KORUPSI DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Admin Monday, December 20, 2010

Oleh
Erwin notanubun

A.Pendahuluan

            Korupsi merupakan akut untuk Indonesia dan sampai saat ini belum ada obet yang efektif untuk menyembuhkannya. Sejarawan Onghokham menyebukan bahwa korupsi mulai dikenal sebagai suatu penyimpangan ketika birokrasi atau suatu sistem melakukan pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan umum. Dalam konsep kekuasaan tradisional idak dikenal model pemisahan keuangan tersebut.
            Prinsip pemisahan antara kepentingan dan kuangan pribadi seorang pejabat negara dengan kepentingan dan keuangan jabatannya ini muncul di Barat setelah adanya Revolusi Perancis dan dinegara-negara Anglo-Sakson, seperti Inggris dan Amerika Serikat, timbul pada permulaan abad ke-19, sejak itu penyalahgunaan wewenang demi kepentinga pribadi, khususnya dalam soal keuangan, dianggap sebagai tindak korupsi.
            Seperti yang terjadi di Indonesia, penyelewengan dan penyalahgunaan jabatan oleh para birokrasi pada masa awal pemerintahan bangsa ini, yaitu pada era demokrasi tepimpin Soekarno (tahun 1945-1967), ditandai dengan adanya penerapan kebijakan “Politik Bantenga”, yaitu pemerintah memberikan bantuan kredit dan fasilitas kepada pengusaha-pengusaha pribumi yang dekat dengan pemerintah dengan malprakteknya : Kolusi,, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Hal yang sama terjadi pada era Soeharto (1965-1998), yang gagal mengantisipasi disintegrasi pada adminisrasi kenegaraan yang diwarnai dengan tiga fenomena, yaitu kerja sama antara pimpinan militer dengan pengusaha keturunan Cina dan keterlibatan pra pengusaha keturunan cina dan keterlibatan para pengusaha pribumu yang dikontrol sepenuhya oleh militer. Pada masa itu pula kontrol pemerintah terhadap liberalisasi dan intervensi Barat terasa kurang sekali.
            Selanjutnya pada tahun 1998, ketika terjadi gerakan sosial besar-besaran yang populer disebut “gerakan reformasi” dengan berbagai fenomena demonstrasi dan kecaman dari berbagai elemen masyarakat yang dimotori oleh para mahasiwa, gerakan ini merupakan akumulsai kekecewaan, terhadap rezim orde baru. Begitu pula di era Abdurrahman Wahid (yang dikenal dengan sebutan Gusdur) masih juga ditandai adanya fenomena yang tidak kunjung selesa mengenai isu korupsi yang dilakukan oleh pejabat penyelenggara negara. Walaupun pada era Gusdur ini ada perkembangan positif seputar upaya pemberantasan korupsi namun itu tidak begitu signifikan, bahkan Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negaa (KPKPN) dan pembentukan “Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi” yang dipimpin langsung oleh Mahkamah Agung.
            Dari beberapa potret praktek korupsi yang terjadi di Indonesia mauun di negara-negara lain, ternyata permasalahan korupsi bukan masalah global lagi, tetapi merupakan masalah Nasional.



B. Korupsi dan Ketidakberdayaan Agama
            Korupsi dalam tata perundang-undangan kita, sesungguhnya telah demikian jelas hukum serta sangsi bagi pelakunya. Namun demikian, korupsi telah mengalami kulturalisasi dan sistematisasi, sehingga pelanggaran serta sangsi terhadapnya pun menjadi demikian lemah, rentan, dan akhirnya tak berdaya. Ketidak berdayaan negara itu, celakanya juga berimbas pula terhadap agama secara teologis, cultural, dan institusional.
            Dalam tarikh Islam ada disebutkan tentang Tsa’labah. Ia adalah orang yang hidup di zaman Nabi Muhammad Saw. Dalam kesehariannya ia senantiasa berada di masjid, baik pagi, siang, maupn malam. Sampai suatu ketika, Sang Nabi medapatinya keluar dari masjid dengan terburu-buru, lalu ditanya oleh beliau. Tsa’labah menjawab, bahwa ia terburu-buru pulang, karena musti bergantian pakaian dengan istrinya, karena memang hanya memilikisatu kain, untuk melaksanakan sholat. Dan oleh sebab itu,ia memohon kepada Sang Nabi agar studi mendoakan supaya Allah mengkaruniakan rezeki harta yang banyak.
            Mulanya Sang Nabi menolak dan memberi nasihat agar Tsa’labah mau bekerja wajar seperti orang lain. Rupanya nasihat ini kurang diperhatikan oleh Tsa’labah, tetap saja ia berada di masjid, pagi, siang dan malam untuk berdoa. Hingga untuk kedua kalinya, ketika bertemu Sang Nabi Tsa’labah minta didokan lagi. Dan Beliau menjawab agar Tsa’labah bersabar.
            Hingga di lain hari lagi, Tsa’labah memohon lagi. Maka Sang Nabi pun mendoakannya dan memberi Tsa’labah satu kambing untuk memulai usaha. Dari satu kambing ini, hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya berkebang. Bertambah tahun, bertambah pula kambing Tsalabah hingga memenuhi bukit. Dari setiap hari dimasjid kini Tsa’labah tiap hari berada digurun menemani kambingnya. Akhirnya ia jarang berjamaah, bahkan shalat jum’at pun tak jarang ia tinggalkan, ia bertul-betul diperdaya oleh hartanya, berupa kambing-kambing itu.
            Suatu hari sang Nabi teringat kepadanya, maka diutuslah seorang sahabat untuk menanakan zakat kambingnya sebagai kewajiban Agama. Tsalabah hanya menjawab dengan janji untuk diantar sendiri. Tapi janji itu ia ingkari. Tahun berikutnya juga begitu. Tatkala sang Nabi mengirm sahabat untuk menegurnya untuk terakhir kalinya, Tsa’labaha tetap ingkar. Maka turunlah ayat Al-Qur’an yang memberitahukan agar Sang Nabi taklagi mengirim utusan kepada Tsa’labah, ia telah dikutuk oleh Tuhan karena keingkarannya. Mendengar al itu, Tsalabah datang menyerahkan zakat kambingnya, tapi Sang Nabi menolaknya,dan terus menolak hingga akhir hayat beliau.
            Pada masa Khalifah Abu Bakar, Tsa’labah datang menghadap menyerahkan zakat kambingnya, tapi hal iti ditolak oleh Abu Bakar dengan alasan bahwa Nabi Saw saja telah menolaknya. Sampai kekhalifahan Abu Bakr digantikan oleh Amirul Mukminin Umarbin Khattab, Tsa’labah datang lagi dengan permohonan yang sangat, namun Umar juga menolaknya. Hingga akhirnya masa Kekhalifahan Ustman bin Affan, Tsa’labah datang memohon-mohon agar zakat kambingnya diterima, tapi usman tidak bergeming. Maka diakhir hayatnya Tsa’labah meninggal dengan nasib yang menderita oleh beban harta (kambingnya) yang tidak ditemia zakatnya akibat dari kekikiran dan keserakahannya sendiri.
            Sebagaimana kita ketahui, kewajiban zakat itu hanya pada harta yang tertentu saja, yaitu emas, perak, harta perniagaan, biji-bijian dan buah-buahan, serta binatang yang telah sampai (genap) nisab masing-masing. Wajibnya zakat ini, tidak lain karena pada harta itu terdapat hak-hak para fakir miskin, serta orang-orang yang lemah dan menderita. Denan kata lain, tatkala seseorang mengkorup atau menahan kewajiban yang wajib dekeluarkan dari harta yang ada pada dirinya, yang merupakan amanah daru Tuhan dan masyarakat, maka saat itu ia telah bertindak zalim, bukan saja terhadap orang lain, masyarakat, dan bangsanya, melainkan juga terutama terhadap diri dan keluarganya dari azab dan bencana.[1]
            Pada masa Rasulullah Saw dan para Khalifah penggantinya, zakat adalah merupakan pajak yang wajib diserahkan oleh mereka yang telah berkewajiban, seperti tersebut diatas, untuk kepentingan kemakmuran masyarakat dan pembangaunan negara. Maka anggota masyarakat (muslim) maupun para pemimpin pemerintahan yang melanggar dan menyalahgunakan harta tersebut., berarti ia telah mengkorup dan lebih dari itu menyelewengkan amanah Allah dan masyarakatnya. Karena itu, baik Rasulullah Saw maupun para Khalifah sesudahnya, sangat keras dalam menyikapi atau menghukum pelanggaran-pelanggaran itu.

  انّ اللّه قـد افـترض عـليـم صـدقةً فـي اموالهِـِم تـؤخد مـن أغـنيـا ئهـم فـتـردّ فـي فقـرا ئهم { متفق عليه }

Artinya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kapada kaum Mulimin untuk mengeluarkan zakat (sedekah) dalam harta benda kaum Muslimin, yang diambil dari mereka yang kaya lalu diserahkan kepada fakir miskin dari mereka”. (HR. Bukhari-Muslim)  

            Kini, dalam konteks negara-bangsa yang kita jalani, kewajiban itu tidak hanya berupa zakat (bagi Muslim), melainkan juga pajak terhadap negara, dimana dalam pengelolaannya untuk berbagai departemen atau lembaga, serta keperluan kemasyarakatan lainnya, kerap terjadi penyelewangan. Penyelewengan inilah inilah yang kini lazim disebut sebagai korupsi.
            Korupsi dalam tata perundang-undangan kita, sesungguhnya telah demikian jelas hukum serta sangsi bagi pelakunya. Namun demikian, korupsi telah mengalamikulturalisasi dan sistematisasi, sehingga pelanggaran serta sangsi terhadapnya pun menjadi demikian lemah, rentan dan akhirnya tak berdaya.
            Ketidak berdayaan negara itu, celakanya juga berimbas pula terhadap agama secara teologis, kultural, dan institusional. Bahkan, Departemen Agama di negri kita, disinyalir sebagai lembaga paling terkorup. Maka tuntas sudah ketidakberdayaan itu.
            Akibatnya, kalau pun agama masih banyak dipeluk dan diugemi masyarakat, namun dalam aplikasi dan implkasinya ia menjadi ompong dan tak berdaya, lantaran setiap kaum beragama memilih takberimbang, khawatir berbalik kepada dirinya sendiri. Mungkin dengan satu alasan, toh negara telah memiliki alat dan perundang-undangan untuk menangani hal itu. Maka, sebagaimana institusi-institusi cultural dan teologis lainya, agama telah berubah sekedar lipstik dan pakaian belaka.
            Sudah barag tentu, manakala institusi teologis dan cultural telah lemah, maka negara pun mengalami kelemahan yang lebih. Lantaran aparatur negara tersebut, tidak lain adalah insan-insan agama dan budaya.
            Satu hal yang jarang kita sadari secara sungguh-sungguh, yakni imbas perilaku korup pada aparatur pemerintahan maupun individu serta kemasyarakatan terhadap keberdayaan personal dan sosial, juga keberdayaan kita secara komunial sebagai sebuah bangsa.
            Ini menyangkut pengelolaan dan tanggung jawab individu, keluarga, masyarakat, serta bangsa, terhadap harta yang didalamnya terdapat amanah Allah serta hak-hak orang lain telah diabaikan atau disepelekan, maka akan terjadi saling khianat, ingkar, abai, serta saling menyepelekan diantara warga masyarakat serta aparatur pemerintahan.
            Jika hal in terjadi, maka kerusakan sebuah bangsa menjadi psti. Bukan saja taraf penghidupannyana merosot, tingkat kenggian pendidikannya jadi tidak berguna, lalu kesadaran etika serta moralitasnya jadi tidak karu-karuan, melainkan lebih dari itu, harkat, martabat, serta derajat kebudaaan dan peradabannya akan merosot dibandigkan bangsa-bangsa lainnya. Ia menjadi hina dimata negara-negara.
            Jika sudah seperti itu, situasi kondisinya, maka upaya untuk memulihkannya, tidak bisa tidak, musti dikembalikan lagi dan dimuali dari kesadaran individu, keluarga, masyarakat, serta aparatur negara. Menurut Zainal Arifin Thoha, akar permasalahannya bukanlah terletak lebih semata-mata pada persoalan ekonomi atau politik, melainkan terutama pada ahklak atau etika serta moralitasya.
            Adanya agama, juga ajaran-ajaran kebajukan yang menjadi penyangga suatu kebudayaan dan peradaban, intinya adalah menekankan ahklak atau etika dan moralitas sebagai elan vital keberdayaan suatu bangsa atau masyarakat.
            Dalam konteks ini Allah SWT telah berfirman:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAôyèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç!$tGƒÎ)ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# 4sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcr㍩.xs? ÇÒÉÈ  
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. An-Nahl, 16:90)

Islam, misalnya, secara tegas menyatakan bahwa agama ini diturunkan adalah membawa misi penyempurnaan ahklak manusia dalam konteks kebudayaan dan peradaban, untuk mewujudkan suatu tatanan kehidupan dan kemasyarakatan yang enuh dengan kasih sayang dan keadilan (rahmatan lil’alamin). Dan Islam menekankan, bahwa semuanya itu akan terwujud manakala seseorang memulai hal itu dari dirinya sendiri, lalu keluarganaya, dan kemudian masyarakat bangsanya.
Ada pula ajaran kebajukan dari Timur yang mengatakan: “Jika suatu bangsa ingin tinggi martabannya, maka pertama-tama terlebih dahulu harus memperbaki moral para pemimpinnya; untuk memperbaiki moral para pemimpin bangsa ini, terlebih dahulu harus memperbaiki moral masyarakatnya; untuk memperbaiki moral masyarakat, terlebih dahulu harus memperbaiki moral keluarga; untuk memperbaiki moral keluarga; terlebih dahulu harus memperbaiki moral individu-individu di dalamnya; jika moral individu telah baik, maka akan baik pula moral suatu keluarga; jika moral keluarga telah baik; maka baik pula moral masyarakatnya; dan jika moral masyarakat telah baik, maka akan baik pula moral pemimpin-pemimpin bangsanya; manakala moral para pemimpin telah baik, maka bangsa itu akan mencapai ketinggian martabatnya.”

Penutup
Dengan demikian, upaya untuk mengurangi dan memberantas perilaku korup serta fenomena korupsi yang telah demikian ikut menggoroti moralitas dan keberdayaan kita sebagai bagsa, tidak bisa tidak, hal ini memang harus dimulai oleh agama dan budaya, baik secara personal maupun internasional. Hal-hal ini harus benar-benar menjadi suatu kesadaran yang transenden dan imanen sifatnya. Untuk selanjutnya, agama dan budaya harus betul betul mendorong, sertamensosialisasikan dan mengkonsolidasikan hal itu kepada negara. Hanya dengan demikian, negara tidak mandeg dan tidak berlaku abai serta khianat atas tanggung jawab yang telah diamanatkan rakyat.
Demikianlah, semoga paparan ini dapat menjadi pengungat bagi kita untuk senantiasa amanah dan salih memberi nasiaht. Hanya dengan demikian, maka kehidupan kita sebagai individu, keluarga, masyarakat dan bangsa, akan menjadi manfaat, barkah dan maslahah. Allahumma aamiin.



















Daftar Pustaka

            Zainal Arifin Thohah, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama; Panduan Untuk Umat, (Yogyakarta: Kutub, 2004)  








[1] Zainal Arifin Thohah, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama; Panduan Untuk Umat, (Yogyakarta: Kutub, 2004) hal. 109
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar