Budaya

Admin Saturday, December 25, 2010

PENDAHULUAN
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt atas segala limpahan rahmat, hidayah dan segala sesuatunya hingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Teriring shalawat dan salam kepada Nabiku, Nabi Anda dan Nabi Kita semua, Muhammad Saw.
Berbagai upaya yang dilakukan untuk merampungkan makalah ini walaupun berbagai halangan dan rintangan pun selalu menghadang silih berganti. Meskipun demikian kami menyadari bahwa ini merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Hadirnya makalah ini merupakan bentuk sumbangsih penulis terhadap khazanah keilmuan yang berkembang pesat hingga saat ini khususnya ketika melihat antara agama, ilmu dan budaya yang berkembang seiring dan senafas. Budaya sebagai suatu hal yang telah mendarah daging dengan masyarakat seringkali berbenturan dengan agama yang berfungsi sebagai jalan hidup yang utama bagi ummat/masyarakat beragama itu sendiri. Pangkal dari hal tersebut, apabila tidak adanya titik temu yang tepat akan menimbulkan perpecahan serta ketimpangan hidup masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya, bagaimana agama mentolelir kebudayaan yang telah mendarah daging di dalam diri masyarakat. Hadirnya agama bukanlah berarti menghilangkan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Namun, bagaimana ia memberikan batasan-batasan ideologis terhadap budaya dan ilmu pengetahuan yang telah berkembang. Yang inilah kemudian disebut dengan islamisasi.
Ini merupakan sekilas persoalan yang akan dibahas di dalam makalah ini. Terima kasih kami haturkan kepada Bpk. Drs. Mohammad Yusuf, M.Ag, segenap teman-teman THK dan seluruh pihak yang telah membantu terkhusus kepada teman-teman tim makalah ini. Disadari bahwa di dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan dan oleh sebab itu kami memohon kritik dan saran kepada seluruh pembaca yang budiman.
Wassalam!

Tim Penyusun




A.                 KEBUDAYAAN
1.                  Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata “budaya” yang diberi imbuhan “ke-an yang diambil dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”. Adapun kata kata culture, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan “kebudayaan” berasal dari kata Latin colere yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti itu berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya serta tindakan manusia untuk menolah tanah dan merubah alam”.[1]
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.[2] EB Taylor (1832 –1917), kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adapt, serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ki Hajar Dewantara (1889-1959), kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran didalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Robert H Lowie (1883-1957), kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistic, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.
Dari beberapa definisi yang didapatkan, pada dasarnya memiliki inti yang sama. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya cipta manusia baik berupa ilmu pengetahuan, adat istiadat, kepercayaan, seni hukum dan lain-lain yang didapatkan dari pengalaman maupun pembelajaran.

2.                  Bentuk-Bentuk Kebudayaan
Sebagai sebuah peninggalan yang diwariskan dari generasi ke generasi, kebudayaan meninggalkan berbagai macam hal yang begitu berharga. Ditinjau dari segi bentuknya, kebudayaan menghasilkan berbagai macam bentuk peninggalan yang mana sebagian darinya masih bertahan hingga kini dan sebagian telah musnah.
Menurut J.J. Honiggman, Setidaknya ada 3 hal yang termasuk ke dalam bentuk peninggalan kebudayaan.
1.                   Aktifitas. Wujud kebudayaan yang lebih berupa karya seni manusia yang sifatnya nyata (konkret). Diantaranya termasuk lukisan, tulisan, rumah, perkakas rumah tangga, senjata, alat berburu, candi dan segala sesuatu yang keadaannya (baik-buruk, utuh-rusak) dapat dilihat dengan mata kepala.
2.                   Pemikiran (ide/gagasan). Kebudayaan dalam hal ini berupa segala sesuatu yang bersifat abstrak. Ia berada dalam ingatan para pelakunya. Yang termasuk dalam hal ini adalah hukum, system tata nilai, peraturan dan tata tertib, akhlak (perilaku baik-buruk), adat-istiadat serta kumpulan-kumpulan gagasan.
3.                   System social. Merupakan sebuah langkah yang ditempuh oleh sebuah masyarakat untuk beradaptasi, berinteraksi serta mengadakan hubungan dengan yang lainnya. Masing-masing daerah (area tertentu) memiliki cara tersendiri dalam melakukan hubungan dengan sesamanya. Hal ini disebabkan mereka mengikuti kebiasaan serta norma-norma yang berlaku di daerah yang mereka diami.

3.                  Nilai-Nilai Budaya; Sebuah Sistem
Nilai-nilai budaya merupakan nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi.
Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai budaya ini yaitu :
1.                   Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)
2.                   Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut
3.                   Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).
Sisten nilai budaya dalam masyarakat di mana pun di dunia secara universal meyangkut lima masalah pokokkehidupan manusia, yaitu ;
a)                  Hakikat hidup manusia
b)                 Hakikat karya manusia
c)                  Hakikat waktu manusia
d)                 Hakikat alam manusia
e)                  Hakikat hubungan manusia
Sistem nilai budaya inimerupakan abstraksi dari adat istiadat yang merupkan konsep – konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat.[3]

B.                 ISLAM DAN BUDAYA
1.                  Pengertian Islam
Islam dalam arti agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW., lahir bersama dengan turunnya al-Qur’an belasan abad yang silam. Masyarakat Arab jahiliyah adalah masyarakat pertama yang bersentuhan dengannya, serta masyarakat pertama pula yang berubah pola pikir, sikap, dan tingkah lakunya, sebagaimana dikehendaki Islam.[4]
Pada awal kedatangan Islam, masyarakat jahiliyah memiliki pola pikir, sikap, dan tingkah laku yang terpuji dan tercela. Di antara kebiasan mereka yang tercela adalah penyembahan berhala, pemujaan ka’bah secara berlebihan, khurafat, mabuk-mabukan, saling berperang, membunuh anak perempuan, dll. Adapun beberapa sifat terpujinya yaitu sebagaimana yang disebutkan oleh Ahmad Amin dalam karyanya Fajr al-Islam, masyarakat jahiliyah memiliki sifat dermawan, semangat dan keberanian dan kebaktian kepada suku.

2.                  Hubungan Islam dan Budaya
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara agama ( termasuk Islam ) dengan budaya, kita perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : mengapa manusia cenderung memelihara kebudayaan, dari manakah desakan yang menggerakkan manusia untuk berkarya, berpikir dan bertindak ? Apakah yang mendorong mereka untuk selalu merubah alam dan lingkungan ini menjadi lebih baik.
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat tak lain daripada proses realisasidiri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa ditemukan. Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah, , bahwa agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi,bukanlah diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut.
Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan. Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel. Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker, menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri.
Untuk melihat manusia dan kebudayaannya, Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “
Selain menciptakan manusia, Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai dua pembisik ; pembisik dari malaikat , sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan, sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang, sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini, Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian, Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “ berbudaya “. Dan dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini, mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama.

3.                  Islamisasi Budaya ; Solusi Alternatif Kesenjangan Budaya Dan Islam
a)                 Kesenjangan Budaya dan Islam
Manusia modern memang mampu membangun impian kehidupan menjadi kenyataan, namun kemudian mereka menghancurkannya dengan tangannya sendiri. Sebagaimana al Qur'an mengibaratkan seorang perempuan yang menenun kain dengan tangannya, lalu kemudian mencabik-cabiknya kembali dengan tangannya (QS. 16:92).
Para sosiolog berpendapat bahwa terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama terjadi pada level pribadi (individu) yang berkaitan dengan motif, persepsi dan respons (tanggapan), termasuk di dalamnya konflik status dan peran. Level kedua, berkenaan dengan norma, yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang menjadi patokan kehidupan berperilaku, yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuan norma (normlessnes). Level ketiga, pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat, yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan atau "cultural lag". Artinya, nilai-nilai pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan.
Agama dan budaya memiliki fungsi yang sama sebagai pedoman dalam bertindak. Agama bersumber pada wahyu yang bersifat mutlak, sedangkan budaya bersumber dari masyarakat sendiri dan bersifat relatif. Agama yang bersifat mutlak, ketika dipahami oleh penganutnya menjadi relatif karena dipengaruhi oleh budaya orang-orang yang memahaminya. Oleh karena arus budaya terus berkembang mengikuti perkemangan zaman, maka perlu menjembatani antara arus budaya dan teks, agar jangan sampai jika ada benturan antara  arus budaya dan teks, dan arus budaya menang, syari’at akhirnya mengikuti budaya, serta jangan sampai juga memperkosa teks.

b)                 Islamisasi ; Sebuah Definisi
Islamisasi sebagai suatu proses internalisasi dari nilai-nilai Islam pada temuan-temuan baru yang belum ada semangat keislamannya memberikan mandat agar memasukan ajaran Islam di dalamnya atau menyesuaikannya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam hal ini, semua temuan baru, baik di bidang ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan, harus tunduk dengan aturan Islam. Islam sebagai agama ditempatkan pada posisi yang tinggi memandu umat manusia menjalankan kehidupannya di dunia.
Islamisasi kebudayaan difahami sebagai meresapnya pandangan-dunia (worldview) Islam ke dalam segala aspek sebuah kebudayaan. Islamisasi diartikan sebagai “pembebasan manusia, pertama-tama, dari tradisi magis, mitologis, animistik, kultur-nasional, dan kemudian dari belenggu sekuler atas pikiran dan bahasanya”.[5]
c)                  Proses Islamisasi
Proses islamisasi diawali dengan turunnya wahyu pada Nabi Muhammad SAW dan terus berlanjut hingga kini. Islamisasi suatu kebudayaan berlangsung melalui perombakan pandangan-dunia kebudayaan tersebut, yakni pandangan fundamental mengenai kenyataan (alam semesta, manusia, dan Tuhan)—dengan kata lain metafisika, epistemologi, dan etikanya, dan menyesuaikannya dengan pandangan dunia yang islami. Dalam proses ini, bahasa sebagai medium pengungkapan sebuah pandangan-dunia memainkan peranan penting, bahkan ia merupakan sasaran pertama islamisasi, sedangkan transformasi hal-hal lain yang bersifat lahiriah dan material lebih merupakan perubahan turunan yang akan menyusul setelah pandangan-dunia yang melandasinya selesai mengalami proses islamisasi.[6]
Islamisasi kebudayaan bukanlah suatu proses arabisasi. Memang sebuah realita yang mengandung kebenaran, bahwa Islam diturunkan di tanah Arab dengan memakai bahasa Arab. Tetapi, tidak semua budaya yang lahir di tanah Arab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sedang yang membedakan antara islamisasi dan Arabisasi terdapat pada subtansi yang dikandungnya. Islamisasi sebagai suatu proses internalisasi dari nilai-nilai Islam pada temuan-temuan baru yang belum ada semangat keislamannya memberikan mandat agar memasukan ajaran Islam di dalamnya atau menyesuaikannya dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dalam hal ini, semua temuan baru, baik di bidang ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan, harus tunduk dengan aturan Islam. Islam sebagai agama ditempatkan pada posisi yang tinggi memandu umat manusia menjalankan kehidupannya di dunia.
Adapun Arabisasi tidak lain dari sekedar budaya yang berkembang di tanah Arab, baik melingkupi aspek bahasa maupun ilmu pengetahuan, yang suatu ketika dapat dijadikan acuan oleh pihak lain dalam mengambil i'tibar untuk diterapkan kembali pada kondisi yang berbeda.

d)                 Analisa Metode Islamisasi Kebudayaan
Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa inti dari islamisasi kebudayaan adalah melalui perombakan pandangan-dunia kebudayaan tersebut, yakni pandangan fundamental mengenai kenyataan (alam semesta, manusia, dan Tuhan)—dengan kata lain metafisika, epistemologi, dan etikanya, dan menyesuaikannya dengan pandangan dunia yang islami, dan bahasa sebagai medium pengungkapan sebuah pandangan-dunia memainkan peranan penting. Berangkat dari hal tersebut,  Toshihiko Isutzu Menggunakan metode analisis semantik dengan menunjukkan bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab praIslam, memberinya makna baru dengan menempatkannya dalam totalitas struktur pandangan-dunia yang sama sekali baru. Penulis sepakat dengan Toshihiko dengan gagasan semantiknya, dengan tidak mengabaikan setting sosio-historis.

e)                 Beberapa contoh islamisasi kebudayaan dalam kehidupan masyarakat indonesia
-                      Islamisasi budaya ‘Pop’
Di Indonesia kita bisa melihat banyaknya band-band ‘Pop’ sebagaimana ‘Gigi’, ‘Ungu’, dan ‘Dewa’ yang membawa nuansa Islam di dalam musik-musik ‘Pop’ yang mereka bawakan. Islamisasi budaya ‘Pop’ sendiri merupakan sebuah proses sosial yang muncul atas perang budaya. Sebuah perang budaya antara nilai-nilai kapitalisme, konsumerisme, dan liberalisme barat dengan nilai-nilai Islam. Sergei Moscovici (dalam Vaughan & Hogg, 2005) mengatakan bahwa terdapat tiga bentuk modalitas sosial yang dapat terbentuk sebagai respon atas konflik sosial, yaitu konformitas (dimana mayoritas mempengaruhi minoritas), normalitas (dimana terdapat kompromi antara kedua belah pihak), dan inovasi (dimana kelompok minoritas menciptakan sesuatu yang baru untuk meyakinkan mayoritas). Dengan demikian, di dalam konflik budaya ini umat Islam dituntut untuk bersikap kreatif, dan terus mengikuti perkembangan zaman. Agar umat Islam tidak akan jatuh sekali lagi ke dalam lubang konformitas, dan normalitas.
Dalam konteks di Jawa, Walisongo sebagai penyebar agama Islam dengan segala kecerdasannya melakukan islamisasi dengan pendekatan yang sangat memahami kondisi lokal Jawa. Jawa yang telah akrab dengan budaya Hinduisme haruslah disiasati dengan jeli. Oleh karenanya, islamisasi di Jawa hadir dalam bentuk adaptasi islamisasi lokal. Ini terlihat dengan pendekatan yang menampilkan aneka kesaktian, ritual yang mengadopsi kebudayaan Hindu, benda-benda sakti dan lain sebagainya, karena pertimbangan stabilitas sosial, islamisasi, dan politik. Adanya dua lingkungan islamisasi, yakni tradisi pesantren dan kejawen perlu dijembatani agar tercapai saling pengertian dan dapat mengeliminasi konflik-konflik yang mungkin dapat terjadi.
Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang paling mahir mengakulturasikan budaya Islam dengan budaya pra – Islam (budaya lokal). Dalam seni dakwah, Sunan Kalijaga juga dikenal mahir mendakwahkan Islam melalui pementasan wayang. Dia tidak pernah meminta bayaran kepada penonton kecuali mau mengucapkan dua kalimat syahadat (syahadatain). Kata syahadatain itulah yang sampai saat ini menjadi tema pokok perayaan sekaten, dan dilestarikan oleh kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram. Sampai saat ini pun perayaan Sekaten masih berjalan dengan baik
Dalam khazanah sastra dan islamisasi kita juga akan menemukan khazanah sastra yang bersumber ajaran agama dan kebudayaan Islam yang telah lama berkembang di Jawa dan berpusat di pesantren. Dengan unsurunsur keislaman yang terdapat dalam literature-literatur Arab maupun Arab Jawi (pegon) kemudian digubah ke dalam bahasa dan tulisan Jawa, serta dipadukan dengan alam pikiran Jawa.
Perpaduan antara unsur-unsur Islam dan Jawa ini menumbuhkan karyakarya baru. Masa itu ditandai dengan terbitnya karangan Jawa dalam kesusastraan modern (jadi bukan hanya gubahan kitab-kitab lama seperti masa pertama), tetapi juga karya. Inilah sebuah keberhasilan usaha untuk menjembatani rangkaian ancaman konflik sosial yang diakibatkan perbedaan antara tradisi Islam dan Nusantara.
-                      Potong Rambut Anak Kecil
Dari zaman kebudayaan Hindu dan Budha, budaya ini sudah ada. Hanya oleh Islam disempurnakan dikemas dalam acara Aqiqah (biasanya diis juga dengan pembacaan Barzanji). Acara ini memiliki makna untuk mengingatkan kepada orang tua akan tanggung jawab nya kepada si anak.
-                      Nujuh Bulanan
Sama juga dari jaman sebelum Islam masuk sudah ada, hanya saja disempurnakan dengan acara doa bersama dan pembacaan barzanji. Acara ini bermakna kepada sang Suami bahwa dengan semakin mendekatnya waktu kelahiran Si Anak, sang suami harus semakin menyadari tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Juga bermakna "menyindir" si suami (terutama yang seks mania) mengurangi (kalau bisa menyetop) kegiatan seksnya dan memperbanyak ibadah kepada Allah.
-                      Yasinan
Yasinan ini ungkapan yang sering disebut untuk acara pembacaan Yasin bersama2 di suatu rumah dimana anggota keluarganya telah meninggal dunia. Biasanya dibacakan dalam periode 1 hari, 3hari, 7hari, 40hr, 100hr. Acara ini sebenarnya termasuk budaya Nusantara, hanya disempurnakan lagi oleh Islam dengan diisi pembacaan Yasin dan zikir bersama. Acara ini bermakna untuk menemani keluarga sang Mayit untuk tidak jatuh terlalu dalam kesedihan, oleh rekan2, tetangga, sanak handai taulan.
Dan diharapkan dengan pembacaan Yasin dan zikir bersama turut mengingatkan bagi yang masih hidup bahwa kelak kematian cepat atau lambat pasti akan datang.
Agar tidak bengong biasanya keluarga sang mayit turut sibuk dengan menyiapkan hidangan bagi yang datang.
Ada juga yang menafsirkan dengan adanya acara keagamaan ini untuk melembutkan hati keluarga atau orang lain, apabila ada silang sengketa hutang piutang dan warisan.
Biasanya untuk keluarga yang tidak mampu, tetangga dan jemaah masjid/surau disekitarnya yang mengadakan acara yasinan ini.

4.                  Sikap Islam terhadap Kebudayaan
Islam, sebagaimana telah diterangkan di atas, datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan UUD pasal 32, disebutkan : “ Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Idonesia “.
Dari situ, Islam telah membagi budaya menjadi tiga macam :

Pertama : Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “ al adatu muhakkamatun “ artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam syareat, seperti ; kadar besar kecilnya mahar dalam pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya, menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu syah-syah saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo.
Untuk hal-hal yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum. Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil “ al adatu muhakkamatun “ karena nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan seorang kafir.

Kedua : Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam , kemudian di “ rekonstruksi” sehingga menjadi Islami.
Contoh yang paling jelas, adalah tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “ talbiyah “ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “ Ibadah” yang telah ditetapkan aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan, tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Ketiga : Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat. Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “ apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Dari situ, jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.

5.                  Krisis kebudayaan Islam
Salah satu aspek yang menjadi penyebab krisis kebudayaan Islam khususnya di Indonesia adalah adanya anggapan yang keliru oleh kalangan umat Islam yang mengasosiasikan Islam hanya sebagai “ibadat” saja dalam pengertiannya yang sempit dan dangkal. Pandangan seperti ini tentu saja kurang tepat. Bahwa pada hakikatnya, bidang garapan Islam tentu saja tidak hanya masalah peribadatan dalam arti sempit dan formal seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, akan tetapi di samping itu garapan Islam adalah masalah-masalah keduniaan (kebudayaan). Jadi secara ringkas, bidang garapan Islam meliputi seluruh segi kehidupan baik kehidupan keduniaan maupun kehidupan akhirat, yang keduanya tidak bisa lepas dari ajaran Islam. Islam adalah agama yang memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat. Membangun kehidupan duniawi adalah membangun kebudayaan, mempersiapkan kehidupan akhirat adalah membina peribadatan. Oleh karena itu, antara dunia dan akhirat, menurut Islam adalah sama pentingnya dan berjalan seimbang dalam kehidupan umat Islam.[7]

6.                  Toleransi Islam terhadap budaya yang berkembang dan dalilnya
Toleransi (al-tasamuh) bisa dimaknai dengan suatu sifat dan sikap menghargai. Toleransi merupakan salah satu asas masyarakat Islam yang telah diletakkan oleh Rasulullah SAW., Dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya, sikap toleransi sangatlah penting. Sikap bagaimana kita menjembatani antara budaya dengan teks agar tidak saling berseberangan, namun saling membahu antara satu dengan yang lain.
Sebagai contoh suatu yang membudaya di daerah kita yaitu tradisi halal bihalal. Kita tidak menemukan dalam al-Qur’an maupun al-hadits yang menjelaskan tentang arti kata itu.
M. Quraish Shihab menyebutkan dalam karyanya “Membumikan al-Qur’an” bahwa makna istilah halal bihalal dilihat dari segi hukum, halal adalah lawan dari haram. Adapun halal, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal, akan memberikan kesan bahwa dengan acara tersebut mereka yang melakukannya akan terbebas dari dosa. Dengan demikian, halal bihalal menurut tinjauan hukum, menjadikan sikap kita yang tadinya haram/dosa, menjadi halal/tidak berdosa lagi. Hal ini akan dicapai jika persyaratan lain yang ditetapkan oleh hukum terpenuhi oleh pelaku halal bihalal.
Selanjutnya, dilihat dari segi linguistik, kata halal berasal dari kata halla/halala yang mempunyai berbagai bentuk dan makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Di antara dari makna tersebut adalah menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, dan melepaskan ikatan yang membelenggu. Dari sini, bisa diambil kesimpulan bahwa halal bihalal adalah adanya keinginan untuk mengubah hubungan dari yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dan dari yang terikat menjadi bebas.[8]
Adapun kata halal dalam al-Qur’an menurut M. Quraish Shihab dapat ditemukan dalam enam ayat yang terdapat dalam lima surah, yaitu dalam QS. al-Nahl: 116, Yunus: 59 (dalam konteks kecaman), al-Baqarah: 168, 8: 69, 5: 88, 16: 114 (dirangkai dengan kata kulu “makanlah” dan thayyibah “yang baik).
Inti dari ayat-ayat di atas adalah seluruh aktivitas yang dilakukan hendaknya bersifat halal. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Maksudnya adalah setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap muslim hendaknya sesuatu yang baik dan menyenangkan semua pihak.
Dari sini pula diperoleh kesan bahwa halal bihalal bukan saja menuntut seseorang agar memaafkan orang lain, tetapi juga agar berbuat baik terhadap siapa pun.

·                     Hal-Hal Yang Harus Dihindari Dalam Toleransi ialah Mencampur Adukkan Antara Loyalitas Dan Toleransi
Al-Ustadz da'i Sayyid Quthub Rahimahullah menjelasakan : "Sesungguhnya toleransi Islam bersama Ahlul Kitab merupakan satu sisi dan menjadikan mereka sebagai kekasih adalah sisi lain lagi. Namun kedua hal ini, terkadang masih kabur bagi sebagian kaum muslilim yang jiwanya tidak jelas melihat secara sempurna tentang hakikat agama dan tugasnya. Gambarannya sebagai pergerakan manhaj realistis mengarah kepada perkembangan yang terjadi di muka bumi ini, sejalan dengan gambaran Islam yang tabi'atnya berbeda dengan segenap gambaran yang diketahui oleh manusia. Dari sini gambaran-gambaran dan aturan-aturan yang menyelisihi sebagaimana bertolak belakang pula dengan syahwat manusia, penyimpangan dan kefasikan mereka dari manhaj Allah. Dan masuklah ia ke dalam medan laga. Tiada alasan lagi, dia harus mengembangkan realita baru yang dia inginkan dan akan terjadi pergerakan positif yang berkembang.
Orang-orang yang masih kabur tentang hakekat kebenaran, nilai hakikat akidah mereka berkurang menurut perasaan yang bersih. Sebagaimana IQ yang cerdas menunjukkan berkurangannya pengatahuan mereka tentang tabi'at perlagaan ini dan tabi'at sikap ahlul kitab tentangnya.
Mereka melupakan pengarahan-pengarahan Al-Qur'an yang jelas gamblang tentang masalah ini, sehingga mereka mencampuradukkan antar seruan Islam kepada sikap toleransi dalam bermuamalah dengan ahlul kitab, berbuat baik kepada mereka dalam masyarakat muslim yang mereka tempati dan menunaikan hak-hak mereka, dengan sikap loyalitas yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.
Mereka melupakan apa yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an, bahwa ahlul kitab sebagiannya adalah pembela atas sebagian yang lain dalam memerangi kaum muslimin, hal ini adalah watak yang melekat pada mereka, mereka marah kepada seorang muslim karena keislamannya, mereka tidak akan ridlo kepada muslimin kecuali bila dia meninggalkan agamanya dan mengikuti agama mereka, mereka senantiasa memerangi Islam dan kaum muslimin, dan mereka telah menampakkan kebenciannya lewat mulut-mulut mereka sementara apa yang mereka sembunyikan dalam hati lebih besar lagi dan seterusnya dari ketetapan-ketetapan yang tegas ini.
Sesungguuhnya seorang muslim dituntut untuk bersikap toleran terhadap ahlul kitab, namun dia dilarang.

C.                  KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari paparan di atas penulis berpendapat bahwasanya islam dan budaya merupakan dua hal yang mengikat di dalam diri masyarakat. Namun, tak dapat dinafikan bahwa budaya memiliki pengaruh yang kuat dibanding agama. Oleh karenanya ketika agama berhadapan dengan budaya bukan berarti bahwa budaya harus dihilangkan dari masyarakat demi keberlangsungan keyakinan mereka. Akan tetapi, dalam hal ini bagaimana agama mampu mentolelir kebudayaan yang berkembang.
Islam hadir -sebagai sebuah agama- di Indonesia tidak bertujuan untuk melakukan dekonstruksi terhadap budaya masyarakat, teapi islam sebagai agama yang proaktif terhadap pengembangan kebudayaan serta sains dan bersikap terbuka terhadap keduanya. Bahkan kejayaan islam (meminjam kata Gus Dusr) terletak pada kemampuan agaman ini berkembang secara cultural. Dengan kata lain Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya akulturasi. Ajaran islam bias dinyatakan kuat apabila ajarannya mentradisi dan membudaya di tengah masyarakat islam.

DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, 2000, Pengantar Imu Antropologi, Jakarta: PT. Rineka Cipta
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, dikutip tanggal 09 Oktober 2009
Notowidagdo , H.Rohiman, Ilmu Budaya Dasar berdasarkan al-quran dan hadits.
Shihab, M. Quraish, 2007, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung
“Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, dalam Syed Muhammad Naquib alAttas (Ed.), 1981, Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University..
Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. dari bahasa Inggris oleh Hamid Fahmy dkk., Bandung: Mizan.
Ismail, Faisal, 1996, Paradigma Kebudayaan Islam, Titian Ilahi Press; Yogyakarta.
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita, 2006, Jakarta: Wahid Institute


[1] Koentjaraningrat, Pengantar Imu Antropologi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 181-182
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya, dikutip tanggal 09 Oktober 2009
[3] Orientasi nilai budaya tersebut sangat berharga dan maha penting dalam hidup sehingga berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan masyarakat.(Koentjaraningrat,1989). Lihat: Drs.H.Rohiman Notowidagdo Ilmu Budaya Dasar berdasarkan al-quran dan hadits..hal.43
[4] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 2007, hlm. 382
[5] “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, dalam Syed Muhammad Naquib alAttas (Ed.), Aims and Objectives of Islamic Education, Jeddah: King Abdul Aziz University. _________, 1981. hlm.61
[6] Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. dari bahasa Inggris oleh Hamid Fahmy dkk., Bandung: Mizan. Fahmy, Hamid, M. Arifin Ismail, dan Iskandar Amel, 2003.
[7] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1996, hlm. 25
[8] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an.....hlm. 498
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar