Biografi Muhammad Syahrur dan Pemikirannya
BAB I PENDAHULUAN
Al-Qur’an al-Karim sebagai wahyu Allah yang diturunkan terakhir bagi umat manusia menempati posisi sangat penting sebagai salah satu pilar epistemologi Islam. Karena dari Al-Qur’an-lah seluruh struktur, aspek, pandangan, tujuan dan hukum Islam bersumber dan disandarkan. Maka dari itu, upaya-upaya untuk menggali dan memahami nilai-nilai al-Qur’an dilakukan secara terus menerus sejak generasi pertama umat ini dan tidak pernah berhenti sehingga menghasilkan literatur yang sangat luar biasa berlimpah, terutama jika dibandingkan apa yang dilakukan terhadap kitab suci agama lain manapun.
Akan tetapi, bersamaan munculnya kekuatan modernisasi dan tumbuhnya dunia menjadi sesuatu yang mengglobal di bawah superioritas Barat, berbagai tradisi dan paradigma pemegang tanduk peradaban abad modern ini merambah belahan dunia Islam dalam berbagai bidang termasuk diantaranya ke dalam tradisi keilmuan dan metodologi penafsiran kitab suci.
Mashadir al-Syari’ah (ortodoksi) klasik yang terdiri dari al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Qiyas dan seterusnya dirasa tidak lagi “membumi” dalam pembinaan hukum Islam. Permasalahannya bukan saja pada urutan item-item ortodoksi itu, akan tetapi juga keberadaan beberapa landasan tersebut harus dilihat dari perpektif lain. Nyaris semua item itu mulai dipertanyakan hatta interpretasi al-Qur’an; scolastik, hermeunetik dan lain sebagainya. Pembacaan Abu Zayd dengan pendekatan languistic history yang kemudian berdimensi pada teks al-Qur’an sebagai konteksnya yang saling berkaitan antara parsial (juz’i), universal (kulli) dan realitas social-historis. Fazlur Rahman dengan teori Double Movement, Arkoun, ‘Abid al-Jabiry masing-masing dengan pembacaan teks yang berkaitan dengan konteks dan juga hermeunetika al-Qur’an. Hingga terakhir Syahrūr dengan penolakan terhadap sinonimitas bahasa Arab sehingga teks al-Qur’an benar-benar bebas dari konteksnya, merupakan bentuk-bentuk “penjamahan” wilayah inti ortodoksi.
Tulisan ini akan berupaya “membaca” pemikiran salah satu nama-nama diatas yaitu Muhamad Syahrūr terutama melalui “buku induk” gagasannya yang diberi judul Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirāah Mu’āşirah (selanjutnya disebut Al-Kitāb wa al-Qur’ān) dan diterbitkan pertama kali oleh penerbit al-Ahali, Damaskus, tahun 1990.
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Syahrūr
Nama lengkapnya adalah Muhammad Syahrūr al-Dayyub, lahir pada tanggal 11 April 1938 M di Damaskus Suriah, seorang anak laki-laki yang kelak akan dicatat dalam dunia pemikiran Islam sebagai figur pemikir yang fenomenal sekaligus kontroversional, mulai ‘menyejarah’. Ayahnya bernama Deib bin Deib Syahrūr, sementara ibunya bernama Shiddiqah binti Shalih Filyun.
Dari hasil pernikahannya dengan seorang wanita yang bernama Azizah, beliau memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang sudah menikah adalah Thariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima (bersuamikan Luis), sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mashun. Adapun dua cucunya adalah Muhammad dan Kinan.
Syahrūr mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya di lembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus yang terselesaikan pada tahun 1957 M dalam usia 19 tahun. Syahrūr melanjutkan pendidikannya di bidang teknik Sipil (Handasah Madaniyyah) di Moskow, Uni Soviet (Rusia) dengan beasiswa dari pemerintah Syiria pada bulan Maret 1957 M. Ketika di Moskow inilah antara tahun 1957-1964, Syahrūr mulai berkenalan dan terkesan serta tertantang dengan teori dan praktek Marxis yang terkenal dengan konsep Dialektika Materialisme dan Materialisme Historis. Sebagaimana diakuinya kepada Peter Clark bahwa meskipun dia bukan seorang penganut aliran Marxis, tetapi ia amat terpengaruh oleh pemikiran Friedrich Hegel dan Alfred North Whitehead, sebagai dua tokoh yang banyak meng-ilhami pemikir Marxian.
Pada masa ini pula Syahrūr mulai akrab dengan tradisi Formalitas Russia, yang mana akar-akar tradisinya diadopsi dari Strukturalisme Linguistik yang digagas oleh Ferdinand De Saussure. Gelar diploma dalam bidang tersebut berhasil ia raih pada tahun 1964. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Selanjutnya, dia dikirim oleh pihak Universitas ke Irlandia – Ireland National University – untuk memperoleh gelas Master dan Doktoralnya dalam spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi, sehingga memperoleh gelar Master of Science-nya pada 1969 dan gelar Doktor pada 1972. Sampai sekarang, Dr. Ir. Muhammad Syahrūr masih mengajar di Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dalam bidang Mekanika Pertanahan dan Geologi.
Pada 1982-1983, Dr. Ir. Muhammad Syahrūr dikirim kembali oleh pihak universitas untuk menjadi tenaga ahli pada al-Saud Concult, Arab Saudi. Dia juga, bersama beberapa rekannya di fakultas membuka Biro Konsultasi Teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus.
Tampaknya, perhatian Syahrūr terhadap bidang teknik tidak menghalanginya untuk mendalami disiplin ilmu yang lain semisal filsafat, terutama setelah perjumpaannya dengan Dr. Ja’far Dek al-Bab –rekan sealmamater di Syria dan teman seprofesi di Universitas Damaskus. Perjumpaannya telah memberi arti yang cukup berarti dalam pemikirannya yang kemudian tertuang dalam sebuah karya monumentalnya sekaligus “kontroversial” yaitu al-Kitâb wa al-Qur`an: Qirâ`ah Mu’ashirah.
Karya-karya intelektual:
Syahrūr juga menguasai bahasa Inggris dan Rusia. Namun, secara garis besar, karya-karya Syahrūr dibagi ke dalam dua kategori:
1. Bidang teknik:
a. Al-Handasah al-Asasiyyah (3 Volume)
b. Al-Handasah al-Turabiyyah
2. Bidang keislaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus):
a. Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990)
b. Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Buku ini secara spesifik menguraikan tema-tema sosial politik yang terkait dengan persoalan warga negara (civil) maupun negara (state). Secara konsisten, Syahrūr menguraikan tema-tema tersebut dengan senantiasa terikat pada tawaran rumusan teoritis sebagaimana termaktub dalam buku pertamanya.
c. Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), Buku ini mencoba mendekonstruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar (arkan) Islam dan Iman. Tentunya, kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang termaktub dalam kitab suci dengan senantiasa setia pada rumusan teoritis yang ia bangun.
d. Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999), diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House. Dalam edisi Bahasa Inggris, buku tersebut diterjemah oleh Dale F. Eikelman
dengan judul “Proposal For an Islamic Covenant” (2000).
e. Nahwa Ushl al-jadidiyah li al-Fiqh al-Islami: Fiqh al-Mar’ah
Syahrūr pernah menerbitkan sebuah booklet berjudul Masyru’ Misaq al-‘Amal al-Islami yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi Gerakan Kebangkitan Islam (The Revival of Islam) abad 21. Booklet ini oleh Dale F. Eckelman dan Isamil Abu Shehadeh diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Islamist Charter: Proposal for an Islamic Covenant.
Tulisan Syahrūr versi bahasa Inggris juga banyak ditemukan, apalagi dalam situs http://www.Islam21a.org. Sebuah website yang mengulas berbagai isu kontemporer dalam dunia Islam. Artikel tersebut di antaranya:
1) Applying the Concept of Limit to The Right of Muslim Woman
2) Divine Text and Pluralism in Muslim Societiems, Muslim Politics Report, 14 (1997)
3) Reading the Religius Text
4) The Book and The Qur’an
5) Islam in the 1995 Beijing World Conference Woman dalam Kuwait Newspaper. Oleh Charles Kurzman (ed.) Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998).
6) Nahwa I’adati Tartib Awwaliyat al-Saqafah al-Arabiyah al-Islamiyah: Maqalah al-Islam wa al-Iman
7) Haula al-Qira’ah al-Mu’ashirah li al-Qur’an
8) Ta’liq ala al-Kutub wa al-Maqalat wa al-Rudud allati Shudirat Haula “al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah Mu’ashirah”. Ini adalah jawaban Syahrūr terhadap para pengkritiknya yang disisipkan dalam bentuk pengantar tambahan dalam buku keduanya Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al-daulah wa al-Mujtama’
B. Kegelisahan (Sense Of Crises) Akademik Syahrūr
Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat dipisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrūr, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif, Syahrūr lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam dewasa ini.
Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema berikut:
1) Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad
2) Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya
3) Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat
4) Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang
5) Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.
Karena itulah Syahrūr sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Muslim modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama fiqh Islam dan tafsir al-Qur`an konvensional sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan
karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks Kitab Suci, sehingga membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.
Syahrūr yakin bahwa Muslim modern, karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan mempunyai perangkat pemahaman metodologis yang lebih baik dibandingkan para pendahulunya (abad ke-7 M) dalam memahami pesan-pesan Allah (al-Qur`an) yang disampaikan kepada Rasul-Nya.
C. Al-Kitāb, al-Qur’ān, al-Dzikr dan al-Furqān; Kata Kunci Penting Dalam Pemikiran Syahrūr
Seluruh terminologi di atas, kerap dipahami sebagai beberapa istilah yang mempunyai satu maksud atau arti yang sama yaitu di tujukan kepada al-Qur’an (baca: nama lain al-Qur’an). Akan tetapi di mata Syahrur, kesemuanya berbeda, karena beliau memandang tiada yang sama di dunia ini, sekalipun serupa.
Menurutnya, al-kitab adalah sebuah tema (maudhu’) atau himpunan dari berbagai tema. Dalam bentuk nakirah-nya (indifinite) kitābun, kata ini tidak merujuk kepada seluruh kandungan mushaf karena mushaf terdiri dari sejumlah kitab atau tema tertentu yang sangat banyak.namu, jika kata ini berbentuk ma’rifah (definite), dengan adanya tambahan lam ta’rif (al-kitab), ia merujuk kepada seluruh himpunan tema-tema yang diwahyukan kepada Muhammad atau seluruh muatan yang dikandung dalam mushaf.
Muhammad dapat dipandang sebagai seorang Rasul atau Nabi. Oleh karena itu, al-Kitab yang diwahyukan kepdanya harus mencakup unsur-unsur kerasulan (risalah) dan kenabian (nubuwwah)nya. Maka, dapat disimpulkan bahwa al-Kitab terdiri dari dua tema utama, yaitu:
1) Kitab al-Risalah, terdiri dari kaidah moralitas (kode etik) bagi manusia, baik berupa ibadah, muamalah, dan akhlak. Secara konkrit, kitab risalah berupa ayat-ayat muhkamat yang diidentifikasi dengan sebutan umm al-kitab (induk kitab).
2) Kitab al-Nubuwwah, terdiri dari himpunan tema-tema yang mencakup pengetahuan alam dan sejarah, dan bukti hakikat eksistensi objektif yang diwujudkan berupa ayat-ayat mutasyabihat, yaitu al-Qur’an.
Selanjutnya, Syahrur menegaskan, al-Qu’an dan Sab’u al-Matsani hanya terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat saja. Ia adalah salah satu bagian dari al-kitab, bukan keseluruhannya. Sehingga al-Qur’an tidak identik dengan al-kitab.
Kemudian al-Dzikr dalam pendapatnya, merupakan sebuah proses transformasi al-Qur’an dari tahapan pra-linguistik menjadi berbentuk linguistik yang dapat dipahami oleh sistem bahasa manusia, yang secara konkrit berujud bahasa Arab.
Adapun al-Furqan menurutnya adalah bagian dari umm al-kitab yang berupa sepuluh wasiat (al-washaya al-‘Asyr) yang kemudian disebut sebagai shirat al-mustaqim dalam surah al-fatihah.
D. Al-Qur’an Perspektif Syahrūr
Syahrūr mengaku bahwa gagasan-gagasannya dalam Al-Kitāb wa al-Qur’ān berangkat dari sebuah perenungan panjang selama tak kurang dari seperempat abad yang berujung pada sebuah keprihatinan dan kritik terhadap kondisi umat Islam yang –menurutnya- selama ini terkungkung oleh dogma-dogma dan keyakinan yang justru bisa jadi salah kaprah dan bahkan terbalik (ma’kūs). Sementara literatur (adabiyyāt) keislaman yang berkembang tidak lagi mampu menampilkan wajah Islam yang semestinya dan tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan prinsipil dalam pemikiran Islam.
Dengan keyakinan bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah yang akan selalu abadi dan up to date hingga akhir zaman, Syahrūr mengajak agar al-Quran dibaca dan ditafsirkan sesuai perubahan waktu. Menurutnya, pada abad ketujuh masehi Nabi dan para sahabat telah menafsirkan al-Quran sesuai dengan latar pengetahuan (ardliyah ‘ilmiyyah atau scientific background) saat itu. Adapun kini al-Quran hendaknya dibaca seakan-akan turun di masa sekarang dengan latar pengetahuan kekinian pula, kemudian terus menerus dibaca dan dibaca kembali (re-read) sampai datangnya Kiamat.
Untuk memastikan bahwa penafsiran Al-Qur’an tersebut dapat menjadikan Islam sebagai agama yang cocok untuk semua waktu dan tempat maka umat Islam masa kini harus menganggap bahwa Al-Qur’an seakan-akan diturunkan kepada mereka di masa kini dan seakaan-akan Nabi baru saja meninggal dan menyampaikan Al-Quran tersebut baru-baru saja (ka anna al-Nabiy tuwuffiya hadītsan wa ballaghanā hādzā al-Kitāb).
Al-Qur`an, menurut Syahrūr, disebut juga dengan al-kitab al-mubarak. Dalam bahasa Arab kata barakah (mashdar dari mubarak) berarti berkembang biak atau menjadi banyak, selain juga berarti tetap. Dinamakan demikian karena teks al-Qur`an tetap, tapi kebenaran absolut yang dikandungnya dipahami oleh manusia dengan pemahaman yang relatif. Karena itu, muatan yang ada dalam al-Qur`an selalu bergerak. Setiap ulama, mulai dari sahabat, merumuskan teori ilmiah dari al-Qur`an berdasarkan dasar epistemologis yang mereka miliki. Dan karena perkembangan pengetahuan manusia bergerak secara vertikal, maka setiap generasi akan menemukan pengetahuan baru dalam al-Qur`an yang belum diketahui oleh generasi sebelumnya.
Menurut Syahrūr, al-Qur`an adalah kebenaran obyektif yang berada di luar kesadaran manusia. Artinya, disadari atau tidak oleh manusia, kebenaran itu tetap ada. Oleh karena itu, al-Qur`an diturunkan sekaligus dalam bahasa Arab pada bulan Ramadhan, sebagaimana disebut oleh QS. al-Baqarah: 185. Selain itu, al-Qur`an juga tidak memiliki sebab turun, karena di dalamnya tidak terdapat hal-hal yang berkaitan dengan perilaku manusia, seperti ibadah, akhlak, dan nasehat.
Al-Qur`an dalam pandangan Syahrūr, terdiri dari dua bagian:
1) Bagian yang tetap, yaitu hukum-hukum umum yang mengatur alam semesta secara keseluruhan, mulai ledakan kosmos pertama (big bang) sampai hari kiamat. Bagian ini tidak bisa berubah dan bukan merupakan obyek dari doa. Andai saja seluruh manusia, termasuk para nabi, berdoa agar hukum-hukum tersebut berubah, maka dia tidak akan berubah. Bagian inilah yang dimaksud dalam . al-Kahfi: 27.
2) Bagian yang berubah, terdiri dari:
a. Kejadian-kejadian dan hukum-hukum alam yang parsial, seperti bergeraknya angin, berubahnya warna, pemberian jenis kelamin laki-laki atau perempuan, gempa bumi, badai, dan lain sebagainya. Bagian ini bisa berubah, tapi tetap dalam kerangka hukum umum yang tetap.
b. Perbuatan manusia yang sadar, yang disebut dengan kisah. Dalam hal ini al-Qur`an telah menceritakan kejadian-kejadian yang lengkap berkenaan dengan perkembangan sejarah manusia.
Dengan pembacaan kontemporernya Syahrūr berusaha merumuskan hukum-hukum umum yang mengatur alam semesta sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur`an. Dalam hal ini Syahrūr sampai pada kesimpulan bahwa hukum dialektika materialisme dengan berbagai bentuknya dan hukum evolusi adalah tulang punggung hukum-hukum kosmos yang ada dalam al-Qur`an. Syahrūr juga berpendapat bahwa hukum-hukum dialektika juga berlaku bagi manusia, karena dia adalah makhluk hidup yang berbentuk materi. Hanya saja, dialektika pada manusia berbeda dengan yang lain, yaitu berbentuk dialektika pemikiran, karena manusia adalah makhluk berakal yang berpikir.
Al-Kitab Al-Muhkam
Kitab yang berisi risalah Muhammad saw. ini terdiri dari tiga bagian utama:
1. Ibadah (ritual)
2. Akhlak
3. Undang-undang (hukum)
Syahrūr memandang bahwa taat kepada Rasul saw. dalam bidang ibadah wajib hukumnya, karena ibadah adalah salah satu rukun iman, dan iman adalah salah satu dari karakteristik risalah Muhammad saw.
Sedangkan yang dimaksud dengan akhlak adalah sistem nilai yang terakumulasi mulai zaman Nuh as. sampai Muhammad saw. Bagian utama dari akhlak ini adalah Sepuluh Firman Allah (al-washaya al-‘asyr) yang oleh Syahrūr disebut juga dengan al-furqan, di samping nilai-nilai yang lain. al-furqan adalah takwa sosial yang sama-sama terdapat dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Setiap muslim berkewajiban untuk memperlakukan orang lain ”baik muslim maupun bukan” berdasarkan takwa sosial ini karena dia adalah pembagi umum (common divisor) di antara agama-agama.
Hasilnya, Syahrūr menyimpulkan adanya perbedaan antara istilah al-Kitab, al-Qur’an, al-Dzikr dan al-Furqan, dimana masing-masing istilah menurutnya menunjuk pada sesuatu yang berlainan.
Sedangkan al-Qur`an hanya merupakan bagian dari mushaf, yang merupakan kumpulan sistem peraturan obyektif bagi eksistensi dan realitas perilaku dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Adapun al-Dzikr adalah proses terjadinya al-Qur`an (dari Lauh Mahfudz) ke bentuk bahasa manusia yang diucapkan dalam bahasa Arab, dan al-Furqan adalah Sepuluh Perintah (The Ten Commandments). Definisi-defenisi seperti ini diperoleh setelah Syahrūr melakukan kajian semantik dengan analisa paradigma-sintagmatisnya.
Dengan asumsi pembedaan antara term al-Kitab, al-Qur`an, al-Dzikr, dan al-Furqan, Syahrūr membangun diskursus tafsir dan fiqh kontemporernya. Fakta adanya perdebatan ulama linguistik tentang eksistensi taraduf, nampaknya tidak membuatnya bergeming. Ia
tetap bersikukuh dengan penolakannya terhadap taraduf dan terus mengembangkan teorinya dalam melakukan pembacaan kontemporer terhadap al-Qur`an. Hal ini dapat dilihat dalam buku-buku yang dikarangnya belakangan, “Jika kita memandang sebuah buku tentang kedokteran atau tehnik yang ditulis dalam bahasa apapun, maka kita tidak akan menemukan fenomena sinominitas di dalamnya.
Dalam membaca al-Qur`an (al-Qur`an dalam pengertian umum) tersebut, Syahrūr membedakan antara realitas obyektif (al-haqiqah al-maudlu`i) dan realitas subyektif (al-haqiqah al-dzatiyyah). Realitas obyektif adalah hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia sehingga harus diterima begitu saja tanpa bisa dibantah dan dirubah, sedangkan realitas subyektif adalah hal-hal yang bersifat memberikan alternasi-alternasi. Dalam kaitan ini, Syahrūr membedakan antara al-Qur`an dan umm al-Kitab. Al-Qur`an berusaha untuk membedakan yang haq dan bathil sedangkan umm al-Kitab berusaha untuk membedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan demikian, al-Qur`an bersifat obyektif, sedangkan umm al-Kitab bersifat subyektif.
Jika bagian pertama dan kedua dari risalah (ibadah dan akhlak) bukanlah lahan untuk berijtihad, maka tidak demikian halnya bagian ketiga (hukum). Pada bagian inilah Syahrūr merumuskan teori hudud yang menurutnya merupakan karakteristik yang hanya dimiliki oleh risalah Muhammad saw. Risalah-risalah sebelum Muhammad saw. bersifat haddiyyah (satu batas), sehingga tidak memungkinkan adanya ijtihad. Risalah-risalah tersebut hanya cocok untuk kaum tertentu dan pada masa yang tertentu pula. Jika saatnya tiba, maka risalah-risalah tersebut akan dihapus dan digantikan dengan risalah yang lain. Hal yang demikian tidak bisa terjadi pada risalah Muhammad saw karena beliau adalah rasul terakhir. Oleh karena itulah, risalah Muhammad saw. bersifat hududiyyah (banyak batas).
E. Kaedah Dasar Metodologi Linguistik Al-Qur’an
Syahrūr tetap berbeda dengan Nashr Hamid Abu Zaid, Mohamed Arkoun, Hassan Hanafi, apalagi Farid Essack. Di dalam bertafsir, pendekatan tokoh asal Syria itu agak lain. Dengan bersandar pada metode semantik Abu Ali al-Farisi, mungkin juga Ibn Jinni dan Abdul Qadir al-Jurjani. Muhammad Syahrūr cukup bersemangat untuk mengeja kata, struktur dan substruktur bahasa al-Qur`an. Ia lebih banyak menelaah seluk beluk semantik-kebahasaan al-Qur`an ketimbang konteks sosio-politik yang mengitari kitab suci itu. Syahrūr lebih asyik berbincang tentang proses pengorganisasian kata dan kalimat daripada penelitian tajam terhadap struktur masyarakat Arab yang menyungkupi kehadiran al-Qur`an. Penilaian seperti itu menjadi benar jika diacukan pada dua hal berikut:
1. Penampikan Syahrūr terhadap konsep sinonimitas (al-taraduf) dalam bahasa. Sebuah kata, yang selalu memiliki makna tertentu sehingga tidak bisa disinonimkan dengan kata lain. Kata hanya dimungkinkan untuk memiliki satu makna atau beragam makna. Apa yang disebut sebagai mutaradif. menurut Syahrūr, tak ubahnya sebuah kepalsuan belaka. Betapa konsep sinonimitas akan meringkus sejumlah kata ke dalam singularitas makna dan menutup semua keboleh-jadian semantis masing-masing. Dengan alasan itu, Syahrūr kemudian mengartikan ulang sejumlah kata yang oleh mayoritas dipandang sebagai sinonim, seperti imra’ah-untsa-nisa`, walad-ibn, al-insan - al-basyar, fu`ad-qalb, al-Qur`an - al-Kitab - al-Dzikr, dan lain-lain.
Di dalam menafsirkan kitab suci al-Qur’an, Syahrūr bersandar kepada metode semantik Abû ‘Alî al Fârisî yang bisa didapatkan dalam khazanah pemikiran Ibn Jinnî dan ‘Abdul Qâdir al- Jurjânî. Di samping itu, ia juga menggunakan ilmu linguistik modern dengan premisnya bahwa semua lisan kemanusiaan —termasuk lisan kearaban— tidak mempunyai satu katapun yang sinonim. Sehingga, sebuah makna kata bisa tereduksi oleh proses evolusi sejarah atau —lebih dari itu— bisa juga membawa tambahan arti lebih dari kata lain yang serupa, tapi tak sama. Dalam hal ini, Tsa‘lab mempunyai postulat terkenal: “Ma yudhann fi al-dirâsah al-lughawiyah min al-mutarâdifât huwa min al-mutabâyinât.” (Apa yang sebelumnya diduga dalam kajian bahasa sebagai kata-kata yang sinonim —sebenarnya— termasuk di antara kata-kata yang mempunyai arti berbeda). Karena itu, Syahrūr memilih Kamus Maqâyîs al-Lughah karya Ibn Fâris sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya, yang memungkinkan pengikutnya untuk bergerak dengan bebas di antara batas-batas tersebut tanpa harus melanggarnya.
2. Penolakan Syahrūr terhadap konsep nasikh-mansukh (abrogasi) dalam Islam, teori mana telah umum diterima oleh jumhur ulama ushul fiqh, baik yang klasik seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik, maupun yang kontemporer seperti Mahmud Muhammad Thaha dan Abdullah Ahmed al-Na’im. Sebab, demikian Syahrūr menyusun argumen, setiap ayat atau kalimat memiliki ruang ekspresi dan penampakannya sendiri-sendiri. Dengan demikian, sebuah ayat yang turun dalam konteks spesial dan dalam pengungkapan kata tertentu tidak bisa dianulir dan diamandemen begitu saja oleh ayat lain yang muncul dalam konteks yang tertentu pula. Artinya, suatu ayat selalu menyatakan kehendak dan maknanya sendiri-sendiri dan bukan untuk menyampaikan kehendak ayat lain.
3. Kata adalah ekspresi dari makna.
4. Bahasa adalah makna.
5. Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif.
Dengan dasar metodologis seperti ini, Syahrūr lalu mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks (ayat-ayat) al-Qur`an melalui metode yang disebutnya dengan tartil. Perangkat metode ini menurutnya, memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Muzammil ayat empat
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا (…Dan bacalah al-Qur`an itu secara tartil). Berbeda dari ulama pada umumnya yang menafsirkan tartil dengan membaca (tilawah), tartil, yang berasal dari akar kata al-ratl yang artinya “barisan pada urutan tertentu”, ditafsirkan Syahrūr dengan “mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain”. Metode ini bagi Syahrūr, perlu dilakukan sebab banyak topik tertentu seperti penciptaan alam, penciptaan manusia, dan kisah para Nabi, disebutkan dalam al-Qur`an secara berserakan di berbagai surat. Maka agar memperoleh gambaran komprehensif dan afirmatif tentang suatu topik, ayat-ayat berserakan itu harus dipertemukan.
Selanjutnya, dalam mempertemukan ayat-ayat yang mungkin berserakan itu, dengan didasarkan bahwa kata adalah ekspresi dari makna, dan yang terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, maka Syahrūr menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Semantik adalah “ilmu yang berhubungan dengan fenomena Makna dalam pengertian yang paling luas dari kata. Sedemikian luas, hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap mempunyai makna dapat dinyatakan sebagai obyek semantik”. Makna dalam pengertian ini dilengkapi dengan persoalan-persoalan penting para pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan seperti sosiologi, antropologi, psikologi, logika simbolik, matematik, rekayasa elektronik, dan lain-lain. Di samping itu sebagai studi makna, semantik senantiasa berkembang. Semantik Syahrūr, dalam kaitan ini, tentu saja ditopang dan dikembangkan sesuai dengan minat, kecenderungan, dan latar belakang keilmuannya sendiri.
Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Dalam meramu semantik dengan dua model analisanya ini Syahrūr kerap kali menggunakan metafora dan analogi yang diambilnya dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains, terutama sekali adalah penggunaan analisa matematik (al-tahlili al-riyadhi) dan fisika.
Dengan pendekatannya yang cenderung semantis ini Syahrūr kiranya hendak menunjukkan kepada publik intelektual bahwa penghampiran melalui gramatika bahasa cukup potensial untuk mendinamisasikan kata dan kalimat dalam al-Qur`an. Pendekatan kebahasaan tetap bisa dipakai untuk melahirkan tafsir-tafsir keislaman yang progresif, liberatif, dan humanis. Menelusuri kata tidaklah tabu bagi hadirnya sejenis tafsir Islam yang liberal. Dari model pendekatan yang semantis-linguistis tersebut, Syahrūr berani menata ulang dan mereposisi beberapa hukum kanonik yang baku seperti potong tangan, rajam, waris, kepemimpinan perempuan, dan sebagainya.
Dengan apa sebenarnya Syahrūr membaca al-Qur’an, dalam muqaddimah Al-Kitab wa al-Qur`an Syahrūr menjelaskan bahwa metode yang dianutnya adalah:
• Sumber pengetahuan manusia adalah alam materi di luar diri manusia.
• Menyeru kepada filsafat Islam kontemporer yang bersandar pada pengetahuan logis yang bertitiktolak dan benda-benda inderawi menuju pengetahuan teoritis abstraktif. Dengan demikian, Syahrūr menolak pengetahuan yang didasarkan pada ilham atau emanasi.
• Alam semesta berbentuk materi dan akal manusia mampu untuk mempelajarinya.
• Alam nyata dan gaib keduanya adalah materi. Dan sejarah perkembangan pengetahuan manusia tak lain adalah semakin meluasnya wilayah alam nyata dan menyempitnya wilayah alam gaib.
• Tidak ada pertentangan antara yang ada dalam al-Qur`an dan filsafat.
• Munculnya alam materi adalah akibat dari ledakan besar yang mengakibatkan berubahnya sifat-sifat materi. Dan suatu saat nanti akan terjadi ledakan besar lagi, sebesar ledakan pertama, yang akan menghancurkan alam dan merubah sifat-sifat materi, sehingga akan muncul alam materi yang lain.
Apa yang disebut oleh Syahrūr ini sebenarnya adalah postulat-postulat, bukan metode. Tapi barangkali Syahrūr memang tidak membedakan antara postulat dan metode. Yang jelas, Syahrūr membaca al-Qur’an berdasarkan postulat-postulat ini. Dengan begitu, kajian bahasa tak lebih hanya kulit belaka. Makanya tidak mengeherankan jika Munir Muhammad Thahir Al-Syawwaf sampai pada kesimpulan bahwa dasar-dasar berpikir Syahrūr sama dengan dasar-dasar filsafat marxisme.
F. Nadhāriyyah Hudūdiyyah Dalam Tafsir Al-Qur’an Ala Syahrūr
Metode Syahrūr berangkat dari asumsi bahwa al-Qur’an adalah kitab petunjuk (hudan) sepanjang masa yang antara ayat satu dan lainnya adalah saling menafsirkan (yufassiru ba’dhuhu ba’dhan). Sehingga perlu pendekatan baru untuk menjadikan al-Qur’an tetap hidup di tengah-tengah kehidupan muslim. Salah satu pendekatan yang dipakai Syahrūr dalam menafsirkan al-Qur’an adalah teori batas (nadhariyah hududiyah).
Menurut Syahrūr, al-Qur’an dalam arti yang populer, atau dalam bahasa Syahrūr al-Kitab, terbagi dalam tiga macam : 1) ummu al-kitâb (ayat-ayat muhkamat); 2) al-Qur’an wa sab’u al-matsâni (ayat-ayat mutasyabihat); dan 3) tafsilu al-kitab (Syahrūr, 1990 : 51-61). Ummu al-kitab, yang diturunkan langsung dari Allah kepada Nabi selama 23 tahun dalam bentuk al-inzâl dan al-tanzĩl secara tak terpisahkan, memuat ayat-ayat yang berkaitan dengan al-suluk al-insani dalam bidang hukum dan akhlaq dan terbuka untuk dilakukan ijtihad (bukan dalam ibadah murni) sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat tertentu. Hasil interaksi intelektual masyarakat dengan ummu al-kitab pada satu masa bisa jadi berbeda dengan hasil interaksi mereka yang hidup pada masa yang lain. Karena itu, menurut dia, praktek penerapan hukum pada masa Nabi (baca : al-sunnah) adalah hanya model awal penafsiran, dan bukanlah satu-satunya bentuk aplikasi hukum ummu al-kitab yang sesuai sepanjang jaman.
Elastisitas pemahaman dan penerapan ummu al-kitab itu disebut dengan istilah hanifiyah, yang sudah barang tentu aspek-aspek istiqâmat (konsistensi hukum), yakni al-hadd al-adnâ (batas legis minimal) dan al-hadd al-a’la (batas legis maksimal) juga selalu diperhatikan. Selain bersifat elastis, ummu al-kitab juga bersifat subyektif, dalam arti bahwa eksistensi segala aturan hukum, norma dan akhlaq yang tertuang dalam ummu al-kitab itu sangat tergantung pada ikhtiar (pilihan) manusia.
Teori hudud ini didasarkan pada dua karakteristik yang dimiliki oleh agama Islam, yaitu istiqamah dan hanifiyyah. Kata hanifiyyah berasal dari hanafa yang berarti berbelok. Dengan demikian istiqamah (lurus) dan hanifiyyah (belok) adalah dua unsur yang saling bertentangan yang kemudian membentuk gerakan dialektik. Pada dasarnya sifat hanifiyyah telah ada pada diri manusia secara fitrah. Oleh karena itu, dia tidak perlu mencarinya kemana-mana. Yang dia butuhkan untuk membangun sebuah dialektika adalah sesuatu yang tetap, yaitu al-shirath al-mustaqim. Menurut Syahrūr, al-shirath al-mustaqim adalah perpaduan dari al-furqan dan hudud.
Syahrūr menyebutkan enam macam hadd dalam risalah Islam. Tapi kita hanya akan menyebutkan tiga yang pertama saja.
1. Hadd bawah saja. Contohnya adalah QS. al-Nisa: 22-23
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا (22) حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (23)
Yang menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi oleh seseorang. Kedua ayat ini adalah hadd bawah dalam pengharaman nikah. Hadd atasnya tidak ada. Ini berarti bahwa jumlah wanita yang haram dinikahi tidak boleh berkurang dari apa yang disebut dalam kedua ayat tersebut. Tapi jumlah tersebut boleh ditambah berdasarkan ijtihad. Misalnya jika ilmu kedokteran menetapkan bahwa menikahi anak paman memiliki pengaruh yang buruk terhadap kesehatan, maka bisa dirumuskan hukum yang melarang menikahi anak paman.
2. Hadd atas saja. Contohnya adalah QS. al-Maidah: 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (38)
Yang berisi tentang hukuman potong tangan bagi pencuri. Ayat ini adalah hadd atas hukuman bagi pencuri. Artinya, hukuman terberat yang harus diterima oleh seorang pencuri adalah potong tangan. Tidak boleh lebih berat dari itu, misalnya hukuman mati. Tapi boleh lebih ringan, sesuai dengan kondisi yang ada.
3. Hadd atas dan bawah. Contohnya adalah QS. al-Nisa: 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (11)
Ayat ini menerangkan bahwa hadd atas bagian laki-laki adalah dua kali bagian perempuan dan hadd bawah bagian perempuan adalah separuh bagian laki-laki. Artinya, dalam kondisi laki-laki menanggung 100 % beban ekonomi dan perempuan 0 %, maka laki-laki boleh mengambil dua kali lipat bagian perempuan. Jika lebih dari itu, maka dia telah melampaui hadd.
Penerapan Teori Batas (Nadhâriyah Hudǔdiyah) Dalam Kasus Poligami
Islam bukanlah agama yang pertama kali memperkenalkan poligami apalagi yang pertama mewajibkan seperti yang dituduhkan kalangan Barat. Tetapi poligami merupakan fenomena yang telah lama dikenal dalam tradisi agama-agama lain, seperti Kristen, Yahudi, dan Hindu. Bahkan Hindu masih mempraktekkannya sampai diundangkannya aturan yang melarang poligami tahun 1955.
Penerapan teori batas dalam kasus poligami cukup menarik dan solutif di tengah perdebatan di kalangan umat tentang ketentuan poligami. Poligami menurut Syahrūr, tetap sebagai praktek perkawinan yang diakui oleh ajaran Islam, tetapi terkandung persyaratan-persyaratan khusus yang ingin mengamalkannya.
Praktek poligami dalam agama Hindu tidak memiliki batasan, bahkan dalam kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam agama Hindu, diijinkan mengawini istri sebanyak yang mereka inginkan. Dalam kitab suci mereka banyak diceritakan tentang istri-istri para raja dan istri-istri para pahlawan. Hal ini menunjukkan poligami telah berkembang sejak lama dalam tradisi Hindu. Demikian pula dalam Bibel, Kitab Suci Kristen, banyak ditemukan uraian bahwa para nabi seperti, Daud, Sulaiman, Ibrahim dan Musa melakukan poligami. Dalam masyarakat Arab Jahiliyah, praktek serupa juga telah lama dikenal dan telah menjadi gaya hidup setiap kepala suku.
Demikian praktek poligami (tak terbatas) telah menjadi fenomena yang sudah lama dikenal jauh sebelum Islam, sehingga tidak tepat jika menuduh Islam sebagai agama yang pertama memperkenalkan poligami dalam sejarah hidup manusia. Tetapi justru Islam yang pertama kali berupaya untuk membenahi (mereformasi) praktek-praktek poligami yang tanpa batas tersebut yang dinilai mensubordinatkan posisi perempuan, dan pada akhirnya mendhalimi perempuan.
Ketentuan Islam tentang poligami yang tertuang dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat empat pada akhirnya difahami umat Islam sebagai legitimasi untuk terus melakukan praktek poligami. Bahkan ada kalangan menilai poligami adalah sunah, yang baik dan perlu untuk dikerjakan asal syaratnya adil.
Beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan – ketiganya ulama terkemuka Mesir – lebih memilih memperketat praktek poligami daripada meletakkannya sebagai amaliayah tanpa aturan ketat. Lebih jauh, Abduh dalam tafsir al-Manâr, menyatakan poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kedhaliman.
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebalikan yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktek poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan keharusan berlaku adil dalam berpoligami. Dalam banyak kesempatan Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah hadis dinyatakan :”Barang siapa yang mengawini perampuan. Sedangkan dia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhir nanti, separuh tubuhnya akan lepas dan terputus”.
Muhammad Syahrūr menilai, bahwa poligami adalah permasalahan yang unik, khususnya bagi perempuan (baca : muslimah), serta menjadi permasalahan (qadhiyah) yang kunjung selasai dibicarakan oleh masyarakat dunia pada umumnya. Jika ayat poligami ditinjau dari perspektif teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrūr, maka akan jelas terlihat bahwa permasalahan itu mempunyai ikatan yang erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial. Karena batasan yang telah digariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, disamping juga memiliki faedah (hikmah) bagi kehidupan manusia.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (3)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa’/4:3)
Ayat di atas menjadi satu-satunya dasar dalam berbicara tentang poligami sebenarnya tidak berbicara itu dalam konteks poligami. Ayat itu meletakan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Syahrūr dalam magnum opus-nya al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah, menjelaskan kata tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai dua pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama adalah al-‘adlu (Q.S. al-Mâidah/5:42, al-Hujarât/49:9, al-Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jŭr (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (baca sama, lurus) dan juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Di sisi lain ada perbedaan dua kalimat tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari dua sisi.
Menurut buku al-Kitâb wa-al-Qur’ân: Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrūr, maka diterjemahkan dalam versi baru (baca : Syahrūr) ayat itu diartikan sebagai berikut : “Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim)”
Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumnya “wa in …” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ pada Q.S. an-Nisa’/4: 2
وَآَتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا (2)
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakanaaaaa (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”.
Dan jika teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrūr diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka akan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).
Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan.
Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrūr mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai shighah syarth, jadi seolah-olah, menurut Syahrūr, kalimatnya adalah:فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ dengan syarat kalau adaوَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى Dengan kata lain untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah/ (janda yang mempunyai anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrūr, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.
Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat penutup ayat: ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا karena ta’ūlū berasal dari kata ‘aul artinya كثرة العيال (banyak anak yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya tindak kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka. Maka ditegaskan kembali oleh Syahrūr, bahwa ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks poligami di sini tidak dituntut adâlah (keadilan) antar istri-istrinya pada firman Allah Q.S. al-Nisa’/4 ayat : 129
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (129)
Persyaratan esensial dalam praktek poligami adalah, pertama, pelibatan janda yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim para janda yang dinikahi berikutnya. Jika ini yang dipraktekkan oleh kalangan Muslim, maka esensi hukum (hikmah al-tasyri) adanya praktek poligami dalam perkawinan Islam menjadi menonjol ketimbang sebagai sarana untuk memuaskan nafsu para laki-laki yang tidak cukup dengan satu orang istri.
Sebagai komparasi, ketika melihat teks-teks hadis tentang poligami, sebenarnya secara mayoritas mengarah kepada pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan dan penyantunan terhadap anak yatim. Ada satu hadis yang cukup menarik untuk dipaparkan di sini yang sangat jarang dikutip oleh para pro-poligami, padahal dari sisi periwayatan dinilai sangat otentik (shahih) karena ditakhrij oleh ulama hadis terkemuka ; Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fatimah binti Muhammad SAW akan dipoligami oleh Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru “Beberapa keluarga bani Hasyim bin al-Mughirah meminta ijin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengijinkan, sekali lagi tidak akan mengijinkan. Sungguh tidak aku ijinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga”.
BAB III
ANALISIS
Kehadiran pemikiran Syahrūr yang tertuang dalam berbagai karyanya disambut dengan berbagai respon, baik positif maupun negatif. Sikap kritis para pengkiritik memang beragam. Sebagian kritik berisi hujatan-hujatan kasar dan kata-kata kotor serta cacian terhadapnya, bahkan sebagian pengkritik mengatakan bahwa Syahrūr merupakan bagian dari zionis dan telah menjadi kafir hanya karena dia mengemukakan pokok-pokok pikirannya dan menafsirkan ulang ayat-ayat al-qur’an. Namun, mayoritas pengkritik semacam ini tidak memberikan argumentasi-argumentasi ilmiah yang cukup an kuat dalam rangka membantah pemikiran Syahrūr. Kritik semacam ini bisa kita jumpai misalnya, dalam karya Syaikh Ramdhan al-Buthi (al-Khalfiyyah al-Yahudiyyah li Syi’ar Qira’ah Mu’asyirah), yang diterbitkan pada 1990 di jurnal Nahj al-Islam , dan dalam karyanya Khalid bi ‘Abdurrahman al-‘Akk yang berjudul al-furqan wa al-Qur’an.
Sebagian pengkritik mencoba membongkar pemikiran Syahrūr dengan mengemukakan counter-arguments yang bernuansa tradisionalis, dalam arti bahwa kritikan-kritikan mereka didasarkan pada pandangan-pandangan yang selama ini berkembang secara luas di kalangan ulama tafsir, hadis dan fiqih. Kritikan-kritikan emosional masih kita lihat di dalamnya, meski kuantitasnya lebih kecil dibanding dalam karya-karya yang telah disebutkan tadi. Sebagain peneliti menilai bahwa kritikan semacam ini tidak lebih dari pengulangan-pengulangan epistemologis (dan tentunya tidak ada nuansa baru) yang justru hendak didekonstruksi oleh Syahrūr, sehingga terkesan bahwa mereka dan Syahrūr berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Kritikan semacam ini bisa dilihat misalnya pada karya Ahmad ‘Imran, al-Qira’ah al-Mu’shirah li al-Qur’an fi al-Mizan , karya Muhami al-Syawwaf, Tahafut al-Qira’ah al-Mu’shirah , dan karya Mahir al-Munajjad, al-Isykaliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-Qur’an .
Sebagian pengkritk lain tidak terkungkung pada argumentasi-argumentasi tradisionalis, melainkan berusaha semaksimal mungkin meruntuhkan penafsiran dan argumentasi Syahrūr dengan mengemukakan counter-arguments yang metodis, sehingga mereka mampu menelanjangi kelemahan-kelemahan Syahrūr secara baik. Salim al-Jabi dalam kitabnya Mujarrad Tanjim (dalam 3 jilid), misalnya, membongkar penafsiran Syahrūr dengan menganalisis dan mengeksplorasi konteks-tekstual ayat-ayat yang ditafsirkan. Dalam banyak hal dia berkesimpulan bahwa pemikiran Syahrūr tidak sesuai dengan konteks ayat-ayat tersebut. Meskipun terkesan tradisonalis, namun dia tidak terkungkung oleh teori munasabat al-ayat yang selama ini berkembang.sayangnya, dalam bukunya ini masih dijumpai kata-kata celaan yang bisa sedikit mengurangi keseriusan kritik ilmiahnya. Yang bisa digolongkan juga ke dalam kritik semacam ini adalah artikel-artikel dan buku-buku Nashr Hamid Abu Zayd, yang di dalamnya dia mengkritik, bukan hanya produk penafsiran Syahrūr, melainkan juga apa yang menjadi fondasi hermeneutisnya. Menurutnya, penafsiran Syahrūr mengabaikan historisitas teks al-Qur’an, dalam arti bahwa teks al-Qur’an terkait erat dengan sejarah manusia pada abad ke-7 M., sehingga harus dipahami dengan memperhatikan konteks historis , selain konteks tekstual. Dalam banyak kasus interpretasi, Syahrūr terlihat mengabaikan hal ini, sehingga, menurut Abu Zayd, penafsirannya sulit untuk dipertahankan secara ilmiah. Karena sibjetifitas penafsir lebih mendominasi objektifitas teks, maka Abu Zayd menggolongkan penafsiran Syahrūr ke dalam penafsiran tendensius dan diwarnai oleh ideologi tertentu (Qira’ah Talwiniyyah Mughridlah). Meskipun demikian, tidak semua produk penafsiran Syahrūr ditolak Abu Zayd.
BAB IV
PENUTUP
Dari sekilas paparan di atas dapat disimpulkan bahwa Syahrūr adalah benar-benar seorang “kontekstualis” sejati yang meyakini keharusan perubahan penafsiran dan pemahaman terhdap ajaran Islam. Perubahan ini menuntut kebebasan atau keterbukaan epistemologi tanpa harus terkungkung oleh turāts walaupun berasal dari generasi pertama umat ini, ataupun sesuatu yang telah disepakati sebagai sebuah hasil kesepakatan ulama (ijmā’).
Karena itu, Syahrūr sangat berani melakukan reinterpretasi kitab suci dan mendekonstruksi metodologi pemahamannya dengan sangat bebas. Sayang sekali, Syahrūr yang selalu berbicara tentang interpretasi Al-Qur’an dan pembaharuan fiqh Islam ini, tidak pernah dikenal sebagai seorang mufassir ataupun faqīh. Bahkan dalam rekam jejaknya, Syahrūr tidak pernah tercatat sebagai pelajar ataupun berguru disiplin keislaman kepada siapapun.
Dalam pandangan Syahrūr, teori hudud adalah jawaban atas krisis akut yang dialami oleh fikih Islam saat ini. Dengan teori ini, hukum Islam tidak lagi menjadi kaku, tapi sebaliknya akan menjadi elastis, sehingga bisa tetap relevan untuk setiap tempat dan waktu.
Kemunculan pemikirannya banyak menuai respon, baik positif maupun negatif. Hal ini adalah wajar dan baik demi perkembangan dunia keilmuan, khususnya khazanah keislaman.
Demikianlah isi paparan makalah kami. Dengan segala kerendahan hati, penulis sadar kalau makalah ini sangat jauh untuk dikatakan sempurna, baik tentang pemahaman kami yang kurang maupun data informasi yang kami peroleh setelah sedikit melakukan pengenalan akan biografi Muhammad Syahrūr beserta pemikirannya tentang al-Qur’an beserta Tafsirannya. Patutlah makalah ini sebagai wujud awal dari pembelajaran kami sehingga untuk memperoleh data yang lebih komperhensif seharusnyalah kita lebih mengorek lebih kajian di dalamnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna evaluasi makalah mendatang.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Munajjad, Mahir. Munaqasyat al-Isykaliyyahal-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-Qur’an. Terj. Burhanuddin Dzikri. Yogyakarta: eLSAQ Press. 2008.
CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Depag RI, al-Hikmah. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro.
Mubarok, Ahmad Zaki. 2007. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrūr. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Syahrūr, Muhammad. 2003. Tirani Islam; Genealogi Masyarakat dan Negara. Yogyakarta: LkiS.
Syahrūr, Muhammad. 2004. Prinsip dan Dasar Hermeneutika al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press.
Syahrūr, Muhammad. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press.
www.kampusislam.com.
www.simoelmughni.multiply.com/journal/item/39/39-111k.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar