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. adalah sahabat Nabi yang paling mulia, namun mereka mengakui sahabat-sahabat nabi sebelumnya sebagai khalifah yang sah. Kelompok Syi’ah ini dinilai sebagai kelompok yang paling dekat dengan Ahlussunah wal Jama’ah.


b. Syi’ah Isma‘iliyah
Pada dasarnya kelompok ini termasuk ke dalam Syi’ah Imamiyah karena mengakui bahwa pengganti ‘Ali Zainal ‘Abidin (imam keempat) adalah Abu Ja‘far Muhammad al-Baqir. Syi’ah Isma‘iliyah mengakui bahwa pengganti Ja‘far al-Saddiq (imam keenam) adalah Isma‘il sebagai imam ketujuh. Isma‘il sendiri ditunjuk oleh Ja‘far al-Saddiq, namun Isma‘il wafat mendahului ayahnya. Kelompok ini juga dinamakan Syi’ah Imamiyyah Sab‘iyyah, karena mereka hanya mempercayai tujuh imam sejak sayyidina Ali ra. Dan berakhir pada Muhammad, putera Isma’il. Pusat kelompok ini sekarang berada di provinsi Gujarat, Maharashtra, dan kota-kota besar lainnya di India dan Pakistan.
c. Syi’ah Imamiyyah Itsna ‘Ashariyah
Aliran ini juga biasa dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah. Ia adalah kelompok Syi’ah yang mempercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya merupakan keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra’ puteri rasulullah s.a.w. Kelompok ini merupakan mayoritas penduduk Iran, Irak, serta ditemukan juga di beberapa daerah di Suriah, Kuwait, Bahrain, India, dan juga di Saudi Arabia, serta beberapa daerah (bekas) Uni Sovyet. Adapun Para imam yang mereka yakini tersebut adalah:
No Nama Imam Panggilan Gelar Lahir Wafat
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 Ali bin Abi Thalib r.a
Hasan bin Ali r.a.
Husein bin Ali r.a
Ali bin Al-Husain r.a
Muahmmad bin Ali bin al-Husain
Ja’far bin Muhammad bin Ali
Musa bin Ja’far bin al-Husain
Ali bin Musa bin al-Husain
Muhammad bin Ali bin Ja’far
Alin bin Muhammad bin Ja’far
Al-Hasan bin Ali bin al-Askari
Muhammad bin al-Hasan al-Askari
Abu Hasan
Abu Muhammad
Abu Abdillah
Abu Muhammad
Abu Ja’far
Abu Abdillah
Abu Ibrahim
Abul Hasan
Abu Ja’far
Abul Hasan
Abu Muhammad
Abul Qasim Al-Murtadha
As-Saki
As-Syahid
Zainal Abidin
Al-Baqir
As-Shadiq
Al-Kadzim
Ar-Ridla
Al-Jawad
Al-Hadi
Al-Askari
Al-Mahdi 23 SH
2 H
3 H
38 H
57 H
83 H
128 H
148 H
195 H
212 H
232 H
- 40 H
50 H
61 H
95 H
114 H
148 H
183 H
203 H
220 H
254 H
260 H
-

kelompok aliran ini memiliki beberapa doktrin yang mewarnai alam pemikiran mereka, antara lain:
1) Imamah
Perbedaan yang sangat menonjol antara kelompok Syi’ah dan AhluSunah adalah masalah Imamah. Dimana Syi’ah Imamiah memandang sangat penting arti Imamah atau kepemimpinan dalam masyarakat Islam. Sikap ini sangat jelas terungkap dalam pernyataan Imam As-Shadiq sebagai berikut:
“jika di muka bumi ini yang ada hanya tinggal dua orang saja, maka yang salah satu dari kedua orang itu harus menjadi imam”
Adapun yang dimaksud dengan imamah di sini adalah, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Ghita -seorang ulama besar dan mujtahid Syi’ah- adalah: “yang dimaksud dengan Imamah oleh kelompok Syi’ah Imamiah adalah suatu jabatan Ilahi, dimana Allah telah melilih seseorang berdasarkan pengetahuannya yang azali menyangkut hamba-hambanya, sebagaimana Dia memilih nabi. Dia memerintahkan kepada nabi untuk menunjukkan kepada umat dan memerintahkan mereka untuk mengikutinya. Kelompok Syi’ah Imamiyah percaya bahwa Allah s.w.t memerintahkan babi-Nya untuk menunjuk dengan tegas Ali dan menjadikannya pemimpin manusia setelah beliau wafat.
Syi’ah Imamiyah memahami Imamah sebagai sebuah fungsi intelektual dan politis yang diberikan kepada prson imam yang masih termasuk keturunan nabi s.a.w. mereka juga menegaskan bahwa seorang imam harus mempunyai wawasan keilmuan yang luas karena seorang imam adalah pelindung hukum agama yang mendorong orang untuk beribadah kepada Allah dan menjelaskan kepada mereka tentang Al-Qur’an dan sunah nabi. Oleh karena itu para imam dari golongan ahlu bait nabi Muhammad s.a.w diakui sebagai pemimpin-pemimpin itelektual tertinggi sebagai otoritas agama yang menjadi sumber ilmu bagi para ulam dan ajaran-ajaran mereka diikuti.
2) Al-Bada'
Bada'’ dalam makna kebahasaan adalah penempakan diketahui-nya sesuatu setelah sebelumnya tidak namoak atau tidak diketahui. Dalam hal ini Syi’ah mengakui tentang apa yang dinamakan dengan Bada’, dimana ketika hal ini dinisbahkan pada manusia, maka akan berarti munculnya sebuah pendapat yang tidak pernah ada sebelumnya dan terjadinya perubahan niat pada suatu pekerjaan yang sebelumnya ingin dilakukannya terjadi sesuatu padanya yang merubah pendapat dan pengetahuannya sehingga muncul niat untuk meninggalkan perbuatan itu setelah sebelumnya ingin melakukannya. Ini terjadi lantaran ketidaktahuan manusia akan kemaslahatan dan penyesalan yang terjadi setelahnya.
Dengan demikian, jika bada’ disandarkan sebagai sifat Allah, maka bada’ adalah ketiadaan pengetahuan yang dimiliki Allah terhadap sesuatu sebelum sesuatu itu terjadi, maka hal yang demikian ini mustahil adanya bagi Allah karena itu adalah bagian dari kebodohan dan kekurangan. Dalam kaitannya dengan hal ini Syeikh Ja’far menolak pendapat yang menyatakan bahwa Syi’ah mempercayai bada’ atau pembatalan yang disebabkan karena Allah tidak mengetahui. Beliau menyatakan bahwa pendapat seperti itu adalah merupakan sebuah kebohongan yang dilontarkan kepada Syi’ah, karena sesungguhnya Syi’ah Imamiyah sepakat menyatakan bahwa Allah s.w.t Maha mengetahui segala sesuatu dan semua peristiwa yang telah lalu, sekarang, dan yang akan datang.
3) Raj’ah
Di antara I'tiqad Syi’ah yang terpenting dan menjadi salah satu asas agama mereka adalah aqidah raj'ah, yaitu keyakinan hidup kembali di dunia ini sesudah mati, atau kebangkitan orang-orang yang telah mati di dunia.
Pendapat mereka tentang raj‘ah ini didasarkan pada pemberitaan nash dari ahl al-bait bahwa Allah akan menghidupkan kembali suatu kaum yang telah meninggal ke alam dunia dalam bentuk semula mereka; ada kelompok yang dimuliakan dan ada pula yang dihinakan. Kaum yang benar akan meminta pertanggungjawaban dari kaum yang salah, dan mereka yang tertindas akan meminta pertanggungjawaban dari yang mendzalimi. Ini terjadi pada masa berkuasanya al-Mahdi dari ahl al-bait Muhammad saw.
4) Taqiyyah
Ia adalah ciri khusus Syi’ah Imamiyah dimana mereka melakukannya jauh lebih sering daripada kelompok-kelompok yang lain termasuk AhlusSunah. Tentang pengertian taqiyyah ini, al-Raghib al-Asfahani menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “taqiyah” adalah “sebuah perlindungan dari apa saja yang bisa mencelakai sesuatu. Pengertian lain menyebutkan bahwa taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinannya, serta menyembunyikannya dari orang-orang yang berbeda dengan mereka dan tidak menampakkannya kepada orang lain karena dikhawatirkan akan berbahaya terhadap aqidah dan dunianya.
Ringkasnya, taqiyyah adalah berdusta untuk menjaga rahasia. Hakekat Syi’ah memang terkadang sulit diketahui para pengikutnya sendiri. Itu semua dikarenakan aqidah taqiyyah (sikap menjaga rahasia) yang ada pada mereka.

C. Pemikiran Hadis dalam Perspektif Syi’ah Imamiah (Itsna Asyariah)
1. Menyingkap Pengertian Hadis dan Sunah
Sunah dalam tradisi Syi’ah mempunyai pengertian bahwa segala ucapan, perkataan, serta perbuatan orang-orang yang ma’sum, yang selalu dipandang shahih (benar) dan tidak mungkin ditemukan kesalahan-kesalahan ataupun dusta di dalamnya. Pernyataan ini seperti yang dikemukakan oleh Ja’far as-Subhani dalam bukunya Ushul al-Hadis fi Ilmi ad-Dirayah sebagai berikut:
السنة هي : نفس قول المعصوم أو فعله أو تقريره ، وبهذا المعنى ليس له إلا قسم واحد وهو الصحيح المصون عن الكذب والخطأ.
Sedangkan Hadis menurut pandangan mereka adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada yang Ma’sum, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Dari ketentuan tersebut dapat dikemukakan bahwa kuwalitas hadis mempunyai dua kemungkinan, sahih dan Dha’if.
الحديث هو : كلام يحكي قول المعصوم أو فعله أو تقريره ، وبهذا الاعتبار ينقسم إلى الصحيح ومقابله ، وبهذا علم أن ما لا ينتهي إلى المعصوم ليس بحديث
Dari definisi tersubut, memberi kesimpulan bahwa hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik adalah yang sanadnya bersambung kepada yang Ma’sum. Disamping itu pengertian di atas memberikan gambaran bahwa sesungguhnya sumber-sumber hadis bukan hanya nabi Muhammad, melainkan setiap imam yang ma’sum sehingga apa yang datang dari mereka tentunya dapat dijadikan hujjah (dasar hukum) dalam Islam.

2. Hakikat Sunah Nabi
Dalam sistem keyakinan dan teologi Syi’ah Imamiah, Hadis nabi seperti yang dijelaskan di atas berisi semua yang datang dari nabi, baik dalam bentuk komnikasi lisan atau tertulis, maupun dalam bentuk tindakan dipandang sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Dengan tegas Imamiah memanndang sunah nabi sebgai sumber untuk menjelaskan al-Qur’an dan hukum al-Qur’an.
Pernyataan mereka di atas diperkuat oleh argument, bahwa al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk menerima dan mengamalkan sunah nabi seagaimana diungkapkan dalam ayat al-Qur’an:
•                                 •   •   
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS. al-Hasyr, 59:7)


Dalam hadis nabi juga ditegaskan untuk menerima segala sesuatu yang datang dari nabi:
عدة من أصحابنا, عن أحمد بن محمد بن خالد, عن أبيه, عن النضر بن سويد, عن يحي الحلبي, عن أيوب بن الحر قال: سمعت أبا عبدالله صلعم يقول: كل شئ مردود الى كتاب الله والسنة. وكل حديث لا يوافقه كتاب الله فهو زخرف.
Disamping itu nabi s.a.w mendesak umat Islam untuk menghapal, mencatat dan menyampaiakan sabda-sabdanya: “semoga Allah merahmati para penerusku,” dan nabi mengulanginya sebanyak tiga kali. Ketika ditanya mengenai dua penerus beliau, nabi menjawab: “mereka adalah orang-orang yang setelah aku meninggal menyampaikan perkataan dan tradisiku.”
Berdasarka hal di atas dalam tradisi Syi’ah pra imam Ahlubait nabi mencatat kata-kata dan tindakan nabi yang disampaiakan dari satu imam kepada imam yang lain, dimana kesemuanya dikenal jujur dan andal, sehingga tidak ada mata rantai yang lemah dalam setiap perawi hadis dalam pandangan Syi’ah Imamiyah. Karena itu, tidak diperlukan lagi tidak diperlukan lagi sumber-sumber yang lain bagi hukum Islam, karena sudah ada sumber yang otentik dan hadal, yaitu al-Qur’an dan sunah nabi.
Sedangkan menurut Syi’ah Imamiah, kelompok AhluSunah harus rela kehilangan banyak sekali sabda dan riwayat dari nabi Muhammad, karena pada awal peradaban Islam, para khalifah, Abu Bakar, Umar telah melarang pencatatan sabda nabi, kemudian larangan ini terus berlangsung sampai pada masa bani Umaiyah dan berakhir pada masa kepemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mulai memberikan perintah untuk segera membukukan hadis. Usaha kodifikasi hadis mulai direalisasikan pada masa pemerintahan kalifah Umar bin Abdul Aziz (khalifah kedelapan Bani Umayah), melalui instruksinya kepada walikota Madinah, Abu Bakar bin Muhammad Bin ‘Amr bin Hazm yang berbunyi “ Tulislah untukku hadis rasullullah SAW. yang ada padamu melalui hadis ‘Amrah (binti Abdurrahman) sebab aku takut akan hilang dan punahnya ilmu.” (riwayat Al-Darimy).
Atas insturksi ini, Ibnu Hazm lalu mengumpulkan hadis-hadis nabi baik yang ada pada dirinya maupun pada ‘Amrah murid kepercayaan Siti Aisyah. Disamping itu, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis surat kepada para pegawainya diseluruh wilayah kekuasaannya, yang isinya sama dengan isi suratnya kepada Ibnu Hazm. Orang pertama yang memenuhi dan mewujudkan keinginannya ialah seorang alim di Hijaz yang bernama Muhammad bin Muslim bin Syihab az-Zuhri al-Madani (124H), yang menghimpun hadis dalam sebuah kitab. Khalifah lalu mengirimkan catatan itu kesetiap penjuru wilayahnya.

3. Syi’ah dan Tradisi Penulisan Hadis
Pentingnya hadis dan peranannya dalam berbagai masalah politik dan social telah menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya. Kepekaan –menurut keyakinan dan tradisi Syi’ah- ini telah diwujudkan dengan cara membukukan hadis yang dimulai sejak permulaan Islam.
Dalam hal ini Dr. Syauqi Dhaif menyatakan:
Perhatian Syi’ah terhadap penulisan fiqh sangatlah kuat. Alasan dibaliknya adalah keyakinan kepada para imam mereka bahwa mereka adalah pembimbing (hadi) dan yang dibimbing oleh Tuhan (mahdi) dan, karenanya, seluruh fatwa mereka bersifat mengikat. Karena itum mereka memberikan perhatian kepada fatwa dan keputusan Ali. Dengan alasan inilah himpunan pertama dibuat oleh kalangan Syi’ah, yaitu Sulaim ibn Qais al-Hilali, seorang yang hidup sezaman dengan al-Hajjaj.

Kenyataan ini diperkuat dengan adanya bukti bahwa para Imam Syi’ah telah memiliki kumpulan buku tentang hadis rasul, hal ini dapat kita ketahui dari hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Udhafir al-Shairafi:
Saya bersama al-Hakam ibn Utaibah berunjung kapada imam al-Baqir. Al-Hakam menyampaikan kepadanya sutu pertanyaan. Abu Ja’far (imam al-Baqir) sangat menghormatinya. Mereka berselisih pendapat tentang suatu hal, tatkala Abu Ja’far berkata, “Anakku, bangunlah dan ambilkan kitab Ali untukku.” Ia lalu membawa sebuah buku besar. Imam membukanya dan melihat-lihatnya sampai menemukan masalah itu. Lalu Abu Ja’far berkata, “ ini adalah tulisan tangan Ali sendiri dan didiktekan oleh rasulullah….

Semua pernyataan di atas menunjukkan, bahwa tradisi penulisan hadis di kalangan Syi’ah telah mendahului perintah tentang penulisan hadis oleh rasulullah, penulisan hadis ini merupakan tradisi yang sudah ada dan dimulai dari masa nabi yang dikokohkan oleh Ali. Oleh karena itu dalam pandangan Syi’ah adanya pembukuan hadis yang dimulai sejak awal Islam menunjukkan akan keaslian dan keotentikan hadis, karena adanya kesinambungan akan bimbingan dari para Imam yang Ma’shum hingga adad ke 3H. menurut mereka orang-orang Syi’ah telah lebih dulu memulai penulisan hadis didasarkan kepada keyakinan mereka atas kepemimpinan para Ahlulbait, yang kehadirannya tetap berlangsung hingga pertengahan abad ke-3H. dengan demikian hadis Syi’ah lebih diyakini keabsahannya karena tidak mengalami penundaan penulisan.

4. Konsep Tentang Kuantitas Pe-rawi Hadis
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa dalam menyampaikan hadis terkadang nabi berhadapan dengan sahabat yang berjumlah banyak, terkadang hanya beberapa sahabat, dan bahkan tidak jarang beliau meriwayatkan hadis hanya kepada satu ataupun dua orang saja. Oleh karena itu sudah barang tentu, informasi yang di dapat dari banyak orang lebih meyakinkan disbanding informasi yang di bawa oleh segelintir orang saja.
Berdasarkan hal di atas, pembagian hadis ditinjau dari aspek kuantitas periwayat dalam tradisi Syi’ah terbagi menjadi dua, Mutawatir dan Ahad sebagaimana yang akan kami jelaskan di bawah ini.
a. Mutawatir
Secara bahasa adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang secara berturut-turut. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah:
     •   •             
Kemudian kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul kami berturut-turut. tiap-tiap seorang Rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, Maka kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain. dan kami jadikan mereka buah tutur (manusia), Maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-Mu’minuun, 23:44).

Dari ayat di atas terdapat kata yang berbentuk Masdar (kata benda) yang mengandung pengertian akan kesinambungan dimana antara yang satu dan lainnya tidak terpisah dalam waktu yang lama.
Adapun pengertian mutawatir menurut istilah mempunyai banyak pengertian, diantaranya adalah “ hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang, yang dalam periwayatannya menurut kebiasaan mustahil untuk melakukan kesepakatan untuk berdusta”. Pendapat yang lain menjelaskan bahwa hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang, dimana riwayat tersebut bisa dipastikan kebenarannya tanpa melalui qarinah (keterangan pendukung).
Berkaitan dengan hadis mutawatir, dalam tradisi Syi’ah selain syarat-syarat di atas, mereka memberikan persyaratan laian yang harus dipenuhi, yaitu seluruh periwayat hadis dalam sanad harus berasal dari imam ma’shum dalam semua tingkatan.
Mutawatir itu sendiri terbagi menjadi dua bagian:
1) Mutawatir lafzi, adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak, seperti yang sudah disebutkan di atas, dimana dari awal sampai akhir sanadnya dengan satu lafaz, atau dengan bentuk yang sama. Seperti hadis nabi dibawah ini:
قَالُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Hadis di atas diriwayatkan oleh beberapa perawi dengan lafaz yang sama, sehingga hadis tersebut termasuk kategori hadis mutawatir lafzi
2) Mutawatir ma’nawi, adalah hadis yang yang dalam periwayatannya tidak disyaratkan adanya kesamaan lafaz, akan tetapi esensi yang dikandungnya masih mempunyai kesamaan antara hadis yang satu dengan yang lain.

b. Ahad
Hadis Ahad menurut golongan Syi’ah adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang yang tidak mencapai derajat mutawatir sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Hadis ahad mempunyai dua bagian; 1). Hadis Ahad yang tidak disertai dengan qarinah (keterangan pendukung); 2). Hadis Ahad yang mempunyai qarinah. Seperti contoh, ketika ada sebuah kabar dari seseorang yang menyatakan bahwa Zaid telah meninggal dunia, dan pada kenyataannya terdapat isak tangis dan ratapan dari dalam rumah orang yang meninggal dunia, serta adanya tanda-tanda lain, yaitu banyaknya orang yang berdatangan silih berganti, maka hal ini adalah disebut sebagai qarinah yang memperkuat kabar seseorang tersebut sehingga kabar berita itu bisa dianggap benar dan terpercaya.

5. Metode Verivikasi Otentitas Hadis dan Klasifikasi Kuwalitasnya
Dalam Prinsip Syi’ah, mereka mengakui sebagaimana umat Islam pada umumnya, bahwa hadis nabi memiliki peranan penting yang berfungsi sebagai penjelas al-qur’an. Akan tetapi dikarenakan adanya beberapa kesalahan pada masa awal Islam di dalam memelihara dan menjaga hadis oleh suatu kelompok di antara pengikut nabi, sehingga saat ini hadis yang merupakan sumber hukum yang kedua menghadapi berbagai permasalahan dalam menentukan keabsahannya. Oleh karena itu mereka menentukan beberapa kriteria terhadap verivikasi otentitas hadis dengan cara menentukan klasifikasi kuwalitas masing-masing hadis sebagai berikut:

a. Hadis Shahih
Dalam kaitannya dengan hadis shahih ulama Syi’ah memberikan definisi bahwa, Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung sampai kepada imam yang ma’shum yang mempunyai sifat adil dalam semua tingkatan perawi hadis walaupun pada akhirnya hadis tersebut terdapat unsur syadz . Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ja’far as-Subhani dalam bukunya Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘Ilmi ad-Dirayah sebgai berikut:
الحديث الصحيح هو : ما اتصل سنده إلى المعصوم بنقل العدل الإمامي عن مثله في جميع الطبقات واٍن اعتراه شذوذ
Dari penjelasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa hadis shahih dalam pandangan Syi’ah adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’sum sehingga semua hadis tidak bisa kategorikan menjadi hadis shahih jika para periwayatnya bukan dari golongan Imamiyah Itsna Asyariyah dalam semua tingkatan. berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya ulam-ulam Syi’ah terbilang sangat selektif dalam menerima hadis, dimana mereka akan menerima hadis apabila diriwayatkan melalui Ja’far as-Shadiq, dari ayahnya Muhammad al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin, dari ayahnya Sayyidina Husain, dari Ayahnya Ali bin Abi Thalib, serta dari rasulullah s.a.w.
Dalam tradisi Syi'ah untuk membuktikan keaslian rantai transmisi Hadis, mempertimbangkan korelasi dari teks Hadis dengan quran diamana ia sebagai penjelas daripada al-Qur'an. menurut Syi'ah terdapat beberapa hadits yang bersumber dari nabi maupun Imam mereka dengan mata rantai yang terbilang shahih menyatakan bahwa suatu Hadis apabila tebukti bertentangan dengan al-qur'an tidak mempunya nilai yang valid (sah), akan tetapi menurut mereka hadis itu terbilang sahih apabila dalam kenyataannya tidak bertentangan dengan ajaran al-quran.
berdasarkan hal di atas, maka kolompok Syi'ah lebih memilih diam dan tidak menghiraukan dalam menyikapi hadis yang bertentangan dengan teks dari quran, ataupun hadis yang masih dalam perdebatan. Karena menurut mereka adalah hal yang tidak berguna memberikan komentar terhadap hadis tersebut.

b. Hadis Hasan
الحديث الحسن هو : ما اتصل سنده إلى المعصوم بإمامي ممدوح مدحا مقبولا معتدا به ، غير معارض بذم من غير نص على عدالته في جميع مراتبه او بعضها مع كون الباقي رجال الصحيح

Adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari para perawi yang diakui oleh orang bahwa ia adalah seorang yang baik dan terpuji tanpa adanya keraguan akan keadilan setiap tingkatan perawi ataupun sebagian dimana sebagaian yang lain termasuk ke dalam kategori perawi yang mempunyai kuwalitas shahih.

c. Hadis Muwassaq
الحديث الموثق هو : ما دخل في طريقه من نص الأصحاب على توثيقه مع فساد عقيدته ولم يشتمل باقيه على ضعف

Adalah hadis yang dalam jalur sanadnya terdapat perawi yang bukan temasuk orang Syi’ah, namun ia sudah dinyatakan sebagai orang yang tsiqah dan terpercaya oleh para pengikut kelompok Syi’ah , Akan tetapi ia dinyatakan sebagai orang yang rusak akidahnya karena tidak termasuk aliran Syi’ah. Sedangkan periwayat yang lain disyaratkan tidak termsuk dalam kategori perawi yang da’if.

d. Hadis Da’if
الحديث الضعيف هو : ما لم يجتمع فيه شرط أحد الأقسام السابقة

Menurut pandangan Syi’ah hadis dalam kriteria ini adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu daro tiga kategori di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fisik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, ataupun orang yang di klaim suka memalsukan hadis.

6. Penilaian Syi’ah Terhadap Ta’dil Sahabat.
Salah satu perbincangan yang sering menimbulkan pertentangan antara golongan Syi’ah dan Sunni adalah sikap masing-masing kelompok menyangkut ‘adalat sahabat nabi Muhammad. Oleh karena itu kami rasa perlu untuk membahasnya pada kajian ini secara detail.
‘Adalat dapat diterjemahkan dengan berbagai macam makna yang kesemuanya mengarah kepada “kesempurnaan diri sahabat” baik dari sisi keagamaan maupunsecara moral, sehingga beritanya layak untuk diterima. Dalam pandangan Syi’ah secara umum menyatakan, bahwa sepeninggal nabi Muhammad s.a.w. hanya terdapat minoritas sahabat yang dapat digolongkan as-syakirin yang tetap beriman kepada Allah dan rasul, teguh dalam kecintaan mereka, dan bersedia berjuang demi memenuhi konsekuwensi keimanan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka, menurut mereka pendapat yang menyebut seluruh sahabat sebagai sosok yang adil dapat mengakibatkan penyelewengan atau justru akan dijadikan alasan untuk menutup-nutupi kesalahan yang dilakukan oleh para sahabat. Senioritas sahabat dalam memeluk Islam dan keutamaan mereka sama sekali tidak bisa menjadikan mereka ma’sum dan terhindar dari kesalahan. Menurut mereka pembatasan terhadap sahabat yang ma’shum hanya kepada imam-imam mereka saja. Sehingga hanya mereka yang bisa dipastikan tetap úduldan periwayatannya dapat diterima.

D. Menilik Al-Kafi Sebagai Salah Satu Kitab Hadis Syi’ah
1. Tentang Al-Kafi
Al-Kafi adalah sebuah kitab hadis Syi’ah Imamiah yang disusun oleh ulama Syi’ah yang bernama Muhammad bin Ya’qub al-Kulayni al-Razi . Buku tersebut memuat tentang hadis-hadis yang bersumber dari Ahlulbait baik menyangkut tentang persoalan Ushul (pokok-pokok agama), Furu’ (cabang agama), maupun persoalan-persoalna lainnya.Seluruh generasi Syi’ah memandang bahwa kitab hadis karya al-Kulayni tersebut merupakan buku yang disusun secara serius dan berhati-hati dalam memisahkan hadis-hadis yang sahih dengan yang lemah. Hal tersebut ditegaskan dalam “mukadimah” bahwa, al-Kafi disusun melalui proses yang panjang selama kurang lebih 20 tahun lamanya. Ia telah mendatangi beberapa negara untuk mencari hadis-hadis nabi yang menjadi bahan penulisan. Sementara itu al-Mufid, seorang yang sempat hidup beberapa tahun bersamanya mengatakan: “Sebnarnya, al-Kafi adalah buku kaum Syi’ah yang paling bernilai dan paling banyak memberikan manfaat”
Al-Kafi ini disusun sebanyak 8 jilid yang dengan beragam kandungan, diantaranya:
a. berisikan tentang pokok-pokok ajarang agama yang berhubungan dengan permasalahan akidah. Pembahasan ini masuk dalam kategori Al-Ushul yang tercetak sebanyak dua jilid.
b. berisikan tentang permasalahan fikih sebanyak lima jilid
c. berisikan tentang fatwa-fatwa dari Ahlulbait tentang etika orang-orang yang salih, termuat dalam satu jilid.
Adapun jumlah hadis yang termuat dalam kitab al-Kafi mencapai 16.199 hadis yang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
a. hadis-hadis sahih sebanyak 5.072 hadis
b. hadis-hadis hasan sebanyak 144 hadis
c. hadis-haids tsiqat sebanyak 1.128
d. hadis-hadis yang kuat sebanyak 302 hadis
e. hadis-hadis yang dla’if sebanyak 9.485 hadis
Namun untuk riwayat-riwayat hadis dla’if tersebut tidak berarti bahwa semua riwayat itu gugur dar derajat keberadaannya, dan tidak boleh dijadikan sebagai pegangan dalam persoalan agama. Sebab, anggapan suatu riwayat sebagai hadis dla’if baik dari segi sanad dan matan tidak berarti menafikan kekuatannya dari segi yang lain. Misalnya, riwayat tersebut terdapat juga dalam salah satu sumber, atau dalam sebagian kitab hadis lain yang masyhur, serta riwayat tersebut sejalan dengan al-Qur’an dan sunnah, dan sebagainya.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, mayoritas ulama Syi’ah menjadikan al-Kafi sebagai rujukan dan menyatakan bahwa hadis-hadis yang dikandungnya bisa dijadikan sebagai hujjah. Karena, disamping penulisnya sedemikian dipercaya dan dikenal, posisinya sebagai orang yang alim dalam berbagai ilmu agama telah membuat seluruh riwayat dalam al-Kafi dapat dipandang sahih.

2. Peringkasan Sanad Dalam Kitab Al-Kafi
al-Kulayni dalam menuliskan hadis tidak selalu menulis rangkaian sanadnya secara lengkap, Namun sebaliknya. Misalnya, dalam al-Kafi dia menyebutkan sanad suatu riwayat secara utuh, yang kemudian dia juga terkadang hanya menyebutkan sebagian mata rantai perawi hadis.
Al-Allamah al-Mamaqani dan ulama yang lain menyebutkan, bahwa apabila al-Kulayni mengatakan, “sejumlah sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad bin Isa,” maka maksudnya ialah Muhammad bin Yahya, Ali bin Musa al-Kamandani, Dawud nin Kawrah, Ahmad, bin Idris, dan Ali bin Ibrahim. Sebagai contoh misalnya hadis yang terdapat al-Kafi, bab tentang Iman dan Kufr:
عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد, عن علي بن الحكم, عن هشام بن سالم قال: سمعت ابا عبدالله صلعم يقول أن العبد ليكون مظلوما فما يزال يدعوا حتى يكون ظالما.
Adapun alasan al-Kulayni memangkas sebagian mata rantai perawi hadis, karena terkadang dia berpegang kepada ke-tsiqat-an perawi. Selain itu karena dalam hadis yang lain sanadnya telah disebutkan secara utuh, sehingga agar lebih ringkas dan sederhana maka beliau menghilangkan sebagian sanad yang sudah ada sebelumnya.
E. Penutup
Pandangan Syi’ah terhadap bagaimana cara mem-verifikasi hadis dan mencari keotentikannya memang mempunyai ciri khas tersendiri, dimana pada dasarnya periwayatan sebuah hadis itu bisa langsung diterima apabila diriwayatkan melalui kelompok Imamiah dalam segala tingkatan. Hal ini dikarenakan atas prisnsip Imamiyah yang menjadikan mereka ma’shum dari segala kesalahan.
Dan sebaliknya, mereka menilai bahwa hadis yang diriwayatkan dari selain Ja’fariah riwayatnya dinyatakan Da’if yang tidak boleh diterima keberadaannya, kecuali mereka yang dinyatakan tsiqah oleh kelompok ini. Atas dasar itulah mereka menolak hadis-hadis sahih yang diriwayatkan dari tiga Khulafa al-Rasyidin dan sahabat yang lain, tabi’in, karena tidak mendapatkan pengakuan dari aliran Syi’ah Imamiah.






















DAFTAR PUSTAKA

Asfahani, Al-Raghib al-, Mufradati Alfadz al-Qur’an, Lebanon: Dar el-Fikr, t.th.
Buhairi, Mamduh Farhan Al-, Gen Syi’ah: Sebuah Tinjauan Sejarah, Penyimpangan Aqidah dan Konspirasi Yahudi, Jakarta: Darul Falah, 2001.
Muhdlar, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus al-Ashry, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1997.
Musawi, Hashim al-, Madzhab Syi’ah: Asal-Ususl dan Keyakinannya, terj. Ilyas Hasan, Jakarta: Lentera, 2008.
Muzhaffar, Muhammad Ridha, Ideologi Syi’ah Imamiyah, terj. M. Ridha Assegaf, Pekalongan: Al-Mu’ammal, 2005.
Nurul Iman, “‘Adalat Sahabat Menurut Ahl-Sunah dan Syi’ah: Telaah Komperatif Konsep dan Implikasinya dalam Penerimaan Hadis”, Antologi Kajian Islam, Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, (2007).
Rahmah, Wahyuni Shifatur, “ Epistemologi Hadis dalam Pandangan Sunni Syi’ah”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, (Juli 2006).
Rumi, Fahbar bin ‘Abd al-Rahman bin Sulaiman al-, Ittijahat al-Tafsir fi al-Qarn al-Rabi‘ ‘Ashar, Riyad: Maktabah al-Rushd, t.th.
Shahrastani, Muhammad ‘Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad al-, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1404 H.
Shihab, M. Quraish, Sunah-Syi’ah Bergandengan Tangan Mungkinkah: Kajian Atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, Tanggerang: Lentera Hati, 2007.
Subhani, Ja’far as-, Ushul al-Hadis fi Ilmi ad-Dirayah, Qum: Maktabah Tauhid, t.th.
Tabatabai, Muhammad Husayn, Shi’a, Pilipina: Al-Hidaya, 1995.
Turmudhi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa al-, Al-Jami’ al-Sahih Sunan al-Turmudhi, Beirut: Dar al-Ihya' al-Turath al-‘Arabi, t.th.
Azra, Azyumardi, “Pandangan Akademis Mengenai Syi'ah” http://www.jalal-center.com/index.php?option=com_content&task=view&id=267
http://www.al-shia.com/html/id/index.php?p=3∂=2.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar