JADAL DALAM AL-QUR`ÂN DAN PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN
Oleh H. Muhammad Taufik*Tulisan ini, melihat persoalan di sekitar jadal al-Qur`ân. Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan dalil untuk mengalahkan orang kafir dan para penantangnya melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima nurani manusia. Tujuan Jadal al-Qur`ân diantaranya menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Adapun signifikansi jJadal al-Qur`ân dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat memahami dan kemudian diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan, mengembangkan manusia menjadi cerdas secara rasio-emosi-spiritual, dan anggun dalam iman, ilmu dan perilaku.
Kata Kunci: Jadal, al-Qur`ân, metode, penafsiran, pendidikan
funci.org |
Al-Qur`ân adalah petunjuk bagi manusia, yang sekaligus dengannya manusia dapat membedakan antara yang haq dengan yang bathil, yang salah dan yang benar. Ia juga dapat sebagai obat dan rahmat bagi manusia pada umumnya dan khususnya yang beriman.[1] Dalam waktu yang sama, al-Qur`ân adalah merupakan Mu’jizat terbesar dan abadi bagi Rasulullah Muhammad Saw. Ia merupakan mukjizat ruhiyah yang bersifat rasional dan spiritual sekaligus, sehingga menarik umtuk di diperhatikan oleh orang yang mempunyai hati dan pikiran.[2]
Al-Qur`ân – kata Syekh Muhammad ‘Abduh – mengandung berita bangsa-bangsa silam yang dapat dijadikan contoh perbandingan bagi umat sekarang dan yang akan datang, ia memuat berita pilihan yang dipastikan kebenarannya. al-Qur`ân menceritakan hikayat para Nabi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka dengan umatnya. Ia juga mensyari’atkan kepada manusia hukum-hukum yang sangat cocok dengan kemaslahatan kehidupan mereka.[3]
Sejalan dengan keyakinan ‘Abduh itu, Nashr menegaskan pula bahwa :
Al-Qur`ân berisi petunjuk bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya[4] kepada Tuhan. Karenanya al-Qur`ân menjadi pusat kehidupan Islam. Al-Qur`ân adalah dunia di mana seorang muslim hidup. Ketika ia dilahirkan, di telinganya dibisikkan syahadat yang terdapat dalam al-Qur`ân. Ia mempelajari al-Qur`ân sejak ia mulai bisa berbicara. Ia mengulangnya setiap hari dalam shalat. Ia dinikahkan melalui pembacaan al-Qur`ân. Dan ketika ia mati dibacakan al-Qur`ân kepadanya. Al-Qur`ân adalah serat yang membentuk tenunan kehidupannya, ayat-ayat al-Qur`ân adalah benang yang menjadi rajutan jiwanya.[5]
Dalam membicarakan al-Qur`ân sebagai petunjuk, Nasr memahami kandungannya dalam tiga klasifikasi : Pertama : “doktrin” yang memberi pengetahuan terhadap struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya. Doktrin itu berisi petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at yang mengatur kehidupan manusia sehari-hari. Doktrin itu juga mengandung metapisika tentang Tuhan, kosmologi atau alam semesta serta kedudukan berbagai makhluk dan benda di dalamnya, dan pembahasan kehidupan di akhirat. Kedua : al-Qur`ân berisi petunjuk yang menyerupai ringkasan sejarah manusia, rakyat biasa, raja-raja, orang-orang suci, dan para Nabi sepanjang zaman dan segala cobaan yang menimpa mereka. Meskipun petunjuk ini berupa sejarah, sebenarnya ia ditujukan pada jiwa manusia di sini dan sekarang, meskipun ia mengambil tempat dan waktu yang telah lalu. Ketiga : al-Qur`ân berisi sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa modern. Sesuatu itu dapat disebut “magi” yang agung, bukan dalam arti harfiah, melainkan dalam arti metafisis. Ayat al-Qur`ân, karena diturunkan oleh Tuhan, mengandung kekuatan yang berbeda dari apa yang kita pelajari dalam al-Qur`ân secara rasional. Ayat-ayat itu menyerupai ‘azimat yang melindungi manusia. Itulah sebabnya mengapa kehadiran fisis dari al-Qur`ân sendiri membawa berkah bagi manusia. Apabila seorang muslim menghadapi kesulitan ia membaca ayat-ayat al-Qur`ân tertentu yang menenangkan dan menghibur hatinya.[6]
Baik dalam posisinya sebagai yang mengandung petunjuk yang bersifat doktrinal, historis dan sublim[7] di satu sisi, maupun sebagai mukjizat abadi yang bersifat ruhiyah, rasional dan spiritual sekaligus di sisi lainnya, al-Qur`ân memerlukan prosedur, mekanisme dan kiat tertentu untuk dapat memahami atau mendekati pemahaman terhadapnya.
Dalam kerangka itu, telah berbilang jumlah dan berbagai ragam tafsir dan Ulum al-Qur`ân yang dihasilkan para ulama dan cendekiawan sampai saat ini . Namun, kandungan al-Qur`ân masih tetap bagai tak terusik, sebab memang kandungannya itu jauh melampaui kemampuan manusia untuk menyelaminya.[8] Di samping manusia yang selalu berupaya menghampiri pemahaman terhadap al-Qur`ân itu sejak awal turunnya, tidak sedikit juga yang sebaliknya, yang berupaya menjauhi bahkan membantah apa yang dikandung al-Qur`ân. Seperti dijelaskan sendiri dalam Q.,s. al Kahfi/18: 54 yamg terjemahnya “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”.
Mengapa manusia bisa dan suka/banyak membantah? Menurut analisis Fazlur Rahman dalam Major Themes of the Qur’an bahwa :
Karena setiap sesuatu di alam semesta ini bertingkah laku sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditentukan kepadanya – secara otomatis mentaati perintah Allah – maka keseluruhan alam semesta ini adalah muslim atau tunduk kepada kehendak Allah. Manusia adalah satu-satunya ciptaan Allah yang memiliki kebebasan untuk mentaati atau mengingkari (membantah perintah-Nya). (Q.,s.al Syams/91: 7-10).[9]
Berbagai upaya dalam membantah kebenaran al-Qur`ân, dilakukan manusia sejak masa turunnya, namun selalu kandas. Sebab bantahan al-Qur`ân selalu lebih kuat. Kekuatan bantahan al-Qur`ân ini, antara lain adalah dalam kedudukan uslub bahasa nya yang juga bermuatan mu’jizat. Menurut al Zarqani bahwa di antara kemukjizatan al-Qur`ân terdapat pada “kefasihan lafadznya serta keindahan uslubnya yang tidak bisa ditandingi.”[10] Pembicaraan di sekitar bantah membantah dalam al-Qur`ân itulah yang kemudian dalam disiplin ‘Ulum al-Qur`ân dikenal dengan istilah Jadal al-Qur`ân.
Tulisan ini, akan mencoba melihat permasalahan di sekitar Jadal al-Qur`ân tersebut, meliputi: pengertian Jadal, macam dan topiknya, tujuan dan metodenya, perannya dalam penafsiran al-Qur`ân serta pengaruhnya terhadap pendidikan.
II. Pengertian Jadal Al-Qur`ân
Al-Qur`ân menyebut kata Jadal dalam berbagai bentuknya sebanyak 29 kali. Lokus pemuatannya tersebar pada 16 Surat dalam 27 ayat yakni pada surah: al-Nisaa/4: 109 dan Huud/11: 32 masing-masing dua kali; al-Baqarah/2: 197; kemuadian pada al-Nisaa/4: 107; al-An’aam/6: 121, 125; al-A’raf/7: 71; al-Anfaal/8: 6; Huud/11: 74; al-Ra’d/13: 13; al-Nahl/16: 111, 125; al-Kahfi/18: 54, 56; al-Hajj/22: 3, 8, 68; al-Anka buut/29: 46; Luqmaan/31: 20; Ghaafir/40: 5, 4, 25, 56, 69; al-Syuura/42: 35; al-Zukhruf/43: 58; al-Mujaadalah/58: 1 masing-masing satu kali.[11] Dalam bahasa Indonesia, Jadal dapat dipadankan dengan debat. Debat adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.[12] Jadal atau Jidal dalam bahasa Arab dapat dipahami sebagai ”perbantahan dalam suatu permusuhan yang sengit dan berusaha memenangkannya.”[13]Sebagai suatu istilah, Jadal adalah saling bertukar pikiran atau pendapat dengan jalan masing-masing berusaha berargumen dalam rangka untuk memenangkan pikiran atau pendapatnya dalam suatu perdebatan yang sengit.[14] Berbagai batasan pengertian tentang Jadal dirumuskan para ulama, namun pada dasarnya mengacu pada perdebatan serta usaha menunjukkan kebenaran atau membela kebenaran yang ditujunya dengan berbagai macam argumentasi. Dari definisi-definisi yang ada bila hendak dibuatkan rambu-rambu, maka itu antara lain adalah (1) Hendaknya dengan jalan yang dapat diterima atau terpuji, (2) Diniati untuk mendapat dalil/argumen yang lebih kuat, (3) Untuk menunjukkan aliran/mazhab serta kebenarannya.
Dengan rambu yang demikian itu, para pihak yang terlibat dalam jadal memang tidak harus saling membenci, walaupun pada dasarnya sulit menghidari suasana saling bermusuhan. Sebab, sebagian dari watak dasar manusia adalah memang suka membantah atau berbantah-bantahan, bahkan Tuhannya pun dibantah. (Q.,s. al Kahfi/18 : 54). Kenapa demikian? Sebab manusia memang memiliki potensi/kebebasan untuk itu, yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lainnya (lihat catatan nomor 10). Untungnya kita punya pedoman yaitu al-Qur`ân yang menganjurkan jika hendak berbantahan, maka berbantahanlah dengan cara yang terbaik.[15]
Istilah yang dapat dipandang sebagai padanan daripada istilah Jadal adalah al Munazharah, al Muhawarah, al Munaqasyah dan al Mubahatsah. Istilah-istilah tersebut dapat dipandang sepadan, sebab pada dasarnya mengacu pada tujuan yang sama yakni untuk menjelaskan dan kejelasan sesuatu permasalahan. Hanya saja Jadal lebih menekankan kemenangan, dan pada saat yang sama kekalahan bagi pihak lawan debat. Munazharah merupakan kegiatan dimana dua orang saling mengemukakan pemikiran, masing-masing bertujuan membenarkan pemikirannya serta menyalahkan pemikiran lawan (debat)nya dengan jalan saling mencoba menguji pembuktian dalam upaya mencari/menampakkan kebenaran. Adapun muhawarah mengacu pada pembicaraan dimana di dalamnya ada dialog/tanya jawab dengan sopan yang bertujuan hampir sama saja dengan Jadal. Tentang munaqasyah dan mubahatsah hampir sama saja. Khususnya tentang Jadal dan muhawarah, di dalam al-Qur`ân terdapat ayat yang di dalamnya digunakan kedua istilah tersebut, yaitu pada surah Q.,s. al Mujadalah ayat pertama.[16]
Adapun al-Qur`ân secara etimologis berarti “bacaan”, dan secara terminologis adalah Kalam Allah SWT. Yang merupakan mu’jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhamad SAW. dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya adalah ‘ibadah.[17] Sedangkan yang dimaksud Jadal al-Qur`ân adalah pembuktian-pembuktian serta pengungkapan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya, untuk dihadapkan pada orang-orang kafir dan mematahkan argumentasi para penentang dengan seluruh tujuan dan maksud mereka, sehingga kebenaran ajaran-Nya dapat diterima dan melekat di hati manusia.[18]
III. Macam dan Topik Jadal al-Qur`ân
Secara umum, Jadal al-Qur`ân dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori. Pertama : Jadal yang terpuji (al Jadal al Mamduh) adalah suatu debat yang dilandasi niat yang ikhlash dan murni dengan cara-cara yang damai untuk mencari dan menemukan kebaikan dan kebenaran. Ulama membolehkan debat dengan maksud untuk menjelaskan syari’at dan membuktikan kesahalan lawan dengan alasan-alasan dan pembuktian yang benar, tentunya dengan cara yang baik. Hal tersebut dapat didasarkan pada firman Allah yang terjemahnya sebagai berikut :
(1) Serulah (manusia) kejalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka (wajaadilhum) dengan cara yang lebih baik (Q.,s. al Nahl/16 : 125).
(2) Dan jangan kamu berdebat (walaa tujaadil) dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka (Q.,s. al ‘Ankabuut/29 : 46).
Sebagai contoh dari Jadal jenis ini dapat dilihat pada ayat yang terjemahnya sebagai berikut :
Maka tatkala datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata “mengapakah tidak diberikan kepadanya (Muhammad) seperti yang telah diberikan kepada Musa dahulu?” dan bukanlah mereka itu telah ingkar (juga) kepada apa yang diberikan kepada Musa dahulu? Mereka dahulu telah berkata : Musa dan Harun adalah dua orang ahli sihir yang bantu-membantu”. Dan mereka (juga) berkata : “Sesungguhnya kami tidak mempercayai masing-masing mereka itu”. Katakanlah : “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan al-Qur`ân) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (Q.,s. al Qashash/28 : 48-50).
Kedua: Jadal yang tercela (al Jadal al Mazdmum), adalah setiap debat yang menonjolkan kebathilan atau dukungan atas kebathilan itu. Tentang tercelanya debat yang bathil ini banyak dasarnya dari Al Kitab maupun al Sunnah dan pendapat kaum Salaf. Di antara dasarnya dari al Kitab adalah ayat yang terjemahnya sebagai berikut:
(1) Dan tidaklah Kami mengutus rosul-rosul melainkan sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan; tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang bathil agar dengan demikian mereka dapat melenyapkan yang hak dan mereka menganggap ayat-ayat Kami dan peringatan-peringatan terhadap mereka sebagai olok-olok (Q.,s. al Kahfi/18 : 56).
(2) Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap (Q.,s. al Anbiya’/21 : 18).
Jadal al Mazdmum itu ada yang dilakukan dalam bentuk debat tanpa landasan keilmuan seperti disinyalir dalam Q.,s. al Hajj/22: 3, yang terjemahnya “di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithan yang sangat jahat”, dan ayat 8 yang tertejamhnya “Dan diatnara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya”. Juga dapat dilhat contoh Jadal model tersebut pada Q.s., al Mu’minun: 71 dan Q., s. Lukman: 20. Ada pula Jadal al Mazdmum dalam bentuk dukungan atas kebathilan setelah tampak kebenaran seperti dalam Q.,s. al Mukmin/40: 5 yang terjemahnya “dan mereka membantah dengan (alasan) yang batil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang batil itu.”[19]
Adapun mengenai terma (maudlu’) dalam Jadal al-Qur`ân, cukup banyak tersebar dalam berbagai surah dan ayah al-Qur`ân. Al Almaa’iy mengkategorikannya ke dalam enam kelompok terma (nama dan nomor surat dan ayat di dalam kurung adalah di antara contoh jadal dalam terma bersangkutan), yakni : (1) Jadal dalam penetapan wujud Allah (Q.,s. al Jaatsiyah/45 : 24-28), (2) Jadal tentang penetapan Keesaan Allah (Q.,s. al Anbiya’/21 : 22), (3) Jadal tentang Penetapan Risalah (Q.,s. Nuh/71 : 1-3), (4) Jadal tentang Kebangkitan dan Pembalasan (Q.,s. al Mu’minun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15), (5) Jadal tentang Tasyri’at (Q.,s. al Nahl/16 : 36 & Q.,s. al Anbiya’/21 : 25), (6) Jadal tentang aneka tema lainnya, seperti: (a) Jadal Bani Adam (Q.,s. al Maidah/5 : 27-31), (b) Jadal Ibrahim a.s. tentang kaum Luth (Q.,s. Hud/11 : 74-76), © Jadal antara Musa dan Hidlir a.s (Q.,s. alKahfi/18 : 60-72), (d) Jadal antar orang shabar yang miskin dan orang kafir yang kaya (Q.,s. al Kahfi/18 : 32-43), (e) Jadal Keluarga Fir’aun yang beiman dengan kaumnya (Q.,s. al Mu’minun/23 : 27-40), (f) Jadal Yahudi dan Nasrani tentang Ibrahim a.s. (Q.,s. Ali Imran/3 : 65-68), (g) Jadal Munfiqin dengan Mu’minin (Q.,s. al Baqarah/2 : 11-14). Di antara sekian maudlu’ Jadal dalam al-Qur`ân– menurut analisis Al Almaa’iy – terma yang pertama dan kedua yakni tentang Wujud dan Keesaan Allah yang paling banyak mendapat sorotan.[20]
Dengan menggunakan kerangka jenis/macam Jadal yang dikemukakan ter dahulu, bila dicermati secara baik, tentunya dapat diduga dari contoh-contoh tersebut di atas, mana yang tergolong Jadal yang mamduh dan mana yang mazdmum.
IV. Tujuan dan Metode Jadal
Jadal al-Qur`ân memiliki berbagai tujuan, yang dapat ditangkap dari ayat-ayat al-Qur`ân yang mengandung atau yang bernuansa Jadal, di antaranya adalah :(1) Sebagai jawaban atau untuk mengungkapkan kehendak Allah dalam rangka penetapan dan pembenaran aqidah dan qaidah syari’ah dari persoalan-persoalan yang dibawa dan dihadapi para Rasul, Nabi dan orang-orang shaleh. Sekaligus sebagai bukti-bukti dan dalil-dalil yang dapat mematahkan dakwaan dan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kalangan umat manusia, sehingga menjadi jelas jalan dan petunjuk ke arah yang benar. Jadal dengan tujuan seperti ini dapat dicermati contohnya mengenai dialog Nabi Musa a.s. dengan Fir’aun (Q.,s. al- Syu’araa’/26: 10-51).
(2) Sebagai layanan dialog bagi kalangan yang memang benar-benar ingin tahu, ingin mengkaji sesuatu persoalan secara nalar yang rasional , atau melalui ibarat maupun melalui do’a. Dari dialog-dialog tersebut, kemudian hasilnya dapat dijadikan pegangan, nasehat dan semacamnya. Untuk tujuan seperti ini dapat dijadikan contohnya adalah penjelasan Allah SWT. atas persoalan kegelisahan Naabin Ibrahim a.s. yang ingin menambah keyakinannya dan ketenangannya dengan mengetahui bagaimana Allah menghidupkan makhluk-Nya yang telah mati (Q.,s. al Baqarah/2 : 260, juga dapat dilihat pada ayat 30 surat yang sama sebagai contoh lainnya.
(3) Untuk menangkis dan melemahkan argumentasi-argumentasi orang kafir yang sering mengajukan pertanyaan atau permasalahan dengan jalan menyembunyikan kebenaran yang memang disinyalir dalam al-Qur`ân Wajaadiluu bi al Baathil liyudhiduu bihi al haq (Q.,h. al Mukmin/40 : 5). Sebagai contoh Jadal dengan tujuan seperti ini bisa dilihat dalam Q.,s. al Mukminun/23 : 81-83 dan Q.,s. Qaaf/50 : 12-15 serta Q.,s. Yaasiin/36 : 78-79.[21]
Adapun mengenai metode yang ditempuh Jadal al-Qur`ân, para ulama pada dasarnya sama saja, walaupun secara tehnis ada perbedaan dalam mengelompokkan apakah suatu jadal dalam al-Qur`ân termasuk metode atau macam/jenis dari jadal tersebut. Yang dimasukkan ke dalam macam-macam Jadal al-Qur`ân oleh Abu Zahrah dan Al Qaththan umpamanya, oleh Al Almaa’iy sebagiannya dimasukkan ke dalam metode Jadal al-Qur`ân. Dalam tulisan ini, kedua kecenderungannya tersebut digabung dalam pembahasan tentang prosedur yang ditempuh dalam Jadal al-Qur`ân, yakni:[22]
(1) Al Ta’rifat.
Bahwa Allah SWT secara langsung memperkenalkan diri-Nya dan ciptaan-Nya sebagai pembuktian akan wujud dan ke Maha Kuasaan-Nya. Karena Allah tidak terjangkau oleh indera manusia, maka dengan mengungkapkan hal-hal yang bisa ditangkap indera manusia, manusia akan mampu memahami akan wujud dan kekuasaan Sang Maha Kuasa. Hal inilah yang antara lain dapat dipahami dari firman Allah seperti tertera pada Q.,s. al An’am/6: 95-100, tentunya banyak contoh yang lainnya tentang hal ini.
(2) Al Istifham al-Taqriri
Dalam bentuk ini Allah mengajukan pertanyaan langsung dengan penetapan jawaban atasnya. Pertanyaan tentang hal yang memang sudah nyata, diangkat lagi lalu disertai dengan jawaban yang merupakan penetapan atas kebenaran yang sudah pasti. Prosedur ini dipandang oleh para ahli Ulum al-Qur`ân sebagai yang ampuh sekali sebab dapat langsung membatalkan jidal atau argumen para pembantah. Sebagai contohnya dapat disebut antara lain firman-Nya dalam Q.,S. Yaasiin/ 36 : 81-82.
(3) Al Tajzi’at
Dengan prosedur ini Allah mengungkapkan bagian-bagian dari suatu totalitas, secara khirarchis atau kronologis, yang sekaligus menjadi sebagai argumentasi dialektis untuk melemahkan lawan dan menetapkan suatu kebenaran. Masing-masing dapat berdiri sendiri sebagai bukti/untuk membuktikan kebenaran yang dimaksudkan. Prosedur jadal seperti ini nampak antara lain dalam Q.,S. Al Naml/27 : 54-64.
(4) Qiyas al Khalf
Dalam bahasa Indonesia disebut “analogi berbalik”. Dengan prosedur ini, kebenaran ditetapkan dengan membatalkan pendapat lawan yang berbalikan/ berlawanan. Sebab dalam realitas kehidupan tidak dapat berkumpul dua hal yang berlawanan. Tentang metode Jadal seperti ini dapat disebut firman Allah dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 21-22.
(5) Al Tamtsil
Allah mengungkapkan perumpamaan bagi suatu hal. Dengan perumpamaan dimaksudkan agar suatu kebenaran dapat dipahami secara lebih cepat dan lebih mudah, lalu lebih melekat di sanubari “lawan”. Untuk ini antara lain dapat disebut sebagai contoh adalah firman-Nya pada Q.,s. al Baqarah/2 : 259.
(6) Al Muqabalat
Al Muqabalat adalah mempertentangkan dua hal yang salah satunya memiliki efek yang jauh lebih besar dibanding dengan yang lainnya. Seperti halnya mempertentangkan antara Allah SWT dengan berhala yang disembah orang-orang musyrik. Contoh Jadal al-Qur`ân dalam prosedur seperti ini dapat dilihat antara lain pada Q.s. al Waqi’ah/56: 57-59. Demikian itulah antara lain prosedur dan metode yang ditempuh al-Qur`ân dalam Jadal atau Metode Jadal al-Qur`ân.
V. Peranan Jadal dalam Penafsiran al-Qur`ân dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Al-Qur`ân – seperti pengibaratan pada kata hikmah spiritual Al Rumi – bagaikan wajah pengantin wanita yang memakai cadar. Rahasia keindahannya tersembunyi di balik cadarnya. Yang berkehendak menangkap “keindahan” itu, hendaknya “tahu dan mengerti caranya”. Al-Qur`ân adalah “kitab petunjuk” untuk keselamatan. Petunjuk Al Qur’an bermuatan lengkap, namun dalam beraneka nuansa, yang tidak semua orang dapat menyentuh semuanya, bahkan mungkin tidak banyak, kalau bukan malah tidak ada yang dapat mejangkau semuanya.[23] Seperti juga dipaparkan dalam pendahuluan, bahwa al-Qur`ân, memuat di dalamnya petunjuk yang bernuansa doktrinal, historis dan sublim. Di samping semuanya itu, Al-Qur`ân adalah mukjizat al Kubra yang abadi bagi Rasul Saw, yang bersifat ruhiyah, rasional, dan spiritual sekaligus. Untuk dapat masuk ke dalam “nuansa” al-Qur`ân dalam kerangka pemahaman atas kandungannya, tentunya bukanlah hal yang mudah. Harus tahu caranya. Di antara yang dapat dipandang sebagai “cara” masuk itu, adalah memahami celah dari sisi kemukjizatannya, yaitu keindahan dan ketinggian gaya bahasa (uslubnya). Di sinilah (boleh jadi) letak signifikansi pemahaman tentang Jadal al-Qur`ân, dimana Jadal merupakan satu dari tanda ketinggian uslub al-Qur`ân.Memahami Jadal al-Qur`ân, dapat berarti mempermudah jalan dalam menghampiri dan menangkap pemahaman yang benar atas dialog (jadal, munazharah, muhawarah) yang pernah terjadi dan tertera dalam Al-Qur`ân, baik di antara Allah dengan Malaikat atau dengan Nabi, atau di kalangan para Nabi dengan kaumnya, di kalangan orang-orang shalih yang mulia, atau antar perorangan di kalangan Bani Adam dalam berbagai suasana dan kondisi. Bila demikian, maka dapat berarti Jadal al-Qur`ân berperan kuat dalam penafsiran al-Qur`ân.
Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, dapat juga dipahami bahwa al-Qur`ân sungguh-sungguh tidak menghendaki adanya “debat kusir”, debat yang kosong dari nilai manfaat dan kebenaran. Al-Qur`ân hanya menghendaki Jadal yang “mamduh” (wajaadilhum bi allati hiya ahsan dan atau wa laa tujadiluu bi al bathil)). Dengan memahami Jadal al-Qur`ân dengan lebih mudah pula dapat dipahami hakekat kebenaran yang lebih haqiqi dari hal atau hal-hal yang menjadi objek jadal dalam al-Qur`ân. Lagi pula Jadal al-Qur`ân tidak sama dengan manthiq Yunani (Logica Hellenica).[24]
Adapun konteks kependidikan, pengaruh Jadal dapat dipahami dalam kerangka pendidikan sebagai proses pemanusian manusia. Atau dalam kerangka membuat manusia menjadi makhluk yang memiliki budaya yang tinggi, yang selaras dengan citra penciptaannya yang paling bagus (fi ahsani takwim Q.,s. al Tin/95 : 4), dan dalam kapasitas yang multi dimensi, yakni secara thabiiyah merupakan “psycho and physical entity”, yang punya nurani, ratio, raga dan rasa secara bersamaan, pendidikan, memerlukan berbagai macam kiat dan metode untuk dapat mencapai tujuannya.
Fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional di Indonesia dirumuskan sebagai berikut:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Masa Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[25]
Dalam pendidikan Islam, pendidikan akhlak merupakan “Ruh” pendidikan secara keseluruhan. Mencapai akhlak yang mulia adalah obsesi haqiqiyah dari pada tujuan pendidikan Islam. Untuk maksud itu, upaya/proses pembinaan akhlak dan pendidikan kejiwaan adalah dasar yang paling asasi daripada tujuan yang harus dicapai dalam Pendidikan Islam.[26] Untuk dapat mencapai tujuan seperti itu, tentunya tidak mudah. Diperlukan berbagai sarana, fasilitas, dukungan kebijakan politik dan dana yang tidak kecil, waktu yang tidak pendek, dan kualitas SDM yang baik serta metode yang handal.
Dari sekian banyak metode yang dikenal selama ini, khususnya dalam melayani sisi manusia yang rational dan emossional, kiat diskusi, tanya jawab, bantah membantah, dialog, seminar, polemik dan semacamnya, yang dalam kerangka al-Qur`ân dapat dipahami sebagai Jadal, masih menempati posisi strategis, dan karenanya masih tetap relevan dan efektif, khususnya Jadal yang mamduh.
Jadal dalam al-Qur`ân, seperti yang terjadi antara Ibrahim dengan Allah (Q.,s. al Baqarah/2: 560 atau antara Ibrahim dengan kaumnya seperti dalam Q.,s. al Anbiya’/21 : 51-71; Q.,s. al Syu’ara’/26: 69-82, adalah merupakan contoh yang baik sekali dalam peristiwa dialogis yang dimaksudkan sebagai metode mencari dan membawa peserta didik kepada pencapaian kebenaran. Bahkan secara lebih rinci dapat dipahami bahwa dialog-dialog (jadal) dalam al-Qur`ân banyak sekali di antaranya yang bersifat dan mengarah pada model dialog deduktif, di mana deduksi merupakan suatu metoda pemikiran logis yang amat bermanfaat dalam dunia pendidikan. Demikian pula halnya dengan tamsil dan ibarat yang banyak digunakan dalam Jadal al-Qur`ân, memberi peluang bagi pendidik untuk dapat menjelaskan konsep-konsep abstrak dengan makna-makna kongkrit, yang dapat ditangkap oleh persepsi manusia, yang pada gilirannya membawanya pada pemahaman tentang sesuatu secara benar dan tentang kebenaran itu sendiri.[27]
Jadal, munadharah ataupun muhawarah dapat berfungsi sebagai arena pengujian kemampuan – dalam skalanya yang lebih tehnis. Di sini keilmiahan dan keilmuan peserta yang terlibat akan bisa terlihat dan bisa dibandingkan dengan yang lainnya. Seseorang akan diakui sebagai ilmuwan yang terdidik bila ia mampu melakukan dialog atau debat (yang mamduh – pen) dalam bidangnya dengan ilmuwan terdidik yang lainnya.[28]
Ibnu Khaldun memandang munadharah – sesuai kutipan Al Abrosyi – sebagai sesuatu yang sangat membantu dalam hal pengajaran dan pendidikan, terutama untuk dapat memahami aspek ilmiah dari tamsil dan ibarat. Sementara Al Abrosyi juga memandang munadharah, muhawarah dan sejenisnya dalam mendekati setiap permasalahan, akan dapat mempengaruhi jiwa pihak si terdidik untuk menjadi lebih matang, dan sangat berpengaruh dalam membina kebebasan dan kekuatan berfikir.[29]
Hal mana pada gilirannya, secara akumulatif, akan dapat membawa dan mengantarkan manusia untuk selalu mampu berproses ke arah peningkatan diri menjadi manusia-manusia yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta berakhlaq dengan akhlaq yang mulia. Insya Allah.
VI. Kesimpulan
1. Jadal adalah debat, dialog antar dua pihak dengan kehendak untuk menang melalui alasan dan argumentasi. Jadal al-Qur`ân ialah pengungkapan bukti-bukti dan dalil-dalil dengan tujuan untuk mengalahkan orang kafir dan para penantang sekaligus untuk menegakkan aqidah dan syari’ah, melalui pembuktian atas kebenaran yang dapat diterima oleh nurani manusia.2. Jadal, ada yang mamduh dan ada pula yang mazdmum, dengan landasan dan contohnya masing-masing di dalam al-Qur`ân. Jadal dalam al-Qur`ân, dilihat dari pelaku dan hal yang dipersoalkan, menyangkut space and time yang sangat luas. Pernah terjadi antara Allah dengan Malaikat, dengan para Nabi, Nabi dengan kaumnya atau penentangnya, orang perorang di kalangan Bani Adam, dari dulu sampai dengan masa al-Qur`ân diturunkan. Bahkan model-model jadal yang tergambar dalam al-Qur`ân, di antaranya masih belangsung sampai sekarang. Demikian pula hal yang dipersoalkan dalam Jadal hampir menyangkut keseluruhan dimensi kehidupan manusia, bahkan setelah kehidupan yang sekarang.
3. Tujuan dari Jadal al-Qur`ân antara lain untuk menetapkan aqidah tentang wujud dan wahdaniyah Allah serta petunjuk dan syari’ah bagi yang membutuhkan. Menjelaskan permasalahan secara argumantatif bagi kalangan yang memang sungguh-sungguh ingin mendapat kejelasan. Serta untuk mematahkan pembangkangan para penentang dengan pembuktian yang lebih kuat dan akurat, dengan berbagai tehnis pendekatan seperti : al Ta’rifat, al Istifham al Taqriri, al Tajzi’at, Qiyas al Khalf, al Tamsil dan al Muqabalat.
4. Jadal al-Qur`ân, dengan memahaminya dapat membantu menghampiri kebenaran kandungan, khususnya ayat-ayat yang bermuatan Jadal, yang pernah terjadi di antara berbagai kalangan yang terekam di dalam al-Qur`ân. Dengan memahami Jadal al-Qur`ân, akan lebih memudahkan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`ân. Bagi pendidikan, jelas Jadal memiliki pengaruh kuat. Sebab, di samping manusia sebagai makhluk yang thabi’iyah, juga rational dan emossional sekaligus. Sehingga dengan Jadal manusia akan lebih mudah dapat diarahkan untuk mencapai tujuan Pendidikan; mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, membina manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia.
Daftar Pustaka
Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ al Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li Thiba’at al Mushhaf asy Syarif, Medinah al Munawwarah, 1412Al-Almâ’iy, Zahir ‘Iwad, Manahij al Jadal fi Al-Qur`ân al Karim, t.tp.: tp., t.th.
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, Thab. Tsaniyah, t.tp.: Daar al Fikr, t.th.
Abdullah, Abdurrahman Shaleh, Cet. I; Educational Theory : a Qur’anic Outlook, terjemahan H. M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori Pendidikan Menurut al Qur’an”, Jakarta : Rineka Cipta, 1990.
Abduh, Syekh Muhammad, Risalatut Tauhid, terjemahan H. Firdaus A. N. dengan judul “Risalah Tauhid”, Cet. VI; Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
Asari, Hasan, Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah, Jurnal “Ulumul Qur’an”, Nomor 1 Vol. V Jakarta, 1994.
Avery, Jon dan Hasan Askari, Towards a Spiritual Humanism, terjemahan Arif Hutono dengan judul “Menuju Humanisme Spiritual”, Cet. I; Surabaya : Risalah Gusti, 1995.
Al-Bâqy, Muhammad Fuad, Abd. Al-Mu’jam al Mufahras Li Alfâz al-Qur`ân al Karim, t.tp. Angkasa, t.th.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Dirjen Binbaga Islam, Himpunan Peraturan Perundangan tentang Pendidikan Tinggi, 1991.
Ibnu Manzur, Lisân al Arab, Jilid ii, Beirut : Daar al Ilmiah/Daar Shaadir, t.th.
Al-Isfahany, Al Raghib, Mu’jam Mufradât al Fâz al-Qur`ân, Beirut: Daa al Fikr, t.tt.
Nasr, S.H., Ideals and Realita of Islam, terjemahan Abdurrahman Wahid dan Hasyim Wahid dengan judul “Islam Dalam Cita dan Fakta”, Cet. I; Jakarta: LEPPENAS, 1981.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabâhits fi ‘Ulum al-Qur`ân, Beirut : Mansyurat al Ashri, 1977.
Rahman, Fazlur, Major Themes of the Qur’an, terjemahan Anas Mahyuddin dengan judul “Tema Pokok al Qur’an”, Cet. I; Bandung: Pustaka, 1983.
Al-Shabuny, Muhammad ‘Aly, Al Tibyân Fi ‘Ulum al-Qur`ân, terjamahan H. Moh. Chudlori Umar dan Moh. Matsna dengan judul “Pengantar Study Al Qur’an”, Bandung : Al Ma’arif, 1987.
Al-Zarqany, Muhammad Abdul Azim, Manâhil al ‘Irfan fi Ulum al-Qur`ân, Jilid I; Beirut : Dâr al Fikr, t.th.
________________________________________
* Dosen Tetap IAIN Mataram.
[1]Lihat Q.S.,al-Baqarah [2]: 2, 185; Q.S.,al-Isrâ` [17]: 82. Seluruh terjemahan ayat dalam tulisan ini merujuk pada Al-Qur`ân dan Terjemahnya, Mujamma’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain Medinah al Munawarah , 1412 H.
[2]Lihat, Ali al-Shabuny, “Al-Tibyân fi Ulum al-Qur`ân”, terj. H. Moh. Chudlari Umar, Moh. Matsna H.S. , Pengantar Study al-Qur`ân, (Bandung : al Ma’arif, 1987) 99.
[3]Lihat, Syekh Muhammad ‘Abduh, “Risalatut Tauhid”, terj. H. Firdaus A.N., Risalah Tauhid, Cet. VI (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 185.
[4]Q.S. al-A’râf [7]: 172 terjemahnya “…Bukankah Aku ini Tuhanmu”? mereka manusia menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi …” .
[5] SH.Nasr, “Ideals and Realita of Islam”, 21.
[6]Lihat, SH.Nasr, “Ideals and Realita of Islam”, 27-28.
[7]Sublim adalah menampakkan dalam bentuknya yang tertinggi; teramat indah; teramat mulia; teramat utama. Lihat, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. III, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 967. Hudan al-Qur`ân, juga mengandung “nilai” yang sulit dijelaskan dengan wacana bahasa modern, tapi bisa dijangkau oleh dan dalam “kapasita” tertentu, di situlah antara lain terdapatnya apa yang secara tradisional dikenal dengan barakah.
[8]Q.S., Lukmân [31]: 27 terjemahnya “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepada tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”, Juga bisa dilihat Q.S.. al-Kahfi [18]: 109
[9]Fazlur Rahman, “Major Themes of the Qur’an”, terj. Anas Mahyuddin, Tema Pokok al-Qur`ân, Cet. I (Bandung: Pustaa, 1983), 36. Terjemah Q.S.,al-Syams [91]: 7 “Demi jiwa dan penyempurnaan (penciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
[10]Lihat, Muhammad Abdul ‘Azhim al-Zarqani, Manâhil al-Irfân fi Ulum al-Qur`ân, Jilid I (Beirut: Dâr al Fikr, t.th), 309
[11]Lihat, Muhammad Fu’âd Abd. Al Bâqy, Al-Mu’jam al-Mufahrâs Li al-Fâz al-Qur`ân al-Karîm, (t.tp.: Angkasa, t.th.), 165
[12]Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Cet. III, 214
[13]Lihat, Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Mufradât al-Fâz al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.), 87; Juga Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, Jilid XI dari XV Jilid (Beirut: Dâr Shâdir, t.th.), 105.
[14] Lihat, Zahir ‘Awad al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm,, (t.tp.,t.th.), 20; Juga Manna’ Khalil al-Qaththân, Mabâhits fî Ulum al-Qur`ân (Beirut: Mansyurat al-Ashr, 1977), 29.
[15]Q.S.,al-Nahl [16]: 125 terjemahnya “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.”
[16]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, h. 25. Terjemahan Q.S. al Mujadalah [58] : 1. “Dan sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang menujukan gugatan kepada kamu (tujaadiluka) tentang suaminya, dan mengajukan halnya kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua (tahaawurakuma). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Secara tehnis ada yang memandang bahwa dalam Jadal selalu ada rasa saling bermusuhan di antara yang terlibat, sedangkan dalam munazharah tidak.
[17]Lihat, bagian Pendahuluan Al Qur’an dan Terjemahnaya, Departemen Agama, 16.
[18]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 21
[19]Untuk memahami rincian tentang ragam Jadal al-Qur`ân dapat dilihat pada al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 44-60.
[20]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 125, 461-2. Tentang hal ini, dalam kaitannya dengan kondisi para penentang kebenaran, hingga masa modern ini, mungkin dapat direnungkan apa yang diungkapkan Hasan Askari mengenai apa yang dianggapnya sebagai model Jadal di masa modern. Katanya, “Ketika Muhammad (SAW -pen) memulai dakwahnya di Mekkah, penduduak Mekkah sungguh terkejut bahwa ternyata ia lebih menekankan masalah eskatologi dan kebangkitan daripada ‘Keesaan’ Tuhan. Tentu saja penduduk Mekkah bagaimanapun primitif dan bodohnya mereka, tetap memberikan argumentasi, dan al Qur’an mendokumentasikannya sebagaimana dilakukan oleh orang-orang humanis maupun materialis modern. Hal itu hampir merupakan situasi yang asli, bahawa argumentasi yang menolak kebangkitan selalu di ulang sepanjang sejarah, berbagai daerah dan, di masa kita sekarang, terbungkus dalam format yang canggih. Dan bagaimana contoh-contoh argumentasi orang-orang Humanis sekarang yang menolak kebangkitan , dapat dilihat pada Jon Avery dan Hasan Askari, “Towards a Spiritual Humanism: A Muslim-Humanis Dialogue”, (Leeds: Seven Mirrors, 1991), terj. Arif Hutoro, Menuju Humanisme Spiritual: Kontribusi Perspektif Muslim-Humanis, Cet. I; (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) 43, 41-48
[21]Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 69-85.
[22] Lihat, Abu Zahrah, Al-Mu’jizat al Kubra, (Beirut: Dâr al Fikr, 1970), 371-87; dan Al al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 63-75; juga Al-Qaththân, Mabâhits fi Ulum al-Qur`ân, (Beirut: Mansyurat al Ashri, 1977), 299-300.
[23]Hal tersebut diisyaratkan dalam Q.S.,Luqmân [31]: 27 yang terjemahannya “ Dan seandainya pohon-pohon dibumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta) ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-ahabisnya kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”. Juga pada Q.s., al-Kahfi [18]: 109
[24] Lihat, al-Almâ’iy, Manâhij al-Jadâl fi al-Qur`ân al-Karîm, 415-22.
[25]Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), 7
[26]Lihat, Muhammad Athiyah al-Abrâsyi, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, Cet. II (Beirut : Dâ al Fikr, t.th.) 22.
[27]Lihat, Abdurrahman Shaleh Abdullah, “Educational Theory a Qur’anic Outlook”, terj. H.M. Arifin MEd. & Zainuddin, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan al-Qur`ân, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), 212-219
[28]Lihat, Hasan Asari, “Yang Hilang dari Pendidikan Islam; Seni Munadharah”, dalam Jurnal ‘Ulum al Qur’an, No: I Vol. V, 1994, Jakarta
[29]Lihat, al Abrâsyi, Al Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falâsifatuha, 209-210.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar