Ilmu Muhkam Wa Al-Mutasyabih Dalam Al-Quran
Al Qur’an adalah sebuah kitab suci yang menjadi landasan dasar hukum dan tuntunan hidup bagi orang muslim. Adakalanya orang muslim mendapati suatu masalah, maka mereka akan lari mencari jawabannya didalam Al Qur’an. Perlu kita ketahui, bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam Al Qur’an adakalanya berbentuk lafadz, ungkapan, dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya.
Disamping ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan kepada makna yang jelas dan tegas.
Add caption |
Mudah-mudahan makalah yang telah kami susun ini, dapat menarik minat baca serta menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi para pembaca. Kami sadar selaku menusia, pasti ada kesalahan dan kekeliruan dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu dengan tangan terbuka kami siap menerima kritikan dan saran dari Dosen Pembimbing pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Rumusan Masalah, Dari uraian di atas, maka perlu kiranya penulis untuk merumuskan masalah serta menjelaskan secara rinci mengenai :
1. Apakah pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
2. Apakah sebab – sebab terjadinya tasyabuh ?
3. Bagaimana pandangan ulama’ dalam menghadapi ayat – ayat tasyabuh ?
4. Apa Hikmah keberadaan ayat Mutasyabihat dalam alqur’an ?
Pengertian Muhkam Dan Mutasyabih
Makna secara Lughawi (bahasa)
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih dan membedakan antara yang hak dan batil.[1]Mutasyabih secara lughawi berasal dari kata syabaha, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syubhah ialah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan di antara keduanya secara konkrit atau abstrak.[2]
Makna secara Istilah
Banyak sekali pendapat para ulama tentang pengertian muhkam dan mutasyabih, salah satunya al-Zarqani. Di antara definisi yang diberikan Zarqani adalah sebagai berikut:1). Muhkam ialah ayat-ayat yang jelas maksudnya lagi nyata yang tidak mengandung kemungkinan nasakh. Mutasyabih ialah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allah mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal surat (fawatih al-suwar). Pendapat ini dibangsakan al-Lusi kepada pemimpin-pemimpin mazhab Hanafi.
2). Muhkam ialah ayat-ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang hanya Allah yang mengetahui maksudnya, seperti datang hari kiamat, keluarnya dajjal, huruf-huruf yang terputus-putus di awal-awal surat (fawatih al-suwar) pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunah sebagai pendapat yang terpilih di kalangan mereka.
3). Muhkam ialah ayat-ayat yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih ialah ayat-ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan kepada Ibnu Abbas dan kebanyakan ahli ushul fikih mengikutinya.
4). Muhkam ialah ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih ialah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan tertentu dan kali yang lain diterangkan dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadinya perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. r.a.
5). Muhkam ialah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau melalui konteksnya. Lafal musytarak masuk ke dalam mutasyabih menurut pengertian ini. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam Al-Haramain.
6). Muhkam ialah ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan). Mutasyabih ialah lawannya muhkam atas ism-ism (kata-kata benda) musytarak dan lafal-lafalnya mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat al-Thibi.
7). Muhkam ialah ayat yang ditunjukkan makna kuat, yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih ialah ayat yang ditunjukkan maknanya tidak kuat, yaitu lafal mujmal, muawwal, dan musykil. Pendapat ini dibangsakan kepada Imam al-Razi dan banyak peneliti yang memilihnya.[3]
Subhi ash-Shalih merangkum pendapat ulama dan menyimpulkan bahwa muhkam adalah ayat-ayat yang bermakna jelas. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang maknanya tidak jelas, dan untuk memastikan pengertiannya tidak ditemukan dalil yang kuat.[4]
Sebab – Sebab Terjadinya Tasyabuh Dalam Alqur’an
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i meringkas ada 3 sebab terjadinya tasyabuh dalam Al-Qur’an.a. Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal
Contoh: Q.S. Abasa [80]: 31
وَفَاكِهَةً وَأَبًّا
Artinya: Dan buah-buahan serta rumput-rumputan.
Lafal أَبٌّ di sini mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan. kata أَبٌّ diartikan rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat berikutnya :
Q.S. Abasa [80]: 32 yang berbunyi:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلأَنْعَامِكُمْ
Artinya: Untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
Ar-Raghib al-Asfhani membagi mutasyabihat dari segi lafal menjadi dua, yaitu mufrad dan murakkab. Mutasyabih lafal mufrad adalah tinjauan dari segi kegaribannya, seperti kata yaziffun, al-abu; Isytirak, seperti kata al-yadu, al-yamin.
Tinjauan lafal murakkab berfaedah untuk meringkas kalam, seperti: wa in khiftum alla tuqsitu fil yatama fankhihu ma taba lakum...., untuk meluruskan kalam, seperti: laisa kamis|lihi syai’un, untuk mengatur kalam, seperti: anzala ‘ala ‘abdihil kitaba walam yaj’al lahu ‘iwaja..[6]
b. Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna
Terdapat pada ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah swt. dan berita gaib. [7]
Contoh: Q.S. al-Fath} [48]: 10.
...يَدُ اللهِ فَوْقَ اَيْدِيْهِمْ….
Artinya: ...tangan Allah di atas tangan [8] mereka....
c. Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal[9]
terkadang adanya ayat mutasyabihat terjadi disebabkan kesamaran dan lafal dan makna ayat – ayat itu. contohnya, ayat 189 surat Al – Baqarah
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى
Artinya : “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.
Orang yang tidak mengetahui adat-istiadat bangsa arab pada masa jahiliyah, tidak akan paham terhadap maksud ayat tersebut. Sebab, kesamaran dalam ayat tersebut terjadi pada lafalnya, karena terlalu ringkas, juga terjadi pula pada maknanya, karena termasuk adat kebiasaan khusus orang arab, yang tidak mudah diketahui oleh bangsa – bangsa lain.
Jika ayat tersebut diperluas sedikit dengan ditambah ungkapan in kuntum muhrabaini bihajji au umratin (Jika kalian sedang melakukan ihram untuk haji atau untuk umrah) tentulah maksud ayat tersebut akan mudah dimengerti. Apalagi bila orang yang sudah mengetahyui berbagai syarat dan rukun ihram, sehingga tidak aka ada masalah lagi baginya.
PANDANGAN ULAMA DALAM MENGHADAPI AYAT – AYAT MUTASYABIH
Dalam Al-Qur’an sering kita temui ayat-ayat mutasyabihat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah. Contohnya Surah ar-Rahman [55]: 27:
وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلاَلِ وَالأِكْرَامِ
Artinya: Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Atau dalam Q.S. Taha [20]: 5 Allah berfirman :
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْـتَوى
Artinya: (yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy.[10]
Dalam hal ini, Subhi al-Shalih membedakan pendapat ulama ke dalam dua mazhab.[11]:
هُوَ الَّذي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ مِنْهُ آياتٌ مُحْكَماتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتابِ و أُخَرُ مُتَشابِهاتٌ َ
"Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebahagian daripadanya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah Ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih. " (QS : Ali Imron 7).
a. Mazhab Salaf, yaitu orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir yang mustahil ini bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Karena mereka menyerahkan urusan mengetahui hakikat maksud ayat-ayat ini kepada Allah, mereka disebut pula mazhab Mufawwidah atau Tafwid (menyerahkan kepada Allah). Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa`, dia berkata:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسُّؤَالُ عَنْـهُ بِدْعَةٌ وَ اَظُـنُّـكَ رَجُلَ السُّوْءَ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.
Artinya: Istiwa` itu maklum, caranya tidak diketahui (majhul), mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.
Maksudnya, makna lahir dari kata istiwa[12] jelas diketahui oleh setiap orang. akan tetapi, pengertian yang demikian secara pasti bukan dimaksudkan oleh ayat. sebab, pengertian yang demikian membawa kepada asyabih (penyerupaan Tuhan dengan sesuatu) yang mustahil bagi Allah. karena itu, bagaimana cara istiwa’ di sini Allah tidak di ketahui. selanjutnya, mempertanyakannya untuk mengetahui maksud yang sebenarnya menurut syari’at dipandang bid’ah (mengada-ada).
Kesahihan mazhab ini juga didukung oleh riwayat tentang qira’at Ibnu Abbas.
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَـهُ اِلاَّ الله ُ وَيُقُوْلُ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ امَـنَّا بِه
Artinya: Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan berkata orang-orang yang mendalam ilmunya, ”kami mempercayai”. (dikeluarkan oleh Abd. al-Razzaq dalam tafsirnya dari al-Hakim dalam mustadraknya).[13]
b. Mazhab Khalaf, yaitu ulama yang menakwilkan lafal yang makna lahirnya mustahil kepada makna yang laik dengan zat Allah, karena itu mereka disebut pula Muawwilah atau Mazhab Takwil. Mereka memaknai istiwa` dengan ketinggian yang abstrak, berupa pengendalian Allah terhadap alam ini tanpa merasa kepayahan. Kedatangan Allah diartikan dengan kedatangan perintahnya, Allah berada di atas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, “sisi” Allah dengan hak Allah, “wajah” dengan zat “mata” dengan pengawasan, “tangan” dengan kekuasaan, dan “diri” dengan siksa. Demikian sistem penafsiran ayat-ayat mutasyabihat yang ditempuh oleh ulama Khalaf. [14]
Alasan mereka berani menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, menurut mereka, suatu hal yang harus dilakukan adalah memalngkan lafal dari keadaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal terlantar tak bermakna. Selama mungkin mentakwil kalam Allah dengan makna yang benar, maka nalar mengharuskan untuk melakukannya.[15]
Kelompok ini, selain didukung oleh argumen aqli (akal), mereka juga mengemukakan dalil naqli berupa atsar sahabat, salah satunya adalah hadis riwayat Ibnu al-Mundzir yang berbunyi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ :(وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلاَّ اللهُ وَ الرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ) قَالَ: اَنَـا مِمَّنْ يَعْلَمُوْنَ تَـأْوِيْـلَهُ.(رواه ابن المنذر)
Artinya: “dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: : Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”. Berkata Ibnu Abbas:”saya adalah di antara orang yang mengetahui takwilnya.(H.R. Ibnu al-Mundzir)[16]
Disamping dua mazhab di atas, ternyata menurut as-Suyuti bahwa Ibnu Daqiq al-Id mengemukakan pendapat yang menengahi kedua mazhab di atas. Ibnu Daqiqi al-Id berpendapat bahwa jika takwil itu jauh maka kita tawaqquf (tidak memutuskan). Kita menyakini maknanya menurut cara yang dimaksudkan serta mensucikan Tuhan dari semua yang tidak laik bagi-Nya.
Adapun penulis makalah ini sendiri lebih sepakat dengan mazhab kedua, mazhab khalaf. Karena pendapat mazhab khalaf lebih dapat memenuhi tuntutan kebutuhan intelektual yang semakin hari semakin berkembang, dengan syarat penakwilan harus di lakukan oleh orang-orang yang benar-benar tahu isi Al-Qur’an, atau dalam bahasa Al-Qur’an adalah ar-rasikhuna fil ‘ilmi dan dikuatkan oleh doa nabi kepada Ibnu Abbas.
Sejalan dengan ini, para ulama menyebutkan bahwa mazhab salaf dikatakan lebih aman karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang menurut Tuhan salah. Mazhab khalaf dikatakan lebih selamat karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.[17]
HIKMAH KEBERADAAN AYAT-AYAT MUTASYABIHAT DALAM Al-QUR’AN
Para Ulama telah banyak mengkaji hikmah dan rahasia keberadaan ayat-ayat baik Muhkam maupun mutasyabihat dalam Al-Qur’an empat di antaranya disebutkan oleh Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan.
1. Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
2. Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab.
Sebab ,kejelasannya akan membatalkan semua mazhab di luarnya. Sedangkan yang demikian tidak dapat diterima semua mazhab dan tidak memanfaatkannya.Akan tetapi jika Al-Qur’an mengandung muhkam dan mutasyabih maka masing-masing dari penganut mazhab akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya.Selanjutnya ,semua penganut mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya .Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat Muhkamat menjadi penafsirnya.
3. Jika Al-Qur’an Mengandung ayat-ayat mutasyabihat ,maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tajrih antar satu dengan lainnya.Hal ini memerlukan berbagai ilmu ,seperti ilmu bahasa ,gramatika, ma’ani, ilmu bayan,ushul fiqih dan sebagainya. Sekiranya hal itu tidak demikian sudah barang tentu ilmu –ilmu tersebut tidak muncul.
4. Al-Qur’an berisi da’wah terhadap orang- orang tertentu dan umum.Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal –hal yang bersifat abstrak.Jika mereka mendengar pertama kalinya tentang sesuatu wujud tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk,mereka menyangka bahwa hal itu tidak benar ada dan akhirnya mereka terjerumus ke dalam ta’thil (peniadaan sifat-sifat Allah). Karena itu, sebaiknyalah kepada mereka disampaikan lafal-lafal yang menunjukkan pengertian- pengertian yang sesuai dengan imajinasi dan khayal mereka.Ketika itu bercampur antara kebenaran empirik dan hakikat. Bagian pertama adalah ayat-ayat mutasyabihat yang dengannya mereka diajak bicara pada tahap permulaan. Pada akhirnya, bagian kedua berupa ayat-ayat muhkamat menyingkapkan hakikat sebenarnya.
BAB III PENUTUP
A. KesimpulanAdapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:
Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
Sebab – sebab terjadinya tasabuh didalam alqur’an ada 3 : Disebabkan oleh ketersembunyian pada lafal, Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna, dan Disebabkan oleh ketersembunyian pada makna dan lafal.
Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
Salah satu hikmah dari ayat – ayat mutasyabihat adalah Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
B. Saran
Ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih adalah dua hal yang saling melengkapi dalam Al-Qur’an. Muhkam sebagai ayat yang tersurat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai bayan (penjelas) dan hudan (petunjuk). Mutasyabih sebagai ayat yang tersirat merupakan bukti bahwa Al-Qur’an berfungsi sebagai mukjizat dan kitab sastra terbesar sepanjang sejarah manusia yang tidak akan habis-habisnya untuk dikaji dan di teliti. Sebagai ummat Islam hendaknya kita lebih merenungi lagi maksud-maksud Allah menurunkan ayat-ayat tersebut dalam bentuk yang berlainan. Dan menjadikannya pedoman dalam seiap langkah kita.
DAFTAR PUSTAKA
Chirzin , Muhammad. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima YasaSyadali , Ahmad dkk . 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka setia
Djalal , Abdul. 2000. Ulumul Qur’an .Surabaya : Dunia Ilmu
http://agus-makalah.blogspot.com/2009/11/muhkam-muatasyabih.html
http://siratullah186.wordpress.com/2009/12/30/muhkam-dan-mutasyabih/
http://soni69.tripod.com/istiwa.htm
Catatan Kaki
[1] Muhammad Chirzin. 2003. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, hal. 70.[2] Ibid, hal. 70.
[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’i. 2000. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV. Pustaka setia, hal. 201-203
[4] Muhammad Chirzin, op.cit, hal. 71
[5] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. op.cit, hal. 204.
[6] Muhammad Chirzin, op.cit. hal. 74.
[7] Ibid, hal. 74.
[8] Orang yang berjanji setia biasanya berjabatan tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji dengan Allah. jadi seakan-akan Allah di atas tangan orang-orang yang berjanji itu. hendaklah diperhatikan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
[9] Abdul Djalal. 2000. Ulumul Qur’an .Surabaya : Dunia Ilmu, hal. 249-250
[10] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dan kesucian-Nya.(Digital al-Qur’an)
[11] Ahmad Syadali, dan Ahmad Rofi’i. Op.Cit, hal. 211-212.
[12] Perbuatan tuhan (http://soni69.tripod.com/istiwa.htm)
[13] Ibid, hal. 216-217.
[14] Ibid, hal. 217-218
[15] Ibid, hal. 128
[16] Ibid, hal. 219
[17] Ibid, hal 222
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar