Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Agama
Dosen Pengampu Drs. Ikhsan
Disusun Oleh :
1. Khoridatun Nuroniyah
2. Listiani
3. Linda Puspita Nuryuana
4. Milla Tusolichah
5. M. Makfi
6. Maskit
Universitas Ronggolawe Tuban
Program Studi Bahasa Inggris
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang pengertian, pembagian dan fungsi Hadist. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Ilmu Hadist” yang menjelaskan tentang pengertian, pembagian dan fungsi Hadist.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Agama yang telah membimbing penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.
Tuban, 16 November 2010
Penulis
DAFTAR ISI
v
Kata
Pengantar …………………………………………………………………………………………………. ii
v
Daftar
isi …………………………………………………………………………………………………………… iii
v
BAB I
( PENDAHULUAN )
Ø
A.
Latar Belakang …………………………………………………………………………………. 1
Ø
B.
Tujuan Pembahasan …………………………………………………………………………. 2
Ø
C.
Rumusan Masalah ……………………………………………………………………………. 2
v
BAB II
( PEMBAHASAN )
Ø
1.
Pengertian Hadist ……………………………………………………………………………… 3
Ø
2.
Pembagian hadist Secara Umum ………………………………………………………. 3
Ø
3.
Fungsi Hadist …………………………………………………………………………………….. 14
v
BAB
III ( PENUTUP )
Ø
A.
Kesimpulan ……………………………………………………………………………………….. 17
Ø
B.
Saran dan Kritik …………………………………………………………………………………. 18
v
Daftar
Pustaka …………………………………………………………………………………………………. 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami
kemajuan pada zaman klasik (650-1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini
terjadi pada sekitar tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar,
yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam,
filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya.
Berdasarkan bukti histories ini menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan
pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan pengetahuan lainnya.
Menatap prespektif
keilmuan hadis, sungguh pun ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan umat
Islam. Sebab hadits Nabi, sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan
orang-orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian prespektif keilmuan
hadits, justru menyebabkan kemajuan umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang
tidak boleh luput dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an
diturunkan. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam, sebenarnya benih
metode sosio-historis telah ada pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul
(sebab-sebab wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-wurud
(sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-Sunnah.
Meskipun asbab
al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada peristiwa dan pertanyaan
yang mendahului nuzul (turun) Al-Qur’an dan wurud (disampaikannya)
hadits, tetapi kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits Nabi
SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu hadits serta
cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi, sehingga As-Sunnah sebagai sumber
hukum Islam yang kedua dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan
pembahasan makalah ini adalah:
- mengetahui definisi Hadits
- mengetahui macam-macam hadits
serta penjelasannya
- mengetahui kegunaan mempelajari
ilmu-ilmu hadits
C. RUMUSAN MASALAH
Adapun
batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan makalah ini adalah:
- Apa definisi ilmu hadits?
- Apa saja pembagian hadits itu?
- Apa saja kegunaan mempelajari
ilmu hadits
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda),
perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan
ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam
agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan
hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama
periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada
tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
2.
Pembagian Hadits Secara Umum
Hadits yang dapat
dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk
mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah
banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
A. DARI SEGI JUMLAH
PERIWAYATNYA
Hadits ditinjau dari
segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka
dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir
Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
Artinya:
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat
dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan
dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang
sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita
yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat
mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan
pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena
kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan
penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus
dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah
para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits.
Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan
pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu,
dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang
meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian
banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu
adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat
dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah
para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar
Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu
al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911
H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad
Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis
ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:
"Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: "
Ada juga yang
memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
"Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa "Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila
telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah
ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari
perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan
antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan
lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang
terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh,
yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak
mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang
rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah
satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah
dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh
dan tidak mansukh.
B. DARI SEGI KUALITAS
SANAD DAN MATAN HADIS
Penentuan tinggi
rendahnya tingkatan suatu hadis bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi,
keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan
tinggi-rendahnya suatu hadis. Bila dua buah hadis menentukan keadaan rawi dan
keadaan matan yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih
tinggi tingkatannya dari hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadis
yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadis
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Jika dua buah hadis memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadis yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain
membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup
dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan
seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadis ahad yang pada sebagian
tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadis :
Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadis tersebut
adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadis yang
demikian bukan termsuk hadis mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah
pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau
didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi
SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah
keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman
Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti
pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang
menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadis
memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadis yang matannya seiring
atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih tinggi tingkatannya
dari hadis yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat Al-quran.
Tingkatan{martabat) hadis ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar
atau palsunya hadis berasal dari Rasulullah.
Hadis yang tinggi
tingkatannya berarti hadis yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf
dugaan tentang benarnya hadis itu berasal Rasulullah SAW. Hadis yang rendah
tingkatannya berarti hadis yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan
tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan
suatu hadis menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadis sebagai sumber hukum
atau sumber Islam.
Para ulama membagi
hadis ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadis sahih, hadis hasan, dan hadis
daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi,
dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadis-hadis tersebut menjadi hadis
sahih, hasan, dan daif.
1. Hadis Shahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya
:
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
"Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."
Keterangan lebih luas
mengenai hadis sahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya
:
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
"yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan."
3. Hadis Daif
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Hadis daif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi
batasan bagi hadis daif :
Artinya
:
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
"Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan."
Jadi hadis daif itu
bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal
dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI
KEDUDUKAN DALAM HUJJAH
Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan
pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak
mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang
memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi
dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul
dan hadis mardud.
a. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Artinya:
"Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama
berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang
temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih,
baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis
tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian
para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis
yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis
yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn
yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul
yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh,
sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh.
Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara
satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam
hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah
disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari
segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun
bihi dan hadis gairu ma'mulin bihi.
1. Hadis maqmulun
bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih.
2. Hadis gairo
makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
B. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa
berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf
Muhaddisin, hadis mardud ialah :
Artinya:
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
"Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
Ada juga yang
menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
"Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun."
Sebagaimana telah
diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis
maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak
boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud
adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
D. DARI SEGI
PERKEMBANGAN SANADNYA
1. Hadis Muttasil
Hadis
muttasil disebutjuga Hadis Mausul.
Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Artinya:
"Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu' maupun hadis mauquf."
Kata-kata "hadis
yang didengar olehnya" mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui
cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah,
Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang
didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang
paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadis Mu 'an 'an,
bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadis yang
diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang
bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil
Marfu' adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari
Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan
bencana kepada keluarga dan hartanya"
Contoh hadis mutasil
maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar
Abdullah bin Umar berkata:
Artinya:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadis
di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu
yakni hadis yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak
diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi
jumhur mudaddisin berkata, "Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul
atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang
membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya
dikatakan "Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan
sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu
sebagai hadis mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan,
diikutkan kepada kedua hadis mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang
dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu.
Secara etimologis hadis maqtu' adalah lawan Hadis mausul. Oleh
karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadis Munqati'
Kata Al-Inqita'
(terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa
berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan
akibatnya, yakni terputus. Kata inqita' adalah lawan kata ittisal
(bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya
sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami
istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan
berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai
masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati'
yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil
Barr, yakni:
Artinya:
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
"Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."
Hadis yang tidak
bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa
orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun
Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati' (terputus) persambungannya."
Demikianlah para
ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata,
"Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha,
Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya". Dengan demikian, hadis
munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang
terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis
Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya:
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
"Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini
menjadikan hadis munqati' berbeda dengan hadis-hadis yang terputus
sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi
ini tidak mencakup hadis mu'dal; dengan kata-kata, "Sebelum
sahabat" definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan
kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.
3.
FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
Al-Quran
menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman- firman Allah
(QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama
beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.
Al-qur`an dan hadist merupakan dua
sumber yang tidak bisa dipisahkan.
Keterkaitan keduanya tampak antara
lain:
1.
Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini
hadits berfungsi memperkuat dan memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh
Al-quran. Misalnya, Al- quran menetapkan hukum puasa, dalam firman-Nya :
Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana
diwajibkan atas orang–orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al
Baqarah/2:183 )
Dan hadits menguatkan kewajiban puasa
tersebut:
Islam
didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ,
dan Muhammad adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada
bulan ramadhan dan naik haji ke baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)
2. Hadits memberikan rincian terhadap
pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.
Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah
shalat :
“Dan
dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110)
shalat dalam ayat diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya
shalat yang wajib dan sunat. sabda Rasulullah SAW:
Dari
Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada
Rasulullah SAW. dan berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa
yang difardukan untukku?” Rasul berkata : “Salat lima waktu, yang lainnya
adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-qur`an
tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun
gerakannya. Hal ini dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda
Rasulullah SAW:“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
(HR. Bukhari)
3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al
qur`an mensyariatkan
wasiat:
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib
kerabatnya secara makruf. Ini adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,”
(Q.S Al Baqarah/2:180)
Hadits
memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui
sepertiga dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan
Rasul dalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi
Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah pemberian harta melalui
wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau
menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.
4.
Hadits memberikan pengecualian terhadap
pernyataan Al Qur`an yang bersifat
umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan
memakan bangkai dan darah:
“Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama
selain Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang
dimakan binatang buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang
disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak
panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)
Hadits
memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu
(bangkai ikan dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana
sabda Rasulullah SAW:
Dari
Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda
: ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah . Adapun dua bangkai adalah
ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad, Syafii`,Ibn
Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)
5.
Hadits menetapkan hukum baru yang tidak
ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global, banyak hal yang hukumnya
tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan hukum
yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:
Rasulullah melarang semua binatang yang
bertaring dan semua burung yang
bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)
‘Abdul
Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa
fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan
menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan
bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak
diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan
ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi
kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas,
merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Hadits
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan (qauly), perbuatan (fi'ly), ketetapan (taqriry), atau dengan sifat.
Hadits qauly: Adalah hadits yang berisi tentang ucapan Nabi Saw
Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa ucapan (qauly), perbuatan (fi'ly), ketetapan (taqriry), atau dengan sifat.
Hadits qauly: Adalah hadits yang berisi tentang ucapan Nabi Saw
Hadits fi'ly: Hadist yang berupa perbuatan Nabi Saw yang dideskripsikan
oleh Sahabat.
Hadits taqriry: Adalah hadits yang berisi tentang persetujuan atau
ketetapan Nabi Saw terhadap ucapan atau perbutan yang dilakukan oleh Sahabat,
termasuk diamnya Nabi Saw ketika melihat satu perbuatan sahabat di hadapan
beliau.
Sanad
Sanad atau isnad (jamak’plural) secara bahasa artinya sandaran, maksudnya:
Mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadist) yang terdiri dari para rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya.
Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Saw yakni Sahabat.
Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum Bukhari disebut sanad pertama sedangkan Sahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan sanad terakhir.
Contoh lain: Bukhari meriwayatkan dari A terus B, C, D, E. Dan E dari Nabi Saw.
Si A ini disebut dengan sanad pertama, sedangkan E sanad terakhir. Sedangkan A disebut rawi, B rawi dan seterusnya. Sedangkan mata rantai yang menghubungkan antara A, B, C, D,dan E disebut dengan Sanad.
Matan Hadist
Adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang yang diriwayatkan atau yang dismpaikan oleh sanad terakhir.
Kedudukan Hadist Terhadap Al-Qur’an
Sanad atau isnad (jamak’plural) secara bahasa artinya sandaran, maksudnya:
Mata rantai atau jalan yang bersambung sampai kepada matan (isi hadist) yang terdiri dari para rawi-rawi yang meriwayatkan matan hadits dan menyampaikannya.
Sanad dimulai dari rawi yang awal (sebelum pencatat hadits) dan berakhir pada orang sebelum Rasulullah Saw yakni Sahabat.
Misalnya Bukhari meriwayatkan satu hadits, maka Bukhari dikatakan mukharrij atau mudawwin (yang mengeluarkan hadits atau yang mencatat hadits), rawi yang sebelum Bukhari disebut sanad pertama sedangkan Sahabat yang meriwayatkan hadits itu dikatakan sanad terakhir.
Contoh lain: Bukhari meriwayatkan dari A terus B, C, D, E. Dan E dari Nabi Saw.
Si A ini disebut dengan sanad pertama, sedangkan E sanad terakhir. Sedangkan A disebut rawi, B rawi dan seterusnya. Sedangkan mata rantai yang menghubungkan antara A, B, C, D,dan E disebut dengan Sanad.
Matan Hadist
Adalah isi, ucapan atau lafazh-lafazh hadits yang yang diriwayatkan atau yang dismpaikan oleh sanad terakhir.
Kedudukan Hadist Terhadap Al-Qur’an
Bayan tafsir:
Menjelaskan apa yang terkandung dalam Al Qur'an dan penjelasan ini berupa:
1. Menjelaskan Ayat Mujmal (umum):
misalnya, Al Qur'an mewajibkan wudhu bagi orang yang akan sholat. Hadits menjelaskan rincian wudhu, bilangan membasuh dan batas-batas membasuh.
2. Membatasi Yang Mutlaq:
Misalnya Al Qur'an menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Hadits menjelaskan tentang batasan nilai barang yang dicuri yang menyebabkan terjadinya hukum potong tangan.
3. Mentakhshish atau mempertegas kalimat 'am (kalimat umum)
Misalnya Al Qur'an menjelaskan tentang waris dan orang-orang yang berhak mendapat warisan. Hadits memberi pengecualian bagi orang yang membunuh tidak berhak mendapat waris.
Menjelaskan apa yang terkandung dalam Al Qur'an dan penjelasan ini berupa:
1. Menjelaskan Ayat Mujmal (umum):
misalnya, Al Qur'an mewajibkan wudhu bagi orang yang akan sholat. Hadits menjelaskan rincian wudhu, bilangan membasuh dan batas-batas membasuh.
2. Membatasi Yang Mutlaq:
Misalnya Al Qur'an menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. Hadits menjelaskan tentang batasan nilai barang yang dicuri yang menyebabkan terjadinya hukum potong tangan.
3. Mentakhshish atau mempertegas kalimat 'am (kalimat umum)
Misalnya Al Qur'an menjelaskan tentang waris dan orang-orang yang berhak mendapat warisan. Hadits memberi pengecualian bagi orang yang membunuh tidak berhak mendapat waris.
Bayan Taqrir:
Menjelaskan ketetapan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Misalnya, menjelaskan wajibnya wudhu bagi orang yang akan shslat sebagaimana Al Qur'an telah menjelaskan demikian.
Menjelaskan ketetapan hukum yang terdapat dalam Al-Qur'an. Misalnya, menjelaskan wajibnya wudhu bagi orang yang akan shslat sebagaimana Al Qur'an telah menjelaskan demikian.
Bayan Tasyri':
Menetapkan ketetapan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya, menetapkan hukum bagi pelaku zina muhshon (orang yang telah berkeluarga).
Menetapkan ketetapan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Misalnya, menetapkan hukum bagi pelaku zina muhshon (orang yang telah berkeluarga).
B.
Saran dan Kritik
Puji
syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata΄ala, karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah pengertian tentang Ilmu hadist.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata Kuliah Agama.Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Kami pun dari Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih banyak kekurangannya, untuk itu mohon maaf, sekaligus kami
berharap saran dan kritik yang membangu dari para pembaca semua. Semoga makalah
ini nantinya bermanfaat untuk kita semua.
Daftar
Pustaka
Abu
Bakar, hasnan. 2009. Perkembangan Ilmu
Hadist. PTS ISLAMIKA:Selangor
Rahman,
fazlur. Cetakan pertama. 2009. Hadist
Rosululloh. PT Tiara Wacana Yogya : Yogyakarta
Muhammad
Ajaj Khotib, H.M Qodirun Nur. 1999.Cetakan Pertama. Fungsi hadist. Badan Cemerlang : Bandung
M.
Hasbi Ash Shiddieqy, 1965. Sedjarah
dan pengantar Ilmu hadist. Bulan Bintang : Universitas Michigan.
Ali
Hassan Ahmad Addary (Sjech.).
1980. Ilmu Hadist Praktis. Alma’arif : Medan
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar