Penilaian Ulama’ terhadap Doktrin Wahdatul Wujud

Admin Tuesday, December 21, 2010
Sebagian fukaha’ dan teolog muslim sunni maupun syia’ah mengkritik doktrin ini, bahkan ada yang sampai mengkafirkannya. Hal ini karena bertentangan dengan keyakinan utama mereka, seperti kalimat syiar utama islam “la ilaa ha illallah yang   berbeda dengan kalimat syiarnya  pembela  wahdatul wujud, yaitu” la wujud illallah” yang artinya bahwa segala yang ada baik itu berhala  atau sembahan lain juga adalah  Tuhan. Sementara kalimat la ila illah mengatakan bahwa selain tuhan seperti berhala dsb tidak boleh disembah. Sembahan-sembahan lain tidak layak dijadikan tuhan.[1]
Menurut Ibn Taimiyah, doktrin  wahdatul wujud bukanlah tauhid, melainkan pantheisme terselubung yang mengingkari eksistensi Tuhan karena menganggap Tuhan ada dimana-mana dan menganggap alam semesta (termasuk manusia) sebagai manifestasinya: “ma tsamma mawjud illa hadza l-‘alam al-masyhud”. Inti paham ini, tegasnya, mengidentikkan wujud Tuhan dengan dengan wujud segala yang ada: “anna wujuda l-ka’inat huwa ‘aynu wujudillah”[2]. Penilaian Ibn Taimiyah tentang  paham wahdatul wujudnya Ibn ‘Arabi yang seakan-akan menyamakan Tuhan dengan alam, tersebut hanya memandang dari aspek tasybih-nya (penyerupaan makhluk dengan khalik) saja, dan belum melihat dari aspek tanzih-nya(penyucian khalik). Padahal kedua aspek tersebut ada dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Akan tetapi, perlu disadari juga bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi sendiri juga banyak yang memiliki kesamaan dengan yang dipahami Ibn Taimiyah, karena ada kata-kata Ibn ‘Arabi yang membedakan istilah Khalik dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam. [3]
 Ungkapan  Ibn ‘Arabi yang menyatakan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dengan makhluk dikemukakan dalam syair di bawah ini
العبد رب والرب عبد # يا ليت شعوري من المكلف
إن قلت عبد فذاك رب  # أو قلت رب أني يكلف
Artinya:
Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba.
Demi syu’ur(perasaan) ku, siapakah yang mukallaf ?
Jika Engkau katakan aku hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.
Atau Engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taklif ?
 Sedangkan dia menjelaskan konsep tanzih dan tasybihnya  pada Tuhan pada ungkapannya yang lainsebagaiman yang dikemukakan di bawah ini :
Jika engkau berkata tanzih,engkau mengikat-Nya.Jika engkau hanya berkata dengan tasybih, engkau membatasinya.
Jika engku berkata dengan kedua-duanya, engkau adalah benar dan engkau adalah imam dan tuan dalam berbagai pengetahuan.
Siapa saja yang berkata dengan dualistis Tuhan dan alam adalah musyrik ; dan siapa saja yang berkata dengan pemisahan Tuhan dari alam adalah muwahhid. Karena itu berhati-hatilah engkau terhadap tasybih jika engkau mengakui monistis.
Engkau bukanlah Dia, tetapi engkau adalah Diadan engkau melihatnya dalam ‘ain segala sesuatu, baik sebagai sesuatu yang lepas maupun sebagai sesuatu yang terikat.
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas seakan-akan Ibn ‘Arabi masih membedakan antara Tuhan dan alam,dan wujud Tuhan tidak sama dengan wujud alam.[4] 
 Tanggapan terhadap Ajaran Wahdatul Wujud.
Melakukan penilaian terhadap sebuah ajaran tasawuf yang merupakan pengalaman mistis dari kaum sufi, bukanlah hal yang mudah. Hal ini dikarenakan pengalaman mistis tersebut selalu mengarah ke dalam dan bersifat pribadi, sehingga hampir mustahil untuk dikomunikasikan kepada orang lain, dan selebihnya hanya akan menjadi milik pribadi si empunya sendiri.
Kesulitan memahami  teks-teks kesufian seperti karya-karya  Ibn ‘Arabi lebih dikarenakan pengungkapan ide dan ajaran yang di dalamnya sering menggunakan kata-kata kiasan (matsal) dan pelambang (ramz). Oleh karena itu, ungkapan –ungkapan tersebut harus dipahami dengan interpretasi metaforis atau tafsir batini (ta’wil). Pemakaian metode ta’wil merupakan metode yang sah digunakan dalam memahami teks-teks suci, baik al-Qur’an dan al-Hadis. Hanya saja, sejalan dengan metode mereka , mereka tidak memahami sumber-sumber tersebut secara tekstual. Inilah pangkal adanya kontroversi antara kaum Syari’at dengan kaum Ma’rifat, karena tidak jarang kaum  Syari’at  yang mengutuk mereka sebagai orang yang sesat, sebagaimana apa yang telah dilakukan Ibn Taimiyah terhadap Ibn ‘Arabi menyangkut doktrin wahdatul wujudnya.[5]














    


[1]Eurekamal, Wahdatul Wujud Tinjauan Filosof-Urafadalam  www.indonesia.islamquest.net diakses tanggal 29 Februari 2010.

[2]Eurekamal, Wahdatul Wujud Tinjauan Filosof-Urafa diakses tanggal 29 Februari 2010.

[3] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawwuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal.146.
[4] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawwuf. Hal.147-151.
[5] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2008) ,hal.257-260.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar