MAKALAH FILOLOGI | KAJIAN TENTANG FILOLOGI DI NUSANTARA

Admin Tuesday, December 21, 2010
apa itu filologi? Filologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani “philos” yang berarti “cinta” dan logos ” yang diartikan kata. Pada kata “filologi” kedua kata itu membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Pengkajian filologi pun selanjutnya membatasi diri pada penelitian hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam naskah (lazim disebut teks).

Kegiatan filologi ini berasal dari Eropa pada zaman Humanisme dan Renaissance. Dengan semangat zaman mereka, saat itu muncullah rasa perlu untuk melakukan pengkajian terhadap warisan kebudayaan yang mereka miliki–sastra klasik Yunani dan Romawi. Nah, melalui pengkajian filologi ini, manusia-manusia di zaman itu berharap dapat memahami maksud dan makna naskah-naskah kuno yang bahasanya tidak lagi familiar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Belajar dari pengalaman manusia-manusia lampau, sangat bijaksana kan?

Sejalan dengan penelitian filologi, berkembang pulalah yang namanya kritik teks. Kalau penelitian filologi bertujuan mengetahui makna naskah untuk “membuka” pengetahuan dalam naskah pada khalayak luas yang berkepentingan terhadap ilmu dalam naskah itu, kritik teks bertujuan menemukan naskah yang paling baik, paling bagus, dan paling bersih dari kesalahan. Kegiatan kritik teks ini muncul akibat fakta di lapangan yang menemukan begitu banyak naskah yang sudah rusak, dan begitu banyak juga naskah yang bervarian (maksudnya sama), tapi ternyata isinya memiliki sedikit perbedaan, atau bahkan banyak sama sekali. Perbedaan-perbedaan ini bisa muncul akibat kegiatan penyalinan yang dilakukan dalam masyarakat saat itu. Untuk naskah-naskah sakral, atau naskah-naskah keagamaan, biasanya penyalinan dilakukan di dalam istana, sangat ketat, dan diawasi oleh pemerintah. Nah, oleh karena itu, naskah-naskah keagamaan biasanya ga memiliki banyak varian. Kalaupun ada yang berbeda dalam satu naskah dengan naskah lain, hampir bisa dipastikan bukan perbedaan yang signifikan–akibat pengawasan itu tadi. Berbeda dengan naskah keagamaan, naskah-naskah yang isinya kesusastraan dan beredar di masyarakat, biasanya memiliki varian yang banyak. Semakin populer naskah itu, semakin sering naskah itu disalin, semakin banyak variannya, semakin banyak juga naskahnya. Nah, kegiatan filologi di Indonesia dimulai oleh sarjana-sarjana Eropa, terutama Belanda. Di antara para peneliti itu kita kenal misalnya nama-nama Gericke dan Cohen Stuart untuk bahasa Jawa, Van der Tuuk untuk bahasa Batak dan Bal, Kern dan Juynboll untuk bahasa Jawa-Kuno, dan Klinkert, Van Ronkel, Van Dewal, dan Van Hoevell untuk bahasa Melayu.

Selain filologi, kodikologi adalah satu bidang ilmu yang biasanya bekerja bareng dengan bidang ilmu ini. Kalau filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks/kandungan teks, kodikologi khusus membahas seluk-beluk dan segala aspek sejarah naskah. Dari bahan naskah, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah, jenis dan asal kertas, bentuk dan asal cap kertas, jenis tulisan, gambar/ilustrasi, hiasan/illuminasi, dan lain-lain. Nah, tugas kodikologi selanjutnya adalah mengetahui sejarah naskah, sejarah koleksi naskah, meneliti tempat2 naskah sebenarnya, menyusun katalog, nyusun daftar katalog naskah, menyusuri perdagangan naskah, sampai pada penggunaan naskah-naskah itu (Dain dalam Sri Wulan Rujiati Mulyadi, 1994: 2–3).

Sejak lama, banyak warisan budaya Indonesia diboyongi ke mancanegara. Sebagai barang antik, benda-benda itu menjadi benda dekorasi sekaligus investasi yang menggiurkan. Berkoleksi barang antik di mata segelintir masyarakat, memang melambangkan status sosial atau gengsi.

Barangkali orang tak membayangkan kalau banyak naskah kuno asal Indonesia juga telah bermukim di mancanegara sejak ratusan tahun yang lalu. Untuk apa benda-benda itu dikoleksi? Berapakah harga jualnya sekarang atau layakkah dipajang sebagai penghias ruangan? Mungkin, sederetan pertanyaan dan keingintahuan lain muncul di benak kita.

Kita sulit mengetahui apakah motivasi mereka mengoleksi naskah kuno milik bangsa lain. Apakah sekadar ingin tahu, ingin mengorek informasi sejarah, ataukah melestarikan benda itu, entahlah.

Namun, yang mesti kita ketahui, meskipun naskah-naskah tersebut bukan milik bangsanya, mereka sangat peduli sekali terhadap kekayaan milik bangsa lain. Terbukti, di Inggris naskah-naskah kita terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve. Menurut katalogus tersebut, naskah kita sudah bermukim di Inggris sejak awal abad ke-17, bahkan mungkin sebelumnya.

Naskah-naskah itu teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Seluruh naskah yang ada di sana berjumlah lebih dari 1.200. Semuanya tersimpan rapi pada 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak berada di British Library dan School of Oriental and African Studies. Di kedua tempat itulah para arkeolog, sejarawan, dan filolog dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, sering melakukan riset kepustakaan.

Menurut Annabel Teh Gallop, staf British Library, sewaktu berkunjung ke Jakarta pada 1990-an lalu, di tempatnya bekerja tersimpan berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi dagang dari masa abad ke-15. Bahan-bahan itu kerap dimanfaatkan peneliti Barat dan Indonesia. Justru karena tersimpan rapi dan terawat baik, peranannya jauh lebih besar daripada Perpustakaan Nasional RI yang juga banyak mengoleksi naskah kuno.

Kehadiran Raffles di Indonesia pada abad ke-18 diperkirakan mempermudah pihak Inggris untuk mendapatkan surat-surat dari berbagai raja yang berkuasa di Indonesia. Surat-surat demikian menjadi koleksi unggulan sampai sekarang. Misalnya surat dari Sultan Pontianak kepada Raffles yang dikirim dalam sampul terbuat dari kain sutra berwarna-warni.

Begitu pula surat dari Raja Bali kepada seorang Gubernur Belanda di Semarang. Surat itu ditulis di atas lempengan emas. Dari segi fisik, koleksi-koleksi itu begitu menarik dan unik. Dari segi isi, juga sarat informasi kesejarahan.

Belanda

Sebagai negara penjajah, sudah barang tentu koleksi naskah Indonesia lebih banyak berada di Belanda. Naskah-naskah tersebut juga disimpan pada sejumlah perpustakaan dan museum, antara lain di Amsterdam, Leiden, Delft, dan Rotterdam.

Berbeda dengan Inggris, naskah-naskah Indonesia di Belanda banyak yang tergolong adikarya. Ini dapat dimaklumi karena Belanda jauh lebih lama menguasai negeri kita daripada Inggris. Yang amat terkenal adalah naskah Nagarakretagama. Naskah itu telah dikembalikan ke Indonesia pada 1970-an oleh Ratu Yuliana kepada Presiden Suharto. Namun yang patut disayangkan, isi naskah tersebut telah dikupas habis sarjana-sarjana Belanda. Jadinya, kita hanya menerima “ampas” yang hampir tidak berguna lagi.

Diperkirakan hingga kini naskah Indonesia masih banyak bermukim di 30-an negara. Bagaimana naskah-naskah tersebut bisa berada di sana?

Sebagian besar dibawa pada masa penjajahan, antara lain sebagai barang sitaan, cendera mata dari pejabat lokal kepada pejabat asing, pembelian, perburuan, dan tukar-menukar. Sebagian lagi, selepas masa kemerdekaan, diperoleh dengan cara hibah, titipan, pinjaman, dan transaksi lewat balai lelang.

Mikrofilm

Kita sungguh beruntung karena pengetahuan mereka tentang cara-cara merawat naskah kuno sudah begitu tinggi. Karena terbuat dari bahan-bahan yang relatif mudah rapuh, mereka menanganinya dengan hati-hati sekali. Malah, mereka melakukannya dengan teknologi modern, seperti disalin ke dalam mikrofilm. Naskah-naskah kuno yang dilestarikan dengan cara demikian tentu saja membawa dampak positif bagi peneliti-peneliti masa sekarang.

Ironisnya, di negeri sendiri perawatan seperti itu sebelumnya tidak pernah dilakukan karena ketiadaan SDM, teknologi, dan dana. Berkat bantuan luar negerilah, sejumlah naskah kuno pernah dibuatkan mikrofilm. Naskah-naskah Jawa milik Kraton Yogyakarta, misalnya, ditangani oleh Dr. Jennifer Lindsay dari Australia. Sedangkan naskah-naskah lontar Bali dikomputerkan dengan sponsor perusahaan raksasa IBM.

Pada 1989 Pemerintah Inggris pernah menghadiahkan Sri Sultan Hamengku Buwono X berupa ratusan mikrofilm semua naskah Jawa yang disimpan di Inggris. Ini karena sebagian naskah Jawa itu berasal dari wilayah Yogyakarta.

Pada 1991 Perpustakaan Nasional yang mendapat hadiah. Kali ini berupa mikrofilm rekaman naskah yang tertulis dalam berbagai bahasa daerah.

Jelas, upaya tersebut menunjukkan kepedulian yang amat tinggi terhadap peninggalan budaya Indonesia. Tentulah sangat memalukan, kiprah bangsa sendiri terhadap naskah-naskah kuno miliknya, belum setinggi apresiasi mereka.

Jenis naskah

Karena naskah-naskah kuno di Indonesia kurang dikenal masyarakat, maka tidak ada yang peduli terhadap warisan budaya masa lalu itu. Padahal, naskah-naskah kuno mengandung manfaat dan kearifan yang besar buat generasi sekarang.

Bagaimana “isi perut” naskah kuno bisa disimak dari sejumlah naskah kuno koleksi Perpustakaan Nasional yang berasal dari berbagai daerah ini:

Naskah Riwayat Kota Pariaman (aksara Latin, bahasa Melayu, bahan kertas)

Naskah ini ditulis di kota Pariaman oleh Baginda Said Zakaria. Terdiri atas sepuluh bab, berisi tentang keadilan kota Pariaman, mata pencarian penduduk, upacara kelahiran, upacara perkawinan, upacara kematian, dan upacara mendirikan rumah. Selain itu ada uraian tentang keadaan dan bangunan masjid Batu Pasar Pariaman, riwayat hidup Syekh Muhammad Jamil al-Khalidi (seorang tokoh agama Islam di Pariaman) dan suasana pada saat bulan Ramadhan, termasuk 1 Syawal di kota Pariaman.

Naskah Asal Raja-raja Sambas (aksara Arab dan Latin, bahasa Melayu, bahan kertas)

Naskah ini berbentuk prosa. Isinya diawali kisah sejarah Raja Sapudak yang memerintah di kota lama secara turun-temurun. Dikisahkan, Raja Fangah dari Brunei pindah ke Sambas. Dia berputra lima orang dan masing-masing menjadi raja.

Kronik Maluku (aksara Arab, bahasa Melayu, bahan kertas)

Naskah ini berbentuk prosa. Isinya diawali dengan cerita keajaiban raja-raja Turki, China, Belanda, dan negeri-negeri lain. Baru kemudian berisi kronik kepulauan Maluku.

Babad Lombok (aksara Jawa, bahasa Jawa, bahan kertas)

Naskah ini berbentuk macapat. Berisi sejarah Lombok yang dimulai dengan cerita nabi-nabi, sampai kekalahan Lombok oleh kerajaan Karangasem.

Hikayat Aceh (aksara Arab, bahasa Arab dan Aceh, bahan kertas)

Naskah ini berbentuk prosa. Berisi antara lain syair-syair pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad. Selain itu juga berisi doa-doa.

Naskah Bomakawya (aksara Bali, bahasa Bali, bahan lontar)

Naskah ini berbentuk prosa dan berilustrasi. Berisi kisah perang yang dahsyat antara Kresna dan Boma.

Sureq Baweng atau Surat Nuri (aksara Bugis, bahasa Bugis, bahan lontar)

Naskah ini berbentuk prosa. Berisi perjalanan Sawerigading sewaktu mencari calon istri yang baik, dilengkapi cerita burung nuri yang mengandung nasehat, tata cara meminang seorang perempuan, dan sejumlah ajaran budi pekerti.

Naskah Carita Parahyangan (aksara Sunda Kuno, bahasa Sunda Kuno, bahan lontar)

Naskah ini berbentuk prosa, terdiri atas 45 lempir dan tiap lempir terdiri atas empat baris tulisan. Cerita dimulai dari kisah Sang Resi Guru turun-temurun sampai raja-raja di Jawa Barat.

Naskah Sajarah Banten (aksara Arab, bahasa Jawa, bahan kertas)

Naskah ini berbentuk macapat. Isinya tentang silsilah Nabi Muhammad serta keturunannya. Diceritakan juga riwayat Sunan Gunung Jati yang menurunkan sultan-sultan Banten.

Pustaha Laklak (aksara Batak, bahasa Batak, bahan kulit kayu)

Naskah ini berbentuk prosa, terdiri atas 38 halaman. Berisi kisah Tuan Saribu Raja yang mempunyai banyak anak dan cucu.

Diuraikan juga cara membuat benteng kekuatan diri, ramalan baik dan buruk, dan sesajen yang perlu dibuat setiap hari.

Naskah Japar Sidik (aksara Arab, bahasa Sunda, bahan kertas)

Naskah ini berbentuk prosa. Berisi kata-kata mutiara berdasarkan ajaran agama Islam dan alam pikiran orang Sunda, seperti manfaat bermusyawarah, hari yang baik untuk berburu dan bepergian, perdagangan, keturunan, dan sifat-sifat terpuji.

Tergambar bahwa naskah memiliki beragam jenis bahasa, isi, dan bentuk. Betapapun perlu upaya untuk memahami naskah-naskah kuno itu agar segala informasi tentang masa lampau sampai kepada generasi masa kini dan masa mendatang.***

KEGIATAN FILOLOGI DI INDONESIA SUATU TINJAUAN SEJARAH (Bag. 1)


KEGIATAN FILOLOGI DI INDONESIA

SUATU TINJAUAN SEJARAH

(Dr. Achadiati Ikram)

Pengantar
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini penelitian sastra lama di Indonesia telah dirasakan sebagai sesuatu yang mendesak dan semakin diusahakan dengan sungguh-sungguh. Untuk menentukan sikap dalam menghadapi masalah-masalah di bidang ini perlulah kita memiliki wawasan tentang perkembangan studi filologi serta metode-metode yang dipakai dalam penyuntingan naskah di masa lampau. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberi sumbangan sekedarnya ke arah itu.

Jika kita menelaah kegiatan filologi di kawasan Indonesia, maka kita lihat bahwa aktifitas ini sudah dimulai sejak abad ke-19. Walaupun dalam telaah itu kita membatasi diri pada karya-karya dalam bahasa-bahasa yang memiliki sastra tertulis dalam wilayah Indonesia, jelaslah bahwa bahan yang dapat dibicarakan amat luas dan tak mungkin tercakup dalam beberapa halaman ini. Oleh sebab itu, ruang lingkup uraian ini perlu dipersempit.

Batas`pertama yang kami ambil ialah bahwa kegiatan filologi di bidang karya-karya sejarah serta sastra lisan tidak akan dibicarakan di sini. Akan tetapi, kita akan melihat juga betapa relatifnya batas`yang ditetapkan itu. Kami akan terpaksa juga melangkahi batas itu dan melantur ke dalam daerah sejarah karena penelitian sejarah pun dimulai dengan pengenalan melalui penggarapan filologi. Batasan kedua dipaksakan oleh tempat serta materinya. Studi-studi filologi mengenai sastra-sastra se-Nusantara dilakukan secara tidak merata; misalanya, pada sastra Jawa Kuna terdapat edisi ilmiah dalam jumlah terbanyak, sedangkan naskah-naskah Minang umpamanya sangat jarang dijamah oleh tangan-tangan yang berminat. Dalam uraian ini kami berusaha mengemukakan yang penting dan menonjol saja, walaupun sering juga dibatasi lagi oleh ada atau tidaknya bahan yang tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan yang terjangkau. Dengan demikian, kelengkapan tidak mungkin merupakan tujuan yang hendak dicapai. Suatu wawasan umumlah yang mudah-mudahan dapat kami berikan dalam tulisan ini. Daftar-daftar yang lebih sempurna dapat ditemukan dalam pustaka sumber yang menyertai uraian kami.

Untuk memberikan fokus yang lebih jelas kepada pembicaraan kami, perlu dikemukakan bahwa titik tolak kami ialah edisi bahan-bahan tertulis yang telah digarap selama kurang lebih satu setengah abad yang terakhir. Dengan melihat segi-segi penggarapannya kami harapa akan diperoleh suatu wawasan tentang perkembangan penelitian filologi serta artinya bagi ilmu-ilmu lain, khususnya bahasa dan sastra.

Hubungan filologi dengan ilmu-ilmu lain di sini tidak mungkin kita abaikan atau kita lewati begitu saja, mengingat bahwa banyak edisi teks antara lain dilaksanakan dengan maksud menciptakan bahan untuk mempelajari bahasa yang bersangkutan. Kalau kita membaca tulisan J.L. Swellengrebel In Leydeckers Voetspoor, kita dapat melihat bahwa studi bahasa berdasarkan naskah-naskah dilancarkan untuk kepentingan penyebaran agama Kristen, khususnya terjemahan kitab suci. Di lain pihak, pada bahasa yang hanya dikenal dalam bentuk tulisan seperti Jawa Kuna, penggarapan teks adalah benar-benar dimaksud sebagai pembuka jalan untuk memahami ilmu-ilmu lain, baik yang ada hubungannya dengan bahasa maupun yang tidak.

Dalam hubungan ini perlu pula dikemukakan pentingnya pekerjaan-pekerjaan seperti penyusunan katalog, pembuatan deskripsi, serta penyusunan daftar isi yang memudahkan peneliti memanfaatkan suatu koleksi naskah. Di Indonesia koleksi-koleksi yang ada belum didaftar secara sempurna. Demi kemajuan ilmu filologi kekosongan ini harus ditanggulangi pada masa mendatang.

Dari keterangan di atas ini tergambar bahwa kami tidak akan membicarakan kegiatan filologi dalam arti kritik teks saja karena ada kaitannya yang erat dengan perkembangan di bidang sastra dan bahasa yang lain. Oleh karena itu, terpaksa juga kami ulas di sini segi-segi yang lain itu.


Penelitian-Penelitian di Kurun Awal (Sebelum Perang Dunia I)

Orang pertama yang menaruh perhatian secara ilmiah terhadap bahasa Jawa antara lain adalah Raffles dan Crawfurd, keduanya meminati baik sastra maupun bahasanya. Tidak lama setelah itu W. von Humboldt menerbitkan bukunya yang terkenal Uber die Kawisprache auf der Insel Java (1836-1839), suatu studi berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan Crawfurd, yang menghasilkan kesimpulan bahwa menurut strukturnya bahasa Jawa Kuna adalah suatu jenis bahasa Indonesia. Sebelumnya para peneliti antara lain Raffles, Crawfurd, dan Bopp menyangka lain karena luasnya kosakata Sanskerta yang terdapat di dalamnya.

Di antara penelitian yang dilakukan selama abad ke-19 dapatlah kita kemukakan karya-karya Freidrich yang berjudul Wrettasanjaya (1849), Arjuna Wiwaha (1850), dan Bomakawja (1852) dan Cohen Stuart, dengan edisi Brata-Yuda (1860). Kedua sarjana ini menggarap sejumlah naskah lain pula. Dengan edsisi-edisi ini teks-teks penting terbuka dan diketahui pula beberapa hal yang elementer. Sejak 1894-1912 Van der Tuuk menggarap kamusnya berdasarkan naskah-naskah baik edisi orang lain maupun studinya sendiri dan Kern membuat deskripsi bahasa Jawa Kuna pada tahun 1889 setelah ada edisi teks dalam jumlah yang memadai. Kedua peneliti ini sengaja kami tulis untuk mengemukakan hubungan timbal balik antara edisi teks dengan ilmu bahasa, bahkan tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam taraf-taraf awal.

Dalam edisi-edisi awal ini kita lihat bahwa kebanyakan teks diterbitkan dalam aksara aslinya seperti juga halnya dengan edisi Ramayana (1900) kakawin hasil penggarapan Kent yang terkenal itu. Hal ini tidak kita lihat lagi dalam edisi-edisi mutakhir. Keadaan ini berlaku juga untuk teks Melayu yang terbit sekitar waktu itu, misalnya Syair Bidasari (1843) terbitan W.R. van Hoevell, dan De Geschiedenis van Sri Rama, (1843) terbitan Roorda van Eysinga. Pada tahun 1881 Gunning menerbitkan suatu primbon yang berasal dari abad ke-16 dengan menggunakan edisi diplomatik juga. Adapun segi-segi yang diutamakan pada umumnya adalah sejarah kesusastraannya, asal-usul serta kejadian ceritanya, motif-motif yang menarik perhatian, kemungkinan saduran atau terjemahan dari sastra lain. Dalam Brata-Yuda edisi Cohen Stuart misalnya, di samping perbandingan naskah dan aparat kritik, banyak tempat diberikan kepada uraian tentang sejarah keluarga Pandawa sebagai pengantar untuk pemahaman ceritanya.

Sementara itu Friedrich dan Cohen Stuart, seperti juga Van der Tuuk, Holde, dan Humme, bergerak pula di bidang epigrafi dengan mengusahakan transliterasi, terjemahan, dan anotasi sejumlah prasasti. Tidak boleh juga kita lupakan bahwa Brandes menaruh perhatian pada kedua bidang yang saling melengkapi ini. Kiranya tak perlu dikemukakan bahwa epigrafi memberi sumbangan yang besar kepada leksikologi yang sebaliknya menunjang lagi pemahaman teks-teks.

Daftar awal ini belum lengkap tanpa mencatat karya Juynboll di bidang sastra, yaitu Mahabrata (1893). Karya itu berupa edisi yang mencakup sebagaian besar parwa yang bisa digarap. Di bidang telaah banding sastra ia mengemukakan persamaan dan perbedaan antara cerita-cerita Rama di Asia Tenggara.

Di bidang bahasa Minang sudah ada juga perhatian yang diberikan kepada sastranya. Van der Toorn, penyusun kamus yang terkenal itu sempat menggarap Tjindoer Mato (1886), sedangkan J.V. van Eerde memberi ulasan tentang jenis sastra kaba dalam karangannya Minangkabausche poezie (1897). Karya di bidang ini ternyata langka, baru pada tahun 1914 Ph.S. van Ronkel mempublikasikan Het Verhaal van den Ondankbare suatu cerita yang dicatat dari lisan dan disertai suatu terjemahan. Cerita ini lebih kita kenal dengan nama Sabai nan Aluih. Di antara kedua peristiwa itu C.A. van Ophuysen membuat suatu studi perbandingan mengenai suatu fabel dalam bahasa-bahasa Mandailing, Batak Karo, Minagkabau, Lampung, dan Nias. Karangannya berjudul Het Verhaal van de Vis en het Eenkhoorntje en Zijne Verspreiding op Sumatra (1912).

Studi Sunda mula-mula terhambat oleh perkiraan bahwa bahasa Sunda tidak lebih daripada sejenis mountain-javanese seperti yang dikutip oleh Uhlenbeck. Akan tetapi, kemudian dirasakan juga keperluan akan pengetahuan mengenai bahasa ini, hal itu dimungkinkan dengan terbitnya sebuah kamus yang disusun oleh J. Rigg (1862). Sementara itu, studi prasasti Sunda telah dimulai oleh Friedrich (1853) dengan usaha interpretasi prasasti Batu Tulis. Sesudahnya Holle (1869-1882), Pleyte (1911), dan juga Djayadiningrat (1913) mempelajari inskripsi yang sama. Penelitian tentang sastra Sunda diwakili oleh edisi cerita-cerita Raden Mundinglajadikoesoema, Wawatjan Soelandjana, dan Njai Soemoer bandoeng yang diusahakan oleh C.M. Pleyte, walau dalam edisi yang tidak kritikal (1907). Suatu karya yang penting terutama juga dalam hubungannya dengan penelitian sejarah ialah disertasi Hoesein Djajadiningrat yaitu Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten yang memberi wawasan baru mengenai jenis sastra ini.

Peminat-peminat bahasa Melayu sudah ada sejak abad ke-17, bahkan kita sudah mengenal daftar kata-kata yang berasal dari abad ke-16. Dalam abad ke-19 di antara orang-orang Inggris, Marsden, Raffles, dan Crawfurd banyak memberi dorongan kepada perkembangan studi ini. Awal tahun 1821 John Leyden menerbitkan suatu terjemahan Sejarah Melayu ke dalam bahasa Inggris. Marsden dalam tata bahasanya (1812), memberi contoh-contoh kutipan naskah-naskah Melayu, di antaranya Hikayat Sri Rama. Salah satu edisi Hikajat Pelandok Djinaka dikerjakan oleh Klinkert (1893) setelah pada tahun 1885 menerbitkan cerita kancil berdasarkan teks lain. Brandes membicarakan kompleks cerita Pancatantra dalam sejumlah karangan (1893-1894).

Di atas sudah kami kemukakan Hikayat Sri Rama edisi Roorda van Eysinga yang dikemudian hari banyak digunakan sebagai bahan untuk telaah banding, di antaranya adalah Stutterheim dan Zieseniss. Salah satu edisi berdasarkan versi lain dilakukan oleh Shellabear (1915). Pada tahun 1898 ia juga menerbitkan beberapa surat yang berasal dari kira-kira tahun 1600 dan pada tahun 1900 membicarakan ejaan Melayu dan perkembangannya. Deskripsi cirri-ciri naskah Melayu tertua diberikan oleh Van Ronkel (1896-1908) dan amat bermanfaat untuk penelitian bidang ini.

Sementara itu di Semenanjung Malaka dan di Inggris banyak sekali naskah Melayu diterbitkan secara non-kritikal dengan tujuan memenuhi kebutuhan akan bahan pelajaran seperti dikatakan oleh Shellabear dalam prakatanya pada edisi Sejarah Melayu dalam huruf Jawi (1896). Kami mengacu pada daftar buku yang tercantum dalam buku Winstedt, yang merupakan buku sumber bagi kami juga.

Akhirnya sastra Madura juga terwakili dalam zaman ini oleh suatu edisi diplomatik Tjarita Brakaj yang diusahakan oleh Vreede (1878), yang puluhan tahun kemudian diterjemahkan oleh Teeuw.

Sebagai kesimpulan tentang zaman awal ini dapat dikatakan bahwa dasar-dasar terpenting telah diletakkan dalam periode ini. Katalog koleksi-koleksi yang utama telah disusun, demikian pula kamus-kamus yang terpenting. Sementara itu edisi-edisi naskah telah pula memungkinkan lahirnya telaah sejarah kesusastraan dan berbagai segi bahasa. Kalau edisi-edisi yang beraksara asli hanya bisa dimanfaatkan oleh para ahli, maka terjemahan yang hampir selalu menyertainya telah membuka teks-teks ini untuk khalayak yang agak luas juga. Melalui kajian banding seperti yang dilakukan oleh Yuynboll Ph.S van Ronkel dengan tesisnya De Roman van Amir Hamza (1895), dan van der Tuuk dengan perbandingannya antara sastra wayang Melayu dan Jawa (1875, 1879-1881), terbayang betapa luasnya hubungan sastra-sastra Nusantara dengan sastra lain di luar kawasan Indonesia, dan terlukis juga jalur-jalur perjalanan motif dan tema cerita sebelum menemukan bentuknya yang kita kenal sekarang.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

2 komentar

Write komentar
March 28, 2015 at 12:13 AM delete

infonya bagus sekali,,bermanfaat

Reply
avatar
January 16, 2017 at 4:23 PM delete

wah, makasih banyak nih makalahnya

Reply
avatar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar