A. PENDAHULUAN
Pemaknaan sekaligus pemahaman atas hadis merupakan problematika tersendiri dalam diskursus hadis. Pemaknaan hadis ditentukan tehadap hadis yang telah jelas validitasnya minimal hadis tersebut dikategorikan hasan. Pemahaman hadis merupakan sebuah usaha untuk memahami matan Al-Hadis dengan tepat serta mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.Indikasi-indikasi yang meliputi matn hadis akan memberikan kejelasan dalam pemaknaan hadis apakah akan dimaknai secara tekstual ataukah kontekstual dan apakah suatu hadis termasuk kategori universal, temporal atau lokal.
Rasulullah SAW memiliki cara-cara tersendiri dalam menyampaikan hadits, adakalanya Ia menyampaikan dengan bahasa yang tegas, tak jarang juga ia menyampaikan dengan bahasa yang sarat akan makna, dengan bahasa yang penuh dengan kiasan dan inilah yang disebut majaz.
Dalam kaitannya dengan adanya majaz dalam hadis, para ulama’ (ulama muhaddits) telah menyusun berbagai macam cara dan atau ilmu bagaimana seharusnya hadis-hadis yang memakai kiasan tersebut dipahami, Methode apa saja yang dipakai dalam memahami hadis-hadis tersebut diataranya adalah adanya ilm Majaz Al hadis.
Dalam makalah ini, penulis sedikit ingin ikut berkecimpung dalam membahas salah satu hadis dari beberapa hadis nabi yang disampaikanNya dengan kiasan, yakni “Usus mukmin berbeda dengan usus kafir”. Dalam penulisan makalah ini penulis menyertakan beberpa methode dan perbedaan antara makna hakiki dengan makna majazi serta beberapa aspek yang terkait dengannya.
B. KAJIAN HADIS
Salah satu hadits yang berbicara mengenai usus orang mukmin bebeda dengan orang kafir ketika makan yakni hadits yang diriwayatkan oleh Al bukhari:[1]
حَدَّثَنَا سليمان بن حرب حَدَّثَنَا شعبه عن عدي بن ثابت عن ابي حازم عن ابي هريره ان رجلا كان يأ كل اكل كثيرا فأسلم فكان يأ كل اكل قليلا فذكر ذالك للنبي صلى الله عليه وسلم فقال ان الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاء
Artinya: sulaiman bin Harb menceritakan kepada kami , syu’bah menceritakan kepada kami yang diperoleh dari ‘Ady bin tsabit, yang berasal dari Abu Hazim yang berasal dari Abu Hurairah (menuturkan), bahwa ada seseorang yang makan banyak (pada akhirnya) lalu Ia masuk islam, kemudian Ia berubah menjadi makan sedikit, hal ini disampaikan kepada Nabi Saw maka Nabi SAW berkata: orang yang beriman itu makan dengan satu usus sedangkan orang kafir makan dengan tujuh usus”.( HR Bukhari)
C. TAHKRIJ AL HADITS
Setelah dilakukan proses takhrij berkenaan dengan hadis tadi, dapat kita jumpai bahwa ternyata ada hadis lain yang bernada sama dengan hadis di atas. Hadis-hadis tersebut dapat dilacak didalam kitab:
No | Kitab Pokok | Kitab | Bab | Nomor Hadits |
1 | Shahih Muslim | kitab Al- Asyrabah | Al-mu’min Ya’kulu fi mi’an wahid wal kafir fi sab’ati am’ain | 3839, 3840, 3841 |
2 | Sunan At Tarmidzi | kitab Al ‘Ath’imah ‘An Rasulullha, | Ma jaa Al mu’min ya’kulu fi mi’an wahid | 1740 |
3 | sunan ibnu Majah | Al -Ath’imah | Al-mu’min ya’kulu fi mi’an wahid | 3248 |
4 | Musnad Ahmad bin Hanbal | Musnad Al-Mukatstsirin Min Al sahabah | Musnad Abdullah bin umar bin Khattab | 4488, 4788,, 5181 |
5 | Sunan al darimy | Al ath’imahmu | | |
1. Dalam shahih Muslim masing-masing dengan nomor hadits 3839, 3840, 3841 terdapat tiga hadits yang serupa makna maupun lafadznya:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالُوا أَخْبَرَنَا يَحْيَى وَهُوَ الْقَطَّانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ كِلَاهُمَا عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ[2]
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ خَلَّادٍ الْبَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ نَافِعًا قَالَ رَأَى ابْنُ عُمَرَ مِسْكِينًا فَجَعَلَ يَضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ وَيَضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ قَالَ فَجَعَلَ يَأْكُلُ أَكْلًا كَثِيرًا قَالَ فَقَالَ لَا يُدْخَلَنَّ هَذَا عَلَيَّ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْكَافِرَ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ[3]
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ وَلَمْ يَذْكُرْ ابْنَ عُمَرَ[4]
2. Dalam Sunan At Tarmidzi dengan nomor hadits: 1740
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي بَصْرَةَ الْغِفَارِيِّ وَأَبِي مُوسَى وَجَهْجَاهٍ الْغِفَارِيِّ وَمَيْمُونَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو[5]
3. Dalam kitab sunan ibnu Majah dengan nomor hadits 3248 dalam bab:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ[6]
4. Dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal no: 4488
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ[7]
Terdapat juga pada nomor: 4788
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاقِدِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ نَافِعًا قَالَ رَأَى ابْنُ عُمَرَ مِسْكِينًا فَجَعَلَ يُدْنِيهِ وَيَضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ أَكْلًا كَثِيرًا فَقَالَ لِي لَا تُدْخِلَنَّ هَذَا عَلَيَّ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الْكَافِرَ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ[8]
Terdapat juga pada nomor: 5181
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ وَاقِدٍ سَمِعْتُ نَافِعًا أَنَّ رَجُلًا أَتَى ابْنَ عُمَرَ فَجَعَلَ يُلْقِي إِلَيْهِ الطَّعَامَ فَجَعَلَ يَأْكُلُ أَكْلًا كَثِيرًا فَقَالَ لِنَافِعٍ لَا تُدْخِلَنَّ هَذَا عَلَيَّ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْكَافِرَ يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ [9]
5. Selain dalam kitab kutub Al sittah, hadits tersebut juga terdapat dalam riwayat Ad Darimy:
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ سَلَمَةَ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَارِقِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَكِبَ رَاحِلَتَهُ كَبَّرَ ثَلَاثًا ثُمَّ قَالَ سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِي سَفَرِي هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنْ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا السَّفَرَ وَاطْوِ لَنَا الْبَعِيدَ اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ اللَّهُمَّ اصْحَبْنَا فِي سَفَرِنَا وَاخْلُفْنَا فِي أَهْلِنَا وَكَانَ إِذَا رَجَعَ إِلَى أَهْلِهِ قَالَ آيِبُونَ تَائِبُونَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ [10]
D. PEMAHAMAN HADIS; Antara Hakikat dan MAjaz
Bahasa arab seringkali menggunakan ungkapan dalam bentuk majaz (kiasan atau metafor).[11] Dalam ilmu bhalaghah dinyatakan bahwa ungkapan dalam bentuk majaz lebih berkesan ketimbang dalam bentuk hakiki (makna sebenarnya).[12]sebab rasul adalah orang arab yang menguasai balaghah ( retorika). Adapun Rasulullah SAw adalah seorang penutur bahasa arab yang sangat menguasai balaghah. Ucapan-ucapannya adalah bagian dari wahyu maka tidak mengherankan jika dalam hadis-hadisNya beliau banyak menggunakan majaz untuk mengungkapkan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan.
Adapun yang termasuk majaz adalah majaz ilughawi, aqli, isti’arah, kinayah dan berbagai ungkapan lain yang tidak menunjukkan makna sebenarnya secara langsung tetapi hanya dapat dipahami dengan pelbagai indikasi yang menyertainya baik yang bersifat tekstual autaupun kontekstual.[13] Termasuk didalamnya adalah percakapan imjiner yang dinisbahkan kepada binatang-binatang, burung-burung, Benda-benda mati, serta makna-makna abstrak tertentu.
Menurut yusuf Al Qaradhawi, pemahaman terhadap hadits-hadis bersimbolik merupakan sebuah keharusan karena jika tidak, akan mudah tergelincir pada kekeliruan dalam memaknai hadits karena pemahaman yang tekstual akan terjebak pada pemahaman yang parsial dan tidak konprehensif.[14] Untuk hadits yang tidak bisa dipahami secara tekstuual maka haruslah dipahami secara kontekstual.
Penjelasan hadis
Dalam ilmu Anatomi tubuh, Struktur tubuh manusia, darimanapun asal usul dan apapun agamanya memiliki kesamaan komponen anggota tubuh, baik struktur luar maupun dalam, manusia memiliki kepala, tangan, kaki, rambut, hati, jantung, limpa, paru-paru dan termasuk usus. Akan tetapi jika melihat Secara literal, hadits diatas menjelaskan tentang adanya perbedaan usus antara orang mukmin dengan ususnya orang kafir ketika makan, yakni dikatakan dalam hadits; orang kafir memilki tujuh usus sedangkan orang mukmin memilki satu usus.
Sementara versi dalam redaksi yang lain adalah seorang kafir datang bertamu kerumah Nabi SAW, kemudian dijamu dengan perahan susu kambing, lalu diminum. Orang tersebut minta tambahan susu lagi, sampai tujuh kali minum dan beberapa hari kemudian Ia masuk islam, lalu Nabi menjamu dengan susu kambing perah(persis seperti ketika masih kafir). Ketika diberi tambahan lagi minuman Ia tidak meminunya. Dan ketika itu Nabi SAW bersabda: “Orang mukmin minum dengan satu usus sementara orang kafir minum dengan tujuh usus”[15] yang tentunya hal ini bertentangan dengan ilmu anatomi tubuh tersebut dan jika kita melihat realita yang ada bahwa setap manusia yang pada hakikatnya tidak akan bebeda dalam penciptaan anatara satu sama lain.
Pada hakikatnya, hadis tersebut tidak menjelaskan secara keilmuan tentang struktur jumlah usus dalam diri manusia, akan tetapi hadis tersebut mengandung muatan style kebahasaan yang sangat bagus nan indah, yakni dengan menggunakan uslub (gaya bahasa) kiasan atau metafora (majaz) oleh karena pemahaman yang tepat untuk memahami hadis tersebut adalah dengan pemahaman majazi.
Hadis Nabi tersebut menjelaskan tentang perbedaan karakter atau sifat antara orang kafir dan mukmin, bukan menginformasikan tentang perbedaan usus mukmin dan kafir yang memiliki konstruksi yang berbeda.[16]
Oleh karenanya pemahaman yang bisa diambil dari hadis tersebut adalah pemahaman majazi yakni orang mukmin mempunyai karakter tidak berlebihan (sedikit) dalam soal makan sedangkan orang kafir mempunyai karakter berlebihan, jadi hadis tersebut bermakna” (dalam soal sifat berlebihan makan seolah-olah) orang mukmin (ibaratnya) makan dengan satu usus sedangkan orang kafir (seolah-olah) makan dengan tujuh usus”.[17]
Hal yang senada, Prof. Dr. Suhudi Ismail mengungkapkan bahwa Perbedaan usus dalam matan hadits tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan terhadap nikmat Allah SWT, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan merupakan salah satu dari upaya untuk melangsungkan kehidupan sebaliknya orang kafir menganggap makan dan segala yang berbentuk materi merupakan tujuan dari hidupnya.[18]
Karenanya orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut dalam kemewahan dan kelezatan makan karena yang banyak menuntut kemewahan dan kelezatan pada umumnya adalah orang kafir.[19]
kesimpulan ini dapat dirunut dari karakter dalam budaya bertamu bagi seorang mukmin yang harus menjaga etika bertamu dan etika makan. Seorang mukmin yang bertamu kepada seseorang secara etika, tidak baik dan meyalahi budaya bertamu manakala meminta tambahan jamuan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Lebih tidak etis lagi bila meminta tambahan sampai enam kali sehingga genap dengan tujuh kali makan. Semestinya orang mukmin memelihara ajaran islam tentang etika tersebut. Berbeda dengan orang kafir yang dalam budaya bertamu tidak menjunjung etika dan aturan umum, karenanya Nabi SAW menyindir dan mengibaratkan orang kafir dengan orang mukmin dalam hadis tersebut.[20]
Argument diatas diperkuat dengan analisis korelasional redaksional yang tercantum dalam matn hadis versi riwayat Imam muslim. dalam kisah orang kafir yang bertamu sajian yang dihidangkan oleh Nabi adalah minuman susu kambing perah sehingga orang kafir meminum susu tersebut (fa Syariba hilabaha). Sedangkan komentar nabi ketika dia (tamu) sudah masuk islam disaji minuman untuk kedua kalinya agar diminum lagi tapi tidak diminumnya .
Komentar nabi dalam hadis ini dengan menggunakan kata “minum” bukan “makan”. Dengan demikian analisis korelasional-redaksional ini dapat diketahui bahwa hadis ini diungkapkan dengan menggunakan formula stilistika bahasa bebentuk majazi, sehingga diartikan dengan makna kiasan bukan dengan makna hakiki. Hal senada hampir sama terjadi dalam ungkapan bahasa Indonesia ketika melihat orang makan dengan porsi yang tinggi (menyalahi kelaziman) orang tersebut dikatakan dengan sindiran “ususnya Orang itu panjang”yang maknanya tidak berarti panjang dalam pengertian sebenarnya, tapi mengandung pengertian “banyak”. Sama halnya dengan ungkapan “Yusri melihat harimau kemudian lari seribu langkah”[21]
“Tujuh”; Antara Ilmu Matematika dan ‘Ilm Majaz Al Hadis
Kalimat “tujuh usus” dalam hadis tersebut bukan bertujuan untuk menyebut tujuh seperti yang kita kenal dalam ilmu matematika tapi kalimat tujuh dalam hadis tersebut bermaksud untu menyebut jumlah yang banyak. Menurut persepektif kebahasaan, penyebutan angka tersebut bukan bertujuan al-tahdid (pembatasan) melainkan al-taktsir (jumlah yang banyak). Makna ini berangkat dari tradisi atau kultur orang arab yang menyebut jumlah banyak dengan tujuh atau tujuh puluh.[22] Kalimat-kalimat yang senada (menggunakan majazi) dapat pula kita jumpai dalam Al Qur’an seperti firman Allah SWT:
öÏÿøótGó$# öNçlm; ÷rr& w öÏÿøótGó¡n@ öNçlm; bÎ) öÏÿøótGó¡n@ öNçlm; tûüÏèö7y Zo§sD `n=sù tÏÿøót ª!$# öNçlm; 4 y7Ï9ºs öNåk¨Xr'Î/ (#rãxÿ2 «!$$Î/ ¾Ï&Î!qßuur 3 ª!$#ur w Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÉ)Å¡»xÿø9$# [23]
Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.
Dan juga dalam surat Al baqarah ayat 261: “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”[24]
Surat luqman ayat 27:
öqs9ur $yJ¯Rr& Îû ÇÚöF{$# `ÏB >otyfx© ÒO»n=ø%r& ãóst7ø9$#ur ¼çnßJt .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ èpyèö7y 9çtø2r& $¨B ôNyÏÿtR àM»yJÎ=x. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îÌtã ÒOÅ3ym [25]
Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah[1183]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Dalam ayat Al-Qur’an diatas digunakan penyebutan bilangan tujuh dan tujuhpuluh secara eksplisit dengan bahasa tamtsil atau majaz yang memiliki makna jumlah yang banyak (li al-taktsir). Hal ini sesuai dengan dengan kultur orang arab pada saat itu manakala membahasakan tradisi yang berkembang terhadap fenomena hitungan yang sangat banyak dengan ungkapan (kebanyakan) “angka tujuh” atau tujuhpuluh, dalam konteks inilah Al-Qur’an turun dengan bahasa kaumnya (bilisan qaumihi)[26] sangat relevan untuk dikemukakan.
Pola penggayaan Al-qur’an seperti itu juga dipakai Nabi dalam menyampaikan hadisnya kepada umatnya yang juga sering dijumpai dengan memakai kalimat tujuh, tujuhpuluh, tujuhpuluh tiga dan sebagainya[27] untuk menyampaiakan suatu hal yang jumlahnya banyak bahkan sangat banyak yang tidak diartikan secara riill sebagaimana yang dikenal dalam dunia hitung menghitung.
Beberapa Hikmah
Dari hadis ini dapat diketahui bahwa pebedaan yang mencolok antara kafir dengan mukmin adalah adanya perbedaan sikap atau pandangan terhadap nikmat Allah SWT, termasuk tatkala makan. Hal ini dapat dilihat pada orang mukmin dikala mendapat nikmat dan karunia Allah SWT selalu akan ditindak lanjuti dan sekaligus memiliki sifat syukur. syukur akan karunia dan nikmat yang dilimpahkan padanya, hal ini dipicu dengan adanya semangat dan gharizah (naluri) dalam diri pribadi masing-masing dan disamping itu orang yang beriman sadar akan adanya balasan bagi hamba yang bersyukur dan begitupula bagi orang yang kufur. firman Allah SWT:
øÎ)ur c©r's? öNä3/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ ( ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih"[28]
Dari ayat ini dapat dipahami adanya balasan tersendiri dari Allah SWT bagi orang yang syukur dan begitu juga sebaliknya. Meminjam kata KH.Abdullah gymnastiar: Barangsiapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Akan tetapi barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah, maka sungguh ia telah memberi ikatan yang kuat pada kenikmatan Allah itu[29]
Disamping adanya rasa syukur dalam diri orang mukmin, dapat juga dilihat perbedaan dengan orang kafir dikala makan. Ketika makan umat islam senantiasa berdo’a sebagaimana yang telah diajarkan dan dipraktikkan Rasulullah SAW baik itu sebelum dan sesudah makan.[30] Ketika hendak makan, kita memohon agar rezeki yang kita nikmati selalu diberkahi Allah SWT. Kita makan bukan sekadar mengobati rasa lapar dan memenuhi selera semata, tapi juga untuk menjaga ketaatan kepada Allah SWT Dan dengan makan itu kita berharap bisa konsisten dalam ketakwaan.
Dengan mengikuti tata cara Rasulullah maka segala amal yang kita perbuat akan mendapat berkah[31] dari Allah SWT begitu juga halnya dengan makan. berkah yang dimaksudkan disini adalah setiap suapan nasi atau tegukan minuman, akan membawa kebaikan bagi kita di dunia dan akhirat. Dibawah ini penulis memaparkan beberapa tatacara dan adab-adab sebagaimana Rasulullah SAW makan:
Ø Dikala makan Rasulullah tidaklah berlebihan ( israf ), berkenaan dengan hal ini ada beberapa hadis yang menyatakan bahayanya makan dengan terlalu berlebihan, di ataranya sabda Nabi Saw: Allah telah memberikan wahyu kepada musa bin imran dalam taurat sebagai berikut: sesungguhnya sumber segala dosa itu ada tiga, yaitu: takabbur, dengki, dan tamak. Dari ketiga hal tersebut, lahirlah enam sumber dosa yang lain sehingga jumlahnya menjadi Sembilan sumber dosa yakni: makan terlalu kenyang, terlalu banyak tidur, gemar berleha-leha cinta harta benda senang dipuji-puji, gila kedudukan atau pangkat.[32] Dalam Al qur’an juga disinyalir bahaya bagi orang yang suka berlebihan: انه لايحب المسرفين
Artinya: sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang suka berlebihan
Ø Memulai dengan doa dan ucapan basmalah, dan mengakhirinya dengan doa pula, tidak mencela makanan, menggunakan tangan kanan, sambil duduk, serta tidak tergesa-gesa[33]
Ø Selain itu, beliau pun menyebut pula beberapa cara makan yang diberkahi. Antara lain, dimulai dari pinggir, serta menjilat jari (setelah makan). Rasulullah SAW bersabda, "Berkumpullah kalian menikmati makanan dan sebutlah nama Allah, kalian akan diberkahi padanya" Rasul pun memerintahkan untuk menjilat jari karena kita tidak tahu mana di antara makanan itu yang mengandung berkah.
Dengan memperhatikan standar makanan yang dicontohkan Rasulullah SAW, insya Allah setiap suapan nasi atau tegukan minuman, akan membawa kebaikan bagi kita di dunia dan akhirat. Dan inilah salah satu kebahagiaan yang dimimpi-mimpikan oleh hamba yang beriman.
E. KESIMPULAN
Pemahaman atas hadits-hadis bermajaz merupakan sebuah keharusan karena jika tidak, akan mudah tergelincir pada kekeliruan dalam memaknai hadits karena pemahaman yang tekstual akan terjebak pada pemahaman yang parsial dan tidak konprehensif. Untuk hadits yang tidak bisa dipahami secara tekstual maka haruslah dipahami secara kontekstual.
Dapat diketahui bahwa pebedaan yang mencolok antara kafir dengan mukmin adalah adanya perbedaan sikap atau pandangan terhadap nikmat Allah SWT, termasuk tatkala makan. Hal ini dapat dilihat pada orang mukmin dikala mendapat nikmat dan karunia Allah SWT selalu akan ditindak lanjuti dan sekaligus memiliki sifat syukur. syukur akan karunia dan nikmat yang dilimpahkan padanya.
Disamping adanya rasa syukur dalam diri orang mukmin, dapat juga dilihat perbedaan dengan orang kafir dikala makan. Ketika makan umat islam senantiasa berdo’a sebagaimana yang telah diajarkan dan dipraktikkan Rasulullah SAW baik itu sebelum dan sesudah makan. Ketika hendak makan, kita memohon agar rezeki yang kita nikmati selalu diberkahi Allah SWT. Kita makan bukan sekadar mengobati rasa lapar dan memenuhi selera semata, tapi juga untuk menjaga ketaatan kepada Allah SWT Dan dengan makan itu kita berharap bisa konsisten dalam ketakwaan.
F. PENUTUP
Kiranya demikianlah makalah yang dapat penulis sajikan Namun sangatlah berlebihan jikalau makalah ini dikatakan sempurna,karena penulis sendiri masih merasakan banyaknya kesalahan dan kekurangan. Karenanya sangat diharapkan apresiasi dari pembaca berupa kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan koreksi untuk makalah dan ataupun tulisan mendatang.
G. SENARAI BACAAN
AL-Qur’an dan terjemahan DEPAG RI
Al-Qaradlawi. Yusuf. Al Madkhal Lidirasah Al sunnah An nabawiyah terj Pengantar studi Hadis oleh dede rodin dan Agus raharusun. (bandung: CV.Pustaka Setia) 1991
An Nawawi albantani. Nashaihul Ibad ( menjadi santun dan bijak) terjemahan Fuad kauma ( bandung: Irsyad Baitus salam )
Ahmad Najib, Sifat Rasulullah sehari-hari ( Bandung: Pustaka Al Amin)1996
CD Mausu’ah al-Hadits al-Syarif. Fath al-Bari. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Musnad Ahmad bin Hanbal. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Shahih al-Bukhari. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Shahih Muslim. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Sunan al-Tirmidzi. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Syarh Shahih Muslim. Global Islamic Software, 1991-1997.
Budiono . Kamus lengkap bahasa Indonesia. (Surabaya: Karya Agung. 2005)
Suryadi Metode Kontemporer Memahami hadits Nabi. ( Yogyakarta, TERAS )
[1] Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari, Shahih Bukhari kitab Ath’imah bab Al Mu’min ya’kulu fi mi’an wahid fihi Abu hurairah ‘An Nabi No: 4974
[2] Hadits Riwayat Muslim, Shahih Muslim, kitab Al Asyrabah bab Al mu’min Ya’kulu fi mi’an wahid wal kafir fi sab’ati am’ain no 3839. CD ROM Mausu’ah Al Hadits Al Syarif .
[3] Hadits Riwayat Muslim, Shahih Muslim, kitab Al Asyrabah bab Al mu’min Ya’kulu fi mi’an wahid wal kafir fi sab’ati am’ain no 3840. CD ROM Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[4] Hadits Riwayat Muslim, Shahih Muslim, kitab Al Asyrabah bab Al mu’min Ya’kulu fi mi’an wahid wal kafir fi sab’ati am’ain no 3841. CD ROM Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[5] Hadits Riwayat At Tarmidzi, Sunan At Tarmidzi, kitab Al ‘Ath’imah ‘An Rasulullha, bab Ma jaa Al mu’min ya’kulu fi mi’an wahid no: 1740. CD ROM Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[6] Haditts Riwayat Ibnu majah, Sunan Ibnu majah, kitab al ath’imah bab Al mu’min ya’kulu fi mi’an wahid no:3248. CD ROM Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[7] Hadits Riwayat Imam Ahmad Ibnu Hanbal , Musnad Ahmad Bin Hanbal kitab musnad Al Mukatstsirin Min Al sahabah bab Musnad Abdullah bin umar bin Khattab , no: 4488. CD ROM mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[8] Hadits Riwayat Imam Ahmad Ibnu Hanbal , Musnad Ahmad Bin Hanbal kitab musnad Al Mukatstsirin Min Al sahabah bab Musnad Abdullah bin umar bin Khattab , no: 4788. CD ROM mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[9] Hadits Riwayat Imam Ahmad Ibnu Hanbal , Musnad Ahmad Bin Hanbal kitab musnad Al Mukatstsirin Min Al sahabah bab Musnad Abdullah bin umar bin Khattab , no: 5181. CD ROM mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[10] Hadits Riwayat ad darimy, Sunan al darimy kitab Al ath’imah CD ROM Mausu’ah Hadits Al Syarif
[11] Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Majas diartikan sebagai cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakan dengan sesuatu yang lain, sementara dihasilkan derivasi makna seperti majasi berarti: tidak sebenarnya, sebagai kiasan persamaan dan sebagainya. Buka Budiono MA. Kamus lengkap bahasa Indonesia. (Krya Agung. 2005) hlm 329
[12] Dr yusuf Al-Qaradlawi. Al Madkhal Lidirasah Al sunnah An nabawiyah dalam terjemahan Pengantar studi Hadis oleh dede rodin. (CV.Pustaka Setia. 1991) halaman 238
[13] Suryadi M.Ag. Metode Kontemporer Memahami hadits Nabi. ( Yogyakarta, TERAS ) halaman 175
[14] Yusuf Al Qaradhawi, Kaifa Nata’ammal ma’al sunnah . hlm 155
[15] Imam Muslim. Shahih Muslim kitab Al-Asyribah bab Al Al-mu’min Ya’kulu fi mi’an wahid wal kafir fi sab’ati am’ain.nomor hadis: 3839, 3840, 3841 lebih jelasnya buka fath Al Bari bisyarhi Shahih Al Bukhari
[16] H. Nizar Ali. Hadis Versus Sains; memahami hadis-hadis musykil. (Yogyakarta: TERAS. 2008) hlm 50
[17] H. Nizar Ali. Hadis Versus Sains; memahami hadis-hadis musykil. (Yogyakarta: TERAS. 2008) hlm 50
[18] H.M.Suhudi Ismail Hadits nabi yang tekstual dan Konyekstual. (Jakarta: PT Bulan Bintang) halaman 21
[19] H.M.Suhudi Ismail Hadits nabi yang tekstual dan Konyekstual. (Jakarta: PT Bulan Bintang) halaman 22
[20] H. Nizar Ali. Hadis Versus Sains; memahami hadis-hadis musykil. (Yogyakarta: TERAS. 2008) hlm 50
[21] Dalam ungkapan “seribu” langkah diatas tidak diartikan dengan seribu langkah dalam hitungan melainkan dimaknai dengan langkah yang banyak dan jauh.
[22] Contoh yang dapt dikemukakan dalam dalam memperkuat alas an ini adalah ungkapan yang menyatakan “la yaqbal Allah man kkafara walau ‘abbadahu sab’ina ‘aman” (Allah tidak menerima orang yang mengingkari amalnya, meskipun dia menyembah selama tujuhpuluh tahun) kata “tujuhpuluh tahun” dalam kalimat tesebut tidak membatasi secara rill-fix tapi menunjukkan waktu yang banyak/lama sampai tak terhitung. Lebih jelasnya buka; hadis vs sains
[23] Al-QUr’an surat At-taubah ayat 80
[24] Al-Qur’an surat al baqarah ayat 261
[25] Al-Qur’an surat luqman ayat 27
[26] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 4 yang artinya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
[27] Sebagai contoh disini penulis mengambil salah satu hadis Nabi yang menyatakan bahwa ummat islam akan terbagi (baca;terpecah) menjadi tujuh puluh tiga golongan, memakai tujuh puluh dua golongan dalam riwayat lain. Seperti riwayat imam Turmudzi dalam kitab Al-iman bab ma ja’a fi iftiraq hadzihi al ummah nomor: 2640 juz v halm 25-26, lihat juga ibnu majah .sunan Ibnu Majah kiab al fitan bab iftiraq al ummah nomor hadis 399 dan 3992, halaman 1321-1322, juga Abu daud. Sunan Abu Daud kitab Al sunnah nomor 4592 dan 4596 halaman 197-198.
تفرقت اليهود على إحدى وسبعين أو اثنتين وسبعين فرقة والنصارى مثل ذلك وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة وفي الباب عن سعد وعبد الله بن عمرو وعوف بن مالك قال أبو عيسى حديث أبي هريرة حديث حسن صحيح
Dalam kesemua hadis yang menunjukkan kalimat tujuh dan atau tujuhpuluh tiga disini memiliki arti dan tujuan Lilkatsrah
[28] Al qur’an surat Ibrahim ayat 7
[29] Dikutif dari ceramah KH. Abdullah gymnastiar ( Aa Gym), lebih jelasnya buka Abdullah gymnastiar. Manajemen qalbu……
[30] Do’a setelah makan dapat ditemukan dalam hadis rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu daud, Sunan Abu daud kitab Al Ath’imah bab Ma Yaqulu Al Rajulu idza Tha’am nomor hadits 3352:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي هَاشِمٍ الْوَاسِطِيِّ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَبَاحٍ عَنْ أَبِيهِ أَوْ غَيْرِهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا فَرَغَ مِنْ طَعَامِهِ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَجَعَلَنَا مُسْلِمِينَ
[31] Kata "berkah" berasal dari kata kerja baraka. Kata ini, menurut Ar-Raghib Al-Asfahani, seorang pakar bahasa Alquran, dari segi bahasa, mengacu kepada arti al-luzum (kelaziman), dan juga berarti al-tsubut (ketetapan atau keberadaan), dan tsubut al-khayr al-ilahy (adanya kebaikan Tuhan). Senada dengan Al-Asfahani, Lewis Ma'luf, juga mengartikan kata baraka dengan arti "menetap pada sesuatu tempat". Dari arti ini, muncul istilah birkah, yaitu tempat air pada kamar mandi. Tempat air tersebut dinamakan birkah karena ia menampung air, sehingga air dapat menetap atau tertampung di dalamnya. Dari kata al-birkah inilah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengartikan berkah sebagai "kebaikan yang banyak dan tetap" atau "tetapnya kebaikan Allah terhadap sesuatu". Hampir senada dengan Al-Utsaimin, Ibnul Qayyim memaknai berkah sebagai "kenikmatan dan tambahan".
[32] Dikutip dari kitab nashaihul ibad ( menjadi santun dan bijak)terjemahan Fuad kauma Muhammad nawawi albantani ( bandung: Irsyad Baitus salam ) hlm 221
[33] Ahmad Najib, Sifat Rasulullah sehari-hari ( Bandung: Pustaka Al Amin 1996) halaman 58
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar