KODIFIKASI HADIS DALAM TRADISI SYI'AH

Admin Thursday, December 16, 2010
Oleh: Munawir
I. Pendahuluan
Hampir semua mazhab dalam Islam sepakat akan pentingnya peranan hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Otoritas Nabi SAW dalam hal ini (selain al-Qur’an) tidaklah terbantahkan dan mendapat legitimasi melalui wahyu juga, sehingga secara faktual, Nabi SAW adalah manifestasi al-Qur’an yang pragmatis. Dalam diskursus Islam, terdapat berbagai permasalahan yang tidak cukup dijelaskan hanya dengan mengacu kepada al-Qur’an, tetapi juga harus mengacu kepada hadis Nabi SAW. Hal ini dikarenakan al-Qur’an lebih banyak menerangkan secara global. Sesuatu yang global inilah yang harus dijelaskan dan dijabarkan.
Sekalipun demikian, secara historis perjalanan hadis tidak sama dengan perjalanan al-Qur’an. Pada kasus al-Qur’an, hampir bisa dikatakan tidak ada tenggang waktu antara masa turun, penulisan, dan kodifikasinya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentitas al-Qur’an, lantaran Nabi sendiri telah menunjuk beberapa sahabatnya menjadi penulis wahyu. Sementara praktik seperti ini tidak diikuti dalam kasus hadis, yang mendapat perlakuan berbeda. Memang, ketika Nabi SAW masih hidup fenomena hadis tidak begitu krusial dan pembicaraan mengenai perkatan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW pun sebagai hal yang biasa-biasa saja, karena hadis sebagai sumber pedoman masyarakat muslim waktu itu lebih bersifat peneladanan langsung tanpa melibatkan rumusan-rumusan verbal (living tradition).
Hadis Nabi di kalangan Syi’ah tidak disebarkan dengan mengedepankan tradisi lisan (oral), melainkan dengan tradisi tulisan (textual). Imam Ali> bin Abi> T}a>lib dan anak cucunya serta pengikutnya telah memiliki tradisi menulis hadis sejak awal. Bahkan menurut al-Bukha>ri>, Ali> bin Abi> T}a>lib memiliki lembaran (s}ah}i>fah) hadis yang berasal dari Rasulullah SAW. Dengan kata lain, Ali> bin Abi> T}a>lib telah menulis hadis pada masa Rasulullah SAW. Menurut Ja’far S}adi>q, cucu Ali> bin Abi> T}a>lib, panjangnya s}ah}i>fah tersebut mencapai 70 hasta (sab'i>na z|ira>’). Dalam penghimpunan hadis-hadisnya, Ali> bin Abi> T}a>lib meletakkan kepercayaannya kepada sahabat-sahabat yang dianggap benar oleh semua orang Islam. Oleh karenanya, ia banyak mengambil riwayat dari Salma>n, 'Amma>r, Abu> Z|ar, Abdulla>h bin Abba>s, dan lain-lain, kemudian disusun dan dibukukannya dengan menyebut nama-nama orang mencintai Syi’ah Ali> bin Abi> T}a>lib itu.
Sebab lain perbedaan hadis Syi’ah dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah adalah kaum Syi’i tidak mengikuti ijtiha>d Abu> Bakr al-S}idi>q dan Umar bin Khat}t}a>b. Melainkan, tradisi penulisan hadis diwariskan kepada para Imam penerusnya secara turun-temurun, sebagaimana nasehat Ali> bin Abi> T}a>lib kepada H}asan untuk memelihara ilmu melalui tulisan. Demikian pula nasehat H}asan bin Ali> kepada anaknya menganjurkan hal yang sama, dan seterusnya. Sehingga, kaum Syi’i beranggapan bahwa mereka sejak awal telah memelihara hadis melalui tulisan.
Berawal dari anjuran Nabi SAW untuk menuliskan hadis dianggap sebagai perintah yang sangat penting dan dilanjutkan oleh para Imam. Karenanya, mereka mengklaim sebagai pelopor tradisi tertulis dalam hadis. Hal ini berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah yang terdapat kontradiksi terhadap kebolehan penulisan hadis.
Dalam kenyataannya, golongan Syi’ah merupakan mazhab utama dalam Islam yang secara doktrinal berbeda dari golongan ortodoks muslim (Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah) ternyata memiliki kumpulan hadis yang sama sekali berbeda. Dengan adanya konsep kepemimpinan eksklusif, golongan ini hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh para Imam yang ma’s}u>m, yang kehadirannya tetap terjaga hingga pertengahan abad ke-3 H/9 M. Para Imam tersebut memiliki tulisan-tulisan dan buku-buku yang mereka warisi dari para leluhur mereka. Dari sini, terdapat indikasi bahwa Syi’ah sejak tahun-tahun awal telah mempunyai kepedulian terhadap isna>d. Dengan adanya titik fokus keyakinan keagamaan kepada imam zaman (sistem Ima>mah), adalah sangat wajar apabila sistem periwayatan hadis di kalangan mereka sudah mulai digunakan pada masa-masa Ali> bin Abi> T}a>lib.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa ada tiga alasan fundamental yang menyebabkan golongan Syi’ah menggunakan isna>d dalam sistem periwayatan mereka. Pertama, alasan psikologis, dalam mencantumkan sebuah isna>d pada suatu riwayat hadis adalah menghubungkan periwayat mutaqaddimi>n dengan tokoh-tokoh terkemuka di masa lalu yang mempunyai realibilitas dalam teks yang diriwayatkan. Barangkali, lantaran alasan inilah sebelum menerima setiap bagian apa pun dari ilmu yang disampaikan melalui riwayat, dirasa perlu untuk menetapkan rantai periwayat (sanad) yang membentuk hubungan yang melalui mereka ini bagian pengetahuan bisa dijangkau. Kedua, alasan ideologis. Dalam lingkungan intelektual, ulama Syi’ah banyak berdiskusi dengan ulama Madi>nah, Kuffa>h, dan Bag}da>d. Ada kekhawatiran terjadinya interpolasi ajaran-ajaran asli para Imam. Ketiga, alasan teologis. Isna>d dalam sebuah riwayat hadis terdiri atas mata rantai periwayat yang menghubungkan hadis dengan sumber aktualnya. Hubungan ini sangat penting artinya agar sebuah riwayat dipandang valid.
Dengan demikian, hadis Syi’ah disinyalir tidak mengalami sejenis kelemahan dan keraguan yang berkaitan dengan penundaan penulisan hadis, sekalipun proses kodifikasinya baru terjadi pada abad ke-4 dan ke-5, yaitu setelah gaibnya Imam ke-12 pada akhir abad ke-3.
Namun, ada beberapa hal mendasar yang sekiranya menarik untuk diadakan penelitian berkaitan dengan kodifikasi hadis di kalangan Syi’ah ini, yaitu Syi’ah mempunyai h}ujjah keagamaan yang berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah. Dalam tradisi Syi’ah, h}ujjah keagamaan tidak serta merta berakhir dengan kewafatan Nabi SAW, melainkan terus berlangsung ke wakil-wakil beliau sampai Imam kedua belas. Karenanya, hadis bagi kaum Syi'ah bukan hanya segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat khalqiyah dan khuluqiyah, akan tetapi juga meliputi segala sesuatu yang bersumber dari Imam dua belas. Dengan demikian, apa yang bersumber dari Nabi SAW dan apa yang bersumber dari para Imam dua belas, kedudukannya sama dalam hal ke-h}ujjah-an agama. Dengan kata lain, hal ini berarti bahwa ketersambungan sanad dalam Syi'ah tidak disyaratkan harus selalu sampai kepada Nabi SAW, tetapi bisa juga kepada imam yang ma's}u>m.
Hal lain yang juga menarik adalah sikap mereka terhadap para sahabat Nabi SAW. Berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah yang menyatakan bahwa semua sahabat tanpa kecuali adalah ‘udu>l (orang yang dapat dipercaya), maka tidak demikian dengan Syi’ah. Dalam hal ini, Syi’ah membagi para sahabat menjadi tiga bagian; pertama, sahabat yang benar-benar taat dan setia kepada Rasul SAW. Mereka inilah yang sebenarnya tergolong ‘udu>l. Kedua, sahabat yang pernah berbuat sesuatu yang kurang menampakkan kesetiaannya kepada Rasul SAW. Terhadap mereka ini, Syi’ah masih mengangap ragu dan harus diseleksi keadilannya. Dan ketiga adalah sahabat yang dianggap muna>fiq. Hal ini disinggung dalam QS. 9: 101 dan juga dinyatakan Nabi sendiri, "Bahwa kelak di hari Qiyamat Nabi SAW berada di h}aud}, tiba-tiba datang para sahabat lalu mereka mau minum, Rasul SAW mau melayani mereka, tetapi mereka dijauhkan dari Rasul SAW, Rasul SAW bertanya, ‘Engkau tidak tahu wahai Muhamad apa yang telah mereka lakukan setelah Engkau wafat".
Beberapa perbedaan di atas, tentunya berpengaruh terhadap hadis-hadis yang dibukukan pada kitab-kitab hadis standar mereka. Seperti, semakin kompleksnya keberadaan hadis-hadis Syi'ah, mengingat kedudukan para imam yang juga bisa mengeluarkan hadis sebagaimana Nabi SAW, ataupun adanya klasifikasi tersendiri berkaitan dengan kualitas hadis-hadis yang dibukukan, dan lain-lain.

II. Tradisi Penulisan Hadis Di Kalangan Syi’ah
A. Penulisan Hadis Pada Masa Nabi SAW
Berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah yang masih terdapat kontradiksi dalam penulisan hadis, Syi’ah sama sekali menolak larangan tersebut. Mereka mengklaim bahwa tradisi penulisan hadis telah ada di kalangan Syi’ah sejak permulaan. Karenanya, mereka adalah pelopor tradisi tertulis dalam hadis.
Lebih lanjut, Rasu>l Ja’fariya>n dalam penelitiannya, menegaskan bahwa tradisi penulisan hadis di kalangan Syi’ah mendahului fatwa tentang (anjuran) penulisan hadis itu sendiri yang diberikan para Imam belakangan kepada para sahabat mereka. Penulisan hadis merupakan tradisi yang telah dimulai pada masa Nabi SAW dan dikokohkan oleh Ali> bin Abi> T}a>lib.
Tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun mengenai kedudukan Ali> bin Abi> T}a>lib dalam sejarah dan agama Islam. Semenjak kecil ia telah meletakkan batu pertama Islam sebagai seorang manusia yang belum dewasa yang menganut agama suci. Ali> bin Abi> T}a>lib adalah 'hakimnya umat Islam' yang bangkit dengan ilmu dan amal. Ia adalah salah satu sahabat sekaligus sekretaris Nabi SAW yang sangat menganjurkan dan mendorong murid-muridnya untuk menulis hadis. Di samping itu ia juga mengimla'kan hadis-hadisnya.
Adapun di antara data yang mendukung pernyatan di atas adalah Muh}amad bin Muslim, seorang sahabat Imam al-Ba>qir, ia berkata: “Abu> Ja'far membacakan kepada saya kitab al-Fara>id} yang didiktekan oleh Nabi SAW dan ditulis oleh Ali> bin Abi> T}a>lib. Ada juga riwayat dari Ummu Salamah yang menyatakan: "Nabi SAW meminta 'adi>m (kulit domba yang telah disamak) untuk dibawa, Ali> bin Abi> T}a>lib pada saat itu bersama Nabi SAW lalu beliau mendiktekan begitu banyak hadis kepada Ali> bin Abi> T}a>lib, sehingga kedua sisi kulit domba tersebut penuh dengan tulisan". Senada dengan ini adalah riwayat tentang Abdulla>h bin Amr, ia berkata:
Saya datang menemui Nabi SAW dan berkata kepadanya, 'Saya ingin meriwayatkan hadis-hadis Engkau, dan jika Engkau izinkan saya akan lakukan lewat bantuan tangan saya (yaitu tulisan) untuk membantu hati saya (yaitu hafalan)'. Nabi SAW bersabda, 'Jika itu hadis dariku, maka lakukan dengan bantuan tanganmu'.

Sebagaimana telah jelas bahwa hadis mempunyai fungsi dan posisi yang strategis dalam pondasi ajaran Islam, golongan Syi’ah sama sekali tidak bisa menerima larangan penulisan hadis. Bukankah hadis Nabi SAW harus tetap terjaga, karena meninggalkannya sama dengan meninggalkan al-Qur’an. Dan salah satu bentuk penjagaan tersebut adalah dengan menulis dan membukukannya, tetapi mengapa justru hal ini dilarang? Inilah salah satu argumentasi logis yang dikemukakan golongan Syi’ah mengenai larangan terhadap penulisan hadis. Oleh karena itu, menurut pandangan Syi’ah larangan penulisan hadis tidak datang dari Nabi SAW, melainkan hanyalah rekayasa sekelompok orang yang ingin menghancurkan Islam (berdasarkan pertimbangan pribadi sesaat). Orang-orang ini sengaja menisbahkannya kepada Nabi SAW agar larangan tersebut mendapat legitimasi Syar’i>, sehingga umat Islam mematuhinya. Dan merupakan sesuatu yang ironis, bahwa mereka yang setuju dengan pelarangan ini ternyata juga melakukan penulisan hadis.
Penulisan hadis adalah sesuatu yang urgen. Hal ini nampak dalam potret sejarah awal Islam, begitu besarnya perhatian Nabi SAW terhadap penulisan hadis tersebut. Beliau SAW memerintahkan kepada sebagaimanaan sahabat untuk menulis hadis yang mereka dengar dari Nabi SAW. Beliau mengimla’kan hadis kemudian para sahabat mencatatnya. Di samping itu, untuk menyemarakkan tradisi tulis-menulis tidak jarang Nabi SAW menganjurkan kepada para sahabat untuk belajar seni tulis di Madinah, di antara mereka adalah Abdula>h bin Sa’ad bin al-'A>s}. Bahkan dalam kasus tawanan orang-orang musyrik, Nabi SAW menawarkan mereka untuk mengajar tulis-menulis kepada sepuluh (anak) orang Islam sebagai tebusan untuk satu orang di antara orang-orang musyrik yang pandai menulis. Sehingga, pada masa ini, telah tersebar begitu banyak penulis hadis.
Keseriusan Nabi SAW dalam memperhatikan tradisi penulisan bukanlah sesuatu yang kosong. Hal ini tercermin dalam beberapa informasi berikut ini:
Al-Sunnah al-Taqri>riyah (Berdasarkan Ketetapan Nabi SAW)
Bahwa pada masa Nabi SAW telah banyak para ahli tulis (al-Kutta>b), yang sungguh-sunguh dalam kegiatan tulis-menulis. Di antara mereka adalah Sa’ad bin al-Ra>bi’ al-Khazra>j dan Basyi>r bin Sa’ad bin S|a’labah. Di samping itu, sebagaimana dalam kitab al-Tamh}i>d, bahwa banyak di antara para sahabat yang telah menulis banyak sekali hadis dari Nabi SAW tanpa beban. Hal ini tidak mungkin terjadi, kalau mereka tidak tahu bahwa penulisan hadis memang diperbolehkan. Dengan diamnya Nabi SAW sendiri menyaksikan fenomena penulisan hadis oleh para sahabat sekali lagi menunjukkan bahwa beliau rid}a> (mengizinkan) penulisan hadis.
b. Al-Sunnah al-Fi'liyah (Berdasarkan tindakan Nabi SAW sendiri)
Salah satu bentuk keterlibatan Nabi SAW dalam kegiatan tulis-menulis adalah beliau memerintahkan para sahabat untuk mencatat hadis yang mereka dengar dari Nabi SAW, dan juga kejadian-kejadian yang terjadi pada masa Nabi SAW. Termasuk dalam aktivitas ini adalah pe ng-imla>'-an Nabi SAW akan hadis-hadisnya kepada para sahabat, dan penulisan surat-surat beliau yang dikirim ke berbagai kepala negara, gubernur, suku, dan lain-lain.
c. Al-Sunnah al-Qauliyah (Berdasarkan Pernyataan Nabi SAW)
Adapun yang dimaksud dengan al-Sunnah al-Qauliyah ini adalah hadis-hadis marfu>' dari Nabi SAW tentang kebolehan penulisan hadis, baik secara tersurat maupun tersirat. Dan hadis-hadis tersebut adalah banyak sekali, di antaranya:
1) Hadis-hadis Nabi SAW yang di dalamnya memuat perintah penulisan dengan menggunakan redaksi Uktubu> (Tulislah oleh kalian semua), Qayyidu> (Ikatlah oleh kalian semua), dan kata-kata lain yang semisal.
2) Hadis-hadis Nabi SAW yang menyatakan ke-rid}a>-an beliau terhadap penulisan dengan mengatakan Na'am (ya).
3) Hadis-hadis Nabi SAW yang menyatakan perbuatan tulis-menulis tetapi tidak menggunakan redaksi perintah, seperti Kataba/Yaktubu (ia menulis).
1) Hadis-hadis Nabi SAW yang di dalamnya menyatakan instrumen tulis-menulis, seperti al-Kita>b (buku), al-Waraq (kertas), al-Qalam (pena), al-H}ibr (tinta), dan lain-lain.
Realitas adanya penulisan hadis pada masa Nabi SAW ini, juga dapat dilihat pada riwayat Abdulla>h bin Umar, ia berkata:
Adalah di sekeliling Nabi Saw. terdapat banyak sahabat dan di antara mereka adalah saya (yang waktu itu merupakan orang termuda), kemudian Nabi SAW bersabda; 'Barang siapa berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, maka hendaknya ia menyiapkan tempatnya di neraka'. Maka, ketika mereka keluar (bubar) saya bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meriwayatkan hadis dari Nabi SW, sedangkan telah kalian dengar apa yang beliau sabdakan. Mereka lalu menjawab, ‘Hai anak saudara kami, sesungguhnya setiap yang kami dengar dari Nabi saw adalah telah tersimpan dalam catatan kami.

Berdasarkan semua hal di atas, jelaslah bahwa penulisan hadis merupakan sesuatu yang diperbolehkan sejak awal perkembangan Islam.

B. Penulisan Hadis Pada Masa Sahabat
Tradisi penulisan hadis terus berlangsung pada masa ini, meskipun adanya larangan penulisan hadis juga muncul pada saat ini. Tepatnya beberapa dekade masa kekhalifahan Abu> Bakr al-S}iddi>q. Dengan alasan-alasan tertentu yang dinyatakan, Abu> Bakr melarang penulisan hadis. Tetapi alasan mengenai larangan tersebut ia tidak pernah menyatakan bahwa Nabi SAW telah melarang usaha tersebut. Lebih jelasnya, dapat dilihat pada riwayat A>'isyah berikut ini: "Aiyah diriwayatkan berkata: 'Ayahku menghimpun 500 hadis dari Nabi Saw', suatu pagi ia datang kepadaku dan berkata, ‘Bawalah hadis-hadis itu kepadaku’ saya pun membawakannya untuknya, lalu ia membakarnya' dan berkata, ‘Aku takut setelah aku mati nanti akan meninggalkan hadis-hadis ini kepadamu’".
Kebijakan Abu> Bakar kemudian diikuti oleh Umar bin Khat}a>b. Dalam suatu riwayat dari Urwah bin Zubair diceritakan bahwa Umar bin Khat}a>b hendak menulis hadis Nabi SAW, tetapi ia bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat Nabi SAW lainnya. Para sahabat semuanya sepakat bahwa hadis Nabi SAW hendaknya ditulis. Umar merenungkan masalah ini, sampai suatu pagi ia memutuskan dan berkata: “Saya bermaksud menulis hadis Nabi SAW, tetapi kemudian saya (melihat) orang-orang sebelum kalian yang menulis kitab lain dan mengabaikan kitab Allah SWT. Demi Allah saya tidak akan menutupi Kita>bulla>h dengan apa pun".
Dari sini, jelas bahwa argumentasi yang dibangun, baik oleh Abu> Bakar maupun Umar bin Khat}a>b, keduanya tidak menyatakan bahwa pelarangan tersebut berasal dari Nabi SAW. Bahkan dalam kasus Umar bin Khat}a>b, bisa dikatakan tidak ada satu pun sahabat yang menyetujuinya, mereka semua sepakat bahwa hadis Nabi SAW harus dibukukan. Hanya karena kekhawatiran Umar bin Khat}a>b akan terabaikannya Kitabulla>h dengan lainnya, kiranya yang menjadikan Umar bin Khat}a>b urung membukukan hadis Nabi SAW.
Dalam hal ini Muh}amad Abu> Zahw mengatakan bahwa (kebijakan) larangan penulisan hadis adalah gagasan dari Umar bin Khat}a>b semata. Sementara Muh}amad Rid}a> H}usain menyatakan: "Tidak, kebijakan tersebut bermula dari Abu> Bakar, Umar bin Khat}a>b hanyalah melanjutkannya. Namun, keduanya tidak mendapatkan kesepakatan dari para sahabat".
Dalam perkembangannya, kebijakan tersebut akhirnya diikuti oleh sekelompok sahabat dan ta>bi’i>n. Barangkali sesuai dengan sebuah ungkapan “Rakyat mengikuti agama raja-raja mereka”. Mereka menghindar dari penulisan hadis demi mematuhi larangan tersebut. Mereka memelihara hadis-hadis Nabi SAW melalui kekuatan hafalan saja. Mereka menyampaikan hadis lewat penuturan lisan dan membenci ide penulisan hadis. Bagi mereka, adalah tidak layak menulis dan menghimpun hadis Nabi SAW. Sekalipun adakalanya mereka menulis hadis, tetapi itu hanya untuk dihancurkan kembali pada tahun-tahun terakhir hidup mereka, seakan-akan penulisan tersebut hanya untuk membantu ingatan. Catatan-catatan hadis tersebut tidak digunakan sebagai sarana untuk memlihara hadis bagi generasi mendatang. Abu> Abd al-Rah}ma>n bin Salamah al-Jambi> meriwayatkan: "Saya mendengar hadis Nabi SAW dari Abdullah bin Amr dan kemudian menulisnya. Setelah menghafalnya, saya memusnahkan apa yang saya tulis itu". Kondisi ini terus berlangsung hingga masa Ali> bin Abi> T}a>lib.
Ali> bin Abi> T}a>lib dianggap sebagai pelopor tradisi penulisan hadis. Ia dikenal mempunyai sebuah kitab tersendiri yang merupakan catatan-catatan (kumpulan) hadis yang diimla’kan oleh Nabi SAW. Sebuah kitab besar (s}ah}i>fah) yang panjangnya mencapai 70 z|ira>’. S}ah}i>fah ini diklaim sebagai kitab hadis pertama dalam sejarah Islam.
Mengenai keberadaan s}ah}i>fah ini, telah banyak dituturkan dalam berbagai sumber, antara lain:
1. Abu> Juh}aifah,
Ia berkata: "Saya bertanya kepada Ali> r.a. tentang sesuatu yang beliau simpan selain al-Qur'an. Beliau menjawab: 'Tidak ada, kecuali s}ah}i>fah ini". Ketika saya tanyakan apa yang terdapat dalam s}ah}i>fah itu?, Beliau menjawab, "al-Aql...(tebusan pembunuhan...)
2. Abu> al-T}ufail
Ia berkata: "Ketika Ali> r.a. ditanya apakah Rasulullah SAW memberikan sesuatu yang khusus untuk beliau, Ali> r.a. menjawab, "Tidak ada, kecuali yang terdapat dalam sarung pedangku ini". Beliau lalu mengeluarjkan s}ah}i>fah yang berisi tulisan "Allah melaknat orang yang menyembelih hewan bukan karena Allah SWT...".
3. Ibra>hi>m al-Taimi>
Ia meriwayatkan dari ayahnya, ayahnya berkata: "Ali> r.a. berpidato kepada kami. Beliau mengatakan, "Barang siapa menyangka bahwa saya mempunyai kitab selain al-Qur'an dan s}ah}i>fah ini, maka berarti ia bohong".
Adapun sahabat lainnya yang juga mempunyai catatan hadis adalah: H}asan bin Ali> ( 40 H.), Ana>s bin Ma>lik (w. 93 H.), Ja>bir bin Abdulla>h al-Ans}a>ri> (w. 74 H.), Mu'a>z| bin Jabal (w. 18 H.), H}and}alah bin Ra>bi' al-Ka>tib ( wafat pada masa Mu'a>wiyah), Abu> Z|a>r al-G}ifa>ri (w. 32 H.), Ra>fi' bin Khadi>j al-Ans}a>ri> (w. 74 H.), Abu> Ra>fi' al-Madsani> (w. 35 H.), Sa'ad bin 'Uba>dah al-Khazra>ji (w. 15 H.), Salma>n al-Fa>ris (w. 34 H.), al-Barra>' bin 'A>zib (w. 72 H.), A>'isyah (w. 57 H.), Abdulla>h bin Abba>s (w. 67 H.), Abdulla>h bin Amr (w. 63 H.), Abdulla>h bin Abi> Ra>fi' (w. 80 H.), Ali> bin Abi> Ra>fi', Ka'ab bin Amr, Abu> Mu>sa> al-Asy'a>ri> (w. 50 H.), Abu> Hurairah al-Du>si> (w. 57/59 H.), Abu> Salam, Wa>s|ilah bin al-Asqa' (w. 83 H.), dan Bila>l al-H}absyi>.
Berdasarkan realitas ini Syi'ah, sebagaimana yang dinyatakan oleh H}asan al-S}adr (1272-1354 H.), seseorang yang dijadikan referensi terbesar oleh Syi'ah dalam urusan agama, menyimpulkan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi SAW dan kompilasi hadis telah ada sejak awal Khalifah Ali> bin Abi> T}a>lib. Hal ini terbukti dengan adanya kitab Abu> Ra>fi, seorang hamba Rasulullah SAW, yang diberi nama al-Sunan wa al-Ah}ka>m wa al-Qad}a>ya>. H}asan al-S}adr menambahkan bahwa Abu> Ra>fi' meninggal pada masa-masa awal pemerintahan Ali> r.a. (sekitar tahun 45 H.), dengan demikian dapat dipastikan bahwa tidak ada orang yang mendahului Abu> Ra>fi dalam penghimpunan hadis. Keberadaan kitab ini dapat diketahui melalui informasinya Abu> Bakr bin Abd al-Rah}ma>n. Ia mengatakan: "Saya diberi kitab oleh Abu> Ra>fi' yang berisi hadis-hadis tentang pembukuan Shalat". Sedangkan seseorang yang menulis hadis-hadis dari kitab tersebut adalah Ibnu Abba>s. Seperti yang dituturkan oleh Salma>n, ia melihat Abdulla>h bin Abba>s membawa papan-papan untuk menulis hadis-hadis amaliah Nabi SAW dari Abu> Ra>fi .

C. Penulisan hadis Pada Masa Ta>bi'i>n
Golongan Syi'ah berpandangan bahwa pada periode ini kontinuitas penulisan hadis tetap terjaga, bahkan semakin semarak. Alasan-alasan pelarangan hadis yang semula melingkupi beberapa sahabat, seperti kekhawatiran bercampurnya al-Qur'an dan hadis (hadis dengan pendapat pribadi), kekhawatiran terabaikannya al-Qur'an karena sibuk memperhatikan hadis, ataupun minimnya kemampuan tulis-menulis, dan lain-lain, pada periode ini sudah tidak berlaku lagi. Bahkan, para ta>bi'i>n telah menganggap bahwa penulisan hadis merupakan sesuatu yang niscaya (al-amr al-D}aru>ry).
Sebagai penegasan terhadap kondisi ini, al-Balqi>ni> berkata: "Orang yang membolehkan penulisan hadis dari kalangan ta>bi'i>n adalah banyak sekali, di antara mereka adalah" al-H}asan al-Bas}ri>, 'Ata>', Abi> Qila>bah, dan Abi> al-Mali>h}". Adapun lebih komplitnya mengenai para ta>bi'i>n (khususnya mereka yang hidup pada abad I atau para ta>bi'i>n besar) yang terlibat dalam penulisan hadis adalah : H}ujr bin 'A>di> bin al-Ad}bar (terbunuh pada tahun 51 H.), al-Asbag} bin Nuba>tah (w. 100 H.), Sulaim bin Qais al-Hila>li (w. 90 H.), al-H}a>ris bin Abdulla>h al-H}amdani>, 'Ubaidah al-Salma>ni> (w. 64/72 H.), Mism bin Yah}ya> al-Tamma>r (w. 60 H.), S|a>bit bin Dina>r Abu> Hamzah al-Samali>, Muh}amad bin H}ana>fiyah ibnu al-Ima>m Ami>r al-Mu'mini>n (w. 73 H.), al-H}asan bin Muh}amad bin al-H}anafiyah (w. 100 H.), 'Urwah bin al-Zubair (w. 94 H.), S a'id bin Jubair (w. 924 H.), Muja>hid bin Jabr (w. 103 H.), Na>fi' Mawla> Ibnu Umar (w. 117 H.), Zaid bin Wahab al-Juhani> al-Ku>fi> (w. 96 H.), Sa>lim bin Abi> al-Ja'di> (w. 100 H.), Muh}amad bin Amr al-Lais|i>, 'At}a>' bin Abi> Raba>h} (w. 114 H), Hamma>m bin Munabbih (w. 132 H.), 'Amir al-Sya'bi> (w. 104 H.), al-D}ah>ak bin Muza>him (w. 105 H), dan Mu'a>wiyah bin Qurrah (w. 113 H.).
Semua hal di atas, membuktikan bahwa penulisan hadis selalu terjaga, bahkan telah tersebar luas di antara generasi-generasi ta>bi'i>n. At}a>' bin Abi> Ra>bah (w. 114) misalnya, ia telah menulis hadis untuk dirinya sendiri. Ia memerintahkan anaknya menuliskan hadis untuknya. Bahkan, murid-muridnya juga menulis hadis di hadapannya. Dalam hal ini, ia telah mendorong para muridnya untuk mempelajari dan menulis hadis. Demikian pula, al-D}ah}h}a>q bin Muza>him (w. 105 H.), ia berkata: "Jika kamu mendengar sesuatu, maka tulislah ia, sekalipun di dinding". Dalam tuturan sejarah, ia pernah mendiktekan tata cara ibadah haji kepada H}usain bin A>qil.
Sebagai pembahasan akhir dari kajian tradisi penulisan hadis di kalangan Syi'ah ini, seorang Syahi>d al-Tabri>zi>, di akhir pembicaraannya mengenai kitab-kitab yang tercipta pada masa-masa awal Islam, menyatakan bahwa sebenarnya telah tercipta banyak kitab pada masa Nabi SAW. Di antaranya adalah Kita>b Ali>> bin Abi> T}a>lib, Mus}h}af Fa>t}imah, Kita>b al-Diyya>t, Kita>b al-Fara>id}, dan Kita>b Ibnu H}azm. Adapun kitab-kitab yang tercipta setelah masa Nabi SAW adalah Kita>b Salma>n, Kita>b Abi> Z|ar, Kita>b al-As}bag}}, Kita>b Sulaim bin Qais, Kita>b Mi>s|am al-Tamma>r, al-S}ah}i>fah al-Sajja>diyah, (nuskhah) naskah yang dikumpulkan oleh Abu> al-Aswad dalam al-Nah}w, dan lai-lain.

III. Syi'ah dan Kodifikasi Hadis
Syi'ah merupakan mazhab utama dalam Islam yang secara doktrinal berbeda dengan Ahl al-Sunnah wal Jama>'ah, pada kenyataannya memiliki sistem pemeliharaan hadis tersendiri. Dengan konsep kepemimpinan yang eksklusif, golongan ini hanya menerima hadis yang diriwayatkan oleh para imam yang ma's}u>m.
Dalam hal ini, sistem pemeliharaan hadis yang dipakai Syi'ah adalah sistem tertulis sebagaimana jelas dalam paparan sebelumnya, bahwa Syi'ah tidak menerima adanya larangan penulisan hadis. Berawal dari anjuran untuk menuliskan hadis, maka Syi'ah menganggap perintah tersebut merupakan hal yang sangat penting dan harus berkontinuitas dari generasi ke generasi (dari satu imam ke imam berikutnya).
Ummu Salamah meriwayatkan: "Nabi SAW meminta 'adi>m (kulit domba yang telah disamak) untuk dibawa Ali> bin Abi> T}a>lib saat itu bersama Nabi SAW, lalu beliau mendiktekan begitu banyak hadis kepada Ali>, sehingga kedua sisi kulit domba tersebut penuh dengan tulisan". Riwayat ini menunjukkan bahwa penulisan hadis adalah sesuatu yang diperbolehkan sekaligus sebagai indikasi adanya tradisi penulisan hadis sejak awal.
Syi'ah sangat membenci adanya larangan penulisan hadis, karena di samping hal itu tidak berasal dari Nabi SAW, juga menimbulkan akibat-akibat negatif dalam sejarah pemeliharaan hadis. Akibat-akibat tersebut antara lain;
Pertama, hilangnya sejumlah besar hadis. Ini merupakan akibat alami dari tidak dilakukannya penulisan hadis. Meskipun dapat diterima bahwa hafalan termasuk bentuk penjagaan hadis, tetapi ia juga menimbulkan banyak hilangnya perbendaharaan hadis. Urwah bin al-Zubair menulis; "Saya menulis sejumlah besar hadis tetapi kemudian terhapus. Sekarang, seandainya saya dapat memperolehnya kembali dalam keadaan utuh, akan saya hadiahkan semua kekayaan dan anak-anakku demi mereka".
Kedua, penyebaran kebohongan (hadis-hadis palsu). Ini merupakan akibat lain dari tiadanya penulisan hadis. Pada permulaan, perhatian bahkan tidak diberikan kepada sanad hadis, karena adanya suasana saling percaya yang telah berlaku. Namun berikutnya, para ulama hadis tidak bisa menghindari adanya kenyataan pemalsuan hadis. Memang, banyak usaha yang telah dilakukan untuk memisahkan hadis-hadis yang sahih dengan yang tidak sahih, tetapi hal itu terjadi sudah cukup terlambat. Ibnu Syiha>b al-Zuhri> berkata: "Sayang sekali hadis baru ditulis ketika sudah sangat terlambat. Betapa lamanya keterlambatan tersebut, dapat disimpulkan dari realita bahwa S}ah}i>h} al-Bukha>ri membuang 700.000 hadis, dan Abu> Hanifah hanya menerima 150 dari sekitar 1000.000 hadis".
Ketiga, periwayatan bi al-ma'na>. Salah satu akibat tiadanya penulisan hadis adalah bahwa redaksi hadis yang sebenarnya terlupakan dan periwayatan berdasarkan maknanya menjadi kebiasaan umum.Wajar bila seseorang yang pernah mendengar hadis pada dua puluh tahun yang lalu hanya mengingat maknanya saja pada waktu meriwayatkannya. Penambahan dan pengurangan sering pula terjadi dalam hal ini. Imra>n bin al-H}usain berkata:
Demi Tuhan, saya berharap dapat meriwayatkan hadis Nabi selama dua hari berturut-turut, tetapi terhenti karena saya melihat mereka yang juga mendengar apa yang saya dengar telah meriwayatkan hadis dalam bentuk yang tidak asli lagi. Tetapi ketahuilah, mereka melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadis, sekalipun tidak disengaja.
Tradisi penulisan hadis ini, sebenarnya telah berkembang sejak zaman Nabi SAW dan orang pertama yang melakukannya adalah Nabi Muhammad SAW sendiri, yaitu melalui Ali> bin Abi> T}a>lib. Ali> bin Abi> T}a>lib adalah seorang sahabat yang menaruh perhatian lebih terhadap masalah ini sejak awal. Hal pertama yang dilakukan Ali> bin Abi> T}a>lib adalah menulis al-Qur'an secara utuh, yang dilakukannya setelah Nabi wafat. Ia menyusunnya menurut kronologi turunnya wahyu. Dalam penulisan ini, ia juga menunjukkan ayat-ayat yang 'a>m dan kha>s}, mut}laq dan muqayyad, atau muh}kam dan mutasya>bih. Setelah proses penghimpunan ini, ia mulai menghimpun sebuah buku untuk Fa>t}imah, yang kemudian dikenal sebagai S}ah}i>fah Fa>t}imah.
Sejarah mencatat bahwa Nabi SAW memiliki sebuah s}ah}i>fah, lembaran-lembaran kertas yang selalu digantungkan di bahu pedangnya. Kemudian Rasulullah mendiktekan hadis-hadisnya kepada Ali> untuk disalin ke dalam s}ah}i>fah-nya. Tatkala Nabi SAW meninggal dunia, imam Ali> memeliharanya dengan baik. S}ah}i>fah Nabi SAW itu akhirnya lebih dikenal dengan nama "S}ah}i>fah Ali> bin Abi> T}a>lib".
Selain s}ah}i>fah, yang umumnya memuat tentang hukum Diyat dan sedikit persoalan lainnya, Nabi SAW juga mendiktekan kepada Ali> bin Abi> T}a>lib hadis-hadis lain yang disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar, yang kemudian dikenal dengan nama al-Ja>mi'ah. Imam Ja'far Al-S}adi>q menyebutkan: "al-Ja>mi'ah adalah lembaran yang panjangnya sekitar 70 hasta, yang mencakup semua persoalan haram dan halal, ditulis oleh Imam Ali> bin Abi> T}a>lib dan didiktekan langsung oleh Rasulullah kepada Imam Ali>".
Aktivitas penulisan hadis yang dilakukan oleh Ali> bin Abi> T}a>lib tersebut kemudian diwariskan imam penerusnya secara turun temurun. Sebagaimana nasehat Ali> kepada Hasan untuk memelihara ilmu melalui tulisan, demikian pula nasehat Hasan bin Ali> kepada anaknya dan begitu seterusnya. Sehingga pada imam tersebut memiliki tulisan-tulisan dan buku-buku yang mereka warisi dari para leluhur mereka. Sampai pada masa kegaiban Imam Mahdi a.s.
Salah satu bukti dari hal tersebut adalah riwayat yang menyatakan bahwa Abu> Hanifah memanggil Imam Ja'far al-S}adi>q (seorang Imam yang ke tujuh di kalangan Syi'ah) dengan julukan "Kutubi", suatu gelar yang membedakannya dari yang lain. Ketika Ja'far al-S}adi>q mendengar hal itu, ia tertawa dan berkata: "Yang benar adalah bahwa aku seorang "S}uh}ufi", karena aku telah membaca s}uh}uf dari para leluhurku". Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa Imam memiliki beberapa buku tertentu yang diwarisi dari nenek moyangnya. Dan ini terjadi pada masa Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah yang pada umumnya tidak menaruh perhatian terhadap penulisan hadis.
Di samping itu, ada juga sejumlah besar hadis yang menunjukkan tentang hal itu. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muh}amad bin 'Uz|afir al-Syairafi. Dia berkata:
Saya bersama al-H}akam bin 'Ut}aibah berkunjung kepada Imam al-Ba>qir. Al-H}akam menyampaikan kepadanya suatu pertanyaan, Abu> Ja'far (Imam al-Ba>qir) sangat menghormatinya. Mereka berselisih pendapat tentang satu hal, tatkala Abu> Ja'far berkata, 'Anakku, bangunlah dan ambilkan kitab Ali> untukku', ia lalu membawa sebuah buku besar. Imam membukanya dan melihat-lihatnya sampai menemukan masalah itu. Lalu Abu> Ja'far berkata, 'ini adalah tulisan tangan Ali> sendiri dan didektikan oleh Rasulullah SAW.
Dalam hadis lain, Imam al-S}adi>q berkata: Diungkapkan dalam kitab Ali>: "Dunia itu laksana ular, kulitnya sangat lembut, tetapi di dalamnya ada racun yang mematikan. Orang bijak menghindar darinya, tetapi anak dungu ingin mendekatinya".
Syi'ah mengkalim bahwa semua pernyataan di atas menunjukkan kekuatan dan keaslian hadis di kalangan Syi'ah. Hal ini karena, di samping berkelanjutan bimbingan dari para Imam yang ma's}u>m hingga pertengahan abad ke-3 H./9 M., juga tradisi Syi'ah telah menghasilkan sejumlah besar pengarang sejak masa Imam al-S}adi>q.
Dengan adanya tradisi penulisan hadis sejak awal, Syi'ah berpandangan bahwa penulisan hadis telah ada sejak masa Nabi Saw dan kompilasi hadis telah ada sejak awal Khalifah Ali> bin Abi> T}a>lib (35 H). Almarhum Sayyid H}asan al-S}adr menulis bahwa Abu> Ra>fi', Maula Nabi SAW adalah orang pertama dari kaum Syi'ah yang menyusun buku. Ia merupakan salah seorang pengarang Syi'ah generasi pertama yang menghimpun sebuah karya yang disebut Kitab al-Sunan Wa al-Ah}ka>m wa al-Qad}a>ya>. Pembahasan di dalamnya dimulai dengan bab tentang shalat, diikuti bab tentang puasa, haji, zakat, dan penilaian hukum. Abu> Ra>fi' meninggal dunia pada sekitar tahun 35 H. Sedangkan tahun tersebut adalah masa-masa awal pemerintahan Ali> bin Abi> T}a>lib. Dengan demikian dapat dipastikan, tidak ada orang yang mendahului Abu> Ra>fi' dalam hal penghimpunan hadis dalam sebuah kitab berdasarkan bab-perbab.
Pendapat ini mendapatkan sanggahan dari Muh}amad Aja>j al-Khat}i>b, yang menyatakan:
Jika pernyataan di atas benar, maka Abu> Ra>fi' termasuk orang yang membukukan hadis pada masa sahabat dan ia telah didahului oleh Abdulla>h bin Amr yang telah menulis hadis pada masa Nabi SAW. Dan jika benar kitab milik Abu> Ra>fi' disusun berdasarkan bab-bab, maka kelebihan Abu> Ra>fi' adalah sebagai orang pertama yang menghimpun hadis dalam bab-bab, bukan orang pertama yang membukukan hadis. Dan kebenaran akan hal ini tidak menggugurkan pernyataan tentang pembukuan hadis pada masa Khalifah Umar bin Abd al-Azi>z yang secara historis telah terbukti kebenarannya.

Adapun kitab lainnya, yang juga merupakan hasil kodifikasi Syi'ah adalah Kitab Majmu>' al-Ima>m Zaid. Kitab ini adalah karya Zaid bin Ali> Zainal A>bidi>n bin H}usain bin Ali> bin Abi> T}a>lib pada permulaan abad ke-2 Hijriyah. Sebagai periwayat kitab ini adalah Abu> Kha>lid Amr bin Kha>lid al-Wa>s}iti al-H}adis|i>. Ia meriwayatkan dua majmu>' dari Zaid, yaitu al-Majmu>' al-H}adi>s| dan al-Majmu>' al-Fiqh, keduanya kemudian di himpun menjadi kitab Majmu>' al-Ima>m Zaid. Kitab majmu>' ini menghimpun 228 hadis marfu>' dari Nabi SAW, 320 khabar dari Ali> bin Abi> T}a>lib, dan hanya 2 khabar dari al-H}usain. Sebagaimana sistematika kitab-kitab Fiqh, maka di dalam kitab ini juga terdapat kitab-kitab seperti al-T}aharah, al-jana>'iz, al-Zakat, al-S}ala>t, al-S}iya>m, al-H}ajj, al-Buyu>', dan lain sebaginya. Setiap kitab disusun dengan bab yang berbeda-beda dan setiap bab dimulai dengan hadis mengenai materi bab itu, yang sanadnya marfu>' kepada Nabi SAW atau mauqu>f atas Imam Ali> r.a. Kitab ini termasuk dokumen sejarah yang sangat penting, yang membuktikan permulaan penyusunan dan penghimpunan hadis dalam bab-bab pada masa-masa awal abad ke-2 Hijriyah.
Demikian pembukuan ini terus berlanjut, para pengikut ahl al-bait berusaha membukukan kembali hadis-hadis yang tercecer tersebut. Mereka memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa; melalui periwayatan langsung dari orang ke orang hingga sampai kepada atau ke salah satu di antara imam dua belas. Dan hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis utama, yang dikenal dengan al-Kutub al-Arba'ah yakni; al-Ka>fi, Man la> yah}d}u>ruh al-Fa>qih, Tahz|i>b al-Ah}ka>m dan al-Istibs}a>r.
IV. Kriteria Kesahihan Hadis Menurut Syi'ah
Hadis dalam tradisi Syi'ah yang mempunyai pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma's}u>m, Nabi SAW dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur'an. Berkaitan dengan hal ini, maka suatu hadis sangat dipengaruhi oleh kharakter masing-masing periwayat (sanad). Secara otomatis, apabila membahas masalah hadis, maka tidak terlepas dari pembicaraan tentang sanad hadis.
Dengan adanya titik fokus keyakinan keagamaan kepada imam zaman (sistem Ima>mah), adalah sangat wajar apabila sistem periwayatan hadis di kalangan Syi'ah sudah mulai digunakan pada masa-masa Ali> bin Abi> T}a>lib. Karenanya, dapat disimpulkan bahwa bahwa Syi’ah sejak tahun-tahun awal telah mempunyai kepedulian terhadap isna>d.
Dalam hal ini, dijelaskan bahwa ada tiga alasan fundamental yang menyebabkan golongan Syi’ah menggunakan isna>d pada sistem periwayatan mereka. Pertama, alasan psikologis, dalam mencantumkan sebuah isna>d pada suatu riwayat hadis adalah menghubungkan periwayat mutaqaddimi>n dengan tokoh-tokoh terkemuka di masa lalu yang mempunyai realibilitas dalam teks yang diriwayatkan. Barangkali, lantaran alasan inilah sebelum menerima setiap bagian apa pun dari ilmu yang disampaikan melalui riwayat, dirasa perlu untuk menetapkan rantai periwayat (sanad) yang membentuk hubungan yang melalui mereka ini bagian pengetahuan bisa dijangkau. Kedua, alasan ideologis. Dalam lingkungan intelektual, ulama Syi’ah banyak berdiskusi dengan ulama Madi>nah, Kuffa>h, dan Bag}da>d. Ada kekhawatiran terjadinya interpolasi ajaran-ajaran asli para Imam. Ketiga, alasan teologis. Isna>d dalam sebuah riwayat hadis terdiri atas mata rantai periwayat yang menghubungkan hadis dengan sumber aktualnya. Hubungan ini sangat penting artinya agar sebuah riwayat dipandang valid.
Kemudian kaitannya dengan kesahihan hadis, para ulama Syi'ah dalam kajian sanad suatu hadis telah memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi sebagai seorang periwayat hadis untuk dapat diterima riwayatnya. Kriteria-kriteria tersebut meliputi: 1) sanadnya bersambung dengan yang ma's}u>m, 2) seluruh periwayat dalam sanad bersifat 'adil, dan 3) seluruh periwayat dalam sanad bersifat d}a>bit}. Untuk memperjelas tentang kriteria-kriteria periwayat hadis di atas, maka dapat dipaparkan pada butir-butir berikut ini:
1. Bersambung sanadnya kepada yang ma's}u>m
Kriteria pertama dari periwayat hadis adalah sanad bersambung kepada yang ma's}u>m. Maksudnya, tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari periwayat terdekat sebelumnya. Keadaan ini berlangsung dari awal sampai akhir sanad hadis tersebut dan disyaratkan sanad tersebut bersambung dengan Imam yang ma's}u>m.
Syi'ah menetapkan bahwa sanad suatu hadis, haruslah bersambung kepada yang ma's}u>m; Nabi SAW, Ali> bin Abi> T}a>lib dan Imam sebelas. Pada sanad yang terakhir yaitu Imam kedua belas, tidak disyaratkan harus bersambung dengan Nabi SAW, karena pada hakikatnya segala yang disandarkan kepada Imam 12 adalah sunnah dan dapat dijadikan h}ujjah.
Ulama Syi'ah memberi nama sanad yang bersambung dengan nama "Musnad". Sedang pengertian musnad dalam tradisi Syi'i adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada yang ma'sum, baik dari Nabi Saw, Ali> bin Abi> T}a>lib, dan Imam sebelas.
Untuk mengetahui sanad itu bersambung atau tidak, ulama Syi'ah menyusun kitab Rija>l al-H}adi>s|. Kitab ini berisi tentang biografi para periwayat hadis, kitab ini juga berguna untuk menetapkan derajat hadis seorang informan, sekaligus untuk mengetahui otentisitas suatu hadis yang disampaikan oleh informan tersebut. Di antara karya Syi'ah yang membahas tentang rija>l al-h}adi>s| adalah 1) kitab al-Rija>l buah karya Abba>s Ahmad ibn Ali> al-Naja>sy, yang lebih dikenal dengan al-Naja>sy, 2) Kitab al-Rija>l karya Muh}amad ibn al-H}asan al-T}u>sy, kemudian dikenal dengan nama Rija>l al-T}u>sy, 3) Kitab al-Rija>l karya Abu Amr Muh}amad bin Umar bin Abd al-Azi>z al-Kasysyi>. Para informan dalam kitab ini merupakan penyeleksian dari kitab al-T}u>sy> yang kemudian dikenal dengan nama Ikhtiya>r Ma'rifat al-Rija>l. Selain itu dengan mengetahui biografi periwayat dapat ditetapkan seorang periwayat itu, sanadnya bersambung dengan yang ma's}u>m atau tidak.
2. Keadilan periwayat
Perbedaan pendapat muncul ketika dihadapkan dengan pemahaman dan pensyaratan periwayat yang 'adil. Menurut pendapat yang masyhur menyatakan bahwa yang dimaksud dengan 'adil adalah tenaga jiwa yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil, menjauhi dosa-dosa besar, dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menodai keperwiraan (muru>'ah), juga menodai perhatiannya kepada agama.
Dari definisi di atas, maka dapat diambil butir-butir tentang suatu keadilan seorang periwayat. Butir-butir ini dapat mempengaruhi kredibilitas seorang periwayat dalam riwayatnya, butir-butir itu dapat dijabarkan, sebagai berikut:
a. Seorang periwayat selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat
b. Seorang periwayat harus menjauhi dosa-dosa kecil dan besar
c. Seorang periwayat harus meninggalkan perbuatan-perbuatan yang menghilangkan keperwiraan.
Di dalam keadilan seorang periwayat, harus dipenuhi beberapa unsur lain sebagai pendukung dan tidak boleh tidak ada pada seorang periwayat. Unsur-unsur itu adalah:
a. Beragama Islam
Keislaman merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh periwayat yang 'adil. Karena periwayat dari seorang kafir secara mutlak, baik dari selain ahli kiblat, seperti Yahu>di> dan Nas}ra>ni> ataupun dari ahli kiblat, seperti orang Maju>si, Khawa>rij, dan G}ula>t},} juga kafir z|immi (kafir yang diterima persaksiannya dalam wasiat). Golongan Syi'ah mendasarkan ketentuan ini, kepada adanya suatu keharusan untuk menetapkan diterimanya informasi dari orang fa>siq.
b. Berstatus Mukallaf
Dalam status mukallaf terkumpul dua sifat, yaitu berakal dan ba>lig}. Maka dalam hal ini, tidak diterima khabar (hadis) dari orang yang gila, orang yang lupa, serta anak kecil yang belum mencapai 'a>qil ba>lig}. Adapun terhadap anak-anak yang sudah 'a>qil ba>lig}, maka ada dua pendapat. Pendapat yang masyhur adalah tidak diterima hadisnya.
c. Beriman
Dalam hal iman, Syi'ah mebatasi dalam periwayatan adalah kepercayaan tentang keberadaan Imam yang dua belas. Hal ini dimaksudkan bahwa kebenaran suatu riwayat berkualitas sahih, apabila riwayat itu disandarkan kepada Nabi SAW, Ali> bin Abi> T}a>lib, dan Imam sebelas. Ini mempunyai tendensi bahwa tidak dibolehkannya mengamalkan hadis yang menyalahi mereka dan seluruh kelompok Syi'ah. Berbeda dengan pendapat ini, Syaikh al-T}u>si, ia berpendapat atas bolehnya mengamalkan hadis yang menyalahi mereka, dengan syarat hadis itu mereka riwayatkan dari Imam Syi'ah. Rekomendasi seorang Imam sangat berpengaruh sekali terhadap diterimanya suatu riwayat di kalangan ahli hadis Syi'ah. Mayoritas penganut mazhab Syi'ah bersikap sangat keras dalam menerima riwayatnya dari selain mazhab Syi'ah atau mereka hanya memandang seorang periwayat, jika dia seorang Syi'i.
d. Al-Wila>yah (Pengakuan bahwa kedua belas Imam sebagai pemimpin umat)
Pengakuan terhadap kepemimpinan Imam yang berada di masanya. Imam yang berada pada masanya itu akan banyak mempengaruhi terhadap periwayatan hadis. Secara logis, hal itu berarti bahwa periwayatan terus berkembang sesuai dengan keberadaan Imam yang ada pada saat itu. Suatu pertanyaan muncul, bagaimanakah apabila Imam yang ada pada masa itu gaib? Dari pertanyaan itu, Syaikh Ja'far al-Subh}a>ni> menjawab bahwa apabila seorang Imam itu gaib, maka harus dikembalikan kepada yang semula yaitu kepercayaan terhadap Imam dua belas. Dalam hal ini, seorang rawi harus berusaha untuk menyetarakan pemahamannya dan pemahaman imam dua belas yang ada dalam kitab-kitab mereka.
Berdasarkan pada pengertian hadis sahih, ulama Syi'ah membatasi tentang hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhamad, Ali> bin Abi> T}a>lib dan Imam sebelas. Suatu keterangan yang dapat dipetik dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi SAW dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi SAW dalam hal kehujjahannya.
Menurut Syi'ah, 'adil dalam pengertian di atas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. 'Adil mutlak atau Was}fiyah. Pengertiannya adalah para periwayat itu tidak menyeleweng dari faham mazhab Syi'ah Imamiyah.
2. 'Adil Nisbiyah. Yang dimaksud dengannya adalah para periwayat yang berlainan bidang aqidah dengan Syi'ah Imamiyah.
Berkaitan dengan pembagian 'adil, baik mutlak maupun nisbiyah, maka Syi'ah menetapkan beberapa aturan tentang diterima riwayatnya.
Aturan-aturan itu dapat dilihat pada butir-butir berikut ini:
a. Adanya rekomendasi dari salah satu Imam yang ma's}u>m
b. Adanya rekomendasi (na>s) dari tokoh-tokoh terdahulu, seperti al-Barqy>, Ibnu Qailuwiyah, al-Kasysyi>, al-S}idi>q, al-Mufi>d, al-Naja>sy, dan lain-lain.
c. Adanya pengakuan secara konsensus dari kekuasaan ulama-ulama terdahulu .
d. Adanya rekomendasi dari tokoh-tokoh mereka yang masa kini, seperti Syaikh mereka, Muntajib al-Di>n dan Ibn S}ah}r, serta Asyab.
e. Dipercaya dan dipuji oleh ulama Syi'ah dan rawi tersebut meriwayatkan dari periwayat yang bermazhab Syi'ah. Demikian juga, periwayat Syi'ah meriwayatkan dari padanya.
Sungguh pun demikian, beberapa aturan di atas tidak dapat mencapai derajat s}ah}i>h} menurut Syi'ah ini. Dalam hal ini, aturan itu hanya mempunyai derajat H}asan atau Muwassaq.
V. Ke-d}a>bit}-an Periwayat
Pengertian d}a>bit} menurut istilah telah dikemukakan ulama dalam bentuk keterangan. Menurut Ibnu H}ajar dan al-Sakha>wi>, yang dimaksud dengan orang d}a>bit ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya.
Secara terurai Syi'ah memberikan pengertian bahwa seorang rawi yang bernilaikan d}a>bit} adalah seorang periwayat yang hafal terhadap hadis yang diriwayatkan, jika ia meriwayatkan hadis dengan hafalannya dan menjaga benar-benar hafalannya dari kesalahan-kesalahan menerangkan serta menjaga dari ketimpangan-ketimpangan terhadap hadis-hadis yang diriwayatkannya.
Bertolak dari pengertian di atas, maka dapat dirumuskan secara jelas tentang batasan d}a>bit}. Batasan-batasan itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Periwayat itu hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya
2. Periwayat itu dapat memahami dengan baik riwayat yang didengarnya
3. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik kapan saja dia menghendaki dan sampai saat dia menyampaikan itu kepada orang lain.
Dalam hal ini ke-d}a>bit-an seorang rawi akan mempengaruhi terhadap ke-s|iqah-annya. Maka, tidak dianggap seorang rawi itu berkualitas s|iqat apabila dalam dirinya terdapat cacat dalam ke-d}a>bit-annya. Misalnya, lupanya lebih kuat daripada ingatannya atau banyak salahnya daripada benarnya.
Ke-d}a>bit-an dapat rusak apabila terjadi beberapa keadaan, yaitu: 1) dalam meriwayatkan hadis lebih banyak salahnya daripada benarnya, 2) lebih menonjol sifat lupanya daripada hafalannya, 3) riwayat yang disampaikan diduga keras mengandung kekeliruan, tentu saja hal ini tidak terlepas dari pantauan ulama hadis di kalangan Syi'ah, 4) riwayatnya bertentangan dengan yang disampaikan oleh orang yang lebih s|iqat, dan 5) jelek hafalannya.
Demikian tadi adalah kriteria kesahihan hadis menurut ulama muta'akhkhiri>n Syi'ah. Sebenarnya ada perbedaan mendasar, tentang hal ini, antara ulama muta'akhkhiri>n dengan ulama mutaqaddimi>n, sekalipun kriteria-kriteria di atas juga ada dalam kriteria kesahihan hadis yang dibangun oleh ulama mutaqaddimi>n. Perbedaan tersebut adalah pada sisi tambahannya, yaitu ulama Syi'ah mutaqaddimi>n dalam menentukan kesahihan hadis tidak terpaku pada masalah kualitas rawi saja, melainkan sebuah hadis itu dapat dikatagorikan sebagai hadis sahih karena beberapa alasan sebagai berikut: Pertama, karena hadis itu diriwayatkan oleh sumber yang dapat dipercaya, kendatipun ia tidak termasuk dalam Us}u>l yang 400, atau terdapat dalam sebuah kitab yang pernah ditunjukkan kepada salah seorang Imam. Kedua, karena hadis itu sejalan dengan dalil lain yang bersifat pasti dan sejalan dengan konteks yang mengitarinya, meskipun tidak semua rawi itu dari segi kepribadian mereka termasuk orang-orang yang terpercaya. Sementara ini tidak dilakukan lagi oleh ulama mutaqaddimi>n. Sebelum mengkaji apa pun tentang hadis terlebih dahulu mereka memperhatikan pada rawi hadis. Jika ditemukan adanya kecacatan pada salah satu rawi yang ada, maka tidak ada kompromi untuk mengatakan hadis tersebut adalah hadis sahih.
Khusus mengenai periwayat dari golongan sahabat, jika Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah menganggap semua sahabat adalah 'adil, maka Syi'ah tidak seperti itu. Syi'ah dengan keras menyatakan bahwa tidak seluruh sahabat adalah 'adil (ada di antara mereka yang 'adil, tetapi juga ada yang tidak 'adil). Tentang ini, mereka mengajukan beberapa argumentasi, yang didasarkan kepada al-Qur'an dan hadis. Di antara ayat al-Qur'an yang menunjukkan keadalian dan keutamaan sahabat adalah QS. al-Taubat: 100, al-Fath}: 18 dan 29, al-H}asyr: 8. Sementara ayat-ayat yang mengindikasikan ketidakadilan sahabat, di antaranya adalah QS. al-Muna>fiqu>n: I, al-Ah}za>b: 12, al-H}ujura>t: 6. Adapun dalil dari sisi hadis, antara lain hadis riwayat al-Tirmiz|i>. Ia meriwayatkan dari ibnu Abba>s yang menyatakan bahwa, Rasulullah SAW pernah bersabda:
Manusia akan dikumpulkan pada hari kiamat dengan keadaan telanjang seperti pertama kali mereka diciptakan. Kemudian Nabi SAW membaca sebuah ayat: 'Sebagaimana Kami memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya'. Dan orang yang pertama kali memakai pakaian dari seluruh makhluk adalah Ibrahim a.s., kemudian Nabi SAW meneruskan sabdanya: 'Kelak ada beberapa orang sahabatku yang akan diambil dan digolongkan dengan kelompok kanan dan kelompok kiri. Aku bertanya: Ya Rab! Mereka adalah sahabat-sahabatku, mengapa Engkau memasukkan mereka ke golongan kiri? Ia menjawab: 'Sesungguhnya Kamu tidak tahu apa yang telah mereka perbuat. Mereka berpaling dari agamanya sejak kamu meninggalkan mereka'. Lalu aku berkata seperti yang telah dikatakan oleh seorang hamba yang s}a>lih} (Isa a.s.): 'Jika Engkau siksa mereka, maka mereka itu adalah hamba-hamba-Mu dan jika Engkau mengampuni mereka, maka Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa lagi Bijaksana.
Berdasarkan argumentasi di atas, Syi'ah dengan tegas menolak konsep Kullu S}ah}a>biyyin 'Adu>l. Karenanya, mereka tetap melakukan penelitian secara seksama terhadap kualitas ke'adilan sahabat. Mereka tidak langsung begitu saja menerimanya dan meriwayatkannya, kecuali bila telah memenuhi syarat-syarat ke'adilan dalam kitab al-Jarh} wa al-Ta'di>l.

Implikasinya dalam Kitab al-Ka>fi> al-Kulaini>
a. Riwayat Hidup dan latar Belakang Penulisan
Al-Ka>fi dikarang oleh S|iqat al-Isla>m, Abu> Ja'far Muh}amd bin Ya'qu>b bin Ish}a>q al-Kulaini> al-Ra>zy>. Ia dilahirkan di sebuah dusun Kulain di Ray Iran dan oleh karenanya ia disebut dengan al-Kulaini> atau al-Kulini>. Tidak banyak keterangan yang didapat dari berbagai buku sejarah tentang kapan pengarang kitab al-Ka>fi> tersebut dilahirkan. Informasi yang ada hanya tentang tempat tinggal al-Kulaini> selain di Iran, yaitu pernah tinggal di Bag}da>d dan kuffa>h. Di samping itu tahun kewafatannya, yaitu tahun 328 H./329 H. (939/940 M.) al Kulaini> dikebumikan di pintu masuk Kuffa>h.
Al-Kulaini> berasal dari keluarga terhormat di Ray Iran, ayahnya Ya'qu>b bin Ish}a>q adalah seorang tokoh Syi'ah terkemuka, yang oleh masyarakat sering disebut dengan nama al-Salsali>. Ada banyak ulama yang lahir di kota ini, seperti paman al-Kulaini> Abu> H}asan Ali> bin Muh}amad dan Ah}mad bin Muh}amad. Kenasaban seperti inilah kiranya yang mempengaruhi kemahiran al-Kulaini> dalam bidang keagamaan, hingga membawanya kepada kesuksesan.
Dari beberapa kitab dijelaskan bahwa pada masa kecil al-Kulaini> semasa dengan Imam Syi'ah kedua belas al-H}asan al-Askari> (w. 260 M.). Di samping itu, ia juga semasa dengan empat wakil Imam kedua belas (Sufara>' al-Arba'ah), yaitu Imam Muh}amad bin H}asan.
Sebagai seorang ahli hadis yang sudah tidak lagi diragukan kapasitasnya, al-kulaini> mempunyai banyak guru dari kalangan ulama ahl al-bait, demikian juga murid dalam kegiatan transmisi hadis. Di antara guru al-Kulaini> adalah Ah}mad bin Abdulla>h bin Ummiyah, Ish}a>q bin Ya'qu>b, al-H}asan ibn Khafif, Ah}mad bin Mihra>n, Muh}amad bin Yah}ya> al-At}t}a>r, dan Muh}amad ibn 'Aqil al-Kulaini>. Sedangkan murid-muridnya, antara lain Abu> al-H}usain Ah}mad bin Ali> bin Sa'id al-Ku>fi>, Abu> al-Qa>sim Ja'far bin Muh}amad bin Muh}amad bin Sulaima>n bin H}asan bin al-Jahm bin Bakr, Muh}amad bin Muh}amad bin 'A>s}im al-Kulaini>, dan Abu> Muh}amad Ha>ru>n bin Mu>sa bin Ah}mad bin Sa'id.
Berdasar pada keterangan mengenai tahun kewafatan al-Kulaini>, maka disimpulkan bahwa ia hidup pada masa Dinasti Bani Buwaihiyah (945-1055 M.). Masa ini merupakan masa paling kondusif bagi elaborasi dan standardisasi ajaran Syi'ah dibandingkan masa sebelumnya. Masa-masa sebelumnya adalah masa-masa sulit bagi kaum Syi'ah untuk mengembangkan eksistensinya dalam berbagai bidang.
Pada kondisi seperti inilah al-Kulaini> hidup dan mencoba menjawab harapan dari sebagian kaum Syi'ah yang memintanya untuk menulis sebuah kitab hadis yang mencakup seluruh permasalahan agama. Kitab tersebut diharapkan dapat memuaskan para pelajar dan dapat dijadikan rujukan para pencari petunjuk, serta dapat dijadikan sebagai sumber ilmu agama, sumber perbuatan berdasarkan riwayat yang sahih dan sunnah para s}a>diqi>n. Dengan kitab ini diharapkan orang-orang dapat melaksanakan perintah Allah SWT dan sunnah Nabi SAW. Kitab al-Ka>fi> menjawab kebutuhan para ahli hadis, fiqh, theologi, juru dakwah, tukang debat, dan para pelajar.
Oleh karenanya, kitab al-Ka>fi> mencakup di dalamnya pokok-pokok agama, furu>', akhlaq, nasehat, dan ajaran Islam lainnya. Di dalamnya memuat sebanyak 400 pokok-pokok agama yang telah mewujud pada zamannya dengan lengkap. Sehinga al-Ka>fi> sendiri oleh al-Kulaini> dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu al-Us}u>l, al-Furu>', dan al-Raud}ah sebagai jawaban atas kebutuhan umat.
b. Sistematika Penulisan Kitab al-Ka>fi al-Kulaini>>
Kitab al-Ka>fi> merupakan kitab yang utama dari tiga kitab yang lainnya (Fa>qih Man La> Yah}d}u>ruhu al-Fa>qih, al-Tahz|i>b, dan al-Istibs}a>r) di kalangan Syi'ah. Ia merupakan kitab yang amat lengkap yang memuat sebanyak 400 pokok-pokok agama dan terbagi menjadi tiga bagian; al-Us}u>l (pokok-pokok), al-Furu>' (cabang-cabang), dan al-Raud}ah. Pada bagian al-Us}u>l berisi hadis-hadis mengenai dasar-dasar agama dan prinsip di mana hukum-hukum agama berpijak. Bagian al-Furu>', membahas hadis yang memerinci hukum-hukum agama tersebut, dan al-Raud}ah adalah kumpulan hadis yang menguraikan berbagai segi dan minat keagamaan serta termasuk beberapa surat dan khutbah para imam. Di dalam kitab al-Ka>fi> terdapat kurang lebih 16.000 buah hadis, sehingga sudah selayaknya kitab tersebut menjadi pegangan utama dalam mazhab Syi'ah dalam mencari hujjah keagamaan. Bahkan di antara mereka ada yang mencukupkan atas kitab tersebut dengan tanpa melakukan ijtiha>d sebagaimaa terjadi di kalangan akhbariyu>n.
Pengarang kitab al-Ka>fi>, al-Kulaini> adalah seorang ulama Syi'ah terkenal dan termasuk generasi ahli hadis keempat. Kitab ini merupakan hasil buah karya fenomenalnya yang mempunyai ciri khas tertentu, sehingga berbeda dengan kitab hadis lainnya. Dalam penyusunannya selama 20 tahun, hadis-hadis yang dihimpun di dalamnya disusun secara sistematis dan dibagi bab-bab tertentu sesuai dengan pokok persoalan. Melihat banyaknya cakupan hadis yang ada di dalamnya dan materi bahasannya, maka ada anggapan di kalangan Syi'ah bahwa segala persoalan keagamaan sudah dibahas dalam kitab al-Ka>fi> dan oleh karenanya ijtiha>d sudah tidak diperlukan lagi.
Menurut perhitungan al-Khuns}ari>, secara keseluruhan hadis-hadis dalam kitab al-Ka>fi> berjumlah 16.190 buah hadis. Sementara dalam hitungan al-Majlisi> berjumlah 16.121 hadis, Agha Buzurg al-Tihrani> sebanyak 15.181 hadis, dan menurut Ali> Akbar al-Ghifari> berjumlah 15.176 hadis. Kitab al-Ka>fi> terdiri atas delapan jilid, dua jilid pertama berisi tentang al-Us}u>l, lima jilid sesudahnya berbicara tentang al-Furu>', dan satu jilid terakhir berbicara tentang al-Rawd}ah.
Secara keseluruhan distribusi hadis-hadis dalam tiap jilidnya adalah; jilid pertama memuat 1437 hadis, jilid kedua memuat 2346 hadis, jilid ketiga memuat 2049 hadis, jilid keempat memuat 2443 hadis, jilid kelima memuat 2200 hadis, jilid keenam memuat 2727 hadis, jilid ketujuh memuat 1704 hadis, dan jilid kedelapan memuat 597 hadis. Dengan demikian jumlah keseluruhan hadis dalam kitab al-Ka>fi> karya al-Kulaini> sebanyak 15.503 hadis. Terdapat selisih 618 hadis dan kemungkinan hadis tersebut tidak terhitung disebabkan matannya satu dan sanadnya berbilang. Hitungan ini dilakukan oleh al-Majlisi>, seorang ulama yang mengkaji kitab al-Ka>fi> karya al-Kulaini>.

c. Kriteria Kesahihan Hadis Dalam Kitab al-Ka>fi dan Penilaian Ulama Terhadapnya
Al-Kulaini> dalam menentukan kriteria kesahihan hadis yang terdapat dalam kitabnya al-Ka>fi>, menggunakan kriteria kesahihan hadis yang lazim dipakai oleh ulama Mutaqaddimi>n. Hal ini dimungkinkan karena masa hidup al-Kulaini> sendiri termasuk dalam generasi ulama Mutaqaddimi>n. Jadi, hadis sahih menurut al-Kulaini> adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada Imam yang ma's}u>m dengan penukilan dari orang yang adil dalam kelompok Imamiyah dan dari orang yang sepertinya dalam semua tingkatan dan jumlahnya terbilang.
Di samping itu, dalam Mustadrak al-Wasa>'il, al-Kulaini> juga menyatakan bahwa hadis-hadisnya dipandang sahih adalah karena ia terdapat dalam kitab-kitab yang dijadikan pegangan, diketahui penulisnya, sanad-sanadnya bersambung kepadanya dan yang telah diriwayatkan atau diterima dari orang-orang s|iqat yang pengetahuannya tidak mengenal hal-hal yang bersifat teoritis. Para s|iqat di sini adalah gurunya atau guru dari gurunya, berada pada zaman yang dekat dan mereka tidak menyerupai orang-orang lain.
Para penyeleksi hadis sebelum al-Kulaini>, selalu menguji sanad dengan ketelitian yang tinggi. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua pembawa hadis adalah orang yang mempunyai iman yang benar. Karenanya, jika mereka mendapatkan cacat atau penyelewengan pada periwayat hadis tersebut, maka mereka segera meninggalkan hadis-hadis tersebut, sekalipun keadaan para periwayat tersebut berdasarkan puluhan konteks yang mengitarinya masih dapat diterima. Akan tetapi, oleh al-Kulaini> riwayat seperti itu, dikaji dari segi sanad dan matan serta relasi-relasi yang mengitarinya. Sehingga, riwayat yang demikian bisa dipandang dapat diterima meskipun sumbernya merupakan syarat utama untuk dijadikan sandaran suatu riwayat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kriteria kesahihan hadis dalam pandangan al-Kulaini> tidak hanya terpaku pada keadilan periwayat saja, melainkan sebuah hadis juga dapat dikatagorikan sebagai hadis sahih, berdasarkan beberapa alasan berikut:
1) Hadis itu diriwayatkan dari sumber yang dapat dipercaya, walaupun ia tidak termasuk ke dalam Us}u>l yang 400 atau terdapat dalam sebuah kitab yang sempat diperlihatkan kepada salah seorang imam.
2) Hadis itu sejalan dengan dalil yang lain yang sifatnya qat}'i> dan sejalan dengan konteks yang dapat dipercaya, meskipun tidak semua rawi tersebut dari segi kepribadian termasuk orang-orang yang sah untuk dijadikan sandaran.
Berdasarkan semua kriteria yang dibangun oleh al-Kulaini> di atas, kitab al-Ka>fi> banyak mendapat pujian sekaligus kritikan. Bagi mereka yang memandang pensahihan yang dilakukan al-Kulaini> atas riwayat-riwayat yang ada dalam kitabnya sebagai kesaksian atas ke-s|iqat-an para periwayat dan bahwa sabagian riwayatnya terdapat dalam kitab-kitab lain yang ada, maka mereka boleh berpegang pada kesahihannya dan menjadikanya sebagai sumber pengamalan hukum. Sedangkan bagi mereka, khususnya ulama mutaakhkhiri>n, yang memandang pensahihan yang dilakukan oleh al-Kulaini> atas riwayatnya mutlak merupakan hasil penelitian, ijtiha>d, dan kajiannya atas sanad dan matan selama 20 tahun, maka mereka berarti tidak membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang ada dalam kitab al-Ka>fi> dan kitab-kitab lainnya, yakni dari kemungkinan untuk dikritik, di-ta'di>l, dan dinilai memiliki cacat (jarh}).
Dari cara pandang yang dilakukan oleh ulama mutaakhkhiri>n inilah, kemudian eksistensi kitab al-Ka>fi> mengalami pergeseran. Dari semula, bahwa semua riwayat yang ada di dalamnya adalah sahih berubah menjadi terklasifikasi ke dalam beberapa katagori. Namun demikian dalam penuturan sejarah, eksistensi pertama berlangsung cukup lama, kurang lebih tiga abad dan baru pada masa al-'Alla>mah al-H}illi> dan gurunya Ah}mad bin T}a>wus, mulai tersadarkan (terindikasikan) adanya keraguan-keraguan dalam riwayat-riwayat kitab al-Ka>fi>.
Melalui ilmu Mus}t}ala>h} al-H}adi>s| yang telah disusun oleh al-'Alla>mah al-H}illi> (w. 726 H.) bersama gurunya berhasil menjelaskan tingkatan-tingkatan hadis yang ada di dalam kitab al-Ka>fi>. Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pokok-pokok Ilmu Dira>yah, maka ditetapkan sebagai riwayat yang bisa dijadikan h}ujjah. Sementara riwayat-riwayat yang termasuk dalam kebalikan ketentuan di atas, ditolak sehingga tidak bisa dijadikan h}ujjah. Atas dasar ini, hadis-hadis al-Ka>fi> yang mencapai 16.199 hadis, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Hadis-hadis yang s}ah}i>h} sebanyak 5.072 hadis
2) Hadis-hadis yang h}asan sebanyak 144 hadis
3) Hadis-hadis yang muwassaq sebanyak 1.128 hadis
4) Hadis-hadis yang qawi> (kuat) sebanyak 302 hadis, dan
5) Hadis-hadis yang d}a'i>f sebanyak 9.485 hadis.
Sebagaimana kitab al-Ja>mi' al-S}ah}i>h} al-Bukha>ri>, kitab al-Ka>fi> al-Kulaini> juga mendapat respon dari banyak ulama, baik respon positif maupun respon negatif. Di antara ulama yang menilai positif sekaligus memberikan syarh} atas kitab tersebut adalah al-Fid al-Kasyani> dalam syarh}-nya, menyatakan: "Al-Ka>fi>... kitab yang paling mulia, paling s|iqat, paling lenngkap pada ketercukupannya pada pembahasan Us}u>l". Muh}amad Ta>qi al-Majlisi> juga mengatakan: "...adalah kitab al-Ka>fi,> tercakup di dalamnya pembahasan Us}u>l yang lengkap dan penulisnya merupakan ulama yang besar lagi mulia kedudukannya". Adapun ulama yang mengkritik kitab ini, nampaknya mereka mencoba untuk menyoroti lebih jauh dan mendetail tetang isi al-Ka>fi>. Misalnya mengenai kesahihan hadis yang terdapat dalam kitab al-Ka>fi>. Banyak ulama, di antaranya al-Mufi>d, Ibn Idri>s, Ibn Zuhrah, dan al-S}adu>q memberikan kritikan tajam terhadapnya. Mereka tidak mempercayai bahwa riwayat-riwayat yang terdapat di dalam kitab al-Ka>fi> seluruhnya sahih, melainkan mereka justru memandang bahwa kitab al-Ka>fi> sama seperti kitab lainnya yang sebagian di dalamnya terdapat hadis-hadis lemah dan tidak memenuhi kriteria sebagai hadis yang dapat dijadikan sandaran. Hal ini jelas berbeda dengan kaum Akhbariyyu>n yang mengklaim bahwa seluruh hadis yang terdapat dala kitab al-Ka>fi> dapat dijadikan h}ujjah bagi semua persoalan agama.

1. Segi Perbedaan dan Implikasinya
Berdasarkan penjelasan di atas (melalui pembahasan ringkas kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri> sebagai represetasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah dan kitab al-Ka>fi> al-Kulaini> sebagai representasi Syi'ah), nampak bahwa di kalangan Syi'ah terdapat perbedaan dengan kalangan Sunni.
Syi'ah, dengan berdasar pada doktrin ima>mah dan is}mah bahwa para imam dua belas mempunyai kedudukan dan kualitas pribadi seperti Nabi SAW dan karenanya juga terjaga dari kesalahan, menegaskan bahwa h}ujjah keagamaan tidak serta merta berakhir dengan kewafatan Nabi SAW, melainkan terus berlangsung ke wakil-wakil beliau sampai Imam kedua belas. Persepsi ini secara otomatis menegaskan bahwa Syi'ah mempunyai definisi hadis yang berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah. Karenanya, bagi kaum Syi'ah hadis bukan hanya segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat khalqiyah dan khuluqiyah, akan tetapi juga meliputi segala sesuatu yang bersumber dari Imam dua belas. Dengan demikian, apa yang bersumber dari Nabi SAW dan apa yang bersumber dari para Imam dua belas, kedudukannya sama dalam hal ke-h}ujjah-an agama. Dari sisi yang berbeda, hal ini berarti ketersambungan sanad dalam Syi'ah tidak disyaratkan harus selalu sampai kepada Nabi SAW, tetapi bisa juga kepada imam yang ma's}u>m. Sementara Sunni hanya membatasi pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW sebagai hadis dan sumber ke-h}ujjah-an agama. Karenanya, Sunni sama sekali tidak mengakomodasi hadis-hadis yang ketersambungan sanadnya tidak sampai kepada Nabi SAW. Adapun riwayat-riwayat yang berasal sahabat disebut hadis mauqu>f dan riwayat-riwayat dari ta>bi'i>n disebut hadis maqt}u>', keduanya tidak dapat dijadikan h}ujjah. Perbedaan ini berimplikasi kepada banyaknya materi hadis yang bisa dijadikan h}ujjah.
Proses transmisi hadis termasuk perbedaan yang mencolok antara Syi'ah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah. Dalam hal ini, Syi'ah mengklaim menggunakan tradisi tulisan dalam periwayatan hadis (textual-transmission). Tradisi ini telah terbentuk sejak awal kenabian dan terus berlanjut dan semarak pada masa-masa berikutnya. Karenanya, hadis-hadis Syi'ah tidak mengalami sejenis kelemahan dan keraguan yang berkaitan dengan penundaan penulisan hadis, sekalipun proses kodifikasinya baru terjadi pada abad ke-4 dan ke-5, yaitu setelah gaibnya Imam ke-12 pada akhir abad ke-3. Kelemahan tersebut bisa meliputi gaya/model periwayatan hadis, jumlahnya, kemungkinan pemalsuannya, periwayatan bi al-ma’na>, dan lain-lain. Keterjagaan ini bisa dilihat pada hadis-hadis dalam kitab al-Ka>fi> yang sumber periwayatannya selalu berkesinambungan dari satu imam ke imam berikutnya hingga sampai Nabi SAW. Sedangkan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah, sekalipun tradisi penulisan hadis juga telah ada sejak masa Nabi SAW, akan tetapi karena masih adanya kontroversi akibat adanya hadis tentang larangan penulisan hadis, maka tradisi lesan (oral-transmission) dalam hal periwayatan hadis lebih dominan daripada tradisi tulisan. Di samping itu, hal ini bukan merupakan sesuatu yang aneh, karena tabi'at orang Arab sendiri yang terkenal kuat hafalannya. Konsekuensi dari tradisi ini, hadis-hadis di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah mengalami periwayatan dengan makna. Dan karenanya proses kodifikasi hadis mengalami ketertundaan hingga secara resmi baru terjadi sekitar 1 abad setelah meninggalnya Nabi SAW. Dari sini hadis-hadis di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah disinyalir mengalami beberapa kelemahan dan keraguan seperti kemungkinan pemalsuannya, periwayatan bi al-ma’na>, dan lain-lain. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya hadis-hadis yang harus diseleksi oleh al-Bukha>ri>, hingga mencapai 600.000 buah hadis.
Dalam hal periwayat hadis, khususnya para periwayat dari kalangan sahabat, antara Syi'ah dan Sunni juga terdapat perbedaan mendasar. Menurut Syi'ah tidak seluruh sahabat itu adil kecuali beberapa orang saja. Keadilan para sahabat ini menjadi pertanyaan besar bagi kaum Syi'ah yang mencapai klimaksnya pasca fitnah al-Kubra>, sehingga mereka tidak menerima keadilan semua sahabat (melainkan hanya beberapa sahabat) dan bahkan mereka menolak riwayat dari tiga khalifah sebelum Ali> bin Abi> T}a>lib. Sedangkan menurut Sunni (mayoritas ulama), seluruh sahabat adalah adil, tidak terkecuali sebelum dan sesudah fitnah al-kubra>.

Perbedaan lainnya yang dapat dijumpai adalah kriteria kesahihan hadis. Ulama Syi'ah, dalam hal ini mutaqaddimi>n, menegaskan bahwa kesahihan hadis tidaklah bersandar pada keadilan seorang rawi saja, melainkan suatu hadis dapat dikatagorikan sebagai hadis sahih, karena beberapa alasan berikut; pertama, karena hadis itu diriwayatkan oleh sumber yang dapat dipercaya, kendatipun ia tidak termasuk dalam Us}u>l yang 400 atau terdapat dalam sebuah kitab yang pernah diajukan kepada salah seorang imam dari Imam dua belas. Kedua, karena hadis itu sejalan dengan dalil yang bersifat pasti (qat}'i>) dan sejalan dengan konteks yang bisa dipercaya. Ringkasnya hadis sahih adalah hadis yang karenanya perbuatan menjadi benar dan yang dapat dijadikan pegangan, walaupun dari sudut sanad, tidak semua rawi dari segi kepribadian mereka termasuk orang-orang yang sah untuk dijadikan sandaran. Adapun ulama Sunni, bisa dikatakan bahwa sebelum melakukan apa-pun terhadap hadis, terlebih dahulu harus melihat para periwayatnya. Jika terdapat cacat pada salah satu periwayatnya, maka hadis tersebut menjadi tertolak. Dengan kata lain, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, periwayatnya bersifat 'adil dan d}abit}, serta di dalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan (syuz|u>z|) dan cacat ('illat). Bahkan al-Bukha>ri> menambahkan dua syarat khusus mengenai ketersambungan sanad, yaitu harus ditandai dengan pertemuan langsung antara guru dan murid atau minimal ditandai dengan guru dan murid hidup pada satu masa.

Di samping itu, perbedaan yang juga tidak kalah pentingnya antara Syi'ah dan Sunni adalah Syi'ah masih mengakomodasi para periwayat lain di luar para Imam, sekalipun derajat hadis dari jalur ini berbeda dengan derajat hadis dari jalur Imam mereka. Sedangkan Sunni (dalam hal ini al-Bukha>ri>), tidak satu pun mengutip riwayat-riwayat yang mengkhabarkan tentang kekhalifahan Ali> bin Abi> T}a>lib atau menjelaskan keutamaan-keutamaannya, dan riwayat hidup putra-putranya yang diberkahi yang tidak lain adalah keluarga Rasulullah SAW.
Secara umum dari perbedaan tersebut mempunyai implikasi-implikasi sebagai berikut; Pertama, adanya anggapan teologis tentang tidak terhentinya wahyu sepeninggal Rasulullah SAW, maka imam-imam di mazhab Syi'ah dapat mengeluarkan hadis sebagaimana Rasulullah. Sehingga, hal-hal yang dikeluarkan oleh seorang imam berkenaan dengan ajaran agama, seperti surat-surat, khutbah, dan fatwa-fatwa didudukkan setara dengan hadis.
Kedua, keberadaan hadis-hadis Syi'ah juga semakin kompleks, ketika tradisi-tradisi yang berkembang di sekitar ikut mempengaruhi imam dalam menyusun kitab hadis. Karenanya, banyak tradisi Syi'ah yang muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh ibadah Haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitulla>h saja, melainkan memasukkan hal-hal lain, seperti ziarah ke makam Nabi Muhamad SAW dan para imam mereka.
Ketiga, hadis-hadis Syi'ah memiliki klasifikasi tersendiri berdasar pada ilmu Mus}t}ala>h} al-H}adi>s| yang dikembangkannya. Ada empat klasifikasi hadis dalam tradisi Syi'ah, yaitu; s}ah}i>h}, h}asan, muwassaq, dan hadis d}a'i>f. Masing-masing istilah ini memiliki terminologi yang berbeda dengan terminologi yang ada dalam istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah.
Keempat, ada beberapa masalah yang tercover dalam kitab hadis Syi'ah tetapi tidak ada dalam kitab hadis Sunni. Hal ini wajar sebagai implikasi lanjutan dari prinsip-prinsip teologis Syi'ah yang tidak ada dalam prinsip-prinsip teologis Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah.
Kelima, karena menggunakan tradisi tertulis, akibatnya hadis-hadis Syi'ah sering diwarnai dengan fenomena peringkasan sanad. Sanad sebagai mata rantai jalur periwayat hadis dimulai dari sahabat sampai ulama hadis terkadang ditulis lengkap dan terkadang ditulis dengan membuang sebagian sanad atau awalnya dengan alasan atas beberapa konteks tertentu. Demikian ini tidak lain adalah untuk menyingkat penulisan. Seperti ketika al-Kulaini> telah menulis lengkap sanad pada hadis yang dikutip di atas hadis yang diringkas. Adapun bentuk-bentuk peringkasan tersebut bisa mencukupkan pada kata as}h}a>buna> (sahabat kita), 'iddah (sejumlah), atau jama>'ah (sekelompok).
Terlepas dari perbedaan dan implikasi di atas, yang jelas kedua kitab tersebut tetap saja menjadi kitab hadis utama dan rujukan yang pertama dalam kajian hadis sampai saat ini bagi masing-masing kelompok, yaitu Syi'ah dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama>'ah. Khusus terhadap hadis-hadis Syi'ah, terutama hadis yang terhimpun dalam kitab al-Ka>fi>, ada satu pernyataan bijak yang disampaikan oleh al-Kulaini>, bahwa ia sendiri tidak mengklaim hadis-hadis yang ada dalam kitabnya semuanya sahih dan bersambung kepada para imam yang ma'su>m melalui rawi-rawi yang 'adil. Dari sini, sangatlah tidak adil, apabila Kita>b al-Ka>fi> diposisikan sebagaimana orang-orang Sunni memposisikan Kita>b al-Bukha>ri>. Apalagi kalau hal itu, kemudian untuk menghakimi Kita>b al-Ka>fi> sebagai kitab yang d}a'i>f. Sebab, bagaimana sikap ini bisa diterima, sementara pengarangnya sendiri mengakui bahwa hadis-hadis yang terhimpun di dalamnya, memang tidak semuanya sahih dan muttas}il.

loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar