MEMAHAMI HADIS-HADIS TEMA FUTURISTIK

Admin Saturday, December 25, 2010

A.                 Pendahuluan
Kajian terhadap al-Qur’an dan Hadis, tampaknya tidak akan pernah berhenti dan tidak akan pernah dirasa cukup. Hal ini dapat dilihat melalui sejarah yang telah berbicara banyak mengenai perkembangan respon dan cara manusia memperlakukan keduanya. Dibandingkan dengan al-Qur’an, ternyata Hadis memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya seakan berbeda dan tampak istimewa sehingga tanggapan atasnya pun lebih banyak. Tidak lain, hal ini dikarenakan Hadis memiliki banyak hal yang memang pantas dipersoalkan, dan salah satu yang terpenting adalah problem otentisitas dan otoritas (hujjiyah) hadis sebagai sumber ajaran kedua Islam.
Dalam memahami hadis, ternyata tidak semua satu kata sehingga hal ini pun berimbas kepada bagaimana cara menyikapinya. Kasus seperti ini, salah satunya, sering terjadi ketika berhadapan dengan hadis-hadis yang berada di luar jangkauan nalar, di antaranya adalah hadis-hadis yang bertema futuristik, yang sering kali diungkapkan Nabi saw dengan penuturan naratif-deskriptif, termasuk di dalamnya juga hadis-hadis eskatologis.
Dalam makalah ini, penulis akan mencantumkan hadis-hadis yang berkenaan dengan peristiwa sebelum dan sesudah kiamat beserta penjelasannya. Di sini penulis tidak akan mengulas hadis tentang kiamat itu sendiri karena pembahasan mengenainya telah ditulis dalam makalah tersendiri dan juga telah dipresentasikan. Selamat membaca dan merenungi.

B.                 Hadis-hadis Futuristik; Syarh wa Dirāsah
Hadis-hadis yang akan di bahas berkisar pada pembahasan pra-kiamat; alam kubur (barzakh), dajjāl, al-Imām al-Mahdī. Dan pasca-kiamat; neraka, dan surga. Disertakan juga bagaimana para ulama hadis menjelaskan hadis-hadis tersebut dalam kitab-kitab syarh mereka, disertai pula dengan catatan singkat.
1.                  Alam Kubur; Ahwāluha wa Ahluha
a.      Hadis
حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا سَعِيدٌ قَالَ وَقَالَ لِي خَلِيفَةُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعَبْدُ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتُوُلِّيَ وَذَهَبَ أَصْحَابُهُ حَتَّى إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ أَتَاهُ مَلَكَانِ فَأَقْعَدَاهُ فَيَقُولَانِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ فَيُقَالُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنْ النَّارِ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنْ الْجَنَّةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا وَأَمَّا الْكَافِرُ أَوْ الْمُنَافِقُ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ ثُمَّ يُضْرَبُ بِمِطْرَقَةٍ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً بَيْنَ أُذُنَيْهِ فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ[1]
Telah meriwayatkan kepada kami ‘Ayyāsy, telah meriwayatkan kepada kami ‘Abd al-A’lā, telah meriwayatkan kepada kami Sa’īd. Dan telah berkata kepadaku Khalīfah (bin Khiyāţ), telah meriwayatkan kepada kami Yazīd bin Zurai’, telah meriwayatkan kepada kami  Sa’īd. (Kedua jalur tersebut) telah meriwayatkan dari Qatādah (bin Di’āmah), dari Anas (bin Mālik), dari Nabi saw. Beliau bersabda: Ketika seseorang telah diletakkan di dalam kuburnya dan ditinggal pergi oleh para pengantar, sebenarnya ia mendengar derap langkah dari sandal mereka. Kemudian datanglah dua malaikat kepadanya sambil mendudukkannya, lalu kedua malaikat tersebut bertanya kepadanya: “apa yang hendak kau katakan mengenai orang ini, Muhammad saw?” kemudian ia menjawab: “aku bersaksi bahwa sesunguhnya ia adalah hamba dan utusan Allah” kemudian ia akan diberi tahu: ”lihatlah tempatmu di neraka! Allah swt telah menggantikannya dengan suatu tempat di surga.” Kemudian Nabi saw bersabda: “Pada saat itu ia melihat keduanya (tempat di surga dan neraka), sedangkan orang kafir atau munafik akan berkata: “saya  tidak tahu, saya berkata sebagaimana orang-orang berkata. Kemudian malaikat berkata padanya: “celakalah engkau karena ketidak tahuanmu!” lalu ia dipukul dengan gadam dari besi dengan satu pukulan di antara kedua telinganya, kemudian ia berteriak dengan teriakan yang dapat didengar oleh orang-orang (mayit) sekelilingnya kecuali manusia dan jin.” (H.R. al-Bukhārī)

Kata kunci:      mayit mendengar, pertanyaan dua malaikat, nikmat dan siksa kubur.

b.      Penjelasan Hadis
Tampak jelas bahwa hadis di atas  menggambarkan bagaimana kondisi mayit dan alam kubur, dan deskripsi yang terdapat di dalam hadis tersebut dapat dijangkau dengan jangkauan visualisasi indra kita, karena memang dituturkan dengan penalaran indrawi, seakan-akan kita benar-benar dapat merasakannya.
Dalam penuturannya, ternyata hadis ini memiliki ragam yang berbeda dengan penekanan bahasan yang sama.[2] Dalam  matn hadis di atas terdapat uangkapan yang menunjukkan bahwa mayit memang benar-benar dapat mendengar[3] bahkan lebih lanjut beberapa ulama seperti al-Sindī, al-‘Azīm Ābādī, dan al-Khaţţābī menyatakan bahwa hadis ini menunjukkan bolehnya ziarah kuabur dengan menggunakan sandal. Kebolehan ini tentu diasumsikan sebagai bentuk kerendahan hati (tawādu’) karena rasul sendiri dalam riwayat lain melarang ziarah kubur dengan menggunakan sandal mahal yang diasumsikan  sebagai bentuk kesombongan.[4] Namun, Ibn al-Jauzī menegaskan bahwa sebenarnya titik penekanannya bukan pada apa yang dipakai tetapi apa yang ditimbulkan dari pemakaian tersebut, meskipun sandal biasa jika disertai dengan kesombongan maka tetap tidak boleh.[5] Pernyataan mengenai kondisi mayit yang dapat mendengar dipertegas dengan adanya riwayat lain, salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan dari Anas bin Malik dengan jalur şahīh yang menyatakan bahwa pada suatu malam di sumur badar, seluruh umat muslim mendengar saat Rasulullah saw berdiri sambil memanggil-manggil: “hai Abū Jahl bin Hisyām, hai Syaibah bin Rabī’ah, hai ‘Utbah bin Rabī’ah, hai Umaiah bin Khalaf, apakah kalian telah menemukan kebenaran yang telah dijanjikan oleh tuhanmu? Karena aku telah mendapatkan apa yang telah dijanjikan oleh Tuhanku” lalu para sahabat bertanya: “wahai Rasul, tadi engkau memanggil-manggil orang yang telah meninggal?” dan Rasul saw menjawab: “kamu semua tidak lebih jeli dari mereka ketika mendengarkan apa yang ku katakan, hanya saja mereka tidak mampu menjawabnya.”[6]
Adanya pertanyaan malaikat pun tidak boleh diingkari. Banyak riwayat yang menerangkan ragam pertanyaan terhadap mayit, dan salah satunya adalah hadis ini yang memfokuskan pertanyaan tentang nabi Muhammad saw. Yang menarik dari pertanyaan malaikat ini adalah penggunaan kata al-rajul yang dinisbatkan kepada Nabi saw yang pada dasarnya dianggap tidak menunjukkan sisi ta’zim terhadap beliau. Dan ternyata, al-Nawawī dalam Syarh Muslimnya menyatakan bahwa kata al-rajul dalam hadis tersebut memang tidak mengandung unsur ta’zim, akan tetapi penggunaan kata ini justru dimaksudkan untuk menguji mayit yang ditanya juga agar malaikat tidak memberikan petunjuk jawaban jika ungkapan ta’zim dilontarkan oleh malaikat.[7] Namun, al-Sindī menegaskan bahwa ini bukan berarti menunjukkan adanya pilihan dalam menjawab karena bagaimana pun amal perbuatan merekalah yang akan menjawabnya.[8] Sehingga pertanyaan kubur juga berfungsi untuk membuktikan hujjah  yang telah disampaikan oleh Nabi saw.
Setelah pertanyaan dilontarkan oleh malaikat, mereka yang penuh keimanan dan ketaatan pasti tahu dan mampu menjawabnya, sedangkan mereka yang tidak tentu akan merasa sulit dan mengeluarkan jawaban yang tidak semestinya dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui dan hanya mengekor ucapan orang-orang pada umumnya (yang tidak mengikuti ajaran Muhammad saw.). Dan ketika jawaban telah diucapkan, mereka yang beriman akan ditunjukkan tempatnya di neraka yang kemudian diganti dengan surga atas kemurahan Allah swt. Sehingga pada saat itu mereka melihat keduanya, surga dan neraka dan diberikan nikmat dalam kubur selama masa penantian Hari Kebangkitan. Adapun mereka yang gagal memberikan jawaban tepat, akan dicerca oleh malaikat yang pada intinya menunjukkan kesalahan mereka karena tidak mau mengikuti dan meyakini ajaran yang haq (ditunjukkan dengan pernyataan lā daraita) dan tidak mau mengikuti mereka yang meyakini ajaran yang haq (ditunjukkan dengan pernyataan lā talaita)[9] kemudian wajah mereka dipukul dengan gadam dari besi sehingga mereka berteriak keras menahan sakit dan suara mereka dapat didengar semua makhluk kecuali jin dan manusia.[10] Dan mereka akan menghabiskan masa penantian dengan berbagai siksaan atas amal perbuatan mereka di dunia. Kiranya dalam menyikapi gambaran kondisi alam kubur dan penghuninya cukup untuk menyakinkan kita akan adanya siksa kubur, karena bukti pendukung baik dari al-Qur’ān maupun al-Hadīś telah memberikan penjelasan gamblang tentang masalah ini. Wa Allāh A’lam bi al-Şawāb.

2.                  Kedatangan Dajjāl
a.      Hadis
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْبَعِثَ دَجَّالُونَ كَذَّابُونَ قَرِيبٌ مِنْ ثَلَاثِينَ كُلُّهُمْ يَزْعُمُ أَنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ وَابْنِ عُمَرَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ[11]
Telah meriwayatkan kepada kami Mahmūd bin Gailān, telah meriwayatkan kepada kami ‘Abd al-Razzāq, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar, dari Hammām bin Munabbih, dari Abū Hurairah, beliau berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: “Hari Kiamat tidak akan terjadi sampai datangnya Dajjāl para pendusta yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh, mereka semua mengaku bahwa dirinya adalah nabi.” Hadis ini juga terdapat dalam sebuah bab dari Jābir bin Samurah dan Ibn ‘Umar,  Abū ‘Īsā (al-Tirmiżī) menyatakan hadis ini adalah hadis hasan şahīh. (H.R. al-Tirmiżī)

Kata kunci :     kedatangan dajjāl, jumlah tiga puluh, mengaku sebagai nabi

b.      Penjelasan Hadis
Secara dāhir al-kalām sebenarnya hadis di atas berbicara tentang kepastian datangnya Hari Kiamat, sesuatu yang harus kita imani. Kepastian itu diiringi dengan adanya tanda-tanda yang, seakan-akan, harus terjadi terlebih dahulu sehingga dapat dipastikan Hari Kiamat tidak akan terjadi tanpa kemunculan tanda-tanda tersebut, di antaranya adalah kedatangan dajjāl.
Jika kita perhatikan, prediksi kedatangan dajjāl ternyata sudah banyak tercantum dalam kitab-kitab hadis. Namun perlu diingat, dari sekian banyak tanda-tanda datangnya Hari Kiamat, isu tentang dajjāl ternyata tidak termaktub dalam al-Qur’ān, inilah yang menjadikan isu dajjāl tampak menarik di samping pada sisi lain hal ini justru memperkuat posisi hadis sebagai pemberi informasi yang tidak tercatat di dalam al-Qur’ān. Dan satu hal penting lainnya adalah, bahwa para Nabi memperingatkan kepada umatnya akan datangnya dajjāl ketika Hari Kiamat sudah semakin dekat.[12]
Secara bahasa, kata dajjāl sendiri sudah memiliki arti kedustaan dan kedengkian, sehingga pencantuman kata każżābūn setelah kata dajjāl memiliki maksud li al-ta’kīd, penguatan terhadap sifat mereka. Dan dalam memaknai kedatangan dajjāl, sepintas kita akan menganggap bahwa dajjāl memang sengaja diutus, terutama ketika berhadapan dengan kalimat hattā yanba’iś.[13] akan tetapi ternyata para ulama berpendapat bahwa kalimat sama sekali tidak bermaksud mengesankan jika dajjāl memang sengaja diutus sebagaimana diutusnya para Nabi, kemunculannya memang berasal dari keniscayaan yang ditimbulkan oleh masa.
Jumlah dajjāl yang tertera sebanyak tiga puluh pun tidak diiyakan oleh seluruh ulama, meski mayoritas menyatakan kesepakatannya atas jumlah tersebut. Sebenarnya, dalam beberapa riwayat, terdapat redakasi yang tidak menggunakan kata qarīb, melainkan akśar yang jelas mengindikasikan jumlahnya bisa jadi lebih dari tiga puluh,[14] jumlah ini diperkuat dengan adanya riwayat lain yang menyatakan bahwa dajjāl berjumlah dua puluh tujuh, empat di antaranya adalah perempuan, setidaknya riwayat ini memperkuat pengunaan kata qarī atau aqrab yang diartikan dengan kira-kira, sekitar, dan atau kurang lebih.
Selama kedatangannya disebutkan jika dajjāl akan mengaku-ngaku dirinya sebagai nabi, dan ini dapat ditangkap dengan jelas pada teks hadis di atas. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud tidaklah demikian,  mengingat jumlah dajjāl yang terlampau banyak sehingga tidak mungkin semuanya mengaku sebagi nabi. Sehingga kemudian, para ulama berspekulasi bahwa yang dimaksud di sini adalah penekanan terhadap timbulnya kekacauan dan keonaran yang diakibatkan oleh mereka. Pun demikian, tetap akan ada yang mengaku-ngaku dirinya sebagai nabi karena Rasul saw sendiri telah menegaskan jika dirinya adalah utusan terakhir. [15]

c.       Kontekstualisasi Hadis; Sebuah Tawaran
Isu mengenai dajjāl ternyata tidak hanya dipahami secara tekstual saja, pembacaan kontekstual pun telah coba dilakukan dengan asumsi bahwa hadis-hadis tentang dajjāl dimungkinkan memiliki hidden meanning.
Secara garis besar, hadis-hadis tentang dajjāl memiliki kandungan tentang kerusakan dan kekacauan, bahkan bagi mereka yang mengangapnya sebagai simbol, memaknainya dengan simbol kezaliman.[16] Angapan tersebut tidak dapat disalahkan karena selain adanya kesesuaian, hadis juga mencatat bahwa Rasul saw seringkali bersabda mengenai dajjāl dengan disertai prediksi akan terjadinya pertikaian antara dua pihak yang sama-sama mengaku membela kebenaran,[17] peperangan, pertumpahan darah, kekufuran yang merajalela, penghamburan harta,[18] dan berbagai kerusakan lainnya.
Memang apabila hadis ini dimaknai secara simbolik, maka sang dajjāl sebenarnya sudah muncul dan menyebar. Dapat kita lihat saat ini, peperangan sudah berkobar di mana-mana, darah sudah banyak tertumpah, kezaliman pun seakan sudah biasa terjadi, jumlahnya pun tidak hanya tiga puluh, lebih dari itu. Dan semua hal tersebut didasarkan atas nama kebenaran. Kebenaran yang mana?! Kalaupun dimaknai secara leksikal, sudah banyak orang yang mengaku dirinya nabi, perusakan moral dan akidah Islam dalam bentuk penistaan, dan itu semua benar-benar terjadi.
Dalam hal ini, meyakini dajjāl sebagai simbol atau realita tidaklah mengurangi keimanan seseorang. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyiapkan diri menghadapi mereka.  Wa Allāh A’lam bi al-Şawāb.
3.                  Turunnya al-Imām al-Mahdī; Generasi Ahl al-Bait Akhir Zaman
a.      Hadis
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ أَسْبَاطِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ الْكُوفِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ عَنْ عَاصِمِ بْنِ بَهْدَلَةَ عَنْ زِرٍّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْهَبُ الدُّنْيَا حَتَّى يَمْلِكَ الْعَرَبَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ بَيْتِي يُوَاطِئُ اسْمُهُ اسْمِي قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ عَلِيٍّ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأُمِّ سَلَمَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ[19]
Telah meriwayatkan kepada kami ‘Ubaid bin Asbāţ bin Muhammad al-Qurasyī al-Kūfī, beliau berkata: telah meriwayatkan kepadaku ayahku (Asbāţ bin Muhammad), telah meriwayatkan kepada kami Sufyān al-Śaurī, dari ‘Āşim bin Bahdalah, dari Zirr (bin Hubaisy), dari ‘Abdullāh (bin Mas’ūd) beliau berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: “Dunia tidaka akan hancur sampai orang Arab memiliki seorang dari Ahl al-Baitku yang memiliki nama yang sama dengan namaku.” Hadis ini juga terdapat dalam sebuah bab dari ‘Alī, Abū Sa’īd, Umm Salamah, dan Abū Hurairah.  Abū ‘Īsā (al-Tirmiżī) menyatakan hadis ini adalah hadis hasan şahīh. (H.R. al-Tirmiżī).

Kata kunci :     orang Arab, ahl al-bait.

b.      Penjelasan Hadis
Salah satu isu bertema futuristik yang menarik untuk diperbincangkan adalah isu mengenai imam Mahdī. Jika ditelusuri, memang tidak ada hadis şahīh yang membicarakan kedatangannya, akan tetapi hadis di atas kiranya cukup menjelaskan siapa sebenarnya sosok al-Mahdī yang konon, nanti, sangat diidam-idamkan kehadirannya.
Sempat muncul kerancuan mengenai persamaan imam Mahdī dengan ‘Īsā bin Maryam as. akan tetapi pendapat ini dibantah, al-Mahdī bukanlah ‘Īsā bin Maryam as. Al-Mahdī yang secara kebahasaan bermakna seorang yang mendapatkan hidayah, muncul dari kalangan umat Islam, dari ‘itrah nabi Muhammad dan bernama Muhammad sebagaimana nama nabi Muhammad saw. Sedangkan ‘Īsā bin Maryam as bukanlah umat nabi Muhammad saw. Al-MahdĪ turun bersama ‘Īsā bin Maryam as. dan ‘Īsā bin Maryam as shalat dibelakang al-Mahdī.[20]
Mengenai penyebutan kata al-‘arab dalam hadis di atas, nampaknya beberapa ulama terkesan bersikap berlebihan dalam memaknai maksud dibalik penyebutannya seolah-olah orang Arablah yang paling mulia. Dalam hal ini, cukuplah kiranya mengutip pendapat al-Qārī yang menyatakan bahwa penyebutan al-‘arab di sini tidak memiliki tendensi untuk mengunggulkan bangsa Arab atas lainnya.
Dalam beberapa riwayat akan kita jumpai redaksi yang menegaskan bahwa al-Mahdī memang berasal dari ‘itrah nabi Muhammad saw. dari jalur Fāţimah[21] maka tidak heran jika kaum Syī’ah sangat antusias menyongsong kedatangannya. Dan tampaknya penyambutan hangat di kalangan Syī’ah juga perlu dilihat dari dimensi politik adanya kepentingan untuk menunjukkan “kesucian” mereka atas hadirnya seorang juru selamat yang berasal dari kaum mereka.
Sebagaimana hadis tentang dajjāl, hadis tentang al-Mahdī pun tampaknya tidak terlepas dari upaya pemahaman metaforis. Al-Mahdī sering dilambangkan dengan simbol keadilan yang melawan kezaliman, dalam hal ini diwakili oleh dajjāl dan ya’jūj wa ma’jūj. Namun di sisi lain, pemahaman seperti ini akan bertentangan manakala kita cermati beberapa redaksi hadis yang menyatakan bahwa al-Mahdī berasal dari keluarga Nabi saw, ia akan berkuasa selama tujuh tahun kemudian wafat dan dishalati oleh umat Islam. Dari keterangan ini, tampak bahwa kedatangan al-Mahdī bukanlah secara metaforis, melainkan benar-benar secara fisik dan hakiki. Namun rasanya, kemunculan dua pemaknaan seperti ini dilandaskan pada adanya ketertindasan dan ketrzaliman, sehingga perlu didatangkannya al-Mahdī.[22] Wa Allāh A’lam bi al-Şawāb

4.                  Neraka
a.      Hadis
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَهْوَنَ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَرَجُلٌ تُوضَعُ فِي أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ جَمْرَةٌ يَغْلِي مِنْهَا دِمَاغُهُ[23]
Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basysyār, telah meriwayatkan kepada kami Syu’bah, beliau berkata: saya mendengar Abū Ishāq berkata: saya mendengar al-Nu’mān, saya mendengar Nabi pernah bersabda: Sesungguhnya penghuni neraka yang paling rendah ‘adzabnya adalah seseorang yang diletakkan pada setiap dari lima jari di kedua kakinya bara api yang membakar (hingga) otaknya” 

Kata kunci :     penghuni neraka, azab neraka.

b.      Penjelasan Hadis
Hadis di atas merupakan sebuah usaha penggambaran tentang keadaan manusia di dalam neraka, informasi – informasi seputarnya akan berkisar antara sebab dan proses ”perolehan siksa”, ”kekejaman para penjaganya”, dan atau ”kondisi – kondisi sangat tak bersahabat” di dalamnya. Ini berhubungan erat dengan, telah ditetapkannya neraka sebagai tempat ”pembagian siksa” sebagai balasan atas amal – amal jelek di dunia.
Dengan jelas hadis tersebut menggambarkan betapa pedihnya siksa di neraka, meski hadis tersebut menyatakan bahwa itu merupakan bentuk siksa paling ringan dibandingkan dengan bentuk siksa lainnya yang tentunya lebih parah.
Berkaitan dengan tingkatan neraka, ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa neraka dalam hal jenis tingkatannya memiliki bentuk yang berlapis-lapis. Jika memang demikian, penggambaran ini akan terasa rancu mana kala seluruh penghuni neraka non-jahīm telah dipindahkan ke surga. Hemat penulis, gambaran neraka yang berlapis-lapis tidak serta merta menunjukkan bentuknya yang sedemikian rupa, kata berlapis-lapis di sini rasanya lebih tepat diartikan dengan tingkatan siksaan yang merepresentasikan perbuatan amal masing-masing. Sehingga tidak perlu adanya bayangan hancurnya neraka-neraka kosong yang ditinggal penghuninya. Neraka tetaplah satu dan kekal, hanya bentuk siksaannya saja yang berbeda. Wa Allāh A’lam bi al-Şawāb.

5.                  Surga
a.      Hadis
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ وَاللَّفْظُ لِإِسْحَقَ قَالَا أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ قَالَ الثَّوْرِيُّ فَحَدَّثَنِي أَبُو إِسْحَقَ أَنَّ الْأَغَرَّ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَأَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُنَادِي مُنَادٍ إِنَّ لَكُمْ أَنْ تَصِحُّوا فَلَا تَسْقَمُوا أَبَدًا وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَحْيَوْا فَلَا تَمُوتُوا أَبَدًا وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَشِبُّوا فَلَا تَهْرَمُوا أَبَدًا وَإِنَّ لَكُمْ أَنْ تَنْعَمُوا فَلَا تَبْأَسُوا أَبَدًا فَذَلِكَ قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمْ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ[24]
Telah meriwayatkan kepada kami Ishāq bin Ibrāhīm dan ‘Abd bin Humaid, (dan lafaz hadis milik Ishāq) keduanya berkata: telah meriwayatkan kepada kami ‘Abd al-Razzāq, beliau berkata: al-Śaurī berkata: telah meriwayatkan kepadaku Abū Ishāq, sesungguhnya al-Agarr mendapatkan hadis dari Abū Sa’īd al-Khudrī dan Abū Hurairah dari Rasulullah saw, beliau pernah bersabda: Nabi Muhammad SAW bersabda: “(ada petugas) yang berseru, (di sini-surga) kamu sehat, tidak pernah sakit buat selama-lamanya. Di sini kamu hidup selamanya, tidak akan mati lagi. Di sini kamu muda selamanya, tidak akan tua lagi. Di sini kamu senang selamnya, tidak akan pernah putus asa” setelah itu Nabi membacakan firman Tuhan mengenai surga itu yang berbunyi, “itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan. (HR. Muslim)

Kaca kunci :    penjaga surga, keabadian, kebahagiaan

b.      Penjelasan Hadis
Hadis tersebut menggambarkan kenikmatan yang tiada tara dalam surga. Kenikmatannya adalah abadi, kekal selama-lamanya. Orang yang mendapatkannya tidak akan pernah mersaakan sakit, senantiasa sehat. Tidak ada kebosanan, kekurangan, dan kesusahan lainnya.
Kenikmatannya yang abadi membuat ia tak akan pernah mati lagi. Hal ini juga sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang menyatakan kekekalan ahli surga, antara lain:
ü               وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (82) البقرة
ü                     وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (72) التوبة
ü               لَا يَذُوقُونَ فِيهَا الْمَوْتَ إِلَّا الْمَوْتَةَ الْأُولَى وَوَقَاهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ (56) الدخان
Maka orang yang sering sakit di dunia tidak akan sakit lagi di akhirat, jika ia termasuk ahli surga. Selalu merasa senang sebab kesenangan di sana adalah kesenangan yang hakiki, sangat berbeda dengan kesenangan di dunia. Kesenangan di dunia selalu bergandengan kesusahan.
Surga dan neraka adalah dua makhluk Alloh Ta’ala. Sebagai seorang muslim kita harus mengimaninya. Setiap insan yang beriman tentu ingin menikmati keindahan surga dan takut terjerumus dalam siksa neraka. Oleh sebab itulah sudah seyogyanya kita kenali lebih dekat apa itu surga.
Di dalam Al-Qur’an surga disebut dengan Jannah yang secara bahasa artinya taman bunga. Sedangkan maknanya yang dimaksudkan dalam pembicaraan syari’at adalah sebuah tempat tinggal yang disediakan oleh Alloh bagi orang-orang yang membela agama-Nya yaitu orang-orang  yang bertakwa. Di dalam surga itu terdapat kenikmatan yang tiada tara. Sebuah kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga dan belum pernah terbetik di dalam hati umat manusia. Alloh ta’ala berfirman:
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (17)السجدة
”Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa yang mereka kerjakan”
Untuk sampai ke tempat ini, manusia harus menempuh perjalanan panjang yang dimulai dengan kematian. Mati adalah syarat utama untuk mencapainya. Kemudian dilanjutkan dengan melewati alam barzah, kiamat, padang mahsyar, pengadilan di mahkamah Rabb al-Jalīl, terakhir meniti şirāţ al-mustaqīm barulah sampai pada jannāt al-na’īm. Wa Allāh A’lam bi al-Şawāb.






[1] Hadis Riwayat Bukhari, al-Jāmi’ al-Şahīh li al-Bukhārī, Kitāb al-Janā’iz, Bāb al-Mayyit Yasma’ Khafq al-Na’l, no. 1252, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997. Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dengan nilai hadis şahīh dan juga hasan, hadis ini dapat pula dijumpai dalam Şahīh Muslim, Kitāb al-Jumu’ah wa Şifat Na’īmihā wa Ahlihā no. 5115, 5116; Sunan al-Nasā’ī, Kitāb al-Janā’iz no. 2022, 2023, 2024; Sunan Abī Dāūd, Kitāb al- Janā’iz no. 2812, Kitāb al-Sunnah no. 4126; Musnad Ahmad bin Hanbal, Bāqī Musnad al-Mukaśśirīn no. 11823, 12964.
[2] Dalam beberapa riwayat lainnya kata tuwulliā (dengan bentuk pasif) tidak digunakan, tetapi memakai tawallā ‘anh aşhābuh (dengan bentuk aktif).
[3] Hal ini ditunjukkan oleh kalimat innahu layasma’u qar’ ni’ālihim dengan penggunaan huruf al-lām li al-ta’kīd.
[4] Lihat hadis al-sibt, Hadis Riwayat Abū Dāūd no. 2811, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[5] Ibn al-Qayyim al-Jauzī, “al-Ta’līqāt” penjelasan Hadis Riwayat Abū Dāūd no. 2812 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[6] Lihat, Hadis Riwayat al-Nasā’ī, Sunan al- al-Nasā’ī, Kitāb al-Janā’iz, Bāb Arwāh al-Mu’minīn, no. 2048, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[7] Syaraf al-Dīn al-Nawawī, “Syarh Şahīh Muslim” penjelasan Hadis Riwayat Muslim no. 5115 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[8] Al-Sindī, “Syarh Sunan al-Nasā’ī” penjelasan Hadis Riwayat al-Nasā’ī no 2023 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[9] Sebagian ulama lainnya mengartikan lā talaita dengan makna tidak membaca al-Qur’ān dan menangkap kebenaran yang terkandung di dalamnya.
[10] Lihat, Al-Sindī, “Syarh Sunan al-Nasā’ī” penjelasan Hadis Riwayat al-Nasā’ī no 2024 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997. ____, “’Aun al-Ma’būd fī Syarh Sunan Abī Dāūd” penjelasan Hadis Riwayat Abū Dāūd no. 4126 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[11] Hadis Riwayat al-Tirmiżī, Sunan al- Tirmiżī, Kitāb al-Fitan ‘an al-Rasūl, Bāb Mā Jā’a Lā Taqūm al-Sā’ah Hattā Yakhruj Każżābūn, no. 2144 CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997. Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dengan nilai hadis şahīh dan juga hasan, hadis ini dapat pula dijumpai dalam Şahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Manāqib no. 3340; Musnad Ahmad bin Hanbal, Bāqī Musnad al-Mukaśśirīn no. 7790, 10445.
[12] M. Zuhri, Telaah Matan Hadis; Sebuah Tawaran Metodologis (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm.139-140.
[13] Redaksi lain yang digunakan dalam beberapa riwayat semisal di antaranya: yub’aś, yakhruj, dan yukhraj.
[14] Lihat, Hadis Riwayat Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kitāb Musnad al-Mukaśśirīn min al-Şahābah, Bāb Bāqī al-Musnad al-Sābiq, no. 4536, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[15] Al-Mubārakfūrī, “Tuhfat al-Ahważī fī Syarh Sunan al-Tirmiżī” penjelasan Hadis Riwayat Tirmiżī no. 2144 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[16] Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), hlm. 31.
[17] Lihat, Hadis Riwayat al-Bukhārī, Şahīh al-Bukhārī, Kitāb al-Manāqib no. 3340, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[18] Lihat, Hadis Riwayat Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Kitāb Musnad al-Mukaśśirīn min al-Şahābah, Bāb Bāqī al-Musnad al-Sābiq, no. 9518, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[19] Hadis Riwayat al-Tirmiżī, Sunan al- Tirmiżī, Kitāb al-Fitan ‘an al-Rasūl, Bāb Mā Jā’a fī al-Mahdī, no. 2156, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997. Hadis ini diriwayatkan oleh para perawi tsiqah dengan nilai hadis hasan, hadis ini dapat pula dijumpai dalam kitab yang sama, Kitāb al-Fitan ‘an al-Rasūl, Bāb Mā Jā’a fī al-Mahdī, no. 2157.
[20] Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan, hlm. 31.
[21] Lihat, Hadis Riwayat Abū Dāūd, Sunan Abī Dāūd, no. 3735, 3736 dan Hadis Riwayat Ibn Mājah, Sunan Ibn Mājah, no. 4076, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[22] Al-Mubārakfūrī, “Tuhfat al-Ahważī fī Syarh Sunan al-Tirmiżī” penjelasan Hadis Riwayat Tirmiżī no. 2156 dalam CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[23] Hadis Riwayat al-Bukhārī, Şahīh al-Bukhārī, no. 6076, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.
[24] Hadis Riwayat Muslim, Şahīh Muslim, no. 5069, CD-ROM Mausū’ah al-Hadīś al-Syarīf, Global Islamic Software, `1991-1997.

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar