TAFSIR MAWDHU'i

Admin Thursday, December 16, 2010

A.  Pendahuluan
Sebagaimana kita ketahui, tafsir al-Qur’an pada mulanya hanya berdasarkan hadith-hadith Nabi saw. dan banyak diantaranya yang menerangkan sebab musabab turunnya ayat-ayat (asba<bun nuzu<l) mengingat ayat-ayat al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kebutuhan situasi, mendukung peristiwa-peristiwa yang terjadi, serta alasan-alasan lain yang menyebabkan perlunya diturunkan wahyu Ilahi.
Namun permasalahan kehidupan di abad modern  berbeda jauh dari apa yang dialami oleh generasi terdahulu di mana al-Qur’an diturunkan ketika itu.   Perbedaan tersebut terasa sekali di tengah masyarakat, seperti mobilitas yang tinggi, perubahan situasi yang sangat cepat, dan lain-lain. Realitas yang demikian membuat masyarakat—baik secara individual maupun berkeluarga, bahkan berbangsa dan bernegara—menjadi terasa seakan-akan tak punya waktu luang untuk membaca kitab-kitab tafsir yang tersaji bersama metodologi klasiknya dalam bentuknya yang besar-besar. Padahal untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an, umat dituntut untuk membaca dan memahami kitab-kitab tafsir tersebut.
Dilatar belakangi permasalahan tersebut serta mencoba merealisasikan pesan yang konon berasal dari Ali ra. yang berbunyi: “استنطق القران” ( Ajaklah al-Qur’an bicara / biarkan al-Qur’an menguraikan maksudnya)—pesan ini, antara lain mengharuskan penafsir untuk merujuk kepada al-Qur’an dalam rangka memahami kandungannya, lahirlah metode mawd{u<‘i< (tematik) di mana mufassirnya berupaya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[1]
Dengan lahirnya metode ini, mereka yang menginginkan petunjuk al-Qur’an dalam satu masalah tidak perlu menghabiskan waktunya untuk membaca kitab-kitab tafsir yang tersaji dalam ukuranya yang besar-besar, tetapi cukup membaca tafsir tematik tersebut selama permasalahan yang ingin mereka pecahkan dapat mereka jumpai dalam tafsir ini.
Makalah singkat ini mencoba membahas metode penafsiran secara mawd{u<‘i<  atau tematik tersebut dalam lingkup pengertian, kelebihan dan kekurangan serta urgensinya dalam penafsiran al-Qur’an.

B.     Pengertian Metode Tematik (Mawd{u<‘i<)
Secara etimology, mawd{u<‘i< berasal dari kata mawd{u<‘ yang berarti ide utama atau topik[2] Adapun mawd{u<‘i< sendiri memiliki arti sebagai sesuatu yang obyektif.[3] Dengan demikian metode mawd{u<‘i< secara etimology dapat diartikan sebagi sebuah metode penafsiran dengan konsentrasi pada obyek/topik tertentu.
Adapun secara terminology, metode mawd{u<‘i< atau tematik adalah sebuah metode penafsiran dengan membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Senua ayat yang berkaitan dihimpun kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asba<b al-nuzu<l, kosakata (mufrada<t), dan sebaginya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur’an maupun pemikiran rasional.[4] Tidak berbeda jauh dengan apa yang dinyatakan oleh Nur Faizin, bahwa metode ini menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat, kemudian memberi keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[5]
Metode ini sangat jauh berbeda dengan metode penafsiran lama, di mana si penafsir menafsirkan kata demi kata dan kalimat, kemudian menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, lalu menerangkan makna yang dimaksud ayat-ayat yang bersangkutan.[6] Penggunaan metode ini biasanya sebagai respon mufassirnya atas persoalan yang butuh pandangan dan jawaban al-Qur’an[7]
Di antara karya tafsir yang masuk kategori ini (mawd{u<‘i<), misalnya, al-Insa<n fi al-Qur’a<n, al-Mar’ah fi< al-Qur’a<n karya Abbas Mah{mud al-‘Aqqa<d, atau al-Riba< fi< al-Qur’a<n karya Al-Maudu<di[8]<



C.    Ciri-ciri Metode Tematik (Mawd{u<‘i<)
Sesuai dengan namanya “tematik/mawd{u<‘i<, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini adalah menonjolkan tema, judul atu topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal.[9] Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada ditengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an  itu sendiri ataupun dari yang lain-lainya. Kemudian tema-tema tersebut dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang termuat dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Artinya, penafsiran yang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan (al-ra’y). karena itu, dalam proses pemakaiannya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir. Di samping itu perlu pula dilengkapi dengan hadith-hadith Nabi, pendapat para sahabat, ulama, dan sebagainya.
Dalam penerapannya ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh mufassir, sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Farma<wi< dalam al-Bida<yah fi< al-Tafsi<r al-Mawd{u<‘i< bahwa setidaknya ada tujuh langkah yang harus ditempuh untuk menerapkan metode mawd{u<‘i<, [10] langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik)[11]
2.      Menghuimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut
3.      Menyusun runtutan  ayat sesuai dengan masa turunya, disertai pengetahuan tentang asba<b al-nuzu<l-nya[12]
4.      Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing
5.      Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line)[13]
6.      Melengkapi pembahasan dengan hadith-hadith yang relevan denagan pokok bahasan
7.      Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘a<m (umum) dan yang kha<s{ (khusus) mut{laq dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara , tanpa perbedaan atau pemakasaan.
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan Al-Farma<wi< dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam al-Qur’an; (b) arti ummiyya<t al-‘Ara<b (kebuta hurufan orang Arab) dalam al-Qur’an; (c) etika meminta izin dalam al-Qur’an; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam al-Qur’an, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawd{u<‘i<.[14] Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut kait-mengait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mah{mu<d Shalt{u<t dalam kitab tafsirnya. Kedua, menghimpun ayat al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat al-Qur’an, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasannya.[15]

D.    Kelebihan Metode Tematik (Mawd{u<‘i<)
Di antara kelebihan metode ini adalah sebagi berikut:.
1.      Praktis dan sistematis
Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sisitematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Hal ini sangat cocok dengan kehidupan umat yang semakin modern dengan mobilitas yang tinggi sehingga mereka seakan-akan tak punya waktu untuk membaca kitab-kitab tafsir yang besar. Sehingga dengan adanya tafsir tematik, mereka akan mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, efektif, dan efisien.[16]
2.      Dinamis
Metode ini membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image  di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial. Dengan demikian terasa sekali bahwa al-Qur’an selalu aktual (update), tak pernah ketinggalan zaman (outdate).[17]
3.      Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami.
Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata –mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al-Qur’an sebagai kitab suci.[18]
4.      Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.[19]
E.     Kekurangan Metode Tematik (Mawd{u<‘i<)
Di samping mempunyai kelebihan, metode ini juga tak luput dari kekurangan yang antara lain sebagai berikut:
1.      Memenggal ayat al-Qur’an
Memenggal ayat al-Qur’an yang dimaksudkan di sini adalah mengambil satu kasus yang terdapat dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah tersebut diungkapkan bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas akajian tentang zakat, misalnya, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika menukilnya dari mushhaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis. Cara ini terkadang dipandang kurang sopan terhadap ayat-ayat suci sebagaimana dianggap utaqma oleh kaum tekstualis. Namun, selama tidak merusak pemahaman, sebenarnya cara serupa tidak perlu dianggap sebagai hal yang negatif.[20]
2.      Membatasi pemahaman ayat.
Dengan ditetapkannya judul/tema penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufassir terikat oleh tema itu. Padahal tidak mustahil satu ayat dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena seperti yang dikatakan Darraz bahwa ayat al-Quran itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan ditetapkannya judul/tema pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[21]

F.     Urgensi Metode Tematik (Mawd{u<‘i<)
Tafsir metode tematik lebih dapat diandalkan untuk dapt menjawab permasalahan di muka bumi ini—sebagimana telah disinggung sebelumnya, itu berarti, metode ini besar sekali artinya dalam kehidupan umat agar mereka dapat terbimbing ke jalan yang benar sesuai dengan maksud diturunkannya al-Qur’an.
Berangkat dari pemikiran tersebut, maka kedudukan metode ini menjadi semakin kuat di dalam khazanah intelektual Islam. Oleh karenanya, metode ini perlu dipunyai oleh para ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan benar demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Metode tematik ini mampu menepis adanya pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang diakibatkan oleh tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh, di mana hal ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan kontradiktif atau penyimpangan yang jauh dalam memahami al-Qur’an. Dengan demikian maka adalah hal yang wajar jika metode ini menduduki tempat yang amat penting dalam kajian tafsir al-Qur’an. [22]

G.    Kesimpulan
Dari serangkaian ulasan di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwasanya metode mawd{u<’i< adalah sebuah metode penafsiran yang dilatar belakangi sebuah  judul atau tema, di mana sang mufassir—dalam penerapan metode ini—menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat, kemudian memberi keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Kemudian, sebagai sebuah metode penafsiran, metode mawd{u<’i< inipun tentunya punya kelebihan dibanding metode yang lain, antara lain: (a) Praktis dan sistematis, (b) Dinamis, (c) Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami, dan (d) Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam al-Qur’an. Namun, dalam perkembangan dan praktiknya metode inipun tidak luput dari kekurangan antara lain: (a) Terjadi pemenggalan ayat al-Qur’an (b) Adanya keterbatasan dalam pemahaman ayat.
Di dalam khazanah intelektual Islam, kedudukan metode ini menjadi semakin kuat, sehingga menjadikan metode ini untuk perlu dipunyai oleh para ulama, khususnya oleh para mufassir atau calon mufassir agar mereka dapat memberikan kontribusi menuntun kehidupan di muka bumi ini ke jalan benar demi meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sedangkan dalam kajian tafsir al-Qur’an, metode ini menduduki tempat yang amat penting, karena metode tematik ini mampu menepis adanya pemahaman yang terkotak-kotak dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an yang diakibatkan oleh tidak dikajinya ayat-ayat tersebut secara menyeluruh.


H.    Bibliografy
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdy Muhdlar, Kamus al-Ashry (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1997)
Al-Munawy, M. Abd. Rauf, Al-Tauqi<f ‘Ala< Muhma<t al-Ta’a<ri<f (Beirut: Dar al-Fikr, 1410H.)
Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996)
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000)
Maswan, Nur Faizin, Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002)
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997)
Ma’luf, Luis, Al-Munji<d fi<  al-Lughah wa al-I’la<m (Berirut: Dar al-Fikr, 1986)


[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997) hal. 87
[2]Atabik Ali, Kamus al-Ashry (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1997) hal. 1863 lihat pula M. Abd. Rauf al-Munawy dalam Al-Tauqi<f ‘Ala< Muhma<t al-Ta’a<rif (Beirut: Dar al-Fikr, 1410H.) hal. 685 dimana mawd{u<‘ didefinisikan dengan  ما يبحث فيه عن عوارضه الذاتيةsenada dengan yang didefinisikan oleh Luis Ma’luf dalam  Al-Munji<d fi<  al-Lughah wa al-I’la<m (Berirut: Dar al-Fikr, 1986) hal. 905
[3]Atabik Ali, Kamus al-Ashry, hal. 1864
[4]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hal. 151
[5]Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002) hal. 31
[6]Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996) hal.164
[7]Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Tafsir Ibn Katsir,hal. 31
[8]Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, hal.164. Lihat pula M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 114.
[9]Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran. hal. 151
[10]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 114-115
[11]Menurut Quraish Shihab, akan lebih baik jika permasalahan yang akan dibahas diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka. Lihat Ibid, hal. 115
[12]Hal ini dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa. Lihat Ibid.
[13]Penempatan langkah ini dalam urutan kelima dimaksudkan agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufassir dalam penafsirannya. Lihat  Ibid, hal. 116
[14]Ibid, hal.117
[15]Dengan cara yang kedua ini si penafsir akan dapat meletakkan segala sesuatu pada tempatnya, dan tidak tidak memperkosa penafsiran ayat dengan makna yang tidak semestinya. Cara menafsirkan al-Qur’an seperti ini merupakan cara yang ideal dan pula memberi kemungkinan bagi si penafsir untuk tidak mengulang banyak persoalan praktis. Setiap masalah diberi tempatnya tersendiri, tidak dicampur-aduk dengan persoalan-persoalan yang lain. Dengan demikian siapapun akan dapat mengetahui setiap masalah yang terdapat dalam al-Qur’an melalui judulnya masing-masing; dan dapat pula mengetahui seberapa jauh hubungan al-Qur’an dengan kehidupannya yang kongkret sehari-hari. Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Qur’an, hal.167
[16]Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran. hal. 166
[17]Ibid, hal 167
[18]M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hal. 117
[19]Ibid.
[20]Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran. hal. 168
[21]Ibid, hal 168-169
[22]Ibid, hal. 169-170
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar