Showing posts with label al-Quran. Show all posts
Showing posts with label al-Quran. Show all posts

MAKALAH KONSEP TOLERANSI DALAM AL-QURAN

Admin Wednesday, May 09, 2018 Add Comment

MAKALAH KONSEP TOLERANSI DALAM AL-QUR'AN

PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama dianggap sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sendiri sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik dan saling klaim kebenaran memang sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai macam konflik sehingga terjadi perpecahan. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan berlabel agama sehingga realitas kehidupan yang timbul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidakharmonisan.
Dituduhkan bahwa Islam adalah agama intolerans, disiarkan dengan pedang, agama kapitalisme, exclusive, hanya agama orang-orang Arab, dan sebagainya. Juga di Indonesia, tuduhan tersebut masih ada, walaupun tidak dengan terang-terangan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketiadaan rasa saling menghargai atas pluralitas pemahaman dalam tubuh islam sendiri, hingga islam seolah beraneka panorama dalam tubuh yang sama.

Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan sebuah perbincangan tentang sesuatu yang dianggap sebagai dasar permasalahan, yaitu toleransi; Toleransi dalam sudut pandang wahyu Tuhan, wahyu yang telah dititipkan untuk dijadikan buku pintar manusia menjadi khalifah di bumi.

Pembahasan akan dibatasi pada permasalah-permasalahan berikut:

1. Makna dan segi-segi toleransi

2. Konsep toleransi dalam al-Qur’an

3. Toleransi dalam bingkai ke-Bhinneka-an

4. Toleransi dalam tataran aplikasi

5. Hubungan toleransi dengan fanatik

6. Dari toleransi ke sinkretisme

7. Paradoks toleransi

PEMBAHASAN

A. Makna Toleransi


Terma toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerantia dalam bahasa Latin. Dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata tasamah atau tasahal yaitu; to overlook, excuse, to tolerate, to be indulgent, tolerant, forbearing, lenient, merciful. Perkataan tasamah; bermakna hilm dan tasahul; diartikan indulgence, tolerance, toleration, forbearance, leniency, lenitt, clemency, mercy dan kindness.

Di dalam “Encyclopaedia Britannica” tidak ada kata toleransi, yang ada hanyalah kata tolerance tetapi termasuk dalam istilah industri. Bahkan anehnya, di dalam “Encyclopaedia of The Social Sciences”, kata tolerantion artinya disuruh melihat kata INTOLERANCE (see Intolerance!). Ini berarti, kata-kata Intolerance-lah yang lebih populer di negeri-negeri Barat, bukan kata-kata toleransi.

Akan tetapi, dalam kamus Webster’s New American Dictionary halaman 1050 bahwa toleransi ialah “liberality toward the opinions of other; patience with others,” maksudnya memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain.[1]

Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.[2]

Adapun toleransi agama adalah sikap sadar menjadi makhluk sosial yang hidup tidak sendiri dan mengakui adanya perbedaan keyakinan serta menjunjungtinggi nilai pluralitas, yang kesemuanya termanifestasikan dalam wujud kebebasan dan saling menghargai dalam menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.

B. Segi-Segi Toleransi

1. Mengakui hak setiap orang

Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap-laku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain.

2. Menghormati keyakinan orang lain

Soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing. Orang yang memaksakan keyakinannya, apalagi dengan jalan kekerasan atau terror, baik yang halus maupun kasar, akhirnya akan mengakibatkan orang lain bersikap hypokrit atau munafik saja. Hal inilah yang menimbulkan bertumpuknya dendam dan kedengkian.

3. Agree in disagreement

Istilah di atas (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu didengungkan oleh Prof. Dr. H. Mukti Ali. Perbedaan tidak harus ada permusuhan, karena perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.

4. Saling mengerti

Tidak akan terjadi saling menghormati antara sesama orang bila mereka tidak ada saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.

5. Kesadaran dan kejujuran

Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dan kepolosan sikap-laku, hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat akan tertib dan tenang.

6. Jiwa falsafah pancasila

Falsafah pancasila merupakan suatu landasan yang telah diterima oleh segenap manusia Indonesia, merupakan tata-hidup yang pada hakekatnya adalah konsensus dan diterima praktis oleh bangsa Indonesia, yang merupakan dasar negara kita.

C. Konsep Toleransi Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.

Telah diketahui bersama, bahwa Islam adalah agama toleransi dan tidak ada paksaan di dalam memeluk agama di dalamnya. Tidak hanya dalam akidah dan hal-hal yang bersangkutan dengannya saja, tetapi larangan mempergunakan paksaan atau kekerasan itu berlaku umum dalam bidang-bidang kehidupan dalam rangka antar-hubungan manusia atau bidang mu’amalah.

Agama Islam tidak hanya mengakui kemerdekaan dan kebebasan tersebut dalam teori saja, tetapi memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap kemerdekaan tersebut.

Dalil-dalil yang menjelaskan tentang toleransi dan kemerdekaan beragama:[3]

1) Surat al-Baqarah: 256

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)

2) Surat al-Mumtahinah: 8-9

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

3) Surat al-Nahl: 125

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)

4) Surat al-Hujurat: 13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

5) Surat Ali Imran: 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)

6) Surat al-Kahfi: 29

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (29)

7) Surat Yunus: 99

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99)

8) Surat al-Qashash: 56

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)

9) Surat al-Nahl: 37

إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (37)

10) Surat al-Insan: 3

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)

11) Surat al-A’raf: 185

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (185)

12) Surat al-Baqarah: 164

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)

13) Surat al-Syura: 15

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آَمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (15)

14) Surat al-Hajj: 39-40

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)

Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan mengenai prinsip atau konsep dalam bertoleransi adalah sebagai berikut:

a. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama

b. Menyeru orang kepada Islam dengan jalan kebijaksanaan dan dengan jalan bertukar pikiran yang baik (musyawarah), karena dakwah tidak boleh dengan bersikap keras kepala

c. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan baik kepada mereka yang tidak sefaham atau tidak seagama, asalkan mereka tidak memusuhi dan memerangi kaum muslimin.

d. Allah telah memberi jalan atau petunjuk yang lurus, tinggal terserah kepada setiap manusia untuk memilihnya atau menolaknya.

e. Salah satu cara menemukan iman adalah berfikir dan mengadakan penyelidikan, bukan dengan paksaan.

f. Kaum muslimin harus berjuang untuk mempertahankan keamanan biara, gereja, tempat peribadatan orang-orang Yahudi, dan masjid.

Patut menjadi perhatian bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan aspek toleransi dan kasih sayang yang telah diberikan oleh Tuhan dan Rasulullah, tidak diperkenankan adanya paksaan karena sesungguhnya antara kebaikan dan kezaliman sudahlah jelas. Memaksakan kehendak bukanlah hak manusia.

Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan toleransi harus ada paradigma kesetaraan dalam agama. Paradigma tersebut dimulai dari keberagaman yang terbuka dan bertanggungjawab. Pilihan beragama seseorang atau sebuah kelompok sesungguhnya tidak semata-mata merupakan pilihan teologis, melainkan juga pilihan sosiologis. Karenanya, paradigma tidak ada paksaan dalam agama menjadi penting. Di satu sisi Tuhanlah yang menegaskan pentingnya kebebasan beragama. Di sisi lain juga terkandung pentingnya kebebasan dalam ranah sosiologis. Di sinilah perlu penerjemahan paradigma tidak ada paksaan dalam agama pada ranah teologis dan sosiologis.

Terdapat empat hal penting yang patut dijadikan etika dalam berdakwah. Pertama, dakwah dengan hikmah. Kedua, dengan nasehat yang santun (bi al-mau’idhat al-hasanah). Ketiga, debat yang konstruktif dan inovatif (wa jadilhum bil allati hiya ahsan), dan keempat, teologi “Tuhan Maha Tahu”.

Di tengah menguatnya keberagaman diperlukan toleransi yang bersifat aktif. Artinya, dakwah dan debat yang seringkali dijadikan sebagai ajang untuk memupuk kebencian dapat digantikan sebagai ajang untuk memupuk keterbukaan terhadap yang lain. Pendapat seseorang itu haruslah diasifati secara relativ karena tiddak ada manusia yang sempurna dan memegang kebenaran mutlak. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Karena itu, relativitas harus memacu setiap insan untuk senantiasa belajar dari yang lain untuk melihat dirinya sendiri. Barangkali kebenaran ada di pihak yang lain.

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.

Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah al-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.

D. Toleransi Dalam Bingkai Ke-Bhinneka-an

Indonesia merupakan negara kesatuan. Dia menghimpun berbagai macam warna kulit, bentuk mata dan model rambut dalam satu tubuhnya, bangsa Indonesia. Indonesia tidak mengenal rasisme. Kedaulatan, persatuan dan kesatuan adalah nilai yang senatiasa dijunjungnya, sebagaimana yang terangkum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ikka.

Dalam hal ini, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, maupun keyakinan. Hal ini merupakan suatu keniscayaan.

Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.

Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau menghilangkannya dengan alasan apapun. Bahkan atas nama agama. Toleransi sejati hanya dapat terwujud apabila kesadaran meluaskan wawasan ke ruang-ruang yang menyekat, menjadikan sikap rendah hati sebagai tiangnya, agar berani untuk menghadapi bahwa hidup itu adalah keragaman, yang tak satu pun diantarannya atas nama keyakinan apapun dapat dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain ataulah sebagai upaya mulai dalam rancang sistematik penyeragaman keyakinan.

Tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, hal itu telah di atur dalam jaminan konstitusi pasal 29 UUD 1945 ayat 2; begitupun hak hidup dan kebebasan berpendapat juga sama telah dijamin oleh undang-undang. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk warga yang mengaku bangsa Indonesia untuk tidak bersikap toleransi kepada orang lain dalam hal apapun.

Akan tetapi, tentu yang dikehendaki toleransi dalam beragama di Indonesia yang memiliki kurang lebih enam agama, bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritual semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk, sistem, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Satu hal yang tidak bisa dielakkan dalam konteks toleransi adalah ketegangan antara idealisme dan realitas. Idealisme agama sendiri dan realitas keberagamaan di Indonesia yang tidak satu. Belakangan ini, intoleransi dalam prakteknya lebih banyak dipilih daripada toleransi. Karena itu -bisa dikatakan- yang terjadi sesungguhnya adalah krisis toleransi di pelbagai level kehidupan. Wacana yang terkemuka adalah intoleransi, bahkan wacana tersebut telah mendapatkan justifikasi dari pandangan keagamaan. Dalam masalah ini, Abdul Husein Sya’ban menyampaikan sebuah otokritik yang perlu mendapatkan catatan khusus:

Kita sesungguhnya tidak mengerti toleransi di antara kita, baik pada level individu maupun kolektif, kelompok, organisasi maupun partai politik. Bahkan pada tataran tertentu kita senantiasa memupuk perseteruan di antara kita, baik dalam satu aliran, satu partai, satu bangsa maupun satu golongan. Kita sudah menyaksikan dengan seksama peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis toleransi, pemberangusan kebebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain.[4]

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran.

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.



E. Toleransi Dalam Tataran Aplikasi

Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.

Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.

Sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT.

Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga. “Barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya”.[5] Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik. Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, kita tidak perlu untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan yang ada di dunia.

Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun. Namun, untuk bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita. Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga sebagai komunitas terkecil kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas.

Terakhir, prinsip toleransi dalam perspektif islam ketika kita sudah meyakini bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT.

Para ulama sepakat agar toleransi menjadi salah satu alternatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena toleransi bukan sekadar hak, tetapi kewajiban. Tuhan pun dalam kitab suci-Nya disebut Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Karena itu, Sila Ketuhanan yang Maha Esa harus dipahami dalam konteks mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan itu secara konsekuen dan konsisten, utamanya dalam hal toleransi.

Salah satu hal yang menjadi keprihatinan bersama dalam konteks kebangsaan muncul gejala yang kian memupuk intoleransi, terutama antara satu kelompok kepada kelompok lain. Realitasnya, tidak sedikit warga NU yang mulai diusik pihak-pihak lain perihal tradisi dan praktik keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, dibaan, barzanji, istigasah, dan lain-lain. Di Bandung, Jawa Barat, pesantren yang secara kultural berbasis nahdiyin diserang warga setempat karena mengusung tema kebangsaan.

Kenyataan itu menunjukkan, wawasan tentang pentingnya toleransi masih minim di tengah masyarakat. Karena itu, diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati dari seluruh pihak bahwa bangsa ini akan besar bila toleransi diterjemahkan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Dua hal inilah (keadilan dan toleransi) yang semestinya menjadi garapan utama PBNU dalam munas di Surabaya, yaitu mendorong pemerintah agar menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan kepada masyarakat agar menerapkan toleransi secara konsisten demi keutuhan bangsa dan Negara.

F. Hubungan Toleransi Dengan Fanatik; Sebuah Pembatasan

Sekilas, toleransi dan fanatik tampak kontras jika dipersandingkan. Karena seolah mereka duduk selalu saling membelakangi satu sama lain. Atau ada yang bilang bahwa mereka adalah musuh bebuyutan. Padahal mereka justru dua sahabat lama yang saling merindukan. Keduanya bisa hidup seiring sejalan.

Fanatisme sebenarnya merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Sebab ketika kita menganut kepercayaan tertentu, maka sikap ideal yang harus kita yakini dalam hati adalah bahwa kepercayaan kita itulah yang paling benar. Sebagai seorang Muslim, penyusun menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Yang lain tidak benar. Teman-teman yang beragama Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya pun, silahkan berpendapat bahwa agama merekalah yang benar, sedangkan yang lainnya tidak benar. Inilah inti dari fanatisme. Dan sikap ini hanya untuk ‘i’tiqad dalam hati.



Apakah sikap seperti ini tidak berbahaya bagi kelangsungan toleransi?

Dalam beragama, ketika seseorang fanatik terhadap Islam, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengislamkan seluruh hidupnya. Islam adalah way of life. Fanatisme terhadap apapun akan membuat kita berusaha mengidentikkan diri dengan si FAN tersebut. Tapi tragisnya, masyarakat kita cenderung sangat permisif terhadap sikap fanatik yang ditujukan bagi makhluk yang bersifat duniawi (artis, tokoh politik, negara tertentu). Namun, ketika seseorang fanatik terhadap agama yang dianutnya, kita ramai-ramai mencela, menyebutkan sebagai sikap yang sangat tidak terpuji.

Fanatisme yang dilakukan secara benar tak akan mungkin bertolak belakang dengan toleransi. Islam misalnya, adalah agama yang penuh toleransi. Islam memberikan ajaran yang sangat sempurna tentang bagaimana kita sebaiknya berhubungan baik dengan saudara-saudara kita yang bukan beragama Islam. Bahkan faktanya, di negara manapun yang mayoritas penduduknya Islam, warga non muslim dapat hidup dengan aman dan nyaman.

Fanatisme sama sekali tidak bertolak belakang dengan toleransi. Fanatisme tidak sama dengan "tidak bisa menerima perbedaan". Dalam konteks perbedaan, fanatisme adalah sikap untuk "berpegang teguh pada keyakinan yang kita anut, namun selalu menghargai siapa saja yang memiliki keyakinan yang berbeda." Inilah fanatisme yang sebenarnya. Karena tanpa fanatisme, bisa menimbulkan keraguan akan keyakinannya sendiri. Dan fanatisme yang seperti inilah yang telah diterapkah oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.

Sikap fanatisme yang baik bukanlah halangan untuk bersahabat dan berhubungan baik dengan orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Sudah demikian banyak orang yang membuktikan hal ini.

 Lantas tentang toleransi, adalah sesuatu yang sangat baik. Tapi sebenarnya, toleransi pun ada batasnya. Sebab toleransi yang kebablasan akan membuat kita terjerumus pada sikap "mengikuti perilaku golongan lain." Dalam Islam, dibuat pembagian yang tegas antara "toleransi agama" dengan "toleransi umat beragama".

Toleransi agama adalah sikap permisif terhadap ajaran agama lain. Contoh konkrit: Umat Islam ikut merayakan hari Natal, atau umat Kristen ikut puasa di bulan Ramadhan. Inilah jenis toleransi yang tidak diperbolehkan. Sebab sikap seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip fanatisme. Sikap toleransi terhadap ajaran agama menunjukkan bahwa keyakinan kita terhadap agama yang kita anut tidak terlalu kuat. Artinya, kita tidak fanatik terhadap agama kita sendiri. Kalau terhadap agama saja kita tidak fanatik, lalu "objek" apalagi yang akan kita fanatiki?

Yang perlu kita kembangkan dan lestarikan sebenarnya adalah toleransi umat beragama. Maksudnya, kita menjaga hubungan baik dengan penganut agama lain. Kita bersahabat dengan mereka, saling silaturahmi, menjalin kerjasama bisnis, dan sebagainya. Semua itu boleh-boleh saja. Selama hubungan yang terjalin masih sebatas hubungan sosial kemanusiaan, tak ada yang perlu dipermasalahkan.

Tapi ketika sudah menyangkut ritual keagamaan dan sejenisnya, ini tidak boleh dilakukan karena sudah melanggar asas toleransi dan fanatisme. Ini adalah toleransi yang kebablasan. Ini adalah fanatisme yang lemah serta bobrok.

Toleransi yang kebablasan akan membuat kita kehilangan identitas (karena kita sibuk menyesuaikan diri dan mengekor pada orang lain). Fanatisme yang lemah akan membuat kita sangat permisif terhadap keyakikan dari golongan lain. Jalan tengahnya adalah melaksanakan toleransi yang pada tempatnya (toleransi umat beragama) dan fanatisme yang tetap menghargai perbedaan.



G. Dari Toleransi ke Sinkretisme; Sebuah Kekeliruan Besar

Di antara konsepsi-konsepsi yang dikatakan sebagai wajah atau jalan menuju pada toleransi agama yang menuju kepada sinkretisme adalah:

a. Semua agama adalah sama

Pandangan ini berbahaya. Sebab akibatnya akan mencampur-adukkan antara agama-agama, dan membuat orang hipokrit terhadap agamanya sendiri dan identitas agamanya akan hilang. Namun banyak tokoh agama yang mengatakan kalau semua agama adalah sama benarnya, demi persatuan. Tidak disadari, mereka telah berkata hal-hal yang bertentangan dengan nuraninya dan akal sehat, yang justru akan mengaburkan identitas setiap agama.

b. Agama campuran

Pandangan ini menjadikan semua agama semacam suatu syntesis saja, yang di dalamnya terdapat dasar-dasar dari semua agama yang dapat menjadikan semua pemeluknya rukun. Bisa dikatakan sebagai suatu aliran Theosofi, walaupun nama ini pada mulanya digunakan untuk sebutan yang menyatakan berbagai agama yang lebih menitik beratkan “pengetahuan tentang Tuhan” yang merupakan ajaran campuran dari bermacam agama.

c. Humanisme universil

Yang dimaksud adalah suatu ajaran dimana dasarnya ialah pemikiran untuk meninjau semua agama, diambil yang baik, yang sesuai dengan perkembangan dunia modern sekarang ini. Atau ajaran-ajaran yang dianggap baik oleh semua agama tersebut dan kemudian dijadikan suatu ikatan baru. Namun masing-masing pemeluk dari agamanya masih tetap dalam ikatan agamanya semula.



H. Paradoks Toleransi; Apakah Praktek Toleransi Membingungkan?

Cacat lahir gagasan toleransi adalah gagasan ini secara konseptual mengandaikan segala sesuatu – celakanya “intoleransi” termasuk di dalamnya – itu sejatinya ditolerir. Contoh kasus larangan terhadap Ahmadiyah, apapun yang kita lakukan, membiarkan atau menghujat FPI (Front Pembela Islam) karena mereka percaya bahwa Ahmadiyah itu sesat dan karenanya harus dibubarkan secepatnya, anda sudah bersikap intoleran. Entah karena Anda membiarkan anggota FPI bersikap intoleran kepada pengikut Ahmadiyah, atau karena Anda telah mencederai keyakinan anggota Ahmadiyah yang semestinya “dihormati” juga. Jadi, pertanyaannya bukan apakah sikap yang tidak toleran itu harus ditolerir atau tidak, tetapi apakah kita benar-benar bisa selalu bersikap toleran? Paradoks memang mungkin terjadi.

Toleransi itu ambigu. Kasus bulan puasa misalnya, siapakah yang semestinya menunjukkan toleransi? Mereka yang berpuasa atau yang tidak? Yang ada hanya orang yang marah-marah: “Dasar orang kafir tidak toleran!” atau “Orang Islam puasanya manja!.”

Kejadian di atas bisa untuk dihindari. Di sini perlu adanya pemahaman yang mendalam dan serius mengenai toleransi. Toleransi dilaksanakan tidak sepihak, dan toleransi yang benar tidak akan mungkin mendiskreditkan pihak lain. Dan komentar penyusun terhadap kasus FPI yang mengobar api untuk membubarkan Ahmadiyah, dia terlalu over-fanatik dan terlalu depan menanggapi dan menyelesaikan kasus terkait, padahal ada yang lebih berwenang menyelesaikan hal tersebut. Karena intervensinya yang berlebih dalam hal ini, oleh karenanya menimbulkan sedikit persengketaan dan ketersinggungan pihak lain.

Jadi, tidaklah praktek toleransi itu membingungkan antara toleransi di satu sisi dan intoleransi di sisi lain.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari sekian penjelasan di atas, maka yang menjadi perhatian adalah pada hakikatnya bukanlah toleransi itu sendiri. Namun meluasnya tindakan intoleran yang sudah hampir membudaya di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, negara harus mempunyai komitmen yang kuat untuk senantiasa mendorong demokratis yang meletakkan paradigma partisipasi sebagai bagian terpenting dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran. Toh, pada hakikatnya masyarakat sudah mampu, bahkan membumikan toleransi dalam kurun waktu yang panjang. Negara juga harus mampu melakukan fungsi proteksi dan regulasi bagi publik agar hak-hak asasi publik tidak dilecehkan oleh pihak lain.

Jalan menuju toleransi harus dimulai dari khazanah setiap agama, adat, dan kelompok masyarakat yang mempunyai konsern untuk membangun kembali toleransi yang mulai rapuh dan punah. Setiap agama dan kelompok masyarakat harus memprioritaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Dengan demikian, lambat-laun toleransi akan menemukan momentumnya di tengah menguatnya tindakan intoleren yang ada.

Demikianlah isi pemaparan kami yang sedikit menguak masalah yang terjadi di negara kita, salah satunya adalah toleransi yang kemudian menimbulkan munculnya istilah intoleransi di kalangan masyarakat. Sangatlah memungkinkan dalam makalah kami, masih banyak hal-hal yang sekiranya belum kami cantumkan di dalamnya. Oleh karena itu, kami meminta saran beserta kritiknya guna perbaikan makalah selanjutnya.

Terima kasih...

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kursyid. 1986. Islam dan Fanatisme. Bandung: Pustaka.

CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.

CD-ROM al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Global Islamic Software. 1991-1997.

DEPAG RI. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.

Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Http://prinsip-prinsip-toleransi-antara-umat-beragama

Http://toleransi/dalam/perspektif/agama-agama/dan/upacara/ritual/ceremonial

Http://reaktualisasi-toleransi–agama

Http://cetak/biru/toleransi/indonesia

Http://pluralisme-agama-toleransi

Http://batas-batas/toleransi/embun/tarbiyah

Http://halal-bihalal-dan-toleransi-beragama

Mahmud, Muhammad Badjuri. 1994. Reaktualisasi Islam dalam Hidup Keberagamaan. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.

Misrawi, Zuhairi. 2007. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta Selatan Indonesia: Fitrah.

Shadily, Hassan dan John M. Echols. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

www.kompas.com



[1] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 23.

[2] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 22.

[3] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 245-249

[4] Zuhairi Misrawi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. (Jakarta Selatan Indonesia: Fitrah, 2007), hlm. 180.

[5] Dalam Bukhori 5560 disebutkan

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Semantics and the Quran Toshihiko Izutsu

Admin Wednesday, May 09, 2018 Add Comment
1.      Semantics of the Qur’an
The Quran is approachable by a number of different points of view such as theological, philosophical, sociological, grammatical, exegetical, etc. For each of these methods, the Quran presents many differences but equally important aspects. So, become evident if we can relate semantic methodology to Quranic studies and we will see whether there is any real advantage in approaching Quran by this method.

“Semantics” according to etymology is a science concerned with the phenomenon of meaning in the widest sense of the word, so wide, indeed, that almost anything that may be considered to have any meaning at all is fully entitled to constitute an object of semantics.

We don’t have regularity of semantics science. Everybody has different theories of meaning. Who speaks of semantics has considered himself entitled to define and understand the word as he likes. Izutsu has his own conception of semantics and describe the major concern of a semanticist. In the manner of methodological principles can be known the most concrete and profound problems raised by the language of the Quran.

According to Izutsu, “semantics” is an analytic study of the key-terms of a language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the weltanschauung or world view of the people who use that language as a tool not only of speaking and thinking, but more important still of conceptualizing and interpreting the world that surrounds them.

Semantics of the Quran is a research of analytically and methodologically the major concepts, those are the concepts that seem to have played a certain role in the formation of the Quranic vision of the universe.

2.      Integration of Individual Concepts
All of the most important words which represent the major concepts such as Allah, Islam, Nabi, Iman, Kafir, etc. when under study (examine) the meaning of each of them in the Quranic context, is not so simple. One word with another one have separated  position in the Quran, but they are closely interdependent and produce the concrete meanings from the entire system of relations accurately. Because of that, in analyzing the individual key concepts that are found in the Quran we should never lose sight of the multiple relations which each of them bears to others in the whole system.

None of the key terms that play a decisive role in the formation of the Quranic world-view including the name of God: Allah, is made in new. Almost all of them had been used in some forms or other in pre-Islamic times. When the Islamic Revelation began to use these words in the general context struck the Mecca’s people as something quite strange, unfamiliar, and become unacceptable.

Islam brought these words and combined them into a new concept entirely which until that era was still unknown. And the most important, the transmission of these concepts, and re-arrangement  basically of  moral and religious values so radically evolutionized the Arab conception of the world and human existence.

Eventhough there is impact of context on word-meanings (before and after pre-Islamic times), the word in the new system still keeps hold on the same basic meaning which it had in the old system.

Example:

“Allah” had known by Arabic’s people pre-Islamic times. The name was appeared in:

·         Pre-Islamic poetry

·         Personal names

·         Old inscriptions

·         Some people or some ethnics in Arab believed in God named Allah and recognized Him as Creator

Arabic’s people believed that “Allah” as one of Gods. But Muhammad said that “Allah” as absolutely supreme, unique, the one, and only God in existence, degrading all other gods to the position of batil (false) as opposed to haqq (real). The new Islamic conception of the supreme God affected the whole structure of the vision of the universe

3.      “Basic” Meaning and “Relational” Meaning

At this topic, Toshihiko would like to explain a technical distinction between ‘basic’ meaning and ‘relationsl’ meaning, as one of the major methodological concepts of semantic, in order to make easily analytic work later.

The ‘basic’ meaning of a word is something inherent in the word itself, which it carries with it wherever it goes. And the ‘relational’ meaning is something connotative that comes to be attached and added to the former by the word’s having taken a particular position in a particular field, standing in diverse relation to all other important words in that system.

The example of this term such are; the word “kitab” (book), basically this word mean the same whether it is found in the Qur’an or outside of the Qur’an. This word as long as it is actually felt by the speech community to be one word. Keeps it fundamental meaning –a general meaning of book- wherever it is found, whether is happens to be used as a key term in a given system of concepts or more generally outside of that particular system.

As the relational meaning is constructed in a system consisted of many words referring to a certain concept, this system is then called semantic field. The word of yawm, basically means day, is introduced by the Qur’an in a neighborhood with other words like qiyamah, ba’ts, din, hisab, etc. This combination forms a semantic field, which associates to a concept of resurrection and the Last Judgment. The words in this neighborhood composition inter-impact to the meaning of each individual word.

4.      Vocabulary and Weltanschauung
We must know that the words in a language form are a closely-knit system. The main pattern of that system is determined by a certain number of particularly important words. It is necessary to note that not all the words in a vocabulary are the equal value in forming the basic structure of ontological conception underlying the vocabulary, however important they may appear from other points of view.

Toshihiko Izutsu said that those word which play a really decisive role in making up the basic conceptual structure of the Qur’anic world view. He called them “key terms” of the Qur’an, such as Allah, Islam, Iman (believe), Kafir (infidel), Nabiy (prophet), Rasul (apostle of God), etc.

Semantic fields are often composed in the larger system namely vocabulary. In this system, the relations among semantic fields are composed by the multi-relations of each key-term. Thus, the relations form a diagram of overlapping system within a bigger system. At simple, we can say that vocabulary is a multi-strata structure. The composition of key-words with their complexities forms a semantic field, as a stratum, and then the composition of semantic fields, also with their complexities and complicated overlapping pictures, shape a multi-bigger-strata named vocabulary.

Considering the complicated and overlapping composition among semantic fields, then how to detect an individual semantic field is structured, so we could find the weltanschauung of it, is the next complicated step. To know a conception of an individual semantic field, we have to isolate it from its complicated composition, and a new technical term is then needed, focus word. Focus word is a particularly important key-word which indicates and delimits an independent and distinctive conceptual sphere, semantic field, within the larger system, whole vocabulary.

Focus word is farily flexible. It is important notion that a key-word could be in not one semantic fields. And it is this fact which makes the overlapping scheme of semantic fields within vocabulary. In relation to focus word, certain key-word could considered focus word in certain semantic field, but it just become the ordinary key-word in the other semantic fields. Therefore, to this focus word might be a help to isolate a semantic fields one to another, and then to be understood word view.

JADAL DALAM AL-QUR`ÂN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN

Monday, May 07, 2018 Add Comment

JADAL DALAM AL-QUR`ÂN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN

Oleh H. Muhammad Taufik*
Tulisan ini, melihat persoalan di sekitar jadal al-Qur`ân. Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan dalil untuk mengalahkan orang kafir dan para penantangnya melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima nurani manusia. Tujuan Jadal al-Qur`ân diantaranya menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Adapun signifikansi jJadal al-Qur`ân dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat memahami dan kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan, mengembangkan manusia menjadi cerdas secara rasio-emosi-spiritual, dan anggun dalam iman, ilmu dan perilaku.
Kata Kunci: Jadal, al-Qur`ân, metode, penafsiran, pendidikan
funci.org
I. Pendahuluan
 Al-Qur`ân adalah petunjuk bagi manusia, yang sekaligus dengannya manusia dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil, yang salah dan yang benar. Ia juga dapat sebagai obat dan rahmat bagi manusia pada umumnya dan khususnya yang beriman.[1] Dalam waktu yang sama, al-Qur`ân adalah merupakan Mu’jizat terbesar dan abadi bagi Rasulullah Muhammad Saw. Ia merupakan mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional dan spiritual sekaligus, sehingga menarik umtuk di diperhatikan oleh orang yang mempunyai hati dan pikiran.[2]
 Al-Qur`ân – kata Syekh Muhammad ‘Abduh – mengandung berita bangsa-bangsa silam yang dapat dijadikan contoh perbandingan bagi umat sekarang dan yang akan datang, ia memuat berita pilihan yang dipastikan kebenarannya. al-Qur`ân menceritakan hikayat para Nabi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka dengan umatnya. Ia juga mensyari’atkan kepada manusia hukum-hukum yang sangat cocok dengan kemaslahatan kehidupan mereka.[3]
Sejalan dengan keyakinan ‘Abduh itu, Nashr menegaskan pula bahwa :
Al-Qur`ân berisi petunjuk bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya[4] kepada Tuhan. Karenanya al-Qur`ân menjadi pusat kehidupan Islam. Al-Qur`ân adalah dunia di mana seorang muslim hidup. Ketika ia dilahirkan, di telinganya dibisikkan syahadat yang terdapat dalam al-Qur`ân. Ia mempelajari al-Qur`ân sejak ia mulai bisa berbicara. Ia mengulangnya setiap hari dalam shalat. Ia dinikahkan melalui pembacaan al-Qur`ân. Dan ketika ia mati dibacakan al-Qur`ân kepadanya. Al-Qur`ân adalah serat yang membentuk tenunan kehidupannya, ayat-ayat al-Qur`ân adalah benang yang menjadi rajutan jiwanya.[5]

Dalam membicarakan al-Qur`ân sebagai petunjuk, Nasr memahami kandungannya dalam tiga klasifikasi : Pertama : “doktrin” yang memberi pengetahuan terhadap struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Doktrin itu berisi petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Doktrin itu juga mengandung metapisika tentang Tuhan, kosmologi atau alam semesta serta kedudukan berbagai makhluk dan benda di dalamnya, dan pembahasan kehidupan di akhirat. Kedua : al-Qur`ân berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, dan para Nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Meskipun petunjuk ini berupa sejarah, sebenarnya ia ditujukan pada jiwa manusia di sini dan sekarang, meskipun ia mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Ketiga : al-Qur`ân berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu dapat disebut “magi” yang agung, bukan dalam arti harfiah, melainkan dalam arti metafisis. Ayat al-Qur`ân, karena diturunkan oleh Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam al-Qur`ân secara rasional. Ayat-ayat itu menyerupai ‘azimat yang melindungi manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisis dari al-Qur`ân sendiri membawa berkah bagi manusia. Apabila seorang muslim menghadapi kesulitan ia membaca ayat-ayat al-Qur`ân tertentu yang menenangkan dan menghibur hatinya.[6]

 Baik dalam posisinya sebagai yang mengandung petunjuk yang bersifat doktrinal, historis dan sublim[7] di satu sisi, maupun sebagai mukjizat abadi yang bersifat ruhiyah, rasional dan spiritual sekaligus di sisi lainnya, al-Qur`ân memerlukan prosedur, mekanisme dan kiat tertentu untuk dapat memahami atau mendekati pemahaman terhadapnya.

 Dalam kerangka itu, telah berbilang jumlah dan berbagai ragam tafsir dan Ulum al-Qur`ân yang dihasilkan para ulama dan cendekiawan sampai saat ini . Namun, kandungan al-Qur`ân masih tetap bagai tak terusik, sebab memang kandungannya itu jauh melampaui kemampuan manusia untuk menyelaminya.[8] Di samping manusia yang selalu berupaya menghampiri pemahaman terhadap al-Qur`ân itu sejak awal turunnya, tidak sedikit juga yang sebaliknya, yang berupaya menjauhi bahkan membantah apa yang dikandung al-Qur`ân. Seperti dijelaskan sendiri dalam Q.,s. al Kahfi/18: 54 yamg terjemahnya “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
 Mengapa manusia bisa dan suka/banyak membantah? Menurut analisis Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an bahwa :

 Karena setiap sesuatu di alam semesta ini bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya – secara otomatis mentaati perintah Allah – maka keseluruhan alam semesta ini adalah muslim atau tunduk kepada kehendak Allah. Manusia adalah satu-satunya ciptaan Allah yang memiliki kebebasan untuk mentaati atau mengingkari (membantah perintah-Nya). (Q.,s.al Syams/91: 7-10).[9]

 Berbagai upaya dalam membantah kebenaran al-Qur`ân, dilakukan manusia sejak masa turunnya, namun selalu kandas. Sebab bantahan al-Qur`ân selalu lebih kuat. Kekuatan bantahan al-Qur`ân ini, antara lain adalah dalam kedudukan uslub bahasa nya yang juga bermuatan mu’jizat. Menurut al Zarqani bahwa di antara kemukjizatan al-Qur`ân terdapat pada “kefasihan lafadznya serta keindahan uslubnya yang tidak bisa ditandingi.”[10] Pembicaraan di sekitar bantah membantah dalam al-Qur`ân itulah yang kemudian dalam disiplin ‘Ulum al-Qur`ân dikenal dengan istilah Jadal al-Qur`ân.
 Tulisan ini, akan mencoba melihat permasalahan di sekitar Jadal al-Qur`ân tersebut, meliputi: pengertian Jadal, macam dan topiknya, tujuan dan metodenya, perannya dalam penafsiran al-Qur`ân serta pengaruhnya terhadap pendidikan.

II. Pengertian Jadal Al-Qur`ân

Al-Qur`ân menyebut kata Jadal dalam berbagai bentuknya sebanyak 29 kali. Lokus pemuatannya tersebar pada 16 Surat dalam 27 ayat yakni pada surah: al-Nisaa/4: 109 dan Huud/11: 32 masing-masing dua kali; al-Baqarah/2: 197; kemuadian pada al-Nisaa/4: 107; al-An’aam/6: 121, 125; al-A’raf/7: 71; al-Anfaal/8: 6; Huud/11: 74; al-Ra’d/13: 13; al-Nahl/16: 111, 125; al-Kahfi/18: 54, 56; al-Hajj/22: 3, 8, 68; al-Anka buut/29: 46; Luqmaan/31: 20; Ghaafir/40: 5, 4, 25, 56, 69; al-Syuura/42: 35; al-Zukhruf/43: 58; al-Mujaadalah/58: 1 masing-masing satu kali.[11] Dalam bahasa Indonesia, Jadal dapat dipadankan dengan debat. Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.[12] Jadal atau Jidal dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai ”perbantahan dalam suatu permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya.”[13]
 Sebagai suatu istilah, Jadal adalah saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan masing-masing berusaha berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran atau pendapatnya dalam suatu perdebatan yang sengit.[14] Berbagai batasan pengertian tentang Jadal dirumuskan para ulama, namun pada dasarnya mengacu pada perdebatan serta usaha menunjukkan kebenaran atau membela kebenaran yang ditujunya dengan berbagai macam argumentasi. Dari definisi-definisi yang ada bila hendak dibuatkan rambu-rambu, maka itu antara lain adalah (1) Hendaknya dengan jalan yang dapat diterima atau terpuji, (2) Diniati untuk mendapat dalil/argumen yang lebih kuat, (3) Untuk menunjukkan aliran/mazhab serta kebenarannya.

Dengan rambu yang demikian itu, para pihak yang terlibat dalam jadal memang tidak harus saling membenci, walaupun pada dasarnya sulit menghidari suasana saling bermusuhan. Sebab, sebagian dari watak dasar manusia adalah memang suka membantah atau berbantah-bantahan, bahkan Tuhannya pun dibantah. (Q.,s. al Kahfi/18 : 54). Kenapa demikian? Sebab manusia memang memiliki potensi/kebebasan untuk itu, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya (lihat catatan nomor 10). Untungnya kita punya pedoman yaitu al-Qur`ân yang menganjurkan jika hendak berbantahan, maka berbantahanlah dengan cara yang terbaik.[15]

 Istilah yang dapat dipandang sebagai padanan daripada istilah Jadal adalah al Munazharah, al Muhawarah, al Munaqasyah dan al Mubahatsah. Istilah-istilah tersebut dapat dipandang sepadan, sebab pada dasarnya mengacu pada tujuan yang sama yakni untuk menjelaskan dan kejelasan sesuatu permasalahan. Hanya saja Jadal lebih menekankan kemenangan, dan pada saat yang sama kekalahan bagi pihak lawan debat. Munazharah merupakan kegiatan dimana dua orang saling mengemukakan pemikiran, masing-masing bertujuan membenarkan pemikirannya serta menyalahkan pemikiran lawan (debat)nya dengan jalan saling mencoba menguji pembuktian dalam upaya mencari/menampakkan kebenaran. Adapun muhawarah mengacu pada pembicaraan dimana di dalamnya ada dialog/tanya jawab dengan sopan yang bertujuan hampir sama saja dengan Jadal. Tentang munaqasyah dan mubahatsah hampir sama saja. Khususnya tentang Jadal dan muhawarah, di dalam al-Qur`ân terdapat ayat yang di dalamnya digunakan kedua istilah tersebut, yaitu pada surah Q.,s. al Mujadalah ayat pertama.[16]

 Adapun al-Qur`ân secara etimologis berarti “bacaan”, dan secara terminologis adalah Kalam Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhamad SAW. dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ‘ibadah.[17] Sedangkan yang dimaksud Jadal al-Qur`ân adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.[18]

III. Macam dan Topik Jadal al-Qur`ân
 Secara umum, Jadal al-Qur`ân dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama : Jadal yang terpuji (al Jadal al Mamduh) adalah suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlash dan murni dengan cara-cara yang damai untuk mencari dan menemukan kebaikan dan kebenaran. Ulama membolehkan debat dengan maksud untuk menjelaskan syari’at dan membuktikan kesahalan lawan dengan alasan-alasan dan pembuktian yang benar, tentunya dengan cara yang baik. Hal tersebut dapat didasarkan pada firman Allah yang terjemahnya sebagai berikut :
(1) Serulah (manusia) kejalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka (wajaadilhum) dengan cara yang lebih baik (Q.,s. al Nahl/16 : 125).
(2) Dan jangan kamu berdebat (walaa tujaadil) dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (Q.,s. al ‘Ankabuut/29 : 46).

 Sebagai contoh dari Jadal jenis ini dapat dilihat pada ayat yang terjemahnya sebagai berikut :
Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata “mengapakah tidak diberikan kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?” dan bukanlah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu? Mereka dahulu telah berkata : Musa dan Harun adalah dua orang ahli sihir yang bantu-membantu”. Dan mereka (juga) berkata : “Sesungguhnya kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu”. Katakanlah : “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan al-Qur`ân) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (Q.,s. al Qashash/28 : 48-50).

Kedua: Jadal yang tercela (al Jadal al Mazdmum), adalah setiap debat yang menonjolkan kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Tentang tercelanya debat yang bathil ini banyak dasarnya dari Al Kitab maupun al Sunnah dan pendapat kaum Salaf. Di antara dasarnya dari al Kitab adalah ayat yang terjemahnya sebagai berikut:
(1) Dan tidaklah Kami mengutus rosul-rosul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olok (Q.,s. al Kahfi/18 : 56).
(2) Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap (Q.,s. al Anbiya’/21 : 18).

Jadal al Mazdmum itu ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa landasan keilmuan seperti disinyalir dalam Q.,s. al Hajj/22: 3, yang terjemahnya “di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang sangat jahat”, dan ayat 8 yang tertejamhnya “Dan diatnara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya”. Juga dapat dilhat contoh Jadal model tersebut pada Q.s., al Mu’minun: 71 dan Q., s. Lukman: 20. Ada pula Jadal al Mazdmum dalam bentuk dukungan atas kebathilan setelah tampak kebenaran seperti dalam Q.,s. al Mukmin/40: 5 yang terjemahnya “dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.”[19]
 Adapun mengenai terma (maudlu’) dalam Jadal al-Qur`ân, cukup banyak tersebar dalam berbagai surah dan ayah al-Qur`ân. Al Almaa’iy mengkategorikannya ke dalam enam kelompok terma (nama dan nomor surat dan ayat di dalam kurung adalah di antara contoh jadal dalam terma bersangkutan), yakni : (1) Jadal dalam penetapan wujud Allah (Q.,s. al Jaatsiyah/45 : 24-28), (2) Jadal tentang penetapan Keesaan Allah (Q.,s. al Anbiya’/21 : 22), (3) Jadal tentang Penetapan Risalah (Q.,s. Nuh/71 : 1-3), (4) Jadal tentang Kebangkitan dan Pembalasan (Q.,s. al Mu’minun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15), (5) Jadal tentang Tasyri’at (Q.,s. al Nahl/16 : 36 & Q.,s. al Anbiya’/21 : 25), (6) Jadal tentang aneka tema lainnya, seperti: (a) Jadal Bani Adam (Q.,s. al Maidah/5 : 27-31), (b) Jadal Ibrahim a.s. tentang kaum Luth (Q.,s. Hud/11 : 74-76), © Jadal antara Musa dan Hidlir a.s (Q.,s. alKahfi/18 : 60-72), (d) Jadal antar orang shabar yang miskin dan orang kafir yang kaya (Q.,s. al Kahfi/18 : 32-43), (e) Jadal Keluarga Fir’aun yang beiman dengan kaumnya (Q.,s. al Mu’minun/23 : 27-40), (f) Jadal Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim a.s. (Q.,s. Ali Imran/3 : 65-68), (g) Jadal Munfiqin dengan Mu’minin (Q.,s. al Baqarah/2 : 11-14). Di antara sekian maudlu’ Jadal dalam al-Qur`ân– menurut analisis Al Almaa’iy – terma yang pertama dan kedua yakni tentang Wujud dan Keesaan Allah yang paling banyak mendapat sorotan.[20]
 Dengan menggunakan kerangka jenis/macam Jadal yang dikemukakan ter dahulu, bila dicermati secara baik, tentunya dapat diduga dari contoh-contoh tersebut di atas, mana yang tergolong Jadal yang mamduh dan mana yang mazdmum.

IV. Tujuan dan Metode Jadal

 Jadal al-Qur`ân memiliki berbagai tujuan, yang dapat ditangkap dari ayat-ayat al-Qur`ân yang mengandung atau yang bernuansa Jadal, di antaranya adalah :
(1) Sebagai jawaban atau untuk mengungkapkan kehendak Allah dalam rangka penetapan dan pembenaran aqidah dan qaidah syari’ah dari persoalan-persoalan yang dibawa dan dihadapi para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh. Sekaligus sebagai bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia, sehingga menjadi jelas jalan dan petunjuk ke arah yang benar. Jadal dengan tujuan seperti ini dapat dicermati contohnya mengenai dialog Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun (Q.,s. al- Syu’araa’/26: 10-51).
(2) Sebagai layanan dialog bagi kalangan yang memang benar-benar ingin tahu, ingin mengkaji sesuatu persoalan secara nalar yang rasional , atau melalui ibarat maupun melalui do’a. Dari dialog-dialog tersebut, kemudian hasilnya dapat dijadikan pegangan, nasehat dan semacamnya. Untuk tujuan seperti ini dapat dijadikan contohnya adalah penjelasan Allah SWT. atas persoalan kegelisahan Naabin Ibrahim a.s. yang ingin menambah keyakinannya dan ketenangannya dengan mengetahui bagaimana Allah menghidupkan makhluk-Nya yang telah mati (Q.,s. al Baqarah/2 : 260, juga dapat dilihat pada ayat 30 surat yang sama sebagai contoh lainnya.
(3) Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumentasi orang kafir yang sering mengajukan pertanyaan atau permasalahan dengan jalan menyembunyikan kebenaran yang memang disinyalir dalam al-Qur`ân Wajaadiluu bi al Baathil liyudhiduu bihi al haq (Q.,h. al Mukmin/40 : 5). Sebagai contoh Jadal dengan tujuan seperti ini bisa dilihat dalam Q.,s. al Mukminun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15 serta Q.,s. Yaasiin/36 : 78-79.[21]
 Adapun mengenai metode yang ditempuh Jadal al-Qur`ân, para ulama pada dasarnya sama saja, walaupun secara tehnis ada perbedaan dalam mengelompokkan apakah suatu jadal dalam al-Qur`ân termasuk metode atau macam/jenis dari jadal tersebut. Yang dimasukkan ke dalam macam-macam Jadal al-Qur`ân oleh Abu Zahrah dan Al Qaththan umpamanya, oleh Al Almaa’iy sebagiannya dimasukkan ke dalam metode Jadal al-Qur`ân. Dalam tulisan ini, kedua kecenderungannya tersebut digabung dalam pembahasan tentang prosedur yang ditempuh dalam Jadal al-Qur`ân, yakni:[22]
(1) Al Ta’rifat.
 Bahwa Allah SWT secara langsung memperkenalkan diri-Nya dan ciptaan-Nya sebagai pembuktian akan wujud dan ke Maha Kuasaan-Nya. Karena Allah tidak terjangkau oleh indera manusia, maka dengan mengungkapkan hal-hal yang bisa ditangkap indera manusia, manusia akan mampu memahami akan wujud dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Hal inilah yang antara lain dapat dipahami dari firman Allah seperti tertera pada Q.,s. al An’am/6: 95-100, tentunya banyak contoh yang lainnya tentang hal ini.
(2) Al Istifham al-Taqriri
 Dalam bentuk ini Allah mengajukan pertanyaan langsung dengan penetapan jawaban atasnya. Pertanyaan tentang hal yang memang sudah nyata, diangkat lagi lalu disertai dengan jawaban yang merupakan penetapan atas kebenaran yang sudah pasti. Prosedur ini dipandang oleh para ahli Ulum al-Qur`ân sebagai yang ampuh sekali sebab dapat langsung membatalkan jidal atau argumen para pembantah. Sebagai contohnya dapat disebut antara lain firman-Nya dalam Q.,S. Yaasiin/ 36 : 81-82.
(3) Al Tajzi’at
 Dengan prosedur ini Allah mengungkapkan bagian-bagian dari suatu totalitas, secara khirarchis atau kronologis, yang sekaligus menjadi sebagai argumentasi dialektis untuk melemahkan lawan dan menetapkan suatu kebenaran. Masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai bukti/untuk membuktikan kebenaran yang dimaksudkan. Prosedur jadal seperti ini nampak antara lain dalam Q.,S. Al Naml/27 : 54-64.
(4) Qiyas al Khalf
 Dalam bahasa Indonesia disebut “analogi berbalik”. Dengan prosedur ini, kebenaran ditetapkan dengan membatalkan pendapat lawan yang berbalikan/ berlawanan. Sebab dalam realitas kehidupan tidak dapat berkumpul dua hal yang berlawanan. Tentang metode Jadal seperti ini dapat disebut firman Allah dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 21-22.
(5) Al Tamtsil
 Allah mengungkapkan perumpamaan bagi suatu hal. Dengan perumpamaan dimaksudkan agar suatu kebenaran dapat dipahami secara lebih cepat dan lebih mudah, lalu lebih melekat di sanubari “lawan”. Untuk ini antara lain dapat disebut sebagai contoh adalah firman-Nya pada Q.,s. al Baqarah/2 : 259.
(6) Al Muqabalat
 Al Muqabalat adalah mempertentangkan dua hal yang salah satunya memiliki efek yang jauh lebih besar dibanding dengan yang lainnya. Seperti halnya mempertentangkan antara Allah SWT dengan berhala yang disembah orang-orang musyrik. Contoh Jadal al-Qur`ân dalam prosedur seperti ini dapat dilihat antara lain pada Q.s. al Waqi’ah/56: 57-59. Demikian itulah antara lain prosedur dan metode yang ditempuh al-Qur`ân dalam Jadal atau Metode Jadal al-Qur`ân.

V. Peranan Jadal dalam Penafsiran al-Qur`ân dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan

 Al-Qur`ân – seperti pengibaratan pada kata hikmah spiritual Al Rumi – bagaikan wajah pengantin wanita yang memakai cadar. Rahasia keindahannya tersembunyi di balik cadarnya. Yang berkehendak menangkap “keindahan” itu, hendaknya “tahu dan mengerti caranya”. Al-Qur`ân adalah “kitab petunjuk” untuk keselamatan. Petunjuk Al Qur’an bermuatan lengkap, namun dalam beraneka nuansa, yang tidak semua orang dapat menyentuh semuanya, bahkan mungkin tidak banyak, kalau bukan malah tidak ada yang dapat mejangkau semuanya.[23] Seperti juga dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa al-Qur`ân, memuat di dalamnya petunjuk yang bernuansa doktrinal, historis dan sublim. Di samping semuanya itu, Al-Qur`ân adalah mukjizat al Kubra yang abadi bagi Rasul Saw, yang bersifat ruhiyah, rasional, dan spiritual sekaligus. Untuk dapat masuk ke dalam “nuansa” al-Qur`ân dalam kerangka pemahaman atas kandungannya, tentunya bukanlah hal yang mudah. Harus tahu caranya. Di antara yang dapat dipandang sebagai “cara” masuk itu, adalah memahami celah dari sisi kemukjizatannya, yaitu keindahan dan ketinggian gaya bahasa (uslubnya). Di sinilah (boleh jadi) letak signifikansi pemahaman tentang Jadal al-Qur`ân, dimana Jadal merupakan satu dari tanda ketinggian uslub al-Qur`ân.

 Memahami Jadal al-Qur`ân, dapat berarti mempermudah jalan dalam menghampiri dan menangkap pemahaman yang benar atas dialog (jadal, munazharah, muhawarah) yang pernah terjadi dan tertera dalam Al-Qur`ân, baik di antara Allah dengan Malaikat atau dengan Nabi, atau di kalangan para Nabi dengan kaumnya, di kalangan orang-orang shalih yang mulia, atau antar perorangan di kalangan Bani Adam dalam berbagai suasana dan kondisi. Bila demikian, maka dapat berarti Jadal al-Qur`ân berperan kuat dalam penafsiran al-Qur`ân.

 Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, dapat juga dipahami bahwa al-Qur`ân sungguh-sungguh tidak menghendaki adanya “debat kusir”, debat yang kosong dari nilai manfaat dan kebenaran. Al-Qur`ân hanya menghendaki Jadal yang “mamduh” (wajaadilhum bi allati hiya ahsan dan atau wa laa tujadiluu bi al bathil)). Dengan memahami Jadal al-Qur`ân dengan lebih mudah pula dapat dipahami hakekat kebenaran yang lebih haqiqi dari hal atau hal-hal yang menjadi objek jadal dalam al-Qur`ân. Lagi pula Jadal al-Qur`ân tidak sama dengan manthiq Yunani (Logica Hellenica).[24]

 Adapun konteks kependidikan, pengaruh Jadal dapat dipahami dalam kerangka pendidikan sebagai proses pemanusian manusia. Atau dalam kerangka membuat manusia menjadi makhluk yang memiliki budaya yang tinggi, yang selaras dengan citra penciptaannya yang paling bagus (fi ahsani takwim Q.,s. al Tin/95 : 4), dan dalam kapasitas yang multi dimensi, yakni secara thabiiyah merupakan “psycho and physical entity”, yang punya nurani, ratio, raga dan rasa secara bersamaan, pendidikan, memerlukan berbagai macam kiat dan metode untuk dapat mencapai tujuannya.
 Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Masa Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[25]

 Dalam pendidikan Islam, pendidikan akhlak merupakan “Ruh” pendidikan secara keseluruhan. Mencapai akhlak yang mulia adalah obsesi haqiqiyah dari pada tujuan pendidikan Islam. Untuk maksud itu, upaya/proses pembinaan akhlak dan pendidikan kejiwaan adalah dasar yang paling asasi daripada tujuan yang harus dicapai dalam Pendidikan Islam.[26] Untuk dapat mencapai tujuan seperti itu, tentunya tidak mudah. Diperlukan berbagai sarana, fasilitas, dukungan kebijakan politik dan dana yang tidak kecil, waktu yang tidak pendek, dan kualitas SDM yang baik serta metode yang handal.
 Dari sekian banyak metode yang dikenal selama ini, khususnya dalam melayani sisi manusia yang rational dan emossional, kiat diskusi, tanya jawab, bantah membantah, dialog, seminar, polemik dan semacamnya, yang dalam kerangka al-Qur`ân dapat dipahami sebagai Jadal, masih menempati posisi strategis, dan karenanya masih tetap relevan dan efektif, khususnya Jadal yang mamduh.

 Jadal dalam al-Qur`ân, seperti yang terjadi antara Ibrahim dengan Allah (Q.,s. al Baqarah/2: 560 atau antara Ibrahim dengan kaumnya seperti dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 51-71; Q.,s. al Syu’ara’/26: 69-82, adalah merupakan contoh yang baik sekali dalam peristiwa dialogis yang dimaksudkan sebagai metode mencari dan membawa peserta didik kepada pencapaian kebenaran. Bahkan secara lebih rinci dapat dipahami bahwa dialog-dialog (jadal) dalam al-Qur`ân banyak sekali di antaranya yang bersifat dan mengarah pada model dialog deduktif, di mana deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat dalam dunia pendidikan. Demikian pula halnya dengan tamsil dan ibarat yang banyak digunakan dalam Jadal al-Qur`ân, memberi peluang bagi pendidik untuk dapat menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit, yang dapat ditangkap oleh persepsi manusia, yang pada gilirannya membawanya pada pemahaman tentang sesuatu secara benar dan tentang kebenaran itu sendiri.[27]

 Jadal, munadharah ataupun muhawarah dapat berfungsi sebagai arena pengujian kemampuan – dalam skalanya yang lebih tehnis. Di sini keilmiahan dan keilmuan peserta yang terlibat akan bisa terlihat dan bisa dibandingkan dengan yang lainnya. Seseorang akan diakui sebagai ilmuwan yang terdidik bila ia mampu melakukan dialog atau debat (yang mamduh – pen) dalam bidangnya dengan ilmuwan terdidik yang lainnya.[28]

 Ibnu Khaldun memandang munadharah – sesuai kutipan Al Abrosyi – sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam hal pengajaran dan pendidikan, terutama untuk dapat memahami aspek ilmiah dari tamsil dan ibarat. Sementara Al Abrosyi juga memandang munadharah, muhawarah dan sejenisnya dalam mendekati setiap permasalahan, akan dapat mempengaruhi jiwa pihak si terdidik untuk menjadi lebih matang, dan sangat berpengaruh dalam membina kebebasan dan kekuatan berfikir.[29]
 Hal mana pada gilirannya, secara akumulatif, akan dapat membawa dan mengantarkan manusia untuk selalu mampu berproses ke arah peningkatan diri menjadi manusia-manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta berakhlaq dengan akhlaq yang mulia. Insya Allah.

VI. Kesimpulan

1. Jadal adalah debat, dialog antar dua pihak dengan kehendak untuk menang melalui alasan dan argumentasi. Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan bukti-bukti dan dalil-dalil dengan tujuan untuk mengalahkan orang kafir dan para penantang sekaligus untuk menegakkan aqidah dan syari’ah, melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima oleh nurani manusia.
2. Jadal, ada yang mamduh dan ada pula yang mazdmum, dengan landasan dan contohnya masing-masing di dalam al-Qur`ân. Jadal dalam al-Qur`ân, dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, menyangkut space and time yang sangat luas. Pernah terjadi antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model-model jadal yang tergambar dalam al-Qur`ân, di antaranya masih belangsung sampai sekarang. Demikian pula hal yang dipersoalkan dalam Jadal hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan setelah kehidupan yang sekarang.
3. Tujuan dari Jadal al-Qur`ân antara lain untuk menetapkan aqidah tentang wujud dan wahdaniyah Allah serta petunjuk dan syari’ah bagi yang membutuhkan. Menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai tehnis pendekatan seperti : al Ta’rifat, al Istifham al Taqriri, al Tajzi’at, Qiyas al Khalf, al Tamsil dan al Muqabalat.
4. Jadal al-Qur`ân, dengan memahaminya dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan Jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jelas Jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, membina manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.

Daftar Pustaka

Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, Medinah al Munawwarah, 1412
Al-Almâ’iy, Zahir ‘Iwad, Manahij al Jadal fi Al-Qur`ân al Karim, t.tp.: tp., t.th.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, Thab. Tsaniyah, t.tp.: Daar al Fikr, t.th.
Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Cet. I; Educational Theory : a Qur’anic Outlook, terjemahan H. M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori Pendidikan Menurut al Qur’an”, Jakarta : Rineka Cipta, 1990.
Abduh, Syekh Muhammad, Risalatut Tauhid, terjemahan H. Firdaus A. N. dengan judul “Risalah Tauhid”, Cet. VI; Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
Asari, Hasan, Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah, Jurnal “Ulumul Qur’an”, Nomor 1 Vol. V Jakarta, 1994.
Avery, Jon dan Hasan Askari, Towards a Spiritual Humanism, terjemahan Arif Hutono dengan judul “Menuju Humanisme Spiritual”, Cet. I; Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Al-Bâqy, Muhammad Fuad, Abd. Al-Mu’jam al Mufahras Li Alfâz al-Qur`ân al Karim, t.tp. Angkasa, t.th.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Dirjen Binbaga Islam, Himpunan Peraturan Perundangan tentang Pendidikan Tinggi, 1991.
Ibnu Manzur, Lisân al Arab, Jilid ii, Beirut : Daar al Ilmiah/Daar Shaadir, t.th.
Al-Isfahany, Al Raghib, Mu’jam Mufradât al Fâz al-Qur`ân, Beirut: Daa al Fikr, t.tt.
Nasr, S.H., Ideals and Realita of Islam, terjemahan Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid dengan judul “Islam Dalam Cita dan Fakta”, Cet. I; Jakarta: LEPPENAS, 1981.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabâhits fi ‘Ulum al-Qur`ân, Beirut : Mansyurat al Ashri, 1977.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, terjemahan Anas Mahyuddin dengan judul “Tema Pokok al Qur’an”, Cet. I; Bandung: Pustaka, 1983.
Al-Shabuny, Muhammad ‘Aly, Al Tibyân Fi ‘Ulum al-Qur`ân, terjamahan H. Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna dengan judul “Pengantar Study Al Qur’an”, Bandung : Al Ma’arif, 1987.
Al-Zarqany, Muhammad Abdul Azim, Manâhil al ‘Irfan fi Ulum al-Qur`ân, Jilid I; Beirut : Dâr al Fikr, t.th.
________________________________________
* Dosen Tetap IAIN Mataram.
[1]Lihat Q.S.,al-Baqarah [2]: 2, 185; Q.S.,al-Isrâ` [17]: 82. Seluruh terjemahan ayat dalam tulisan ini merujuk pada Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain Medinah al Munawarah , 1412 H.
[2]Lihat, Ali al-Shabuny, “Al-Tibyân fi Ulum al-Qur`ân”, terj. H. Moh. Chudlari Umar, Moh. Matsna H.S. , Pengantar Study al-Qur`ân, (Bandung : al Ma’arif, 1987) 99.
[3]Lihat, Syekh Muhammad ‘Abduh, “Risalatut Tauhid”, terj. H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid, Cet. VI (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 185.
[4]Q.S. al-A’râf [7]: 172 terjemahnya “…Bukankah Aku ini Tuhanmu”? mereka manusia menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi …” .
[5] SH.Nasr, “Ideals and Realita of Islam”, 21.
[6]Lihat, SH.Nasr, “Ideals and Realita of Islam”, 27-28.
[7]Sublim adalah menampakkan dalam bentuknya yang tertinggi; teramat indah; teramat mulia; teramat utama. Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 967. Hudan al-Qur`ân, juga mengandung “nilai” yang sulit dijelaskan dengan wacana bahasa modern, tapi bisa dijangkau oleh dan dalam “kapasita” tertentu, di situlah antara lain terdapatnya apa yang secara tradisional dikenal dengan barakah.
[8]Q.S., Lukmân [31]: 27 terjemahnya “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepada tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”, Juga bisa dilihat Q.S.. al-Kahfi [18]: 109
[9]Fazlur Rahman, “Major Themes of the Qur’an”, terj. Anas Mahyuddin, Tema Pokok al-Qur`ân, Cet. I (Bandung: Pustaa, 1983), 36. Terjemah Q.S.,al-Syams [91]: 7 “Demi jiwa dan penyempurnaan (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
[10]Lihat, Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi Ulum al-Qur`ân, Jilid I (Beirut: Dâr al Fikr, t.th), 309
[11]Lihat, Muhammad Fu’âd Abd. Al Bâqy, Al-Mu’jam al-Mufahrâs Li al-Fâz al-Qur`ân al-Karîm, (t.tp.: Angkasa, t.th.), 165
[12]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. III, 214
[13]Lihat, Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), 87; Juga Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, Jilid XI dari XV Jilid (Beirut: Dâr Shâdir, t.th.), 105.
[14] Lihat, Zahir ‘Awad al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm,, (t.tp.,t.th.), 20; Juga Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî Ulum al-Qur`ân (Beirut: Mansyurat al-Ashr, 1977), 29.
[15]Q.S.,al-Nahl [16]: 125 terjemahnya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
[16]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 25. Terjemahan Q.S. al Mujadalah [58] : 1. “Dan sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang menujukan gugatan kepada kamu (tujaadiluka) tentang suaminya, dan mengajukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua (tahaawurakuma). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Secara tehnis ada yang memandang bahwa dalam Jadal selalu ada rasa saling bermusuhan di antara yang terlibat, sedangkan dalam munazharah tidak.
[17]Lihat, bagian Pendahuluan Al Qur’an dan Terjemahnaya, Departemen Agama, 16.
[18]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 21
[19]Untuk memahami rincian tentang ragam Jadal al-Qur`ân dapat dilihat pada al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 44-60.
[20]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 125, 461-2. Tentang hal ini, dalam kaitannya dengan kondisi para penentang kebenaran, hingga masa modern ini, mungkin dapat direnungkan apa yang diungkapkan Hasan Askari mengenai apa yang dianggapnya sebagai model Jadal di masa modern. Katanya, “Ketika Muhammad (SAW -pen) memulai dakwahnya di Mekkah, penduduak Mekkah sungguh terkejut bahwa ternyata ia lebih menekankan masalah eskatologi dan kebangkitan daripada ‘Keesaan’ Tuhan. Tentu saja penduduk Mekkah bagaimanapun primitif dan bodohnya mereka, tetap memberikan argumentasi, dan al Qur’an mendokumentasikannya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang humanis maupun materialis modern. Hal itu hampir merupakan situasi yang asli, bahawa argumentasi yang menolak kebangkitan selalu di ulang sepanjang sejarah, berbagai daerah dan, di masa kita sekarang, terbungkus dalam format yang canggih. Dan bagaimana contoh-contoh argumentasi orang-orang Humanis sekarang yang menolak kebangkitan , dapat dilihat pada Jon Avery dan Hasan Askari, “Towards a Spiritual Humanism: A Muslim-Humanis Dialogue”, (Leeds: Seven Mirrors, 1991), terj. Arif Hutoro, Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis, Cet. I; (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) 43, 41-48
[21]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 69-85.
[22] Lihat, Abu Zahrah, Al-Mu’jizat al Kubra, (Beirut: Dâr al Fikr, 1970), 371-87; dan Al al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 63-75; juga Al-Qaththân, Mabâhits fi Ulum al-Qur`ân, (Beirut: Mansyurat al Ashri, 1977), 299-300.
[23]Hal tersebut diisyaratkan dalam Q.S.,Luqmân [31]: 27 yang terjemahannya “ Dan seandainya pohon-pohon dibumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-ahabisnya kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”. Juga pada Q.s., al-Kahfi [18]: 109
[24] Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 415-22.
[25]Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), 7
[26]Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrâsyi, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, Cet. II (Beirut : Dâ al Fikr, t.th.) 22.
[27]Lihat, Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory a Qur’anic Outlook”, terj. H.M. Arifin MEd. & Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur`ân, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), 212-219
[28]Lihat, Hasan Asari, “Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah”, dalam Jurnal ‘Ulum al Qur’an, No: I Vol. V, 1994, Jakarta
[29]Lihat, al Abrâsyi, Al Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, 209-210.