Beberapa kritikus hadits melihat adanya ke-lahn-an (gubahan) dalam hadits yang diriwayatkan secara lafdzy, diantaranya Abu Ma’mar Abdullah bin Sakhabaroh, Nafi’ mantan budaknya Ibn Umar, Muhammad bin Sirin. Nafi’ di tolak dari penggubahan, al-Auza’iy terlebih dahulu berkomentar tentang penggubahan, hanya saja beliau tidak melihat Lahn sebagai madzab dan berkata tentang pelurusanya “meluruskan gubahan hadis itu tidak massalah” ia juga berkata “Arabkanlah hadits karena sesungguhnya kaumnya berbahasa Arab (bahasa Arab).
Jelaslah bahwa Tazib bin Ibrahim Al-Tusturi adalah termasuk orang yang meriwayatkan gubahan dalam hadits karena hadits dari Hasan Al-Basyri itu tidak ada gubahan, karena yang pertama tidak tergubah, dan yang kedua tergubah, kemudian masing-masing ia riwayatkan sesuai yang terdengar.
Gubahan pasti akan terlihat sebab ketidakmungkinan gubahan itu berasal dari bahasa Arab dan kaidahnya.
1. Sikap Muhadditsin Tentang Lahn Al-Hadits
Mengenai lahn al-hadits dikalangan para ulama terdapat tiga golongan:
a. Penggubahan yang disebabkan oleh kesimpang siuran sebagaimana yang telah disebutkan, pelurusan gubahan ini bisa diterima seperti al-Auza’iy
b. Golongan yang mendengarkan secara lahn dan meriwayatkannya, tetapi ke-lahn-annya masih tetap dengan tanpa meluruskanya seperti Nafi’ mantan budaknya Ibnu Umar
c. Golongan yang mencacat lahn dan meluruskanya seperti Abdullah Bin Umar, maka iapun memukul anaknya karena ia menggubah lafadz hadits. Ahmad Bin Soleh Al-Misyry, ia telah meluruskan setia lahn dalam hadits. Amir Al-Syarby berkata “tidak masalah meluruskan Lahn” dan Sulaiman al-A’masy berkata jika Ibnu Sirin itu menggubah (kesalahan tata bahasa) maka sesungguhnya Nabi tidak pernah menggubah maka luruskanlah. Ahmad bin Hambal merubah ke-lahn-nan hadits dalam kitabnya. Al-Auza’iy membenci adanya lahn, beliau menyuruh meluruskan Lahn, Hasan bin Muhammad al-Za’farony ditanya tentang hadits yang didengar malhun (terkena lahn) beliau berkata “asing.” Ulama lain juga mengajak meluruskan Lahn seperti, Abdullah bin Mubarrok, Ali ibn al-Madiny, Ishaq bin Rohawaih, Hammad bin Salma menganjurkan kepada pencari hadits untuk belajar nahwu,beliau berpendpat bahwa seseorang yang hadisnya Lahn maka dianggap orang yang membohongi karena sesungguhnya hadits Nabi itu tidak Lahn.
Dalam riwayat lain “Nabi melarang meriwayatkan hadits yang Lahn darinya beliau ia berkata “barang siapa yang menggubah hadits, maka ia tidak meriwayatkan hadits.
Khotib Al-Bagdady menganjurkan untuk membenarkan hadits Lahn dengan mengatakan “….meskipun ia mendengar secara Lahn karena dari situ (ke-lahn-an hadits) bisa merubah hukum yang haram menjadi halal, yang halal menjadi haram, maka dalam masalah ini tidak wajib mengikuti pendengaran (meriwayatkan hadits sesuai dengan apa yang didengar). Hal ini senada dengan pendapat para pemurni hadits, dan ulama hadits.
Mereka juga mewajibkan para muhadditsin untuk membersihkan periwayatannya dari lahn, dengan cara mempelajari nahwu dan bahasa Arab. Ketika al-Nasa’I ditanya tentang lahn al-hadits beliau berkata: jika masih berbahasa Arab, meski bahasa non Quraisy maka tidak berubah, karena Nabi berbicara dengan umatnya dengan bahasa mereka, meskipun hal itu tidak ditemukan dalam kalam Arab tapi yang jelas Nabi ke-tatabahasa-an tak pernah salah.
2. Macam-macam lahn
Ibn Hazm, membagi lahn menjadi dua:
a. Lahn (gubahan) yang sudah terdapat pada sebagian kata-kata Arab, ini sesuai dengan apa yagn didengarnya tidak kembali (berubah) pada kata-kata yang lebih fasich
b. Lahn (gubahan) yang tidak terdapat sama sekali dalam bahasa Arab, ini periwayatannya dilarang, menurut Ibn Hazm perowinya dianggap sebagai pembohong atas Nabi, karena Nabi sama sekali tidak pernah lahn. Dan wajib membersihkan secara selektif dari lahn kemudian menuliskan dan meriwayatkan kembali sesuai dengan i’rab, maka ketika mendengarnya dari guru tidak dianggap lahn.
Jelaslah bahwa jumlah perowi hadits yang mengalami lahn itu sedikit, dan jelaslah bahwa bagi mereka yang benar-benar mendengarkan hadits dari mereka yang haditsnya mengalami lahn akan berpengaruh pada penjagaan lafadz suatu hadits. Dan yang lebih tepat dalam menjawab ini adalah pendapat Ibn Hazm bagian pertama, dengan tanpa mengikutkan pendapat yang kedua yang menganggap perowi hadits malhun adalah pembohong, ini hanya untuk lahn yang bisa merubah makna, dan perowinya menolak untuk meluruskannya.
Namun jika tidak merubah makna meski tidak terdapat pada kata-kata Arab, dan tidak ingat pada yang sebenarnya maka ia bukan pembohong. Orang-orang yang mendukung pelurusan lahn-meskipun tidak jelas-mereka berdasar pada membandingkan matn yang lahn dengan matn yang tetap dari jalan lain, dengan menggunakan bahasa Arab qiyasy padahal haditsnya Rasul tidak pernah menyalahi penggunaan bahasa Arab, bahkan keindahan bahasanya menempati level tertinggi yang jauh dari ke-lahn-an hadits.
3. Cara Pelurusan Lahn
Adapun cara pelurusan lahn itu lebih baik daripada penggubahan yang terdapat pada tata bahasa. Menyerupakannya menetapkan sebuah ke-lahn-an (gubahan tata bahasa)
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar