Peranan Filsafat Analitika Bahasa dalam Proses Pemahaman dan Penafsiran Nilai-nilai Agama

Admin Friday, December 24, 2010

Peranan Filsafat Analitika Bahasa dalam Proses Pemahaman dan Penafsiran Nilai-nilai Agama

Filsafat analitika bahasa sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Pada zaman Socrates bahasa bahkan menjadi pusat perhatian filsafat ketika retorika menjadi medium utama dalam dialog filosofis. Sokrates dalam berdialog ilmiah dengan kaum sofis menggunakan analisis bahasa sehingga metode yang dikembangkannya dikenal dengan metode dialektis kritis. Namun demikian, secara temenologis istilah filsafat analitika bahasa dikenal dan populer pada abad ke 20.
Peranan Filsafat Analitika Bahasa dalam Proses Pemahaman dan Penafsiran Nilai-nilai Agama
 Filsafat abad modern memberikan dasar-dasar yang kokoh terhadap filsafat analitika bahasa. Peran rasio, indra dan intuisi manusia sangat menentukan dalam pengenalan pengetahuan manusia. Aliran rasionalisme, empirisme, aliran imaterialisme dan kritisisme Immanuel Khan membawa pengaruh besar terhadap pengaruh besar terhadap filsafat analitika bahasa, terutama dalam mengungkapkan realitas segala sesuatu melalui bahasa.

Banyak diakui oleh kalangan ahli filsafat sendiri bahwa filsafat bahasa itu sulit ditentukan batasan pengertiannya, terutama filsafat analitika bahasa, karena dasar-dasar filosofisnya cukup rumit padat dan beragam. Ketika para filosof modern bertikai memperdebatkan hakekat kebenaran segala sesuatu, kalangan filosof analitika bahasa sadar bahwa sebenarnya problem-problem itu dapat dijelaskan dengan analisis ungkapan-unghkapan filsafat atau melalui suatu analisis bahasa.

 Tugas utama filsafat dalam bahasa adalah menganalisis konsep-konsep bahasa. Sebagai analisis konsep maka senantiasa berkaitan dengan makna bahasa dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri. Problem yang muncul dalam hal ini adalah terdapat kekurangan dan keterbatasan bahasa sebagaimana yang dihadapi oleh disiplin-disiplin ilmu lainnya. Konsep filsafat senantiasa diartikulasikan secara verbal sehingga bahasa memiliki peranan yang sentral. Dalam pengertian inilah Alston berpendapat bahwa bahasa merupakan laboratorium filsafat untuk menguji dan menjelaskan konsep-konsep dan problem-problem filososfis, bahkan untuk menentukan kebenaran pemikirannya.

II. Perbandingan Teori Linguistik Tradisional dan Struktural Serta Peranannya dalam Pemahaman dan Penafsiran Ajaran-ajaran Agama

Teori lingusitik tradisional merupakan bersifat tradisional, istilah ini disebut seperti itu karena umur teori kebahasaannya paling tua dan merupakan tumpuan perkembangan teori-teori kebahasaan yang lain. Teori linguistik tradisional ini mengambil asumsi-asumsi dan hipotesis tentang bahasa pada filsafat dan logika, data bahasanya berbentuk tertulis dan bahasa yang mengenal ejaan, data tertulis itu hanya terbatas pada bahasa Yunani dan Latin. Selain itu, bahasa dianggap bukan produk budaya, melainkan hanya sebagai alat komunikasi dan berpikir. Karena bersifat hipoteseis, maka hanya sebagai penjelasan filsafat dan logika tentang bahasa

Lengkapnya, ciri-ciri teori teori tradisional tersebut adalah sebagai berikut

1. Bertolak dari pola pikir secara filosofis

2. Tidak membedakan bahasa dan tulisan. Teori ini mencampuradukkan pengertian bahasa (dalam arti yang sebenarnya) dan tulisan (perwujudan bahasa dengan media huruf). Dengan demikian secara otomatis juga mencampur adukkan pengertian bunyi dan huruf

3. Senang bermain dengan definisi. Cara ini merupakan pengaruh dari berpikir secara deduktif. Semua istilah diberi definisi terlebih dahulu, dan selanjutnya diberi contoh, yang kadang-kadang hanya ala kadarnya. Teori ini tidak pernah menyajikan kenyataan-kenyatan bahasa yang kemudian dianalis dan simpulkan.

4. Pemakaian bahasa berkiblat dan berpola pada kaedah. Kaedah bahasa yang telah mereka susun dalam suatu bentuk buku tata bahasa harus benar-benar ditaati oleh pemakai bahasa. Setiap pelanggaran kaedah dinyatakan sebagai bahasa yang salah atau tercela. Tata bahasa yang dipakai ini biasa disebut tata bahasa normatif dan tata bahasa preskriptif.

5. Level-level gramatik belum ditata secara rapi. Level (dalam tataran) yang terendah dalam teori ini adalah huruf. Level di atas huruf adalah kata, sedang level yang tertinggi adalah kalimat.

6. Tata bahasa didominasi oleh jenis kata (part of speech). Ciri ini merupakan cirri-ciri yang paling menonjol dari cirri-ciri yang lain, karena masalah penjenisan kata merupakan aspek linguistik yang paling tua dalam kajian sejarah linguistik. Dapat dikatakan jika saat ini masih ada buku tata bahasa yang menempatkan "jenis kata" sebagai kajian utama dipastikan buku itu mengikuti aliran tradisional.

Sedang teori Linguistik Struktural merupakan teori kebahasaan structural yang mempunyai asumsi dan hipotesis tentang bahasa berdasarkan pada hasil pemakaian yang otonom. Asumsi dan hipotesis tersebut, diuji dan diverifikasi dengan data bahasa yang baik lisan maupun tertulis. Disamping itu, fakta dan data bahasa yang bersifat lisan memberikan kemungkinan penciptaan teori-teori bahasa yang bersifat universal dan spesifik. Teori structural ini lebih dapat menerima bahasa sebagai satu gejala ilmiah dan manusiawi daripada teori linguistic tradisional. Teori-teori ini dapat dihasilkan dengan cara kerja metode keilmuan, yakni induktif-deduktif, deduktif-induktif. (JD. Parera, 1991: 9-13). Lebih terperinci dan mudah diingat, berikut ciri-ciri aliran struktural tersebut adalah,

1. Paham behavioristik
2. Bahasa berupa ujaran. Bahasa benar-benar dibedakan dengan tulisan, sedang bunyi / fonem benar-benar dibedakan dengan huruf
3. Bahasa berupa sistem tanda (signifiant). Sistem tanda tersebut bersifat arbiter dan konfensional. Yang dimaksud dengan arbiter adalah tanda tersebut bersifat semena-mena. Namun demikian, kesemena-menaan itu dibatasi oleh suatu konfensi atau kesepatan antar pemakai
4. Bahasa merupakan faktor kebiasaan (habit). Berkaitan dengan konsep habit ini, kaum strukturalis menerapkan metode dalam pembelajaran bahasa yang kemudian dikenal dengan metode driil dan practice, yakni suatu bentuk metode yang menerapkan pemberian latihan dan terus menerus yang berulang-ulang sehinga ahirnya membentuk kebiasaan.
5. Kegramatikalan berdasarkan ke-umuman, bukan standar kaedah atau norma
6. Level level gramatikal ditegakkan secara rapi, secara berturut, level atau tataran gramtikal adalah morfem, kata, frase, klausa dan kalimat. Tataran di atas kalimat, belum terjangkau oleh aliran ini
7. Analisis pada bidang morfologi
8. Bahasa merupakan deretan sintakmatik dan paradigmatik. Deretan sintakmatik adalah suatu deretan secara horisontal yang terjadi dalam segala tataran. Sementara deretan paradigmatik adalah deretan struktur yang sejenis secara vertikal. Kegunaanya untuk mencari atau menentukan unsur-unsru bahasa
9. Analisis bahasa secara deskriptif
10. Analisis struktur bahasa berdasarkan unsur langsung, yaitu unsur yang setingkat lebih rendah atau lebih bawah dari struktur tersebut.

III. Prinsip Dasar Semiotika Ferdinand de Saussure

Sebagaimana didevinisikan oleh Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguitic, adalah cabang keilmuan yang mempelajari tentang penggunaan tanda dalam masyarakat (Amir Yasraf Piliang, 2003: 298). Selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna, atau selama berfungsi sebagai tanda, maka di belakangnya harus ada system pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu sendiri (Harmukti Kridalaksana dalam Saussure, 1996: 26). Apa pun betuk tanda yang digunakan dan siapapun subyek yang terlibat, selama ia digunakan dalam satu sistem petandaan dan komunikasi, serta berdasar pada kesepakatan sosial tertentu, maka ia merupakan fenomena semiotik. Hal ini juga berlaku pada proses pertandaan dan komunikasi di dalam ilmu-ilmu agama.

 Sebelum membicarakan sumbangan semiotika Saussure terhadap ilmu-ilmu agama, terlebih dulu di sini dibahas pertentangan filosofis yang melatar belakangi kemunculan semiotika, khususnya yang berkaitan dengan hubungan antara tanda, makna dan realitas. Kemunculan semiotika sebenarnya tidak lepas dari perdebatan paham matrealisme dan idealisme serta bagaimana kaitannya dengan strukturalisme. Menurut paham idelalisme, ada sesuatu di belakang realitas dan bahkan melampaui realitas itu sendiri, yang bersifat transeden. Dalam system pertandaan dan komunikasi, makna dari tanda dikatakan bersifat transeden. Dengan demikian, idealisme menuntut adanya satu fondasi atau titik pusat tempat bersandarnya suatu system makna. Sebaliknya, paham matrealisme menegaskan bahwa relitas empiris itu berdiri sendiri dan melingkupi seluruh realitas. Ia mengikuti hukumnya sendiri yang berifat imanen, tanpa campur tangan Tuhan yang transeden. Matrealisme berprinsip bahwa makna dalam system komunikasi atau pertandaan diproduksi oleh manusia dengan system dan kodenya sendiri, tanpa campur tangan kode-kode transedental.

 Sifat transeden ini bisa dikatakan melekat pada pemikiran semiotika Saussure, disebabkan pemahamannya bahwa individu itu tidak lebih dari pengguna kode-kode social yang sudah tersedia.Berdasarkan pemahaman ini, Sausure tidak tertarik untuk mengkaji bahasa dari sudut sejarah dan perkembangan penggunaan bahasa, tetapi lebih pada struktur yang menopang bahasa tersebut.

 Strukturalisme berkaitan erat dengan penyingkapan structure berbagai aspek pemikiran dan tingkah laku manusia. Hakikat dari pendekatan strukturalis adalah, bahwa ia tidak menyoroti mekanisme sebabh-akibat dari satu fenomena melainkan tertarik pada konsep bahwa satu totalitas yang kompleks dapat dipahami sebagai satu rangkaian unsur-unsur yang saling berkaitan. Pemikkiran strukturalisme ini secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) stukturalisme tidak menganggap penting individe sebagai subyek pencipta, dan melihatnya lebih sebagai pengguna kode yang tersedia, 2) strukturalisme memberikan perhatian perhatian yang sedikit terhadap masalah sebab-akibat,dan memusatkan dirinya pada kajian tentang struktur, 3) strukturalisme tidak menganggap penting pertanyaan tentang sejarah dan perubahan, dan lebih berkonsentrasi pada kajian antara seperangkat unsure-unsur dalam satu system pada satu waktu tertentu.

 Karya Saussure, Course in General Linguistic banyak memberikan pengaruh pada paham strukturalisme ini. Karya ini merupakan fondasi bagi berkembangnya paham srrukturalisme di berbagai disiplin, termasuk semiotika. Melalui konsep strukturnya ini, Saussure mengemukakan bahwa bahasa tidak harus dikaji secara diakronik –dalam arti perkembangan maknanya secara hiostoris, melainkan juga bisa secara sinkronik – dalam arti sebagai unsure yang saling berkaitan dalam satu waktu wadah waktu yang abadi.

 Dalam menjelaskan sinkronik ini Saussure menggunakan tiga konsep yang saling berkaitan, yaitu [1] Langue (berarti suatu bahasa tertentu dalam suatu kelompok masyarakat-sosial, misalnya Jerman, Indonesia, Inggris, [2] Langage (yakni bahasa yang merupakan sifat khas manusia) [3] Parole (adalah tuturan individu yang secara kongkrit dalam komunikasi.

 Langue merupakan sebuah system bahasa. Ia adalah satu system total konvensi bahasa. Dari sisi individu manapun yang menggunakannya, system ini telah tersedia; pengguna bahasa tidak menciptakan konvensi ini. Di pihak lain, parole adalah sisi penggunaan bahasa secara nyata,yang melibatkan pemilahan dan pengkombinasian khazanah kata-kata dank ode yang tersedia. Melalui model bahasa ini, segala praktik sosal dapat dianggap sebagai satu system pertukaran tanda dan makna di antara subyek-subyek yang terlibat, yang besumer pada kode social telah melembaga. Istilah kode ini sendiri dapat dijelaskan sebagai seperangkat aturan atau kovensi yang disepakati bersama dalam pengkombinasian tanda-tanda untuk menyampaikan pesan.

 Melalui ide Saussure inilah Roland Barthes lalu melihat bahwa fenomena cultural seperti system fashion, furniture, perikanan, media massa dan arsitektur sebagai system tanda yang dapat menandai posisi social tertentu bagi orang yang menggunaknnya.Pakaian,misalnya lewat bentuk, warna, bahan dan motifnya dapat mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang makna status, kelas social, ideology, atau kepercayaan pemakainya.

 Di sinilah Saussure kemudian mengembangkan ide bahwa tanda itu pada hakikatnya bersifat sewenang-wenang (arbitrary). Menurutnya, tanda merupakan bagian tidak terpisahkan dari system konvensi. Tanda terbentuk dari dua kesatuan yang tidak terpisahkan, yakni Signifie (petanda; gagasan atau makna yang disampaikan) dan Signifiant (penanda, bentuk yang menandakan sesuatu). Hanya kesepakatan atau konvensi social sajalah yang mengatur. Kata masjid, misalnya, adalah satu tempat untuk beribadah, bukan untuk berdagang. Contoh lainnya, menepuk tangan adalah tanda yang gunakan oleh makmum wanita untuk menandai kekeliriuan imam. Imam dengan sendirinya memahami, bahwa tepuk tangan adalah teguran dari makmum wanita, karena adanya konvensi masyarakat Muslim.

 Selain itu, menurut semiotika structural Saussurian, tanda tetap harus menyandarkan penggunaanya pada hubungan struktural dalam sistem langue. Barthes dalam bukunya, Mythologies, memperkuat ide ini dengan mengusulkan dua tingkatan pertandaan, yakni tingkat bahasa dan tingkat ideologis. Pada tingkat bahasa, kesatuan antara petanda dan penanda membentuk tanda. Selanjuitnya, pada tingkat kedua,tanda pada peringkat pertama tadi menjadi penanda baru, yang mulai kesatuannya dengan petanda baru membentuk tanda. Di sini tampak bahwa makna pada tingkat bahasa (semiotika) bersandar pada system makna pada tingkat ideologis, dengan segala kode-kodenya yang telah melembaga.

 Hal ini dapat digambarkan secara jelas lewat contoh jilbab. Pakaian jilbab pada tingkatan semiotika dapat menandai kesopanan atau ketertutupan tubuh. Makna kesopanan ini, selanjutnya pada tingkat ideologis, dapat pula menandai kepatuhan, kesalehan,dan sebagainya. Dapat di sini dijelaskan, bahwa ketika seorang wanita mengenakan jilbab, ia jelas tidak sekedar berfikir tentang fungsi utilitas jilbab sebagai penutup tubuh, tetapi ada satu gagasan lebih tinggi yang menyertainya, seperti konsep kepatuhan, kesalehan, dan lain sebagainya.

IV. Filsafat Bahasa Positivisme dan Ordinary Language Philosophy

Positivisme logis menerima pandangan-pandangan dari atomisme logis tentang logika dan cara atau teknik analisinya namun demikian positivisme logis menolak metafisika atomisme logis. Positivisme logis menggunakan teknik analisis untuk dua macam tujuan yaitu:

a. Bertujuan untuk menghilangkan metafisika
b. Positivisme logis menggunkan teknik analisis demi penjelasan bahasa ilmiah dan bukan untuk menganalisis pernyataan-pernyataan fakta ilmiah.

Secara prinsip positivisme logis menerima konsep-konsep atomisme logis terutam dalam hal analisis logis melalui bahasa, walaupun mereka menolak visi dasar metafisisnya. Positivisme logis terutama memperhatikan dua masalah yaitu

a. Analisis pengetahuan

b. Pendasaran matematika dan ilmu pengetahuan alam demikian juga terhadap psikologi dan sosiologi.

Pengaruh positifisme logis terhadap ilmu-ilmu pengetahuan lain terutama ilmu pengetahuan psikologi, budaya, sosial, agama dan ilmu pengetahuan lainnya yang sampai saat ini masih terasa terutama dindonesia sendiri.

Ungkapan-ungkapan yang Psikis yang dapat dirumuskan secara fisikalistis, pada dasarnya tidak terbuka untuk pemeriksaan intersubyektif. Itulah sebabnua ungkapan-ungkapan semacam itu tidak pantas diberi tempat dalam wilayah ilmu pengetahuan

Jadi satu-satunya psikologi ilmiah yang mungkin dikembangkan adalah suatu “Behaviorisme Radikal” fisikalisme tidak mengatakan bahwa tidak ada pengalaman-pengalaman psikis. Dikatakan bahwa pengalaman-pengalaman macam itu tidak mempunyai nilai ilmiah, karena secara prinsipial tidak terbuka bagi pemeriksaan intersubyektif, dan oleh karena itu tidak dapat dirumuskan secara fisikalistis. Hal itu hanyalah metafisika belaka, sebab bagi positivisme logis yang tidak dapat ditangani oleh ilmu pengetahuan (menurut pendapat mereka mengenai ilmu pengetahuan yaitu psikalisme) dituding sebagai metafisika, berarti sebagai usaha yang tidak memiliki makna teoritis dan tidak mengungkapkan suatu apapun.

Mengenai Ordinary Language Philosophy, berkembangnya konsep pemikiran filsafat analitik lahir sebagai reaksi ketidakpuasan. Menurut Filsafat Bahasa Wittgenstein II Dalam buku keduanya, Philosophical Investigations ia menolak terutama dalam tiga hal, yaitu (1) bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan states of affairs (keadaan-keadaan faktual), (2) bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan suatu keadaan faktual, dan (3) bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika yang sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.

Lebih jauh dalam buku tersebut, Wittgenstein beralih dari teori picture kepada teori makna dalam penggunaan (meaning in use) dan teori permainan bahasa (language game). Berikut akan dipaparkan secara ringkas. Dalam meaning in use, Wittgenstein menyatakan baha masalah bahasa pertama-tama adalah masalah menggunakan beberapa bunyi tertentu. Dalam kenyataannya sebuah tanda menjadi mati atau menajdi hidup, atau menjadi bermakna, terletak pada penggunaan. Penggunaan suatu tanda merupakan nafas kehidupan tanda tersebut.

Peralihan dari persoalan-persoalan makna kepada meaning in use, didasarkan pada pengertian umum bahwa makna sebuah kata adalah obyek yang dilambangkannya. Misalnya, kambing, kuda, pohon, dan kursi. Kata-kata ini bermakna karena menamakan sesuatu. Tetapi terdapat banyak kata yang tidak menunjukkan benda, misalnya sudah, boleh, maka, dan. Karena itu jangan ditanyakan apa arti sebuah kata, tetapi bagaimana sebuah kata digunakan (Don’t ask for the meaning, ask for the use). Inilah semboyan para pendukung filsafat Wittgenstein. Filsuf yang semacam ini dikenal dengan ordinary language philosopher.

Dalam kaitannya dengan permainan bahasa (language games), harus dipahami bahwa bahasa merupakan sebuah fenomena yang kompleks. Di dalamnya terdapat permainan yang tak terkira jumlahnya. Dengan bahasa yang sama kita dapat memaparkan sesuatu, memberi perintah, menanyakan, berterima kasih, berdoa, bernyanyi dan sebagainya. Bahasa bagaikan alat-alat pertukangan dalam tas seorang tukang sebagaimana tidak ada satu penggunaan pasti dan sangat terbatas pada suatu alat. Ada macam-macam alat yang mempunyai macam-macam fungsi. Demikian pula bahasa, tidak ada penggunaan pasti dan ketat tiap-tiap kata. Kata-kata bagaikan buah catur yang dapat dimainkan ke segala macam arah. Kata-kata yang dipakai mendapatkan maknanya dalam aktifitas (speaking of language is part of an activity, or of a form of life), karena itu makna suatu kalimat selalu tergantung pada cara dipakainya kalimat tersebut. Dengan kata lain, makna suatu kalimat dapat dimengerti sebagai penggunaan kalimat itu. Dengan demikian, sifat bahasa itu sendiri memberi peluang timbulnya salah pengertian.

Dalam permainan bahasa, terdapat beberapa pikiran pokok yang perlu diperhatikan: (1) ada banyak permainan bahasa, tetapi tidak ada hakikat yang sama di antara permainan-permainan itu. Esensi setiap permainan berbeda. Setiap permainan menyatakan satu pernyataan tertentu. Antara permainan-permainan itu hanya dikenal kesamaan keluarga. Dengan demikian tidak mungkin menentukan dengan persis batas-batas pemahaman mengenai permainan. Yang mungkin dilakukan ialah melacak batas-batas untuk mengetahui apakah hal itu dapat disebut suatu permainan atau tidak. Batas-batas permainan itu sendiri kabur dan sulit dipahami, (2) kendatipun orang tidak tahu persis sebuah permainan, tetapi ia tahu apa yang dapat dibuat dengan sebuah permainan. Permiannan memang merupakan sebuah konsep yang sangat halus dan sulit didefinisikan. Kita tidak dapat menjelaskan dengan tuntas konsep permianan. Kita hanya menyampaikan contoh-contoh permainan yang berbeda-beda.

Berdasarkan pemikiran di atas, maka tugas filsafat tidak campur tangan dalam pemakaian bahasa yang konkrit, akhirnya ia hanya dapat melukiskan pemakaian itu, dan membiarkan segalanya seperti apa adanya (Philosophy may in no way interfece with the actual use of language, it can in the end only describe it,…it leaves everything as it is) Filsafat hanya menyelidiki permainan-permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan sebagainya. Jadi, cara menangani suatu masalah oleh filsuf dapat dibandingkan dengan pengobatan sutau penyakit. (The philosopher’s treatment of a question is like the treatment of an illness).

V. Hubungan Hermeneutika dengan Filsafat Bahasa serta Peranannya dalam Penelitian Agama

Menurut Wilhelm Dilthey, tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar mutu sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

Dalam ilmu pengetahuan hermeneutic, bahasa sehari-hari dipergunakan untuk komunikasi dalam konteks kehidupan yang kongkret, sehingga bahasa itu mengungkapkan makna yang indeviduaal, pengalaman hermeneutic melibatkan tiga kelas ekspresi kehidupan yaitu: lingusitik, tindakan dan pengalaman. bahasa dan tindakan saling megintrepetasikan ketiga kelas ungkapan kehidupan itu. Pemikiran hebermes tersebut nampaknya masih mendasarkan bahasa sebagai sarana dalam komunikasi, sehingga dengan demikian bahasa memiliki fungsi pragmatis dalam hermeneutika, yaitu senantiasa tidak dapat dipisahkan dengan ekspresi tubuh dan pengalaman.

Peranan bahasa dalam proses hermenutika yang lebih dekat dengan aspek metodis dari pada aspek ontologisnya sebagaimana dilakukan oleh gardamer. Demikian pula habermes lebih menekankan aspek pragmatis bahasa dari pada aspek formal dan verbalnya.

Dalam sains terutama ilmu-ilmu alam senantisa membuat suatu generalisasi yang pada akhirnya ditentukan suatu aksioma, dalil atau rumus yang memiliki keberlakuan yang bersifat universal. Sebaliknya dalil, aksioma ataupun rumus memiliki keberlakuan yang secara deduktif dalam setiap kejadian atau peristiwa yang sama.

Berbeda dengan metode sains, hermeneutika lazimnya berupaya untuk menerangkan sesuatu yang bersifat individual dan khas, bukan yang bersifat universal. Bagaimana dapat terjadi suatu metode menerngkan hal yang individual dan tunggal dengan mengunakan suaru cara yang universal. Dalam ilmu poengetahuan empiris analitik, proses kedua hal tersebut hanya dapat terjadi atas dasar asimilasi transcendental apriori dari pengalaman yang mungkin dengan suatu ungkapan universal bahasa-bahasa teoretis ( hebermes 1972: 162-163)

VI. Locutionary, Illocutionary, Perlocutionary Acts J.L. Austin dan Relevansinya dalam Proses Dakwah Agama

Dalam karyanya how to do think with word Austin juga berupaya merinci macam-macam ungkapan bahasa dalam kaitannya dengan tindakan dalam mengucapkannya atau yang dikenal dengan “speech act”. Yang menarik perhatian karya Austin adalah kemiripan pemikirannya dengan Wittgenstein yang kedua, yaitu filsafat bahasa biasa. Memang bilamana kita perhatikan detail-detail metode kedua filsuf tersebut memiliki kemiripan, namun justru Austin termasuk filsuf Inggris yang berhasil merinci penggunaan bahasa biasa sebagaimana ditekankan oleh Wittgenstein. Salah satu kelebihan filsafat Austin adalah mampu mengolah filsafat bahasa biasa dalam suatu perspektif yang bersifat menyeleruh. Menurut Austin bahwa dalam filsafat bahasa biasa tidak hanya terbatas pada analisis makna bahasa biasa saja melainkan juga menganilis macam-macam ungkapan atau ucapan dalam kaitannya dengan tindakan si penutur.

Menurut Austin, tindakan bahasa dibedakan atas 3 macam, yaitu: locutionary acts, illocutionary acts, dan perlocutionary acts.

1. Locutionary Acts (tindakan lokusi)
Merupakan tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan suatu makna tertentu. Menurut Austin, jenis ini sifatnya lebih umum artinya suatu tindakan bahasa untuk menyampaikan sesuatu. Tindakan lokusi dimaksudkan untuk mengatakan sesuatu secara jelas, yaitu tindakan bicara si penutur dikaitkan dengan sesuatu yang diutamakan dalam isi tuturannya. Perhatian kita dalam tindakan lokusi itu adalah untuk membuat jelas tindakan lokusi itu sendiri dengan membedakannya dengan tindakan-tindakan bahasa lainnya, dan menghubungkannya dengan sesuatu yang diutamakan.

Jadi, tindakan bahasa lokusi yaitu suatu tindakan bahasa untuk mengatakan sesuatu, misalnya: “ada seekor kucing di kebun”, ia mengatakan “pukullah saya”. Hal ini berarti melalui ucapan tersebut mengarah dan mengacau pada orang ketiga.

Austin menggolongkan locutionary acts menjadi tiga macam tindakan bahasa, yaitu : phonetic act, phatic act dan rhetic act.

(1)Phonetic Act
Bahasa pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan unsure empiris, yaitu yang berupa bunyi bahasa. Oleh karena itu, “tindakan phonetic” yaitu suatu tindakan bahasa dengan mengucapkan bunyi tertentu. Unsure terkecil struktur bahasa adalah berupa kata, adapun kata terdiri atas fonem-fonem yang menyusun suatu system symbol tertentu sehingga memiliki makna leksikal (yaitu makna bahasa yang terkandung dalam kosakata). Oleh karena itu dalam suatu tindakan bahasa pasti dilakukan melalui tindakan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa.

(2)Phatic Act

Tindakan bahasa patic adalah merupakan suatu sub klas dari bahasa lokusi, yaitu berupa pengucapan kosakata tertentu, misalnya jenis-jenis bunyi tertentu yang membentuk suatu tata bahasa tertentu, misalnya:
Dia berkata: “Saya akan tidur di kamar”
Dia berkata: “Pergi!”
Sebagaimana nampak pada contoh tersebut, tindakan bahasa patic merupakan suatu penampilan bunyi bahasa dalam suatu system kosakata yang tersusun dalam suatu tata bahasa. Dengan tersusunnya kosakata tersebut dalam suatu system tata bahasa, berarti menurut suatu kaidah tertentu sehingga memiliki makna tertentu dan oleh karena dituturkan melalui bunyi, maka intonasi juga mempengaruhi makna bahasa.

(3)Rhetic Act
Tindakan bahasa ‘ratic’ adalah penampilan suatu tindakan bahasa dengan menggunakan kosa kata tertentu yang ada pada phatic act, dengan acuan dan pengertian yang sudah pasti. Misalnya:
Dia berkata bahwa dia akan tidur di kamar
Dia berkata bahwa dia menyuruhku pergi
Berdasar contoh-contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa phatic act merpakan suatu kalimat langsung, sedangkan rhatic act merupakan suatu kalimat yang tidak langsung (reported speech)

2. Tindakan Illokusi (Illocutionary Act)
Menurut Austin, tindakan bahasa ilokusi merupakan suatu penampilan tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu, yang dilawankan dengan suatu tindakan bahasa dengan mengatakan sesuatu. Ia membedakan tindakan bahasa ilokusi menjadi lima macam: verdictives, exercitives, commissives, behabitives,dan expositives

(1)Verdictives
Tindakan bahasa verdictif adalah suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu yang ditandai dengan adanya suatu keputusan sebagaimana dilakukan oleh hakim, wasit dan juri. Tindakan bahasa ini memiliki hunbungan dengan kebenaran dan kesalahan, menurut ketepan itulah isi dari suatu keputusan. Tetapi keputusan tersebut tidak harus merupakan keputusan akhir. Barangkali keputusan tersebut dapat berupa misalnya suatu perkiraan, perhitungan atau tafsiran.

Tindakan-tindakan bahasa yang termasuk dalam tindakan verdiktif antara lain:
Membebaskan (Aquit), menghukum (Convict), memutuskan (find as a matter of fact), Menyangka (hold as a matter of fact), menafsirkan (interpret as), Memahami (Understand), mengirakan (Read it as), memerintahkan (Rule), menghitung (Calculate), memperhitungkan (Reckon), memperkirakan (estimate), menempatkan (Locate), menetapkan tempat (Place), menentukan tanggal (Date), mengukur (Measure), menilai (Value), melukiskan (describe)

(2)Exercitives
Tindakan bahasa exersitif adalah suatu jenis tindakan bahasa yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak, atau pengaruh. Macam-macam contoh tindakan tersebut adalah sebagai berikut: menunjuk (Appointing), memilih (Choose), memerintahkan (Ordering), memberi suara (Voting), memaksa (Urging), menasehati (Advising), memperingatkan (Warning), menamai (Name), memproklamirkan (Proclaim), mengarahkan (Direct

(3)Commistives
Tindakan bahasa commisif adalah jenis tindakan bahasa dengan melakukan suatu perbuatan atau perjanjian. Jadi, si penutur bahasa mengucapkan suatu tindakan bahasa dalam melakukan suatu perbuatan atau perjanjian. Hal ini memiliki konsekuensi kepada si penutur bahasa untuk melakukan sesuatu. Secara lebih luas sebenarnya tindakan bahasa macam ini mempunyai suatu hubungan dengan tindakan verdiktif dan exersitif. Contoh-contoh tindakan bahasa kommisif ini adalah: berjanji (Promise), melakukan (Undertake), kontrak (Contract), bersumpah (Swear), menyetujui (Agree), mengumumkan (Declaretor), melawan (Appose), bertaruh (to bet on), mendukung ( espouse)

(4)Behabitives
Tindakan bahasa ini adalah tindakan bahasa dalam melakukan sesuatu yang menyangkut simpati, sikap, memaafkan, atau memberikan selamat, yang senantiasa timbul dalam komunikasi sosial. Seseorang dalam melakukan tindakan bahasa tersebut memiliki tujuan bagi orang yang diajak bicara yaitu bertujuan untuk mengibur, misalnya bagi yang sedang mengalami kesusahan, ikut bergembira bilamana yang diajak berbicara baru mengalami kebahagiaan atau kesenangan, juga meminta maaf jikalau melakukan sesuatu kesalahan.

Beberapa contoh bagi tindakan bahasa behabitif adalah sebagai berikut: pemberian selamat (Congratulating), tantangan (Challanging), pemberian maaf (Apologizing, kutukan (Cursing), ikut berduka cita (Condoling), menasehati (Advising), memperingatkan (Warning), menamai (Name), memproklamirkan (Proclaim), mengarahkan (Direct)

(5)Expositives
Tindakan bahasa yang dikelompokkan pada tindakan expositif adalah sekelompok tindakan bahasa yang digunakan dalam tindakan memberikan sutau pandangan, memberikan suatu keterangan atau pendapat, memberikan suatu penjelasan tentang penggunaan-penggunaan dan dari acuan.

Kesimpulanà tindakan bahasa ‘verdiktif’ adalah suatu tindakan bahasa yang digunakan untuk memutuskan, tindakan bahasa ‘exersitif’ adalah tindakan bahasa yang berkaitan dengan suatu pernyataan yang tegas dalam hal pengaruh atau kekuatan, tindakan bahasa ‘kommisif’ adalah penerimaan suatu kewajiban atau pernyataan suatu kehendak; tindakan bahasa ‘behabitif’ adalah tindakan adalah tindakan bahasa yang menyangkut persetujuan, sikap dan yang terakhir tindakan bahasa ‘expositif’ adalah suatu tindakan bahasa dalam menguraikan, menjelaskan, memberikan argumentasi serta komunikasi dalam masyarakat. Sehingga dengan demikian kelima macam bahasa ‘illokusi’ tersebut sebenarnya saling berkaitan.

3. Tindakan Bahasa Perlokusi (Perlocutionary Act)
Tindakan bahasa ini lebih berkaitan dengan respon atau efek bagi orang yang diajak berbicara oleh si penutur bahasa. Hal ini berbeda dengan ‘lokusi’ dan ‘illokusi’ yang lebih menekankan pada peranan tindakan si penutur bahasa.

Tindakan bahasa perlokusi merupakan suatu tindakan bahasa dalam mengatakan sesuatu dengan maksud untuk menimbulkan efek, reaksi, atau respon atas pikiran atau tindakan pada orang yang diajak bicara. Oleh karenanya, pada tindakan bahasa perlokusi memiliki hubungan dengan akibat yang ditimbulkan berkaitan dengan isi ucapan atau ungkapan bahasa bagi si pendengar.

Ungkapan-ungkapan bahasa yang termasuk pada kelompok tindakan bahasa ‘perlokusi’ antara lain:meyakinkan’ menipu, menakuti, membujuk, merayu, mengarahkan

Hubungan ketiga pembagian di atas dalam da’wah dari pandangan agama Islam adalah dari segi maksud dan segi pemaknaan yang disampaikan

Contoh: khutbah jum’at :seorang ulama’ atau kyai berpidato mengajak kepada amar ma’ruf nahi mungkar dengan menyebutkan dalil-dalil dalam al-qur’an dan hadis kepada audien atau penerima nasehat yaitu santri atau masyarakat

VII. Hubungan Tanda, Objek, Ground dan Interpretant dan Relevansinya bagi Kajian Agama

Manusia, dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dengan tanda-tanda, kita mencari keteraturan didunia kacau balau disekitar dunia (wilayah-wilayh sintaksis simiotis). Tanda-tanda adalah seperangkat "alat" yang kita pakai dalam rangka berusaha mencari jalan di dunia ini. Sekalipun demikian yang terpenting adalah bagaimana kita menerjemahkan tanda-tanda yang ada disekeliling kita, relasinya, dan mencari makna yang ada dibalik semua itu.

Ketika Ferdinand De Saussure meletakkan dasar-dasar linguistik modernnya berdasarkan pada penggunaan tanda yang disebutnya dengan istilah simiologi, maka Charles Sander P. lebih dalam menganalisa tanda dengan istilah simiotika. Kedua pemikiran Bapak simiotika ini selanjutnya diperluas oleh tokoh-tokoh lain yang akhirnya melahirkan banyak cara dan istialah baru. Dengan demikian tanda-tanda telah menjadi sebuah penelitian yang digemaro banyak orang.

Adapun dasar-dasar teori semiotika Charles Sander P. adalah hubungan tanda-tanda dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Tanda dan ground (dasar, latar) nya. Tanda berdasarkan sifat groundnya dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: qualisigns (tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat ), sinsigns (tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya dalam kenyataan), dan legisigns (tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum).

2. Tanda dan denotatumnya (dunia yang dibentuk dengan kata-kata). Tanda berdasarkan hubungannya dengan denotatum dibagi dalam tiga macam, yaitu : ikon (tanda yang sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah denotatum, tapi dalam dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimiliki), indeks (sebuah tanda yang dalam corak tandanya tergantung dari adanya sebuah denotatum), dan simbol (tanda yang hubungan tanda dengan denotatumnya ditentukan oleh satu peraturan yang berlaku umum).

3. Tanda dan interpretant-nya (tanda yang berkembang dari tanda yang lebih dulu ada dalam benak orang yang menginterpretasikannya). Tanda dan interpretant-nya dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: rheme (sebuah tanda merupakan sebuah tanda rheme apabila dapat diinterpretasikan sebagai representasi dari satu kemungkinan denotatum), decisign (tanda merupakan sebuah decisign bila bagi interpretant-nya, tanda itu menawarkan yang ada diantara tanda denotatum), dan argument (tanda yang bagi interpretant-nya merupakan tanda yang berlaku umum).

VIII. Atomisme Logis dan Hubungannya dengan Bahasa Agama

Filsafat atomisme logis ini adalah sebuh inovasi yang luar biasa dan ia sebagai salah seorang pelopor pemikiran baru di Inggris yang mengusung paham atomisme logis. Paham ini beranggapan bahwa bahasa sehari-hari itutidak memadai untuk untuk bahasa filsafat karena banyak kelemahan, antara lain adalah kekaburan, makna ganda, tergantung pada konteks dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, maka Russell membangun pemikirannya melalui bahasa yang berdasarkan formulasi logika. Hal ini meyakinkan telah meyakinkan Russel bahwa tugas filsafat adalah analisi logis yang disertai dngan sintsalogis.

Berdasarkan prinsip-prinsip pemikiran itulah Russel menekankan bahwa konsep atomismenya tidak di dasarkan pada metafisianya melainkan lebih didasarkan pada logikanya karena menurutnya logika adalah yang paling mendasar dalam filsafat, sehingga pemikirannya dinamakan atomismelogis.

Menurut Russell melalui system logika baru ini banyak masalah filsafat dapat didiskusikan atau dibicarakan tanpa adanyakekaburan. Banyak proposisi atau keterangan filsafat dapat dijelaskan dengan menggunakan system logika baru. Russell berpendapat bahwa dunia itu mempunyai struktur yang sesuai dengan logika matematik yang gramatikanya itu sempurna. Dalam masalah ini pengertiannya lain dengan gramatika tata bahasa alamiah atau gramatika bahasa-bahasa biasa yang menyesatkan dan tidak memadai sebagai cara pengungkapan untuk mendapatkan suatu kebenaran.

Adapun unnsur dari paham atomisme logisnya Russell sebagai berikut:

1. Formulasi Logika Bahasa.
Prinsip analisis yang diterapkan oleh Russell dalm konsep atomisme logisnya memiliki konsekuensi dirumuskannya ungkapan bahasa yang memiliki formulasi logis, atau dengan katal ain perlu ditentukan formulasi logis dalam ungkapan bahaa. Sebagaimana diungkapkan oleh Russel bahwa problema filsafat munul justrukarena keterbatasan bahasa sehari-hari dan penyimpangan penggunaan bahasa dalam filsafat. Hal ini dikarenakan kurang dipahaminya formulasi logika dalam ungkapan-ungkapan bahasa. Struktur gramatikal belum tentu menentukan struktur logis dari suatu ungkapan bahasa.

Menurut Russel ada suatu kalimat yang memiiki struktur gramatikal yang sama namun berbeda dalam struktur logisnya. Misalnya kalimat lions are yellow dan Lion are real, kedua kalimat itu memiliki struktur gramatikal yang sama namun keduanya memiliki struktur logis yang tidak sama.Lion pada kalimat (1) dan (2) sama-saa berfungsisebagai subjek, sedangkan Yellow dan real pada kalimat 1 an 2 sama-sama enjadi predikat. Jadi secara gramatikal kedua kaliat di atas mepunyai struktur yang sama, namun struklur logisnya tidak sama.

2. Prinsip Kesesuaian(ismorfi)
Padaprinsip ini Russell menegaskan bahwa terdapat suatu kesesuaian bentuk atau struktur antara bahasa dengan dunia,atauu terdapat suatu ismorfi antara struktur bahasa dengan dunia. Dunia merupakan suatu keseluruhan fakta, adapun fakta baru akan bisa terungkap melalui bahasa sehingga terdapat kesesuaian antara struktur logis bahasa dengan struktur realitas dunia. Deskripsi tentang doktrin ismorfi merupakan upaya usell untuk mewujudkan obsesinya tentang hakikat struktur bahasa yang memiliki struktur logis relitas dunia. Maka menurut Russell analisis bahasa yang benar akan menghsilkan suatu pengetahuan yang benar pula tentang hakikat realitas dunia. Forulasi logis bahasa yang memiliki kesesuaian struktur dengan realitas dunia ini dikembangkan lebih lanjut oleh russel dalam pengertian proposisi yang tersusun atas proposisi atomis menjadi proposisi yang bersifat majemuk atau kompleks.

3. Struktur Proposisi
Atoisme logis menggambarkan bahasa ideal itusebagai suatu kumpulanbesar proposisi-proposisi yang tak terbatas yang tersusun atas struktur proposisi sederhana, elementer atau atomis. Sebagaimana dijelaskan di depan bahwa terdapat prinsip ismorfi atau kesesuaian struktur dan bentuk bahasa dengan realitas dunia. Dunia pada hakikatnya merupakan sutu keseluruhan fakta, dan fakta tersebut bisa terungkapkan melalui bahasa yang disebut proposisi. Hakikat keseluruhan fakta-fakta yang merupkan dunia tersebut memiliki struktur logis dan oleh karena berkesuaian dengan bahasa maka struktur bahasa yang melukiskan dinia juga memiliki struktur logis. Oleh karena itu hakikat fakta-fakta tadi terlukiskan melalui proposisi.

Fakta-fakta itu sendiri sebenarnya tidak dapat bersifat benar atau salah, yang dapat diberikan kualifikasi benar atau salah dalah proposisi-proposisi yang mengungkapkan fakta-fakta. Dengan perkataan lain proposisi merupakan symbol dan bukan merupakan bagian dunia. Proposisi memiliki struktur yang tersendiri atas sejulah kata, dan kata-kata itu menunjuk kepada suatu data inderawi (sense data) dan universalia (universal).

DAFTAR ACUAN

J.D. Parera, Teori Semantik, Jakarta; Erlangga, 2004
-------------, Kajian Linguistik Umum Historis Komparatif dan Tipologi Struktural, Jakarta; Erlangga, 1991
Kaelan, Filsafat Bahasa: Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta; Paradigma 2002
Suparno, Dasar-dasar Linguistik Umum, Yogyakarta; Tiara Wacana 2002
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar