Pengertian Zuhud, Konsep, Tingkatan dan Dalil Zuhud

Admin Friday, December 24, 2010

Pengertian Zuhud, Konsep dan Dalil Zuhud

Pada diri setiap manusia terdapat hawa nafsu yang senantiasa mengerogoti iman, lambat laun ketika hawa nafsu itu tidak dijaga dan dikendalikan maka akan mengakibatkankan hilangnya iman pada diri manusia sebagaimana perkataan Ibnu Athoillah dalam kitab al-hikam beliau berkata”hawa nafsu yang tidak terkendalikan maka akan mengerogoti iman yang terdapat pada diri umat islam, hanya dengan mengendalikan nafsu maka, iman akan terselamatkan”
image / mqreproductions.com
dalam ilmu tasawuf kita mengenal zuhud dan wara’ yang dimana dua sikap hidup tersebut saling menopang untuk mencapai maqam ma’rifatullah, jika kita melihat perbedaan dari dua sikap tersebut, maka orientasi zuhud lebih kepada sikap seseorang dalam memandang duniawi dengan tidak mencintainya secara berlebihan yang dapat melupakan akan kehidupan akhirat. Sedangkan wara’ lebih berorientasi kepada sikap kehati-hatian dalam hal-hal yang syubhat apalagi yang haram.

Berangkat dari zuhud dan wara’ maka kita akan dapat mengendalikan hawa nafsu dan senatiasa melestarikan iman pada hati kita masing-masing, oleh sebab itu melihat dari fenomena tersebut, maka pemakalah menganggap sangat perlu untuk membahas tema tentang zuhud dan wara’ dan semoga berguna bagi diri pemakalah khususnya dan masyarakat umumnya.

PEMBAHASAN ZUHUD

1. Pengertian Zuhud

Zuhud[1] dalam Bahasa Arab berasal dari asal kata zahada (زهد) yang memiliki makna sama dengan raghiba an (رغب عن) yaitu berarti meningalkan atau tidak menyukai[2]. Sehingga zuhud diartikan sebagai mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk beribadah, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman allah

Sedangkan berbicara zuhud dalam terminologinya menurut Prof. Dr, H, Amin Syukur, M.A.[4], maka tidak akan terlepas dari dua hal pertama : zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf kedua : zuhud sebagi moral (akhlaq) islam dan gerakan protes[5]. Apabila zuhud diartikan sebagai sarana hubungan antara hamba dengan sang pencipta maka zuhud merupakan maqamat (stasiun) menuju pencapaian atau ma’rifat kepada-Nya.

A. Mukti Ali. Menjelaskan pengertian zuhud dalam artian yang berkaitan dengan zuhud sebagai hal tidak terpisahkan dengan tasawuf yaitu menghindarkan diri dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat duniawi atau ma siwa allah.

Al-Junaidi[6] berkata mengenai zuhud dalam kitab Haqai’iq an al-tasawuf, yaitu keadaan yang kosong dari rasa memiliki dan ambisi menguasai. Sedangkan orang zuhud menurut Imam Al-Ghazali[7] adalah orang yang memiliki sifat yang tak lekang oleh panas tak rapuh oleh hujan dia tak larut dalam kegemiraan terhadap apa yang ada, dia tidak terlalu susah terhadap yang lepas darinya, bersikap wajar kalau dipuja atau dicela

2. Tingkatan Zuhud

syaikh Al-Harawi telah membagi tingkatan zuhud menjadi tiga:

1) Zuhud terhadap perkara syubhat

Zuhud terhadap syubhat adalah meninggalkan sesuatu yang samar hukumnya bagi seseorang, apakah ia halal atau haram? Serta sesudah meningalkan yang haram, ia berhati-hati terhadap celaan, menjaga diri dari kekurangan dan tidak suka bergaul dengan orang-orang fasiq.[8]

2) Zuhud terhadap kelebihan

Yang dimaksud kelebihan disini adalah kelebihan dari makana pokok atau perbekalan, dengan mencurahkan tenaga untuk memanfaatkan waktu, memotong kegelisan hati dan menghiasi diri dengan perhiasan para nabidan shiddiqin.

3) Zuhud terhadap zuhud

Zuhud ini dilakukan dengan tiga cara yaitu: menganggap remeh terhadap apa yang anda zuhudi, menganggap sama apa yang ada pada diri anda, dan pergi dari menyaksikan usaha sambil memandang kelembah hakikat.[9]

3. Faktor Zuhud

para sarjana, baik dari kalangan orientalis maupun sarjana muslim saling berbeda pendapat mengenail factor yang mempengaruhi munculnya zuhud, berikut beberapa pendapat mengenai asal-usul zuhud antara lain :

1. Menurut Harun Nasution ada lima pendapat mengenai asal usul zuhud pertama :dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen kedua :dipengaruhi oleh phytagoras yang mengharuskan meningalkan kehidupan materi dalam rangkah membersihkan roh ketiga : dipengaruhi oleh ajaran platinus keempat : pengaruh budha dengan faham nirwannya kelima : pengaruh ajaran hindu yang juga mengajarkan untuk meningalkan dunia[10]

2. Sedangkan menurut Abu ‘Ala Afifi mencatat empat pendapat para sarjana mengenai asal-usul zuhud dan faktornya pertama : merasal dari atau dipengaruhi oleh hindia Persia kedua : berasal dari atau dipengaruhi oleh asketisme nasrani ketiga : berasal dari atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang terkumpul kemudian menjadi satu ajaran keempat : berasal dari ajaran islam[11]

4. Dalil-Dalil melaksanakan Zuhud

Melaksanakan zuhud adalah keharusan bagi semua muat islam, karena banyak ayat al-quran dan hadist nabi yang menyebutkan demikian diantaranya:

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

 janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.

Dan juga dalam hadist nabi

هشام بن عمار. حدثنا عمرو بن واقد القرشي. حدثنا يونس بن ميسرة بن جلبس عن أبي إدريس الخولاني، عن أبي ذر الغفاري؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((ليس الزهادة في الدنيا بتحريم الحلال، ولا في إضاعة المال ولكن الزهادة في الدنيا أن لا تكون بما في يديك أوثق منك فيها. لو أنها أبقيت لك)).

 Sebagaimana syair imam syafi’I dalam kitab mukasyafatul qulb

إذا حال امرك في معيين ولم تدر حيث الخطا و الصواب

فخالف هواك فان الهوى يقود النفوس الى ما يعاب

5. Kiat-Kiat Zuhud

zuhud bukan berarti kita harus benci akan harta, kita takut akan derajat, akan tetapi bagaimana kita mengangap harta, derajat atau yang berada didunia ini menjadi jalan untuk mendekatkan kita kejalan tuhan, zuhud juga tidak harus miskin, banyak orang kaya yang berpredikat zuhud seperti nabi sulaiman dll.

Untuk bersikap zuhud seseorang tidak harus memamai baju tembelan, atau makan makanan yang tidak bergizi, tidak pula harus membenci orang kaya, zuhud adalah faragh al-qalb min al-dunya (kosongnya hati dari perkara dunia, meskipun dia ada di dunia)

Untuk mencapai maqam zuhud seseorang harus melakukan hal-hal berikut:

1. Menyadari dan meyakini bahwa dunia itu fana

2. Menyadari dan meyakini bahwa di belakang dunia ini ada akhirat yang jauh lebih baik bagi orang yang bertakwa.

3. Banyak mengingat mati

4. Mengkaji sejarah hidup para nabi, shahabat, tabi’in dan orang-orang shaleh yang notabenenya adalah orang zuhud.[12]

5. Menghindari sifat tamak

6. Hidup sederhana

7. Qanaah[13]

8. Kerja keras dan persiapan akhirat

9. Tidak suka meminta-minta, karena orang zuhud tidak suka menjadi tangan bawah.

10. Menjauhi syubhat (wara’)[14]

6. Aplikasi Zuhud

I. Pada Masa Nabi Muhammad dan Shahabatnya

1. Kezuhudan nabi Muhammad

Sejak kecil nabi Muhammad telah mengalami kehidupan yang sederhana, karena kehidupan ekonomi beliau sangan sederhana akan tetapi beliau menerimanya dengan qana’ah, prinsip hidup beliau adalah “kami tidak makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang”itu merupakan cerminan sikap zuhud beliau yang tidak silau akan harta dan keberadaan materi.

Meskipun beliau telah menjadi pimpinan umat islam akan tetapi sikap zuhud beliau masih terpelihara, ini terlihat ketika dalam cerita umar bin khottob, bahwa ketika umar ingin mengklarifikasi tentang isu pertengkaran diantara para istri nabi, maka umar masuk kerumah nabi, kemudian umar terkejut, ketika melihat rasulullah berbaring diatas tikar, ketika beliau bangun terlihat garis-garis merah diantara tubuhnya, kemudian umar menangis, seraya nabi berkata”apakah gerangan yang menyebabkan engkau menangis wahai umar” umar menjawab” bagaimana aku tidak menangis melihat keadaanu yang sederhana ini padahal engkau adalah sebaik-baik umat dan kekasih tuhan”nabi berkata” tidak relakah engkau bagi kita Negara akhirat dan bagi mereka Negara dunia”

2. Kebanyakan dari para sahabat nabi kesemuanya adalah orang yang zuhud apalagi khulafaur rasyidin yang dalam segi derajat atau kedudukan merupakan khalifah dan pemimpin umat akan tetapi sikap mereka mencerminkan orang yang sederhanya yang tidak silau akan harta dan barang materi[15]

II. Pada Zaman Moderen

Zaman berganti zaman, manusia berganti manusia, sifat berganti dengan sifat lain, kebutuhan berganti dengan kebutuhna lain, perbedaan yang sangat mencolok antara masyarakat dulu dengan masyarakat modern adalah sikap hidup yang semakin lama semakin efisien yang menginginkan keinstannan dalam kehidupan, ini yang menyebabkan manusia lupa akan tuhannya, padahal hal itu semua adalah dari allah maka harus dikembalikan kepada allah.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah sikap zuhud dapat diwujudkan kedalam kehidupan orang modern? Maka jawabannya adalah zuhud dapat diwujudkan di segala aspek kehidupan baik dari segi waktu dan tempatnya tergantung bagaimana zuhud itu dikorelasikan.

Dalam tasawuf dikenal zuhud yang merupakan maqamat juga merupakan moral bangsa, dalam konsep tasawuf ada nilai rahani yang sangat diperlukan oleh masyarakat modern sebut saja sifat dermawan, qanaah, suka menolong dalam segi barang materi, itu semua berangkat dari nilai zuhud, leh karena itu hal tersebut bukan berarti sebuah usaha untuk memiskinkan, akan tetapi dunia dan materi itu dimiliki dengan sikap tertentu, yakni menyiasati agar dunia dan materi itu menjadi bernilai akhirat, sebagaiman orang kaya yang suka mendermakan hartanya.

Wara’

Hakikat Makna wara’

Pengertian dasar dari wara’ adalah menghindari apa saja yang tidak baik. Namun tafsiran dalam pandangan sufi, wara’ berati meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas persoalannya baik yang menyangkut makanan, pakaian maupun persoalan.[16] Dengan kata lain meninggalkan perkara yang syubhat. Di sisi lain Ibrahim bin Adam berpendapat bahwa wara’ ialah meninggalkan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.

Di antara tanda yang mendasar bagi orang-orang yang wara' adalah kehati-hatian mereka yang luar biasa dari sesuatu yang haram dan tidak adanya keberanian mereka untuk maju kepada sesuatu yang bisa membawa kepada yang haram. Dan dalam hal itu, Rasulullah r bersabda:

إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ.

"Sesungguhnya yang halal dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya."

Menurut Qomar Kailani wara’ itu ada dua macam:

1. Wara’ lahiriyah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-hal yang tidak diridlai Allah.

2. Wara’ bathiniyah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali Allah.

Wara’ menjadi salah satu sendi etika Islam yang sangat penting, oleh karena itu Rasul bersabda

كن ورعا تكن اعبد الناس

"Jadilah orang yang wara' niscaya engkau menjadi manusia yang paling beribadah"

Hidup dengan sikap wara’ memang penting bagi perkembangan mentalitas keislaman, terlebih bagi ajaran tasawuf. Seorang sufi yang mengisi kehidupannya dengan ingin selalu dalam keadaan suci, indah dalam kebaikan, tentu saja selalu waspada dalam berbuat. Mereka tidak mau menggunakan sesuatu yang tidak jelas statusnya apalagi yang jelas-jelas haram.

Nabi saw. menggambarkan semua macam definisi wara’ dalam sebuah hadits singkat:

من حسن اسلام المرء ترك ما لايعنيه

“Diantara kebagusan keislaman seseorang ialah meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna baginya”.[17]

Sabda ini bersifat umum, meliputi segala sesuatu yang tidak berguna bagi seorang muslim, baik dalam hal berkata, memandang, mendengar, bertindak, berjalan ,berfikir, dan semua gerak lahir dan batin. Maka hadits diatas sudah cukup merepresentasikan dalam pendefinisian wara’.[18]

Sikap wara’ di era modern

Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi menjadikan manusia larut dalam hingar bingarnya arus modernisme. Pada dasarnya modernitas tidak semuanya membawa dampak positif dalam kehidupan kita. Gaya hidup matrealistik dan hedonistik menjadi salah satu dampak negatif yang ditimbulkan dari modernisasi. Dengan demikian, sudah seharusnya manusia memiliki prinsip hidup sehingga tidak terjerumus pada hal-hal negatif yang dibawa oleh aliran modernisme. Bila kita melihat pada penjelasan sebelumnya, maka sikap wara’ memiliki peranan penting dalam upaya menghadapi modernisasi. Sikap wara’ akan menjadi perisai sekaligus benteng dalam menjawab tantangan modernisasi, karena dengan dengan sikap tersebut seseorang akan memilki kekuatan bathin yang luar biasa.[19]

DAFTAR PUSTAKA

Munawir, Warson, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:pustaka progresif, 1997)

Syukur ,Amin, zuhud di abad modern, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1997)

Ibnu Qayyim Al-Jauzi, madarrijul As-salikin,jenjang spiritual para penempuh jalan ruhani, Terj. Muhammad hammid Al-Fikkih(darul Al-kitab Al-Arabi, Beirut, libanon,) 1972

Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, (Jakarta,PT. Bulan Bintang, 2006)

Mustaqim, Abdul, akhlaq tasawuf jalan menuju revolusi spiritual, (yogyakarta, KREASI WACANA,2007

Imam Al-ghazali, mukasyafatul qulub, (Jeddah: haramain, )

ya’qub,Hamzah, tingkat ketenangan dan kebahagiaan mu’min (Jakarta, CV ATISA, 1977)

Pokja IAIN Sumatra, pengantar ilmu tasawuf (Sumatra: 1999)

[1] Zuhud terhadap sesuatu manurut bahasa arab- yang merupakan bahasa agama islam- ialah berpaling dari sesuatu karena menganggapnya hina dan kecil, sebab ia tidak membutuhkannya karena sudah merasa cukup dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya, lafadz zuhud tidak pernah di sebutkan dalam al-quran kecuali orang-orang yang menjual yusuf:
Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah, Yaitu beberapa dirham saja, dan mereka merasa tidak tertarik hatinya kepada Yusuf

[2] Warson munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:pustaka progresif, 1997), hlm, 588

[3] Q.S. Al-hadid:23

[4] Beliau adalah pembantu rector III IAIN Walisongo Semarang Jawa Tengah

[5] Amin syukur, zuhud di abad modern, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1997), hlm, 1

[6] Nama beliau terkenal dengan al-junaidi wafat pada tahun 297 Hijriyah (910 M)

[7] Nama lengkapnya abu hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghozali, lahir di ghaza pada 500 H seorang ulama’ tasawuf dengan gelar hujatul islam, karangan dalam tasawuf diantaranya: ihya’ ulumuddin, bidayah al-nihayah, mukasyafatul qulub, wafat pada tahun 505 hijriyH

[8] Sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwaytkan oleh an-Nu’man bin basyir ra dari rasulullah:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

[9] Ibnu Qayyim Al-Jauzi, madarrijul As-salikin,jenjang spiritual para penempuh jalan ruhani, Terj. Muhammad hammid Al-Fikkih(darul Al-kitab Al-Arabi, Beirut, libanon,) 1972. Hlm. 227

[10] Harun nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam islam, (Jakarta,PT. Bulan Bintang, 2006)hlm. 50

[11] Amin syukur, zuhud di abad modern, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1997), hlm 4

[12] Abdul mustaqim, akhlaq tasawuf jalan menuju revolusi spiritual, (yogyakarta, KREASI WACANA,2007)hlm. 44

[13] Qanaah adalah perasaan cukup dan ridha menerima pemberian allah, sekalipun sedikit

[14] Hamzah ya’qub, tingkat ketenangan dan kebahagiaan mu’min (Jakarta, CV ATISA, 1977)hlm. 288

[15] Amin syukur, zuhud di abad modern, (Yogyakarta: pustaka pelajar, 1997), hlm 17-54

[16] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf

[17] Diriwayatkan oleh imam Tirmidzi (5/558), imam Malik di dalam Muwaththa’ (2/903), Ibn Majah (2/1315-1316), Ahmad dan Thabrani, al Fath al Kabir (3/141)

[18] Ibnu al Qayyim al Jauziah, Madarijus Salikin

[19] Abdul Mustaqim, Akhlaq Tasawuf Jalan menuju Revolusi Spritual (Kreasi Wacana:)

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar