[Sebuah Analisis Terhadap Hadis “Izin Puasa Sunah Bagi Wanita Bersuami”]
A. Prolog
Dalam tradisi[1] Islam hadis menempati posisi sentral kedua setelah al-Qur’an, baik sebagai sumber ajaran Islam, maupun manifestasi keagamaan lain. Hal ini wajar bila melihat hirarki dasar-dasar hukum Islam, hadits –secara umum-- berada dalam posisi sebagai penjelas bagi al-Qur'an, ini didasarkan kepada bukti empiris yang menyatakan bahwa salah satu fungsi hadis adalah menjelaskan ungkapan-ungkapan al-Qur’an yang masih mujmal menjadi mubayyin, mutlaq menjadi muqayyad, aam menjadi khusus, beserta variannya yang lain. Realitas tersebut telah menempatkan hadits sebagai sesesuatu yang inheren bagi eksistensi al-Qur'an sehingga upaya menjaga kemurniannya sama pentingnya dengan pemeliharaan al-Qur’an itu sendiri.
Sesuai dengan topik utama kajian kita kali ini secara tidak langsung mengarah kepada permasalahan tentang kesetaraan jender yang menguraiakan persoalan tentang kemitraan laki-laki dan perempuan yang diuraikan oleh hadis nabi SAW. sebagai salah satu sumber ajaran Islam,[2] yaitu hadis-hadis nabi yang secara sepintas menunjukkan diskriminasi jender, sehingga keberadaan hadis-hadis tersebut harus diperhatikan dalam proses interpretasi. Karena pada kenyataannya dalam hal jender, baik al-Qur’an maupun hadis, sebenarnya sama-sama telah menempatkan perempuan pada posisi yang sama terhormatnya dengan kaum laki-laki, namun dikarenakan adanya pemahaman terhadap doktrin-doktrin Islam secara parsial dan mengabaikan semangatnya sebagai agama pembebas telah mengakibatkan kesan adanya bias jender dalam ajaran agama Islam yang menempatkan perempuan pada posisi marjinal dan subordinatif.
Dalam rangka menghilangkan banyaknya prasangka yang negatif terhadap hadis nabi tentang bias jender, maka pada tulisan ini kita akan mencoba untuk mengkaji ulang salah satu hadis misogini dengan cara kritik sanad (mata rantai riwayat) dalam tradisi ulama hadis dan matan (kandungan materi hadis) menuju kontekstualisasi hadis agar selalu up to date dan tanggap terhadap tantangan zaman.[3]
B. Pengertian Terma “Misogini”
Istilah misogini yang sering kita temui dalam –sebagian besar- pembahasan yang menyangkut tema tentang ketertindasan kaum wanita dan menempatkan mereka sebagai subordinasi kaum laki-laki adalah bahasa serapan dari bahasa asing yang berasal dari kata misogyny yang berarti kebencian terhadap wanita.[4] Dari definisi di atas sudah dapat kita raba arah kajian kita kali ini terkait dengan tema sentral yang memfokuskan pembahasan tentang hadis misogini. Yaitu upaya menelaah sebuah hadis nabi yang mengandung pemahaman rawan bias jender karena adanya narasi di dalam hadis nabi memungkinkan untuk mengarah kesana. Akan tetapi bukan maksud penulis untuk menaruh unsur curiga adanya kebencian terhadap kaum perempuan yang disandarkan kepada nabi melalui beberapa hadisnya. Kecurigaan seperti itu mempunyai konotasi negatif bahwa secara tidak langsung nabi telah mengajarkan untuk menaruh rasa benci kepada perempuan sehingga menempatkan mereka pada posisi subordinatif yang hanya menjadi pelengkap dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut mustahil terjadi, baik di dalam al-Qur’an maupun hadis karena pada hakikatnya Allah beserta utusan-Nya telah memposisikan mereka (laki-laki dan perempuan) dalam kesetaraan untuk meraih peluang menjadi kalifah (pemimpin) yang bertaqwa kepada-Nya.
Realitas kesetaraan jender di atas dipertegas bahwa Dalam al-Qur’an sangat ditekankan kehormatan, persamaan manusia, dan kesetaraan jender (QS. Al-Baqarah, 2:228; QS. An-Nisa’, 4:124; QS. An-Nahl, 16:97; QS. Al-Isra’, 17:70; dan QS. Al-Hujurat, 49:13). Penekanan itu diiringi dengan penegasan untuk menghapuskan penindasan dan kekerasan terhadap perempuan.[5] Oleh karena itu menurut hemat penulis sebenarnya tidak terdapat dalam ajaran Islam ayat-ayat maupun hadis-hadis misoginis, melainkan perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap teks yang menyebabkan adanya bias jender dalam penafsiran.
C. Telaah Hadis Izin Puasa Sunnah Bagi Wanita Bersuami
- Variasi Sanad dan Matan Hadis
Permasalahan hadis sahih yang berkaitan dengan perempuan sepantasnya mendapatkan perhatian serius, apalagi hadis yang terkesan memojokkan dan menyudutkan posisi perempuan. Hal ini kita lakukan untuk meluruskan akar permasalahan, bahwa sesungguhnya kesan misogini dari sebuah hadis bukanlah dari aspek matan (kandungan materi hadis), melainkan terkadang disebabkan adanya pemahaman minor terhadap teks tersebut serta adanya variasi sanad yang tidak bisa di terima keberadaannya menurut kacamata ilmu hadis yang serta merta akan menimbulkan kesan misoginis.
Sejauh pengamatan saya tentang hadis izin puasa sunah bagi wanita bersuami menggunakan bantuan CD ROOM Mausu’ah al-Hadis as-Syarif dapat di temukan dalam:
a. Sahih Muslim, bab Zakat, hadis no 1704.
b. Sahih Bukhari, bab Nikah, hadis no 4793,4796.
c. Sunan at-Tirmizi, bab Shaum, hadis 713.
d. Sunan Abi Dawud, bab Zakat, hadis no 1437.
e. Sunan Ibnu Majah, bab Hudud, hadis no 1751.
f. Musnad Imam Ahmad, hadis 7841, 9357, 9780, 10090.
g. Sunan ad-Darimi, bab Shaum, hadis no 1657.
Berikut ini keterangan lebih lanjut tentang variasi sanad dan matan hadis tersebut:[6]
1) Sahih Muslim.
حدّثنا محمد بن رافع حدّثنا عبد الرّزّاق حدّثنا معمر عن همّام بن منبه قال هذا ما حدّثنا ابو هريرة عن محمد رسول الله صلّ الله عليه وسلّم فذكر أحاديث منها وقال رسول الله صلّ الله عليه وسلّم لا تصم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه ولا تأذّن في بيته وهو شاهد إلا بإذنه وما أنفقت من كسبه من غير أمره فإنّ نصف أجره له.
2) Sahih Bukhari
حدّثنا محمّد بن مقاتل أخبرنا عبد الله أخبرنا معمر عن همّام بن منبّه عن أبي هريرة عن النبي صلّ الله عليه وسلّم لا تصوم المرة وبعلها شاهد إلا بإذنه.
3) Sunan at-Tirmizi
حدّثنا قتيبة ونصر بن على قالا سفيان بن عيينة عن أبى الزّناد عن الأعراج عن أبى هريرة عن النّبى صلّ الله عليه وسلّم قال لا تصم المرأة وزوجها شاهد يوما من غير شهر رمضان إلا بإذنه
4) Sunan Abi Dawud
حدّثنا الحسن بن على حدّثنا عبد الرّزّاق حدّثنا معمر عن همّام بن منبّه أنه سمع أبا هريرة يقول قال رسول الله صلّ الله عليه وسلّم لا تصم المرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه غير رمضان ولا تأذن فى بيته وهو شاهد إلا بإذنه.
5) Sunan Ibnu Majah
حدّثنا هشام بن عمّار حدّثنا سفيان بن عيينه عن أبى الزّناد عن الأعراج عن أبى هريرة عن النّبى صلّ الله عليه وسلّم قال لا تصم المرأة وزوجها شاهد يوما من غير شهر رمضان إلا بإذنه.
6) Musnad Imam Ahmad
حدّثنا محمد بن عبد الله حدّثنا سفيان عن أبي الزّناد عن موسى بن بن أبى عثمان عن أبيه عن أبى هريرة عن النبى صلّ الله عليه وسلّم قال لا تصوم المرة إذا كان زوجها شاهدا إلا بإذنه.
7) Sunan ad-Darimi
أخبرنا محمّد بن أحمد حدّثنا سفيان عن أبى الزّناد عن الأعراج عن أبى هريرة عن النّبى صلّ الله عليه وسلّم قال لا تصم المرأة يوما تطوعا فى غير رمضان وزوجها شاهدا إلا بإذنه.
- Penilaian Kualitas Sanad
Hadis-hadis tersebut di riwayatkan oleh tujuh penyusun kitab hadis yaitu, imam Bukhari, Muslim, Tirmizi, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah, Abi Dawud, dan ad-Darimi, dengan jalur sanad yang berbeda-beda. Namun untuk meringkas pembahasan tentang sanad hadis, maka dalam kajian ini penulis hanya akan meneliti dua jalur sanad; yaitu riwayat al-Bukari dari jalur Muhammad bin Muqatil, dari Abdullah bin al-Mubarak, dari Ma’mar bin Rasyid, dari Hammam bin Munabbah, dan riwayat Muslim dari jalur Muhammad bin Rafi’ dari Abdurrazzaq yang kemudian bertemu pada Ma’mar bin Rasyid.
Penulis akan mencoba menganalisa apakah sanad yang termuat di dalam kedua kitab (Sahih Bukhari dan Muslim)[7] tersebut tidak ada cacat menurut ilmu hadis dan periwayatannya bisa diterima dikarenakan semua perawinya adalah siqah dan dlabit. Dalam hal ini penulis merujuk kepada kitab Tahzib at-Tahzib karya Imam al-Hafiz Syaikh al-Islam Syihabuddin Ahmad bin ‘Afi bin Hajar al-‘Asqalani, Tarikh as-Tsiqah oleh Al-‘Ajali, serta buku-buku tentang rijalul hadis yang lain sebagai berikut:
a. Hammam bin Munabbah (w132H)
Nama lengkap beliau adalah Hammam bin Munabbah bin Kamil bin Syaikh al-Yamani Abu ‘Uqbah as-San’ani, sedangkan nama kinayah-nya (julukan) adalah Abu ‘Uqbah. Beliau meriwayatkan hadis dari para sahabat seperti Abu Hurairah, Mu’awiyah, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, dan Ibnu Zubair. Sedangkan murid-muridnya adalah Wahhab bin Munabbah, Uqyal bin Ma’qal, Ali bin Hasan, Ma’mar bin Rasyid.
Adapaun penilaian para ulama terhadap Hammam bin Munabbah, seperti Ibnu Ma’in dan Ibnu Hibban, mereka menilainya sebagai orang yang siqah (dapat dipercaya).[8] Al-‘Ajali dalam kitabnya Tarikh as-Tsiqah menyebutnya sebagai orang yang disepakati ke-siqahannya.[9]
b. Ma’mar bin Rasyid (w152H).
Nama lengkapnya adalah Ma’mar bin Rasyid al-Azdy al-Hadani. Beliau berguru kepada beberapa ulama diantaranya adalah: Tsabit al-Banani, Qatadah, Zuhri, ‘Ashim, Ayyub, Zaid bin Aslam, Shalih bin Kisan, Abdullah bin Tawus, Ja’far bin Barqan, Hamam bin Munabbah, Hisyam bin ‘Urwah, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin Abi Katsir, dan lain sebagainya. Sedangkan murid-muridnya diantara lain adalah, Ibnu ‘Uyainah, Ibnu Mubarak, ‘Abdul A’la, Abdurrazzaq, dan lain sebagainya.
Adapun penilaian para ulama terhadap kapasitas pribadinya seperti, ‘Amr bin Ali menilainya sebagai asdaqunnas (orang yang paling dipercaya), Ibnu Ma’in mengatakan bahwa ma’mar adalah orang yang siqah, Ibnu Hibban menilainya sebagai orang yang siqat, hafidz, dan faqih. sedangkan menurut Yahya hadis yang diriwayatkan oleh Ma’mar dari Tsabit, Ashim bin Abi an-Najud, dan Hisyam bin ‘Urwah diketegorikan sebagai al-Dharbu al-Muttharib (diragukan).[10] Sedangkan menurut al-‘Ajali Ma’mar adalah seorang yang saleh.[11]
Beliau mempunyai nama lengkap Abdullah bin al-Mubarak bin Wadlih al-Handhali at-Tamimi. Diantara guru-guru beliau adalah Sulaiman at-Taimiy, Hamid at-Tawil, Ismail bin Abi Khalid, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sa’id bin Sa’id al-Anshari, Ikrimah bin Ammar, A’masy, Hisyam, Ibnu Juraij, Ma’mar bin Rasyid dan masih banyak lagi. Sedangkan murid-muridnya diantaranya adalah Muslim bin Ibrahim, Abu Usamah, Abdullah bin Aban al-Ja’fi, Salamah bin Sulaiman al-Marwazi, Sulaiman bin Shaleh, Ibrahim bin Ishaq, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin al-Muqatil, dan lain-lain.
Menurut pendapat Syu’bah, tidak dijumpai orang yang begitu mulia sebelumnya, Abu Ishaq menjuluki Abdullah bin al-Mubarak sebagai Imam orang muslim, Ibnu Ma’in mengatakan bahwa beliau adalah orang yang cerdas, dapat dipercaya, pandai, dan masih banyak lagi pendapat para ulama yang mengatakan bahwa beliau adalah orang yang dapat dipercaya dan diterima periwayatan hadis darinya, serta dapat pula dijadikan hujjah.
d. Muhammad bin Muqatil (w226H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muqatil al-Marwazi, beliau mempunyai gelar Abu Hasan al-Kisai. Guru-gurunya diantaranya adalah; Ibnu Mubarak, Hasyim, Waqi’, Mubarak bin Sa’id as-Tsauri, Khalaf bin Khalifah, Khalid bin Abdullah al-Wasithi, Asbat bin Muhammad, Hajjaj bin Muhammad, Ya’la bin Ubaid dan sebagainya. Sedangkan murid-muridnya diantaranya adalah; Imam Bukhari, Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ibrahim bin Junaid, Muhammad bin Ishak as-Shaghani, Muhammad bin Ayyub bin ad-Dharis dan seterusnya
Tentang penilaian para ulama terhadap kapasitas pribadianya, seperti yang di sampaikan oleh Imam Ibnu Hatim bahwa Muhammad bin Muqatil adalah orang yang shaduq (orang yang sangat jujur), Ibnu Hibban dan Khatib, Khalili menilainya sebagai orang yang Siqah.[13] Menurut Imam az-Dzahabi Muhammad bin Muqatil adalah seorang siqah dalam meriwayatkan hadis.[14]
Abdurrazzaq bin Hamam bin Nafi’ al-Humairi. Beliau meriwayatkan hadis dari guru-gurunya diantaranya adalah wahab bin Munabbah, Ma’mar, Ubaidillah bin Amr al-Umari yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Selain itu beliau berguru kepada Aiman bin Nabil, ‘Ikrimah bin ‘Ammar, Ibnu Juraij, Auza’i, Malik, Ja’far bin Sulaiman, Yunus bin Salim, Ibnu Abi Ruwad dan sebagainya.
Adapun murid-muridnya diantaranya adalah; Ahmad bin Shalih, Ibrahim bin Musa, Abdullah bin Muhammad al-Musnadi, Ishaq bin Ibrahim as-Sa’di, Ishaq bin Mansur, Ahmad bin Yusuf as-Salami, Hasan bin Ali, Muhammad bin Rafi’ Muhammad bin Mahran, Mahmud bin Ghilan dan lain-lain. Menurut Ibnu Ma’in beliau adalah orang yang paling bisa diterima periwayatannya melalui jalur Ma’mar dari Hisyam bin Yusuf, Ya’qub dan imam Ahmad bin Hanbal menilainya sebagai orang yang tsiqah.
Beliau mempunyai nama lengkap Muhammad bin Rafi’ bin Abi Zaid. Ia berguru kepada Ibnu ‘Uyainah, Abi Mu’awiyah al-Dlarir, Abi Ahmad az-Zubairi, Abi Dawud al-Hafri, Abi Dawud at-Tayalisi, Husain bin Ali, Abi Usamah, Abi Amir al-‘Aqdi, Abdurrazaq dan lain-lain. Sedangkan murid-murid beliau adalah Imam Abi Daud, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibrahim bin Abi Thalib, Muhammad bin Yahya al-Dzahli, Ibnu Khuzaimah, dan sebagainya.
Para ulama hadis menilainya sebagai orang yang saduq seperti Abu Zur’ah, sedangkan menurut Ahmad bin Yahya ia adalah orang yang kuat hafalannya. Dalam kepribadian Muhammad bin Rafi’ Imam Bukhari menilainya sebagai orang yang terpilih disisi Allah (Min Khiyari Ibadillah), sedangkan menurut an-Nasa’i dan Ibnu Hibban beliau adalah orang yang as-siqah al-ma’mun.
Dari pemaparan di atas ada dua hal penting yang harus kita cermati dalam pembahasan ini, yaitu:
1) Bahwa para perawi melalui jalur Imam Bukhari dan Muslim tersebut, semuanya ada pertemuan antara guru dan murid. Hal ini dapat diketahui dari beberapa hal. Pertama, data tahun wafat dari masing-masing perawi adanya pertemuan antara guru dan murid; kedua, data kesinambungan (guru-murid) dalam masing-masing perawi sebagaimana yang sudah kami jelaskan dalam terjemah (biadata) masing-masing rawi.
2) Dalam rangkaian sanad hadis yang terdapat dalam dua kitab Bukhari dan Muslim tidak ada yang cacat secara kualitas, melainkan semuanya adalah perawi yang tsiqah (terpercaya). Hal ini dikarenakan tidak satupun ulama hadis menilainya cacat (Jarh).
Maka setelah panjang lebar kita menelusuri mata rantai perawi hadis tentang larangan puasa sunah bagi wanina bersuami tanpa adanya izin suaminya, maka kesimpulan akhir yang kita temukan adalah, bahwa semua perawi hadis tersebut secara kualitatif bernilai shahih.
T
O
L
O
G D
I
K
O
S
O
N
G
I
D. Asbabul Wurud[17]
Ahmad, Abu Daud, dan Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id: “seorang perempuan datang kepada nabi SAW sedang kami berada di sekitar beliau. Dia bertanya: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku Shafwan ibnu Mu’atthal memukulku kalau aku shalat dan menyuruhku berbuka kalau aku berpuasa, dan tidak dikerjakan shalat subuh sampai matahari terbit. Kebetulan Shafwan sedang berada di sisi beliau. Ketika hal itu ditanyakan kepada Shafwan tentang kebenaran ucapan istrinya, dia berkata: “wahai Rasulullah, adapun ucapannya aku memukulnya kalau dia hendak shalat, maka hal itu karena dia membaca dua surat sekaligus sedangkan aku sudah melarangnya. Kalau satu surat saja sudah cukup bagi kita. Adapaun perkataannya bahwa aku menyuruhnya berbuka kalau sedang puasa karena dia suka pergi dan suka berpuasa padahal aku seorang laki-laki yang masih muda sehingga aku tidak bisa sabar. Maka Rasulullah SAW bersabda: "لا تصوم إمرأة وبعلها شاهد إلا بإذنه غير رمضان".
Adapun ucapannya bahwa aku tidak mengerjakan shalat subuh kecuali setelah matahari terbit, maka yang benar adalah bahwa kami merupakan keluarga yang sungguh telah dikenal keadaan kami seperti itu. Tidaklah selalu kami bangun sampai matahari terbit. Beliau bersabda: “ Jika engkau bangun, maka shalatlah”
E. Kritik Matan
Pengembangan kritik redaksional matan hadis bertujuan unutuk memperoleh komposisi kalimat matan dan nisbah otoritas hadis yang sahih. derajat kesahihan teks dan nisbah matan merupakan jaminan atas nilai kehujjahan, sekaligus meletakkan landasan kerja istinbath.[18]
Oleh karena itu agar tidak terjadi kebekuan pemaknaan terhadap hadis-hadis nabi yang menyebabkan semangat kandungannya tidak bisa diaplikasikan sesuai dengan perkembangan zaman, maka diperlukan upaya kritik matan hadis agar memperoleh makna yang kentekstual dengan tetap mempertahankan kesahihan hadis.
Diantara berbagai langkah motodologis muhadditsin dalam upaya mendapatkan hadis yang bener-bener mempunyai kualitas sahih tidak hanya melakukan kritik terhadap mata rantai sanad hadis saja, melainkan matan hadinya juga ikut di teliti secara mendalam. Karena terkadang banyak hadis yang dari segi sanadnya termasuk dalam kategori hadis sahih, akan tetapi dari segi matan bertentangan dengan al-Qur’an.
Maka dalam hal ini sebagian besar ulama hadis menciptakan landasan metodologis yang harus ditempuh guna melakukan sebuah kritik matan diantaranya adalah, mengkomparasaikan hadis dengan al-Qur’an, mengkomparasikan hadis dengan hadis yang lain, mengkomparasikan hadis dengan logika.[19] Dan apabila hadis-hadis bertentangan dengan salah-satu dari tiga kerangka metodologis di atas maka secara otomatis hadis tersebut ditolak, meskipun dari segi sanad termasuk kategori hadis sahih.
Berdasarkan keterangan diatas mari kita uji ke-sahih-an hadis ini dari segi matannya. Secara tekstual hadis-hadis yang telah disebutkan memberikan pengertian bahwa diharamkan bagi wanita bersuami melakukan puasa (sunnah) tanpa seizin suaminya terlebih dahulu,[20] Namun apabila sang istri tetap melakukan puasa tanpa seizin suaminya yang tidak bepergian maka puasanya tetap sah akan tetapi dia berdosa karena telah mengerjakan perbuatan yang telah dilarang oleh rasulullah. Peralihan nilai puasa yang semula berpahala menjadi berdosa ini, karena tetkala istri berpuasa sunah dipandang telah membiarkan suaminya tanpa diberikan hak “pelayanan”.
Memperhatikan hadis sebagaimana disebutkan diatas tampak seakan-akan larangan puasa terhadap istri tanpa seizin suaminya tidak sejalan dengan prisip otonomi dalam ibadah yang diajarkan oleh al-Qur’an seperti yang telah dijelaskan dalam salah satu ayat bahwa: “Barang siapa yang mengerjakan amal kebajiakan, baik laki-laki maupun peempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam suga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun” (QS. An-Nisa’, 4:124).
Mengikuti semangat prinsip otonomi, yang perlu dipertanyakan adalah apakah seorang istri ketika ingin melakukan kebaikan masih memerlukan izin suaminya. Bukankah dengan hak otonominya seorang istri dapat melakukan kebaikan apapun sepanjang tidak merugikan orang lain.[21]
Oleh karenanya dalam kajian ini kita harus berupaya menyelaraskan hadis di atas agar tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara menemukan alternatif pemaknaan yang lebih sesuai, agar hadis di atas tidak tertolak karena kandungan matannya serta bisa dijadikan landasan hukum Islam.
F. Kontekstualisai Pemaknaan Hadis
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama merupakan ciptaan Allah. Dia tidak pernah memperlakukan mereka secara tidak adil, baik itu dibidang sosial, maupun spiritual. Beberapa perbedaan tugas dan fungsi yang ada, bukanlah hal yang mencerminkan adanya tindakan Tuhan yang tidak adil. Justru itulah merupakan salah satu bentuk keadilan Tuhan terhadap semua hamba-Nya.
Al-Qur’an merupakan ruh atau inti dari sebuah ajaran hukum Islam, sedangkan hadis nabi adalah penjelas dari konsep hukum Islam yang masih samar termuat al-Qur’an. Oleh karena itu sangat mustahil apabila nantinya ditemukan suatu pertentangan antara al-Quran -yang merupakan induk dari sumber hukum Islam- dengan hadis nabi yang berfungsi sebagai pen-syarah ( penjelas) daripada kitab suci.
Dalam hal ini Yusuf al-Qardawi dalam bukunya kaifa Nata’amal ma’as-Sunnah an-Nabawiah menjelasakan, bahwa sesungguhnya ada tiga sebab yang mempengaruhi suatu hadis tampak bertentangan dengan ayat al-Qur’an. Pertama, bisa dipastikan bahwa hadis tersebut tidak sahih Kedua, adanya pemahaman hadis yang kurang tepat Ketiga, adanya pertentangan semu antara hadis dan al-Qur’an.[22] Berdasarkan penjelasan ini kita bisa menyatakan bahwa sesungguhnya hadis tentang izin puasa sunnah bagi wanita bersuami yang mempunyai kualitas sahih diduga kuat kemungkinan telah terjadi pertentangan semua antara hadis dan al-Qur’an. Karenanya, guna menghilangkan pertentangan semu tersebut, kita dituntut merumuskan konsep utuh untuk yang sangat diperlukan untuk memahami hadis secara komprehensif yang kontekstual.
Secara konseptual, memahami hadis secara utuh mempunyai tolak ukur tersendiri, diantaranya adalah:[23]
1. Memposisikan hadis sebagai penjelas al-Qur’an. Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa sesungguhnya al-Qur’an adalah tempat bermuaranya seluruh hukum Islam, sedangkan hadis diposisikan sebagai penjelas kandungan al-Qur’an yang masih global. Maka sangat tidak rasional apabila hadis yang merupakan keterangan penjelas bertentangan dengan al-Qur’an.
2. Mengupayakan penghimpunan hadis dalam satu kesatuan tema yang bertujuan untuk menjelaskan hadis-hadis yang kurang jelas, bersifat mutlak, dan mempunyai keumuman makna dengan hadis-hadis yang lain. Cara ini ditempuh untuk menghilangkan kemungkinan hadis dipahami secara parsial yang akhirnya melahirkan pertentangan kandungan denan hadis-hadis lain.
3. Adanya upaya memahami hadis sesuai dengan latar belakang dan tujuan utama munculnya hadis. Hal ini didasari oleh fakta bahwa hadis-hadis yang disabdakan beliau lahir mengikuti situasi dan kondisi pada masa itu sehingga diperluakan upaya kontekstualisai pemaknaan hadis. Hal ini bertujuan agar esensi dan nilai-nilai yang di kandungnya selalu relevan untuk diterapkan dalam setiap masa demi mewujudkan kemaslahatan bersama dan menjawab tantangan zaman.
Apabila ketiga langkah ini diterapkan secara simulatan bagi hadis yang sedang kita bahas kali ini, maka akan menghasilkan pemahaman yang utuh bahwa sesungguhnya hadis ini tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an dan otonomi perempuan dalam melaksanakan ibadah. Pada hakekatnya hadis ini hanya memuat nasihat rasul kepada suami istri yang dirundung perselisihan dalam rumah tangga dimana sang istri terlalu rajin dan bersemangat dalam melaksanakan ibadah yang menyebabkan sang suami marah karena hak-haknya tidak bisa terpenuhi secara keseluruhan. Pertengkaran ini terjadi karena keduabelah pihak (suami dan istri) sama-sama merasa benar dan dirugikan oleh pasangannya,[24] akhirnya muncullah hadis nabi yang menyatakan bahwa istri harus minta izin melakukan ibadah puasa (sunah).
Maka dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya larangan ini tidak memuat ajaran yang universal yang harus manjadi rujukan, melainkan hanya berlaku bagi sang istri yang mengesampingkan hak-hak suami demi untuk melaksanakan ibadah sunah.
Hadis di atas secara tersirat memuat ajaran rasul yang menganjurkan adanya hubungan dialogis antara suami dan istri dalam menggapai keluarga sakinah. Oleh karena itu kedua belah pihak dituntut untuk saling mendukung dalam pelaksaan ibadah dengan cara bermusyawarah, sehingga cita-cita untuk mendapatkan kehidupan berumah tangga yang harmonis akan terwujud. Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur #qç/$yftGó™$# öNÍkÍh5t�Ï9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdã�øBr&ur 3“u‘qä© öNæhuZ÷�t/ $£JÏBur öNßg»uZø%y—u‘ tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka” (QS. Asy-Syura, 42:38).
G. Epilog
Diantara beberapa sebab adanya pemahaman yang tidak benar atas hadis-hadis nabi adalah karena minimnya pengetahuan tentang hakikat yang sebenarnya dikandug oleh hadis tersebut. Dalam hal ini hadis nabi tentang larangan puasa sunah bagi istri tanpa seizin suami bertujuan untuk menegaskan bahwa sesungguhnya hak-hak seorang suami seyogyanya tidak diabaikan demi melakukan ibadah (sunah), ketentuan ini berlaku sama, baik bagi sang istri maupun suami, karena keduanya sama-sama mempunyai hak seperti yang telah di sebutkan dalam al-Qur’an di atas.
Kesimpulan kajian ini menegaskan bahwa sesungguhnya otonomi perempuan untuk mengerjakan segala kegiatan tidak harus bergantung kepada orang lain termasuk suaminya sendiri selama hak-hak suami tetap terpenuhi, hal ini merupakan keniscayaan bahwa antara laki-laki dan perempuan dalam Islam akan mendapat pahala yang sama sesuai dengan amal perbuatan yang telah dikerjakannya sebagaimana dijelaskan dalam a-Qur’an:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @�Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨Zt�Í‹ósãZn=sù Zo4qu‹ym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌ“ôfuZs9ur Nèdt�ô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl, 16:97).
Semoga kajian ini dapat mencerahkan kita semua. Amin.
BIBLIOGRAFI
‘Ajali, Abu al-Hasan al-, Tarikh as-Tsiqah, Lebanon: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1983.
Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis, Yogyakarta: TERAS, 2004.
Asqalani, Ibnu Hajar al-‘, Tahdzib at-Tahzib, Beirut: Dar al-Kutub, 1994.
Dzahabi, Imam az-, “al-Kasyif fi Ma’rifati man Lahu Riwayah fi al-Kutub as-Sittah,” www.almeshkat.com, akses 19 Desember 2007.
Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003, Cet. Ke-XXVII
Fudhaili, Ahmad, Perempuan Di Lembaran Suci, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.
Husaini, Ibnu Hamzah Al-, Asbabul Wurud, terj. H.M. Suwarta Wijaya, dkk, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Ilyas, Hamim, Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-Hadis Misoginis, Yogyakarta: eLSAQ, 2003.
Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software Company, 1991-1997, terbitan ke II.
Munawwar, Sa’id Agil Husin, Asbabul Wurud: Studi kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Nuri, Sulaiman An- dan Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, ttp: tnp: tt, vol. 2
Qardawi, Yusuf al-, kaifa Nata’amal ma’as-Sunnah an-Nabawiah, Kairo: Dar al-Syuruq, 2005.
Ridwan, A.H., Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Trdisi Keilmuan Islam, Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998.
[1] Tradisi merupakan kekayaan sejarah yang sarat dengan kandungan nilai, yang mampu memandu dan memotori gerak kehidupan suatu bangsa dan memiliki kedudukan terhormat dalam pandangan generasi bangsa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa itu. A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Trdisi Keilmuan Islam, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), catatan kaki, hal. 103.
[2] Memang secara teoritis terdapat silang pendapat tentang otoritas hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Namun dalam kajian ini penulis lebih cenderung berpihak kepada pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa hadis termasuk salah satu sumber ajaran Islam.
[3] Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam melakukan penelitian hadis, karena seluruh hadis yang sampai kepada umat Islam terdiri dari dua unsur tersebut, maka peranan kritik terhadap dua unsur (sanad dan matan) ini sangat berperan dalam menentukan kualitas sebuah hadis. Ahmad Fudhaili, Perempuan Di Lembaran Suci, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hal. 1.
[4] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2003), Cet. Ke-XXVII, h. 382.
[5] Hamim Ilyas dalam pengantar, Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-Hadis Misoginis, (Yogyakarta: eLSAQ, 2003), hlm. 2.
[6] Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, (Global Islamic Software Company, 1991-1997), terbitan ke II.
[7] Hadis-hadis yang termuat di luar kitab Bukhari dan Muslim tidak kami teliti melalui kitab Tahdzib at-Tahdzib, melainkan kami teliti dengan menggunakan CD Room, dalam Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, (Global Islamic Software Company, 1991-1997), terbitan ke II. Dan menurut informasi yang kami dapat dari hasil penelitian kami melalui CD Room tersebut bahwa, seluruh sanad hadis tersebut juga mempunyai kualitas sahih.
[8] Lebih lanjut lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahzib, (Beirut: Dar al-Kutub, 1994), vol II, hlm. 59.
[9] Abu al-Hasan al-‘Ajali, Tarikh as-Tsiqah, (Lebanon: Dar al-Kutub Ilmiyah, 1983), hlm 461.
[10] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib..., vol XI, hlm. 219-221.
[11] Abu al-Hasan al-‘Ajali, Tarikh, hlm. 435.
[12] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib..., vol V, hlm. 338-341.
[13] Ibid., vol IX, hlm. 403-404.
[14] Imam az-Dzahabi, “al-Kasyif fi Ma’rifati man Lahu Riwayah fi al-Kutub as-Sittah,” www.almeshkat.com, akses 19 Desember 2007.
[15] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib..., vol VI, hlm. 275-278.
[16] Ibid., vol IX, hlm 136-138.
[17] Ibnu Hamzah Al-Husaini, Asbabul Wurud, terj. H.M. Suwarta Wijaya, dkk, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), vol. 3, hlm. 420. lihat juga H. Sa’id Agil Husin Munawwar, Asbabul Wurud: Studi kritis Hadis Nabi, Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 111-113.
[18] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis, (Yogyakarta: TERAS, 2004), hlm. 111.
[19] Ibid., hlm. 113.
[20] Sulaiman An-Nuri dan Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, (ttp: tnp: tt), vol. 2, hlm. 421.
[21] Wawan G.A Wahib, Perempuan Tertindas?...., hlm. 159-160.
[22] Yusuf al-Qardawi dalam bukunya kaifa Nata’amal ma’as-Sunnah an-Nabawiah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 2005), hlm. 113.
[23] Ibid., hlm. 111.
[24] Wawan G.A Wahib, Perempuan Tertindas?...., hlm. 164.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar