ABSTRAK
Salah
satu permasalahan yang mengundang perdebatan di kalangan ulama
usul
fikih adalah apakah qaul sahabi tentang masalah-masalah ijtihadiyyah dapat dijadikan
hujah atau dasar hukum. Sebahagian besar ulama, termasuk di dalamyaimam-imam
mazhab yang empat berpendapat atau paling tidak pernah berpendapat bahwa qaul sahabi
dapat dijadikan hujah, bahkan ada yang memandangnya wajib. Di lain pihak
sejumlah ulama, termasuk di dalamnya al-Syaukani menolak pendapat tersebut.
Permasalahan
utama yang hendak diteliti dalam hal ini adalah benarkah al-Syaukkani menolak
penggunaan qaul sahabi sebagai hujah. Permasalahan ini menjadi
menarik terutama karena berkaitan dengan tiga masalah berikut: Pertama, latar
belakang intelektualnya yaitu Syi’ah
Zaidiyyah yang memandang qaul ‘Ali
sebagai hujah. Kedua, konsistensi antara pemikiran usul fikihnya dengan
penalaran fikihnya. Ketiga, dalil lain yang digunakannya sebagai dasar hukum
dalam menyelesaikan persoalan hukum yang terkait dengan qaul sahabi.
Pendekatan
yang digunakan untuk meneliti latar belakang tokoh ini adalah pendekatan sosial
historis dan hermeneutika. Selanjutnya untuk memperbandingkan antara pemikiran
tokoh ini dengan ulama usul lainnya dan antara pemikiran usul fikihnya dengan
penalaran fikihnya digunakan metode deskriptif, analisis dan komparatif.
Dari
hasil penelitian diperoleh temuan sebagai berikut: Pertama, al-Syaukani memang
sepenuhnya menolak penggunaan qaul sahabi sebagai hujah, termasuk dalam hal ini
qaul ‘Ali. Kedua,
dalam menyelesaikan persoalan hukum (fikih) yang terkait dengan qaul sahabi ia
sama sekali tidak menggunakan qaul sahabi sebagai hujah dan ini berarti bahwa
ia konsisten dengan pemikiran usul fikihnya. Ketiga, dalil yang ia gunakan
sebagai dasar dalam menetapkan hukum tentang persoalan persoalan yang terkait
dengan qaul sahabi adalah sebagai berikut :
Mula-mula
ia meneliti apakah ada sunnah Nabi yang menjelaskan ketentuan persoalan
tersebut. Bila hal ini tidak ia temukan ia melihat apakah qaul sahabi yang membicarakan
persoalan tersebut mengandung indikasi bisa dihukum marfu’ (sejajar dengan sunnah Nabi). Bila
indikasi tersebut tidak ada ia melihat kemungkinan adanya kesepakatan sahabat
(ijmak sahabat) tentang hukum persoalan tersebut. Bila kemungkinan itu tidak ia
temukan, ia berijtihad sendiri. Bila qaul sahabi itu menyangkut penafsiran
terhadap nash atau teks al-Qur`an dan sunnah maka ia melakukan penafsirannya
sendiri dan bila dalam hal ini terdapat beberapa alternatif penafsiran ia
memilih penafsiran yang sejalan dengan sunnah, dan bila persoalan itu tidak
disebut-sebut sama sekali dalam nash ia menggunakan prinsip al baraat al ashliyah.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar