MAKNA KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM

Admin Monday, December 20, 2010

MAKNA KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM ISLAM

Pendahuluan: Manusia adalah hamba Allah SWT. Yang mempunyai dua sistem kehidupan. Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Kedua-duanya bersifat simbosis atau organik. Satu sama lain saling manyatu dan membutuhkan. Jika sistem rohani sakit maka jasmani maupun akan mengalami sakit. Demikian juga sebaliknya, jika jasmani sakit, maka rohanipun ikut sakit.

 Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan keseimbangan antara kedua sistem tersebut. Untuk itu, maka akidah dan ibadah dalam Islampun bukan saja bersifat keimanan dan ritual yang hanya melahirkan kesalihan individu, melainkan juga bersifat sosial, yang dapat melahirkan keshalihan sosial (struktural).

 Perhatian Islam dalam terhadap masalah sosial dapat dilihat, misalnya adzan, di dalamnya terdapat dua seruan, yakni hayya ‘alash shalah dan hayya ‘alal falah (mari sama-sama melaksanakan dan menegakkan shalat, dan mari bersama-sama menuju kebahagiaan). Seruan pertama bersifat ritual dan vertikal, sedang kedua bersifat sosial dan horisontal.

 Contoh lain ialah pelaksanaan sholat. Ia diawali dengan takbirratul ihram, dan diakhiri dengan salam. Takbiratul ihram berarti mengagungkan dzat Pencipta alam semesta (vertikal), dan salam berarti mengajak kepada semua muslim untuk menyebarkan kesejahteraan sosial (horisontal). Memang keimanan dan ibadah (individual) dalam Islam itu mengarah pada terwujudnya masyarakat yang baok dan sejahtera.

 Perhatian Islam terhadap masalah kesejahteraan sosial dapat dicermati pula dari dua alasan. Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah sosial jauh labih banyak dibandingkan ayat yang berkenaan dengan masalah keimanan dan ibadah pribadi, yaitu 100:1. Jika ada seratus ayat sosial, maka hanya ada satu ayat keimanan dan ibadah. Kedua, ibadah khusus seperti puasa, dapat diganti dengan amal sosial, tetapi sebaliknya, ibadah sosial tidak dapat digamti dengan ibadah khusus.
 Berkaitan dengan upaya mewujudkan kesejahteraan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan, Islam bukan saja memiliki perangkat etik, tetapi juga dilengkapi dengan sejumlah instrumen. Adapun instrumen itu antara lain ialah zakat, infak, dan shadaqah. Khusus mengenai zakat, intrumen ini mendapat tempat khusus dalam al-Qur’an. Ia disebut secara sendirian sebanyak 10 kali, dan disebut bersama-sama shalat sebanyak 82 kali, sehingga secara keseluruhan zakat disebut sebanyak 112 kali. Ini menandakan bahwa Islam sangat memperhatikan kesejahteraan sosial dalam kehidupan kemasyarakatan.

 Dalam kenyataan empirik, keadaan umat Islam tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh al-Qur’an. Dalam sebuah diskusi kecil yang dilaksanakan oleh Pusat Pengembangan Masyarakat Stasiun Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 2-17 Juni 1982 di kaliurang Yogyakarta, telah dirumuskan bahwa perhatian ummat Islam terhadap berbagi aspek kehidupan, seperti sentris kelompok (polotis), kecenderungan ini ternyata lebih basar daripada kesadaran akan nilai atau kesamaan nilai, sedang aspek ekonimi, sebagai salah satu aspek yang mempunyai peran sangat penting demi terwujudnya kesejahteraan sosial jauh lebih berada dibawah keda aspek tersebut.
 Kesadaran akan nili membawa pengaruh kepada umat Islam bahwa mereka lebih peka terhadap pelanggaran ninai dan norma daripada ketimpangan sosial. Misalnya, apabila ada pelanggaran norma moral, secara antusias meraka memperhatikan dan membicarakannya, namun apabila ada berita tentang kelaparan, bencana alam, dan sebagainya, perhatian mereka kurang. Masalah ketimpangan sosial, dianggapnya suatu yang biasa, dan telah menjadi suratan takdir Tuhan.
 Melihat permasalahan tersebut, maka perlu dirumuskan paradigma baru, yang lebih memberi perhatian kepada aspek sosial ekonomi masyarkat sebagai prasyarat tercapainya kesejahteraan sosial daripada aspek moral. Dipihak lain, penerobosan terhadap batasan kelompok, harus diartikan sebagai usaha untuk melakukan “penjembatan hubungan antar segmen.

A. Sasaran Kesejahteraan Sosial

 Sasaran kesejahteraan sosial dalam Islam adalah sesuai dengan sistem kemanusiaan Yaitu kehidupan rohani dan jasmani. Indikator kesejahteraan sosial dalam Islam tidak saja tercermin dalam kesejahteraan lahiriah, melainkan juga tercermin dalam kehidupan rohani. Sebab persoalan keterbalakangan, kebodohan dan kemiskinan bukan hanya dikarenakan ada faktor-faktor rohani seperti mental, motivasi dan pemahaman terhadap suatu sistem nilai yang dianut.
 Dalam soal kesejahteraan rohani, sasaran yang harus dilakukan perbaikan adalah bagaimana menjadikan sistem nilai yang dianutnya (tauhid) sebagai ruh, spirit dan etos melakukan aktifitas kehidupan. Dengan kata lain, bagaimana mengfungsikan sistem aqidah (keimanan) seseorang agar mampu berbuat lebih baik didunia ini.

 Sedangkan dalam kesejahteraan sosial, Islam menekankan pada upaya memberantas kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Selain itu, juga mengutamakan penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim dan orang tua. Penekanan terhadap obyek-obyek tersebut dikarenakan, memang dalam kenyataannya masalah tersebutlah yang harus dibenahi.

Sebab masalah kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, persoalan anak yatim, fakir miskin, dan orang tua adalah persoalan abadi, yang ada di setiap tempat dan kurun waktu.
 Al-Qur’an tak henti-hentinya menghimbau hal tersebut dengan menandaskan dalam ayat-ayat sebagai berikut:

اارأيت الذي يكذب بالدين . فذالك الذي يدع اليتيم . ولا يحض علي طعام المسكين . فو يل للمصلين . الذين هم عن صلا تهم سا هون . والذين هم يراء ون . ويمنعون المعون . (الما عون 7:1 0-7)

“Taukah engkau orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang-orang yang meninggalkan anak yatim dan tidak menghiraukan kehidupan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang melakukan sholat, yaitu orang-orang yang lali dari sholatnya, dan berbuat riya’, serta enggan menolong dengan barang yang berguna” (al-Ma’un/107: 1-7)

Ayat ini memberitahukan kepada umat Islam betapa pentingnya masalah sosial, sehingga Tuhan menyatakan bahwa orang yang sholat, tetapi tidak mau menghiraukan kesejahteraan sosial, shalatnya sia-sia dan berarti membohongi agamanya, karena shalatnya terlalaikan, tidak bisa menggerakan ke arah perbaikan sosial.

 Ada dua hal yang menyebabkan seseorang terlantarkan di akhirat kelak, yaitu karena melalaikan shalat dan melalaikan kesejahteraan sosial (al-Mudatstsir/74: 42-44). Termasuk salah satu diantara sekian banyak orang yang tidak termasuk umat Muhammad saw., yaitu orang yang sehari selamanya selalu kenyang, sedang tetangganya kelaparan (al-Hadits). Oleh karena itu Nabi saw manganjurkan, barang siapa mempunyai makanan cukup untuk seorang, maka carilah seorang teman, jika cukup dua orang, maka carilah dua orang teman lagi dan seterusnya.[1]

B. Dimensi Pendidikan Sosial dalam Ibadah Qurban

 Setiap ibadah, khususnya ibadah Shalat ‘Id dan penyembelihan Hewan Qurban, setidak-tidaknya mempunyai empat dimensi, yakni : dimensi teologikal, ritual, education dan sosial. Dimensi teologikal, ialah dimensi yang menyngkut keyakinan seseorang terhadap kebenaran hakiki (tauhid). Oleh sebab itu setiap amalan haruslah disertai dengan keyakinan atau keimanan yang kuat. Dimensi ritual, ialah dimensi yang menyangkut tata cara dalam pelaksanaan ibadah. Sedangkan dimensi education dan sosial, ialah dimana ibadah yang dilakukan seseorang yang memiliki makna ganda. Baik buat dirinya sendiri maupun bagi kepentingan sosial.

 Ibadah sahalat ‘Id dan Qurban yang dilakukan umat Islam setiap tahun sekali itu, juga mengandung keempat dimensi di atas. Bahkan dimensi pendidikan dan sosialnya jauh lebih besar ketimbang dimensi ritualnya. Pelaksanaan ibadah kurban merupakan fisualisasi untuk mendidik manusia agar mau menanggalkan atau mengorbankan sifat-sifat bahimiyah (kebinatangan) yang ada dalam diri manusia, agar ia leluasa yang mengakui kebenaran Allah, kewajiban sosial yang harus dilakukannya sebagai hamba Allah SWT.

 Dengan melaksanakan ibadah Qurban akan muncul kesadaran diri setiap individu yang merupakan pangkal kesadaran masyarakat atau ummat. Dalam pandangan ilmu Psikologi, konsep diri diri digunakan untuk menggambarkan dan menyatakan karakter psikologi seorang individu. Variabel ini sering disamakan dengan gambaran diri atau identitas, yang merupakan perwujudan sistem diri, yang oleh iqbal, seorang filsuf muslim terkemuka disebut dengan Khudi.

 Bagi Iqbal, hilangnya Khudi (diri) merupakan kehilangan yang sangat menyedihkan. Masa depan seseorang dan umat muslim ama tergantung pada penemuan kembali dirinya. Perjuangan mereka yang paling utama ialah menegaskan identitas gaya hidupnya. Cita-citanya melatih diri agar kuat bagaikan ‘baja’ akan bisa tercapai hanya dengan mengedentifikasikan diri sebagai mu’min dan mencapai derajat muttaqin.

 Ziauddin Sardar menampilkan konsep Tzkiyah (pensucian diri) untuk membangaun konsep diri. Dengan tazkiyah seorang akan berkesempatan membentuk diri, karena sebelumnya ia harus melakukan pensucian diri dengan cara zikir, ibadah, tauhid, sabar, muhasabah n doa.

C: Makna Pendidikan Sosial dalam Ibadah Qurban

Pada Hari Raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq, umat Islam disyari’atkan untuk menyembelih hewan qurban, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir-miskin dan saudara-saudara yang kurang mampu. Realisasi semangat ibadah qurban tidak hanya sebatas menyembelih hewan qurban dan kemudian membagikannya kepada yang berhak, melainkan harus diteruskan dalam bentuk penyantunan sosial lainnya yang bersifat kesinambuangan. Karena hakikat ibadah qurban adalah sebagai instrumen atau wahana mendidik untuk agar peka terhadap realitas sosial yang ada.

Inilah hakikat ibadah dalam Islam. Di mana pengalamannya haruslah tercermin dalam kehidupan sosial. Ibadah qurban mendidik umat manusia agar memiliki kepekaan sosial yang tinggi, sehingga berbagai prsoalan sosial yang dihadapi mayarakat seperti kemiskinan, kebodhan dan keterbelakangan dapat diatasi secara bersama. Makana pendidikan sosial dalam ibadah Islam, terutaa iabadah qurban dapat dikemukakan paling sedikit dua alasan. Pertama, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan permasalahan sosial, jauh lebih banyak daripada ayat ibadah vertikal. Imam Khomani, yang telah melakukan penelitian terhadap ayat-ayat alQur’an, menyebutkan 100:1. Kedua, ibadah khususnya (puasa) dapat diganti dengan ibadah sosial, namun tidak bisa sebaliknya, ibadah sosial tidak bisa digan ti dengan ibadah khusus.

Oleh karen itu, semangat berqurbn haruslah diaktualisasikan dalam berbagai aspek kehidupan dan tantangan yang sedang dihadapi. Pada saat ini, kita tengah berupaya mengentaskan kemiskinan, dalam konteks ini, hendaknya smangat berqurban juga diaktualisasikan dalam konteks pengentasan kemiskinan. Untuk kepentingan tersebut ada tiga cara yang dapat dilakukan :
1. Dengan memberikan bantuan bekal makanan :
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan” (al-Insan/76:8);
2. Memberi modal kerja, agar mereka bisa mengembangkan hidup dan kehidupannya :
“Dan ketika pembagian itu datang, maka kerabat, anak yatim, orang-orang miskin hendaknya diberi bagian sekedarnya, dan ucapkan kepada mereka perkataan yang baik” (al-Nisa/4:8);
3. Berbuat baik kepada mereka dalam arti yang seluas-luasnya :
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua, kerabat-kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibn sabil, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membaggakan diri” (al-Nisa / 4: 36).

Berbuat Ihasan kepada orang miskin, terlebih dahulu perlu diketahui sebab dan faktornya. Karena faktor struktural atau kultural atau teologis. Sekiranya yang menjadi penyebabnya adalah struktur alam, tentunya penanggulangannya ialah memperbaiki struktur tersebut.

Faktor kutural menampilkan diri bahwa kemiskinan diterima sebagai bagian yang sah dari hidup dan mewarnai hampir seluruh sistem nilai dan struktur sosial masyarakat. Ia diterima sebagai keniscayaan yang tidak perlu dipertanyakan lagi, usaha melawannya dianggap aneh dan a sosial.

Dengan demikian, kemiskinan tidak hanya diihat dari faktor eksternal, tetapi lebih dari itu perlu dilihat dari faktor internal (manusianya) itu sendiri, yakni dilihat dari pandangan orang-orang miskin itu. Mereka miskin karena kemauannya sendiri. Jadi kemiskinan telh menjadi kebudayaan, cara hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui keluaga.

Penanggulangan kemisinan yang dikarenakan faktor ini harus ibongkar dari akar budaya masyarakat setempat, bahkan perlu juga dibongkar melalui akar teologisnya. Sikap memandang dirinya lemah, tidak mempunyai daya sedikitpun untuk menentukan nasib dan masadepanya – teologi fatalistik, deterministik, dan jabariyah perlu diluruskan. Islam tidak mempunyai ajaran teologi yang demikian. Islam menempatkan manusia pada posisi terhormat, mempunyai keaktifitas dan dinamika hidup, menuju masa depan yang lebih baik. Tuhan Maha Kuasa, perlu ditempatkan pada proposi yang sebenarnya. Dia Maha Pemurah, Kasih dan Sayag kepada hamba-hamba-Nya.

Tuhan tentu mempergunakan kekuasaan-Nya itu untuk menentukan hukum dan sunnah_nya sreta sebab-akibat. Manusia daam mengarungi hidupna tidak bisa terlepas dari ketentuan (taqdir-Nya) tersebut. Tidak bisa kaya tanpa bekerja, bekerja yang berhasil selalu brjalan diatas ketentuan-ketentuan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Disini letak ikhtiar manusia, yakni berusaha untuk berada dalam ketentuan yng mengantarkan dirinya kemasa depan yang dicita-citakan. Kegagalan seseorang dalam usahanya perlu dilakukan intropeksi, kesalahan apa gerangan yang menyebabkan kegagalannya itu.

Perluasan teologi umat yang lain ialah pandangan mereka terhadap dunia (materi) ini. Ada yang memandang bahwa kekayaan dan kepangkatan atau dunia pada umumnya adalah sesuatu yang menjijikkan (jifah) yang harus dijauhi. Dunia adalah mainan, kesia-siaan, perhiasan, kebanggaan, da bermegah-megahan. Mereka ditampilkan ayat-ayat yang mengecam dunia:
الهاكم التكاثر . حتي زرتم القا بر. (الكاثر)
“Bermegah-megahan telah mellaikan kamu, sampai kamu masuk kealam kubur”. (al-takatsur/102:1-2)

Dan firman Allah:
 ويل لكل همذة اللمزة . الذي جمع مالا وعد ده . يحسب ان ما له اخلده . ( الهمرة 04 1:1-3)
“Kecelakaan bagi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitug, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya”. (al-Humazah/104:1-3).

Padahal ayat-ayat tersebut adalah kecaman Allah SWT. Terhadap ekonomi kapitalistik, ekonomi yang mengeksploitir manusia yang lemah (kaum dlu’afa’).

 Sebagai pelurusan terhadap teologi yang demikian itu perlu ditampilkan ayat-ayat yang memandang positif terhadap dunia atau harta kekayaan pada umumnya, antara lain surat al-Anbiya’/21:16, yang membantah bahwa penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada didalamya sebagai permainan.
 Dalam surat Ali Imran 3:191, dikihakan bahwa bagi Ulul Albab, yaitu kelompok intelektual, yang meneliti penciptaan langit dan bumi serta apa yang ada didalamnya (alam semesta), menyatakan bahwa penciptaan alam semesta ini bukanlah sia-sia.

 Terlebih bagi umat manusia yang berfugsi sebagai khalifah Allah SWT. Di muka bumi yang bertugas memakmurkan dan mengeola alam ini, tentunya harus berkirah semaksimal mungkin agar dunia atau alam semesta ini dapat dipergunakan untuk kemakmuran bersama menuju ridha Alah SWT.

D: Kemiskinan Teologi

 Drama qurban yang dilaksanakan oleh Ibrahim as. Merupakan pendidikan kepada masyarakat bahwa telah dilarangnya pengorbanan manusia, tetapi diganti dengan qurban hewan. Jasa besar lainya ialah dengan kehadiran Ibrahi as. Di tengah-tengah percatura dunia ini bertujuan untuk meluruskan kemiskinan teologi dan teologi kemiskinan umat manusia.

 Ibarahim as. Telah berhasil meluruskan teologi yang salah, yakni teologi politisme diubah dengan teologi monoteisme (tauhid). Kisah penemuan Tuhan ini dikisahkan dalam al-An’am 6:74-83. Oleh karena itu Ibrahim as. Dijuluki sebagai Bapak Monteisme (Bpak Tauhid). Dari prinsip Tauhid Ilah (pengesaan Tuhan) dikembangakan menjadi Tauhid al-Ummah (penyatuan ummat), dan terakhir ini terlihat dalam ibadah haji sebagai puncak upaya penatuan umat seluruh dunia. Mereka berkumpul dalam satu temat, dengan pakaian yang sama serta pandangan yang sama pula.

 Kita sekalian telah mentauhidkan Allah SWT. Dengan segala konsekuensinya. Tinggal satu lagi perasaan satu ummat itu perlu diaktualkan dalam kehidupan ini dengan rasa kasih sayang kepada sesamanya, erutama kaum dlu’afa’ (yang lemah) dalam berbagai seginya, lemah fisik, ilu, harta dan sebagainya. Allah berjanji akan memberi kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya yang mau mengasihi yang lainnya:
ارحموا من في الارض يرحمكم من في السماء
“Kasihilah makhluk yang ada di atas bumu niscaya akan mengasihimu makhluk yang ada di atas (malaikat)

E: Islam dan Masalah Kesejahteraan Sosial

 Idealisasi “kesejahteraan hidup” dalam Islam khususnya, dan agama samawi pada umumnya, adalah “kehidupan surgawi” yaitu kehidupan di surga nanti, yang selalu digambarkan sebagai :
a. Serba kecukupan pangan yang berkalori dan bergizi
b. Kecukupan sandang yang bagus-bagus
c. Tempat tinggal yang indah dan nyaman
d. Lingkungan hidup yang sehat dan segar
e. Hubungan sosial yang tentram dan damai
f. Dikeilingi pelayan-pelayan yang trampil dan menggairahkan
g. Hubungan yang selalu dekat dengan Allah, Tuhan Maha Pemurah

Kunci keberhasilan unruk mencapai kehidupan sejahtera yang ideal itu, ditegaska bahwasannya harus melalui yang panjang, yakni :
 Pertama :Keimanan yang mantap kepda Allah, kepada Rasul-Nya, dan rukun iman lainnya.
 Kedua :Ketekunan melakukan amal-amal saleh, baik amalan yang bersifat ritual, seperti shalat, zakat, puasa dan lain-lain; dan amalan yang bersifat sosial, seprti pendidikan, ksehatan, dan masalah-masalahkesejahteraan lainnya, maupun amalan yang bersifat kultural, yang lebih luas lagi seperti pendayagunaan dan pelestarian sumber daya alam, penanggulangan bencana, penelitian dan sebagainya.

 Kegtia :Kemampuan menangkal diri dri kemaksiatan dan perbuatan yang merusak kehidupan (almuhlikat).
 Gambaran kesejahteran “kehidupan surgawi” itu tadi yang diidentifikasika sebagai kebahagiaan akhirat (fil akhirati hasanah). Tapi disamping kesejahteraan kehidupan surgawi tersebut, Islam juga memberikn perntah agar terwujudnya kesejahteraan kehidupan duniawi (fiddunya hasah), dengan kuci keberhasilan yang tidak berbeda dengan kunci keberhasilan untuk kesejahteraan kehidupan surgawi.

 Jika orang memperhatikan ajaran-ajaran Islam dengan cermat, akan mendapatknnya selalu mengacu kepada perwujudan kemaslahatan manusia dan pencpaian-pencapaian kebutuhan dasarnya maupun kesejahteraannya, baik kesejahteraan duniawi maupun ukhrawi.

 Semua ulama dan cendikiawan muslim sepenapat tentang masalah ini, hanya dalam aktualisasinya kadangkala terdapat perbedaan yang tidak prinsipil diantara mereka. Dari wawasan demikian itu lahirlh konsep al-Mashalih al-Mursalah (kemashlahatan umum) yang dijadikan salah satu acuan dalam sistematika hukum fiqih Islam.

 A-Syathiby mngatakan, bahwa penetapan hukum-hukum syara’ selalu berorientasi kepada kepentingan hidup manusia. Kepentingan atau kebutuhan hudup manusia itu dibagi menjadi tiga kategori:

Prioritas pertama : “ad-Dhoruriyat” ialah kebutuhan pokok, yakni kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, kebuthan perumahan atau papan dan semua kebutuhan pokok yang tidak dapat dihindari bagi minimum.

Prioritas kedua: “Al-Hajiyat” ialah kebutuhan-kebutuhan yang wajar, sperti kebutuhan penerangan, kebutuhan pendidikan dan lain sebagaianya.

Prioritas ketiga : “Al-Tahsinat” atau dapat disebut juga sebagai kesempurnaan yang lebih berfungsi sebagai kesenangan daripada kebutuha hidup.
 Imam Al-Ghozali seperti halnya juga As-Yathiby, berpendapat bahwa yang jelas masuk dalam kategoi ad-Dhoruriyat yang menjadi prioritas garapan Islam adalah yang menjalin kemaslahatan :
- Ad-Dienu (agama).
- An-Nafsu (jiwa).
- An-Naslu (keturunan).
- Al-Malu (harta benda).
- Al-Aqlu (akal atau fikiran).[2]

Lima masalah tersebut dikenal dengan istilah lima kebutuhan dasar (ad-dhoruriyat al-homs).
Dalam hubungan konsep tersebut diatas, dapat difahamai lebih lanjut, mengapa Islam melarang perbuatan-perbuatan kufur, kemaksiatan, pembunuhan, zina, pencurian dan mabuk-mabukan. Karena perbuatan semacam itu mengancam kemaslahatan dan keslestarian lima kebutuhan dasar tersebut. Demikian pula Islam memerintahkan usaha-usaha yang dapat menanggulangi kemiskinan, melalui kerja keras, pemerataan kemakmuran dengan cara menunaikan zakat, waqaf, sodaqah, hibah, wari, wasiyat dan lain sebagainya, agar tidak terjadi akumulasi kekayaan hanya kepada beberapa orang kaya saja. [3]). Masalah kesehatan, diperlihatkan mulai dari makanan yang bergizi, kebersihan tubuh, pakaian dan lingkungan, sampai pengobatan dan olah raga.

Dalam hal pencerdasan masyarkat, Islam memandang usaha pecerdasa itu sebagai kewajiban, dalam waktu seumur hidup. Membaca dan menulis menjadi perintah skriptural (dicantumkan langsung dalam kitab suci), disamping itu Islam memandang penyebaran ilmu sebagai amal jariyah. Kecerdasan (al-fathonah) dalam teologi Islam dipandang sebagai sifat wajib bagi para Rasul, dan keillmuan dipandang sebagai salah satu indikator kualitas umat. Seperti ang tercantum dalam surat al-Mujadillah ayat 11:
يرفع الله الذين أمنوا منكم والذين أثوا العلم درجت والله يما تعلمون خبير .
 “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantarau dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
 Meenolong fakir miskin dan menyantuni anak yatim menjadi ukuran pembuktian kualitas agama seseorang, dan mengusahakan kebutuhan hidup mayarakat dinilai sebagai ibadah amal jariyah.
 Pada waktu nabi Muhammad s.a.w pertama kali datang di madinah dalam rangka hijrah beliau, maka ceramh perdana beliu lakukan waktu itu antara lain adalah sebagai berikut:

أفيسوا السلام وأطعمـوا الـطعام وصلوا الارحـام وصـــلوا با الليــل و النــاس نــيام تــدخلـوا الـجنة بــسلام.
"Wahai manusia, sebarluaskanlah salam atau ucapan damai, cukupilah kebutuhan makanan, lakukanlah hubungan kekeluargaan, dan shalatlah pada waktu malam pada saat orang lain sedang tidur. Kalian akan masuk surga dengan penuh kedamaian.

 Butir-butir sabda Nabi terebut mengandung nilai agung secara mendasar berhubungan dengan kesejahteraan sosial.

 F : Subyek dan Obyek Kesejahteraan Sosial

Penanggulangan masalah kesejahteraan sosial menurut Islam, menjadi tanggung jawab bersama antara :
1. Individu Muslim. Hal ini dapat dilihat dari konsep zakat.
 وفي أمـوالــهم حــق للســاءـــل والــمحروم . (الذارياتــــ : 19)
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang-orang miskin yang meminta atau yang tidak meminta”.
Dalam menjaga keseimbangan kesejahteraan duniawi dengan ukhrawi, Nabi s.a.w pernah menegur sahabat Abu Darda’ r.a yang hanya sibuk puasa dan shalat saja, tapi mengabaikan kesehatan diri dan kebutuhan keluarganya. Nabi s.a.w bertanya : Aku dengar engkau selalu shalat malam hari dan puasa siang harinya, dan tidak kumpul dengan keluargamu ?. Dijawab oleh Abu Darda’: Benar ya Rasulallah. Beliau berseru : jangan demikian……
إنّ لجسد علــيك حقّ , وإنّ لنفـسـك علـيك حقـّا , و إنّ لأهلك عـليـك حقـاً .
Fisikmu mempunyai hak yang harus kamu penuhi, jiwamu mempunyai hak yang yang harus engkau urusi, dan keluarga mempunyai hak yang harus kamu perhatikan”. (HR. Bukhari).

2. Masyarakat Muslim. Hal ini dikembangkan melalui solidaritas umat, disamping kesadaran hidup yang saling membutuhkan.
و تـعـاونـوا علـي البـرّ والــتّقـو ي ولا تــعاونـــوا علي لإثــم و الـعدوان و اتّــقـوا الله إنّ الله شـديـد الــعقــــــاب . (المـا ءــدة)
“…dan tolong-menolonglah kamu untuk kebijakan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong untuk perbuatan dosa dan permusuhan”.
أيّ رجـلٍ مـات ضيـاعـاً بـيـن أغنـياء فـقد بـَرِءت منهم ذمّة الله ور سله .
Siapapun orang yang mati terlantar, ditengah-tengah orang kaya, maka Allah tidak lagi memperdulikan orang-orang kaya itu, demikian pula Rasul-Nya”.
Arttinya Allah tidak lagi memberi syafa’at kepada mereka, demikia juga Rasulnya.

3. Pemerintah. Kasus Khalifah Umar bin Khattab r.a. dalam menaggulangi kesulitan makanan rakyatnya, sehingga secara pribadi mengadakan pemantauan, dan menemukan seorang janda yang miskin dengan anak-anaknya, sehingga Umar bin Khatab r.a mengangkat sendiri karung yang berisi bahan makanan untuk mereka, adalah suatu cerita populer yang mengandung makna tanggung jawab pemeritah terhadap masalah kesejahteraan sosial.
Adapun yang menjadi obyek usaha kesejahteraan sosial adalah semua warga negara yang membutuhkan. Sikap adil semua warga negara yang membutuhkan. Sikap adil dala melayani dan memberikan perhatian kepada semua warga merupakan bagian integral dari konsep kesejahteraan sosial dalam Islam.
يـأيها الّذيـن أمـنوا كـونـوا قـوّمـيـن الله شهــداءبـاالقـــسط ولا يـجرمـنكــم شـنـان قــوم عــلي ألاّتعـــدلـوا‘ إعــدلوا هــو أقـرب للتقوا ي واتــقولله انّ الله خبـــير بــماتعملـــون . (الـــما ءـــــدة : 8)
“ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillh, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesunguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dr. Ali Abdul Wahid wafy memberikan penjelasan makna ayat tersebut dengan : “Islam menegaskan, bahwa hubungan atau interaksi sosial dalam Islam dilakukan atas dasar kesamaan, baik dalam tanggung jawab, hukuman dalam hak-hak perdata seprti pemilikan, jual-beli dan lain sebagainya, tanpa membedakan antara sigembel dan penguasa, antara kalangan atas dan rakyat jelata, antara sikaya dan simiskin, maupun antara orang yang disayangi dan yang dibenci, antara kerabat dengan orang lain “. Keadilan hanya mengenal stu matra semua.
Ada beberapa masalah sosial yang oleh Islam dipandang sebagai gangguan terwujudnya kesejahteraan sosial, atau paling tidak mempersulit realisasi kesejahteraan :
1. Kebodohan. (al-Jahilia).
Jika Al-Qur’an menyatakan, bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, melebihi yang lainnya, berarti kebodohanlah yang menjadi salah satu penyebab kemerosotan dan keterbelakangan martabat manusia. Oleh karena itu Islam memandang penanggulangan kebodohan itu sebagai ibadah, sebaliknya membiarkan kebodohan dipandang sebagai tindak kemungkaran. Ada sebuah hadis yang menegaskan masalah ini, yakni tentang komunitas muslim yang disebut “Asy ‘ariyin, suatu kelompok terpelajar yang membiarka lingkungannya tetap dalam kebodohan
2. Wawasan (al-Fakru/ al-Maskanah).
Wawasan ekonomi Islam lebih banyak memandang potensi alam yang dianugerahkan oleh Allah dari segi kecukupannya (adequacy) dari pada segi kekurangan atau kelangkaannya (scarcity). Hal ini bermula dari premis, bahw sumber daya alam itu berkecukupan untuk memberi kesejahteraan. Oleh karena itu jika kelangkaan itu muncul, maka akibat kealahan orang dalam memanfaatkannya, melestarikannya atau karena kebodohan dan kemalasannya. Kemiskinan dipandang ole Islam sebagai patalogi sosial yang harus ditanggulangi. Nabi Muhammad s.a.w selalu berdo’a :
وأعـوذبـك مـن الـــفكر والكــفر و الفــســوق .
“Aku berlindung kepada-Mu dari bahaya kefakiran, kekufuan dan kefasikan”. (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
3. Kemaksiatan (al-Maksiyah).
Kekacauan jiwa, kegoncangan hati, ketidak tentraman batin, sentimen, dendam dan macam-macam penyakit batin lainnya; adalah dampak langsung dari kemaksiatan. Berapa banyak kehancuran sosial akibat dari tindak maksiat seperti pembuuhan, perjudian, atau lain-lainnya lagi; malah juga kehancuran rumah tangga, lingkungan dan martabat seseorang sebagai individu. Dalam menceritakan Bani Israil, Al-Qur’an menghubungkan antara kemerosotan dan kenistaan hidup dengan perbuatan maksiat dan pelanggaran.
و ضربت عــليهم الذلـة ولــمسكــنة وباءوا بــغب مــن الله ذا لك بــأنّهــم كانـوا يكفـر ون بــأنــهـم كانـوا يكفرون بـأيات الله ويقتلـــون النبيين بغير الحق ذالك بــما عـصـواْ وكـانــــوا يعتدون (الـــبــــقرة : 61).

“…lalu ditimpakanlah kepda mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu terjadi karena mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah. Hal itu terjadi karena mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Demikian itu terjadi karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampui batas”.
 Banyak anjuran-anjuran Al-Qur’an maupun Sunnah dan fatwa-fatwa Ulama agar ketiga penyakit sosial tersebut ditanggulangi, agar dapat mewujudkan kesejahteraan yang sebenarnya.

 G. Penutup

 Meningkatkan kepekaan sosial yang diterjemahkan dalam upaya memecahkan problem ummat, terutama penyantunan terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan aghniya sebagaimana terakumulasi dalam ibadah qurban, merupakan pekerjaan rumah (PR) yang harus kita realisakan sesuai kita menunaikan ibadah qurban. Dengan mengaktualisasikan semangat berqurban dalam konteks dan permasalahan umat secara terus-menerus, makna sosial ibadah qurban itu akan fungsional bagi umat Islam.

Daftar Pustaka
Amin Syukur H.M, Tasawuf Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Hasan, Tholhal Hasan, Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural, Jakarta: Lantabora Press, 2005
 ________________________________________
[1] H.M Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal. 73
[2] As-Yatiby, Al-Muwafaqat, Vol : II, hal. 8-9 dalam Muhammad Tholhah Hasan : Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural (Lantabora Press, Jakarta, 2005) hal. 164
[3] Dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi s.a.w. banyak diperintah mengenai masalah pemerataan, demikian pula usaha membukalapangan kerja. Nabi s.a.w sendiri pernah bertindak menjadi perantara untuk menjualkan alat rumah tangganya seorang sahabat, untuk memperoleh modal kerja.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar