HADITS LARANGAN MEMAKAN KELEDAI

Admin Saturday, December 25, 2010

A.                 Pendahuluan
Ketetapan hukum islam yang bersumber dari teks-teks syar’i (baca: al Qur’an dan Hadits) pada era kontemporer seharusnya tidak lagi dapat dikonsumsi begitu saja (taken for granted). Sebagian dari para intelektual muslim berupaya untuk melakukan pengkajian ulang atau reinterpretasi terhadap teks-teks (nash) keagamaan dengan bantuan beberapa ilmu serta pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan dan diharapkan mampu mengungkap maksud yang sebenarnya dari sebuah teks.
Pemaknaan literal yang diambil dari sebuah teks agama ternyata sangat menyesakkan dada para ummat tanpa melihat makna sebenarnya serta kondisi sosio-historis pada saat teks tersebut diucapkan.
Beberapa nash al qur’an dan hadits apabila dipahami secara literal an sich, akan membuat bingung apalagi untuk meng-kontekstualisasi-kannya dengan zaman sekarang. Sebagai contoh sebuah hadits nabi mengenai larangan memakan keledai. Jika kita memahami hadits tersebut dari makna literalnya saja tanpa melihat konteks yang melingkupi teks, maka akan tejadi misinterpretation terhadap sabda nabi tersebut.
Beberapa pertanyaan akan muncul di benak kita. Kenapa nabi melarang memakan keledai kampoeng? Apakah ada zat yang dikandung oleh keledai sebagaimana yang dikandung babi dan binatang sejenisnya sehingga nabi melarang kita memakannya? Bagaimana kondisi sosio-antropologis-historis pada saat itu - hingga pada akhirnya kita akan bertanya, apakah hadits tersebut masih relevan untuk zaman sekarang?
Beberapa ulama’ telah mengomentari hadits tersebut dan sebagian besar menyepakati akan haramnya memakan keledai.


B.                 Sekilas tentang keledai (himar)
Keledai atau masyarakat arab menyebutnya himar, merupakan salah satu hewan selain unta  yang banyak digunakan jasanya oleh masyarakat arab pada waktu itu khususnya bagi para pedagang yang menggunakannya untuk membawa dagangan mereka. Suku Badu’i yang tempat tinggalnya berpindah-pindah tempat (nomaden) juga sangat akrab dengan hewan ini karena mengantarkan mereka ke tempat pindah mereka yang baru.
Selain dari fungsi di atas, kulit keledai dan hewan lainnya juga diambil sebagai bahan pakaian dan keledai pun dijadikan sebagai sebagai perhiasan. Hal ini bisa dilihat di dalam berbagai perayaan pernikahan serta upacara-upacara kebesaran seperti di negeri barat, India serta hewan kesayangan para raja-raja dahulu. Kenyataan ini sebagaimana difirmankan oleh Allah swt di dalam surah an Nahl ayat 8:
 Ÿ@øsƒø:$#ur tA$tóÎ7ø9$#ur uŽÏJysø9$#ur $ydqç6Ÿ2÷ŽtIÏ9 ZpuZƒÎur 4 ß,è=øƒsur $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÑÈ  
Dan (dia telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.

Di dalam masyarakat jahiliyah pun hingga datangnya islam mereka masih memakan daging keledai. Dan hal tersebut dilakukan sebelum adanya larangan dari Rasulullah saw.

Keledai sebagai symbol
Sejak jaman primitif, benda-benda yang ada di sekitar manusia tinggal seringkali dijadikan sebagai oleh mereka sebagai sebuah symbol ataupun atau ungkapan sebagai alat komunikasi. Symbol tersebut bisa sebagai pertanda/isyarat baik maupun buruk dan terkadang ini dihubungkan dengan mitos-mitos tertentu.
Misalnya bunga yang digunakan  untuk symbol ungkapan kasih sayang, api atau sesuatu yang berwarna merah pertanda berani, air sebagai symbol sumber kehidupan dan lain sebagainya. Hingga saat inipun masih banyak orang yang menggunakan segala yang ada di sekitarnya sebagai suatu symbol dan sebagai ungkapan.
Keledai sejak dulu digunakan sebagai symbol yang memiliki makna tertentu. Namun, sebagian besar symbol tersebut memiliki makna yang negatif. Beberapa diantaranya, orang yang bodoh, orang yang suka menuruti kemauan orang lain tanpa mau melawan, disimbolkan dengan hewan keledai. Orang yang senang berbohong juga disimbolkan dengan hewan ini[1]. Bahkan di salah satu hadits beliau, menyebutkan keledai sebagai terputusnya shalat[2]. Hadits tersebut adalah:
و حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا الْمَخْزُومِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ وَهُوَ ابْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْأَصَمِّ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْطَعُ الصَّلَاةَ الْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ[3]
"Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Shalat itu terputus oleh wanita, keledai, dan anjing. Dan tinggallah hal itu seperti seukuran ekor kendaraan."


C.                  Hadits larangan memakan keledai kampung
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَرَخَّصَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[4]
Sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami dari Hammad dari ‘Amru dari Muhammad bin ‘Ali dari Jabir bin ‘Abdullah berkata pada hari (penaklukan) Khaibar Rasulullah saw melarang kami memakan daging khimar dan memperbolehkan daging kuda”.

Setelah melakukan proses takhrij terhadap hadits di atas, ditemui beberapa hadis yang senada dengan hadits tersebut dan tersebar hampir di seluruh kutub al tis’ah. Beberapa teks hadits yang senada yang mewakili tiap-tiap kitab adalah sebagai berikut:

1.                   H.R. Muslim, Shahih Muslim, No. 2513:
و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ وَحَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ الْحَسَنِ وَعَبْدِ اللَّهِ ابْنَيْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ عَنْ أَبِيهِمَا أَنَّهُ سَمِعَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ يَقُولُ لِابْنِ عَبَّاسٍ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ[5]

2.                   H.R. At Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, No. 1715:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ وَنَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ قَالَ أَطْعَمَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لُحُومَ الْخَيْلِ وَنَهَانَا عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرٍ وَرَوَاهُ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرٍ وَرِوَايَةُ ابْنِ عُيَيْنَةَ أَصَحُّ قَالَ و سَمِعْت مُحَمَّدًا يَقُولُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ أَحْفَظُ مِنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ[6]

3.                   H.R. An Nasa’i, Sunan An Nasa’i, No. 4253:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ وَأَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ قَالَا حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرٍو وَهُوَ ابْنُ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى وَذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَأَذِنَ فِي الْخَيْلِ[7]

4.                   H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud No. 3294:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ وَأَذِنَ لَنَا فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[8]
5.                   H.R. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah No. 3182:
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ أَبُو بِشْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرَ الْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ[9]
6.                   H.R. Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal No. 13928:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ أَكَلْنَا زَمَنَ خَيْبَرَ الْخَيْلَ وَحُمُرَ الْوَحْشِ وَنَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْحِمَارِ الْأَهْلِيِّ[10]


7.                   H.R. Ad Darimi, Sunan ad Darimi No. 1909:
أَخْبَرَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ[11]

D.                 Penyebab dilarangnya Keledai
1.                  Analisis Historis
Dari beberapa hadits yang dijumpai dalam masalah ini, sebagian telah menyebutkan bahwa larangan ini terjadi di saat perang Khaibar. Ketika itu para sahabat menyembelih hewan kuda, bighal dan himar. Dan pada saat yang sama datang seorang utusan Rsaulullah saw yang memberitahukan bahwa Rasulullah saw melarang memakan daging himar (keledai) dan membolehkan memamakan daging kuda.
Di riwayat lain menyebutkan bahwa pada suatu hari Rasulullah saw ditanya mengenai hukum memakan keledai. Setelah itu Rasulullah saw memerintahkan seorang penyeru beliau untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa sesungguhnya Allah swt dan Rasul-Nya melarang memakan keledai karena sesungguhnya ia adalah najis[12].

2.                  Analisis Ensiklopedis
Beberapa ulama’ telah memberikan komentarnya terhadap hadits mengenai larangan memakan keledai kampung tersebut. Beberapa ulama memandangnya haram dan sebagian berpendapat makruh.
Kalau kita melihat hadits tersebut, di dalamnya terdapat dua binatang yang hampir sama namun, dihukumi berbeda. Hewan pertama yakni keledai. Sebagian hadits memiliki redaksi matan yang berbunyi himar ahliyyah (keledai kampung atau jinak). Hewan ini di dalam hadits tersebut diharamkan oleh Rasulullah saw untuk dimakan. Di dalam kitab Sailul Jarrar (4/99) oleh Imam Syaukani, diharamkannya keledai jinak (himar ahliyyah). Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama setelah mereka berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas seperti di atas. Adapun keledai liar, maka hukumnya halal dengan kesepakatan ulama.[13]
Beberapa sahabat dan tabi’in yang sepakat akan haramnya memakan keledai kampung diantaranya: Ali, Ibnu Umar Jabi Ibnu Abdillah Inu Abi Aufa dan Bara’, Abi Tsa’labah dan lain-lain.
Sedangkan binatang yang kedua yakni kuda. Halalnya daging kuda. Ini merupakan pendapat Zaid bin Ali, Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaih dan mayoritas ulama salaf berdasarkan hadits-hadits shahih dan jelas di atas.
Adapun Ibnu ’Abbas berpendapat bahwa hukum memakan keledai kampung adalah makruh sehingga tidak haram atau sampai pada tingkatan tersebut. Pendapat ini disandarkan pada firman Allah swt di dalam surah al An’am ayat 145:
@è% Hw ßÉ`r& Îû !$tB zÓÇrré& ¥n<Î) $·B§ptèC 4n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ\Åz ¼çm¯RÎ*sù ê[ô_Í ÷rr& $¸)ó¡Ïù ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ 4 Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t/ Ÿwur 7Š$tã ¨bÎ*sù š­/u Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÊÍÎÈ  
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Dari ayat tersebut Menurut mazhab Ibnu Abbas: “Bahwasanya tidak diharamkan melainkan empat perkara yang telah disebutkan di dalam al-Quran.” Beliau memandang keumuman ayat tersebut atas hadits keharaman keledai kampung. Mazhab Ibnu Abbas ini telah diikut oleh mazhab Imam Malik.[14]
Adanya najis yang ada pada keledai sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut menetapkan bahwa hukumnya haram. Hal ini disepakati dengan dasar bahwa setiap najis adalah haram dan bukan sebaliknya.[15] Dan yang demikian diperkuat pula oleh salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
 لَمَّا افْتَتَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْبَرَ أَصَبْنَا حُمُرًا خَارِجَةً مِنْ الْقَرْيَةِ فَنَحَرْنَا وَطَبَخْنَا مِنْهَا فَنَادَى مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْهَا وَإِنَّهَا رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ.
Hadits di atas diperkuat oleh firman Allah swt dalam surah al Maidah ayat 90:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsƒø:$# çŽÅ£øŠyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ  
 Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Adapun yang dimaksudkan najis yang melekat pada keledai dikarenakan hewan tersebut memakan kotoran manusia dan ini adalah merupakan illat diharamkannya keledai.[16] Sedangkan beberapa pendapat yang bisa dikatakan masuk akal yakni karena keledai merupakan kendaraan yang digunakan oleh masyarakat sehingga bantuannya sangat dibutuhkan. Namun, lagi-lagi pendapat ini dibantah lagi[17].
Beberapa pendapat di atas merupakan representasi dari berbagai pendapat yang ada mengenai keharaman keledai kampung. Mungkin masih banyak lagi pendapat yang ada dari beberapa pakar lain berbeda mengenai hadits tersebut.
E.                  Kesimpulan dan Penutup
Dari penjelasan di atas beberapa hal yang bisa ditarik dari sabda Rasulullah saw melarang ummatnya untuk memakan keledai kampung. Para ulama berbeda pendapat mengenai larangan Rasulullah saw. Sebagian mengatakan larangan tersebut bukan berarti haram akan tetapi hanya makruh saja. Hewan yang haram dimakan yang disebutkan di dalam al Qur’an hanya ada empat dan tidak ada tempat bagi keledai. Pendapat ini dipegang oleh Ibnu Abbas dan diikuti oleh mazhab imam Malik.
Sebagian yang lainnya mengatakan larangan tersebut menunjukkan haram karena termasuk hewan yang najis (memakan kotoran manusia). Sedangkan najis (dalam mazhab syafi’iyah) hukumnya haram dan termasuk perbuatan syaithan. Pendapat ini dipegang oleh Ali, Ibnu Umar Jabir Ibnu Abdillah Inu Abi Aufa dan Bara’, Abi Tsa’labah dan lain-lain dan diikuti oleh Mazahb Syafi’i.
Demikianlah makalah ini dibuat apa adanya, sehingga benar-benar terdapat celah kesalahan dan kekhilafan. Namun, harapan penulis semoga dari makalah ini dapat memberi secuil sumbangsih bagi yang membacanya. Insya Allah. Penulis mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya makalah ini, dan kepada Bapak Agung Danarto yang telah membimbing kami, penulis ucapkan terima kasih. Terakhir, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif bagi pembaca budiman untuk perbaikan makalah ini.
Wassalam!





DAFTAR PUSTAKA
CD Mausu’ah al Hadis al Syarif. Shahih al Bukhari. Global Islamic Software, 1991-1997
_____________, Shahih Muslim. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan at Tirmidzi. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan an Nasa’i. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan Abu Daud. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan Ibnu Majah. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Musnad Ahmad bin Hambal. Global Islamic Software, 1991-1997.
_____________, Sunan ad Darimi. Global Islamic Software, 1991-1997.
www.almanhaj.or.id, diposting tanggal 10 April 2009
www.DarulKautsar.com, diposting tanggal 10 April 2009
Ash Shan’ani, Muhammad bin Isma’il al Kahlani. Subulussalam. Juz  I. Semarang: Toha Putra, tt.
CD Al Maktabah al Syamilah. Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy. Fathul Bari. Juz 9



[1] Hal tersebut sesuai dengan apa yang diceritakan Rasulullah ketika beliau diangkat ke langit, beliau melihat perempuan yang berkepala babi dan bertubuh keledai. Adapun perempuan yang berkepala babi dan berbadan keledai karena dia adalah ahli adu domba dan pembohong.

[2] Sebagian ulama’ mengatakan batalnya shalat dan sebagian yang mengatakan terputus atau tidak sempurna. Namun, penulis lebih sepakat dengan makna terputus atau tidak sempurna.
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al shalat, Bab Qadaru ma yastu al mushalli, No. 790, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[4] Imam Bukhari, Shahih al Bukhari, Kitab adz dzabaih wa al shayd, Bab Luhum al Humur wa al Insiyah, No. 5099. Lihat juga Shahih al Bukhari  No. 5096, 3897; Shahih Muslim No. 2513, 3595, 3596; Sunan at Tirmidzi No. 1715; Sunan an Nasa’I No. 4253, 4254, 4255, 4268; Sunan Abu Daud No. 3294, 3295, 3314; Sunan Ibnu Majah No. 3182 dan 3188; Musnad Ahmad bin Hambal No. 13928, 13939, 14311, 14361, 14373, 14603, dan Sunan ad Darimi No. 1909, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif. Dan masih banyak lagi hadits dari riwayat lain mengenai hadits ini.
[5] Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab al Nikah, Bab Nikah al Mut’ah, No. 2513, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[6] Imam at Tirmidzi, Sunan at Tirmidzi, Kitab al ath ‘amah ‘an Rasulillah, Bab ma jJa’a fi akalin luhum al khayl, No.1715, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[7] Imam an Nasa’i, Sunan an Nasa’i , Kitab ash Shayd wa adz Dzabaih, Bab al Idzn fi aklin luhum al khumr, No. 4253, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[8]  Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Kitab al ath ‘amah, Bab fi aklin luhum al khumr, No.3294, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[9] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab az Dzabaih, Bab Luhum al Khumr, No. 3182, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[10] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, Kitab Baqi Musnad al Muktsirin, BabMusnad Jabir ibn Abdullah, No. 13928, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[11] Ad Darimi, Sunan ad Darimi, Kitab al Adhahiy, Bab fi aklin luhum al khumr, No. 1909, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[12] Lihat Shahih Bukhari, Bab Luhum al Humur al Insiyah, Juz 18, hlm. 350, No. 5528, CD al Maktabah al Syamilah.
[13] www.almanhaj.or.id, diposting tanggal 10 April 2009
[14] www.DarulKautsar.com, diposting tanggal 10 April 2009
[15] Muhammad bin Isma’il al Kahlani Ash Shan’ani, Subulussalam, Juz  I (Semarang: Toha Putra, tt), hlm. 36
[16] Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy, Fathul Bari’, Bab Yusibu Min al Tha’am fi ardh al harb, Juz 9, hlm. 423, dalam CD Al Maktabah al Syamilah.
[17] Lihat Ibnu Hajar al ‘Asqalaniy, Fathul Bari’, hlm. 423
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar