Hadis Berpegang Teguh Pada Sunnah

Admin Wednesday, December 22, 2010


A.     Pendahuluan
Nabi Muhammad adalah sebagai Rasul yang ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan hukum-hukum syari’at Islam kepada umatnya. Dalam menyampaikannya, Nabi terkadang menggunakan redaksi yang murni dari Allah swt dan kadang juga dengan redaksi beliau sendiri atas bimbingan ilham dari Allah swt. Bahkan tidak jarang pula Nabi menyampaikan suatu masalah yang tidak didasarkan oleh ilham Allah akan tetapi berdasarkan inisiatif dan hasil ijtihad beliau sendiri. Namun, karena adanya kepercayaan yang sudah kita berikan kepada beliau sebagai utusan Allah maka sepantasnya kalau kita menjadikan inisiatif-inisiatif beliau baik atas bimbingan Allah maupun hasil ijtihad Nabi sendiri sebagai sumber hukum positif.
Walaupun demikian, sejarah mencatat bahwa di Indonesia pada dasawarsa tujuh puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya terhadap sunnah Nabi Muhammad saw serta tidak menggunakan syariat yang dibawanya sebagai sumber atau dasar agama Islam. Kemudian pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut secara terang-terangan menampakkan dan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, Jama’ah al-Qur’an dll. Mereka hanya menggunakan al-Qur’an sebagai haluan dasar dalam menjalankan agama Islam, baik dalam hal akidah, ibadah maupun dalam hal-hal lainnya. Mereka menolak adanya sunnah Rosul sebagai landasan agama.[1]
Dari perseteruan ini, penulis ingin menelusuri permasalahan tersebut dengan berangkat dari sebuah hadits riwayat Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari, Bab Li-I’tishami Likitabi wa Lisunnah, no. 6737 yang berbunyi:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ حَدَّثَنَا هِلَالُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Muhammad bin sinan telah menceritakan kepada kami, Fulaih telah menceritakan kepada kami, Hilal bin ‘Ali telah menceritakan kepada kami, dari ‘Atho’ bin Yasar dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda,“ Semua umatku akan masuk surga kecuali orang yang membangkang, shahabat berkata, “ Ya Rasulullah siapakah orang yang membangkang itu? Rasulullah bersabda, “ Barang siapa yang taat kepadaku maka akan masuk surga dan barang siapa yang bermaksiat kepadaku maka dia termasuk orang yang membangkang”.
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan meneliti hadits tersebut dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku  dalam penelitian hadits yang meliputi beberapa langkah, di antaranya: takhrij al-hadits, i’tibar as-sanad, kritik sanad (naqd as-sanad y, kritik matan (naqd al-matn), yang kemudian di akhiri dengan sebuah kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Semoga apa yang telah disimpulkan dapat memberikan konstribusi bagi keilmuan hadits dan dapat kita jadikan pegangan dalam melaksnakan amaliah sehari-hari sesuai  dengan  sunnah Nabi saw.
B.     Takhrij al-hadits
Sebelum kita meneliti hadits dari aspek sanad maupun matannya terlebih dahulu kita perlu mengadakan takhrij al-hadits, yakni penelusuran sebuah hadits pada sumber-sumber aslinya, di mana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap dengan sanadnya dan matannya, kemudian menjelaskan derajatnya jika diperlukan.[2]
Setelah dilakukan takhrij, hadits berpegang teguh pada sunnah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari ini ternyata mempunyai beberapa jalur periwayatan lain, di antaranya:
1.      Imam Muslim, Bab al-Imaroh (kepemimpinan), No.3417
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا الْمُغِيرَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِزَامِيُّ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي و حَدَّثَنِيهِ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ بِهَذَا الْإِسْنَادِ وَلَمْ يَذْكُرْ وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي

2.      Imam Muslim, Bab al-Imaroh (kepemimpinan), No. 3418
و حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَخْبَرَهُ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ زِيَادٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ سَوَاءً و حَدَّثَنِي أَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي عَلْقَمَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ مِنْ فِيهِ إِلَى فِيَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا أَبِي ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ سَمِعَ أَبَا عَلْقَمَةَ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَ حَدِيثِهِمْ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِهِمْ و حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ حَيْوَةَ أَنَّ أَبَا يُونُسَ مَوْلَى أَبِي هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ وَقَالَ مَنْ أَطَاعَ الْأَمِيرَ وَلَمْ يَقُلْ أَمِيرِي وَكَذَلِكَ فِي حَدِيثِ هَمَّامٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ

3.      An-Nasa’i, Bab Li Bi’ah, No. 4122
أَخْبَرَنَا يُوسُفُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَنَّ زِيَادَ بْنَ سَعْدٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي

4.      An-Nasa’i, Bab Li-Isti’dzah, No. 5415
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ عَنْ مُحَمَّدٍ وَذَكَرَ كَلِمَةً مَعْنَاهَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَلْقَمَةَ الْهَاشِمِيَّ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَكَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ جَهَنَّمَ وَفِتْنَةِ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَفِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

5.      Ibn Majah, Bab Muqadimah, No. 3
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ

6.      Ahmad ibn Hanbal, Bab Baqi Musnadal-Muktsirin, No. 8373
حَدَّثَنَا يُونُسُ وَسُرَيْجٌ قَالَا حَدَّثَنَا فُلَيْحٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
C.   I’tibar as-Sanad
I’tibar as-Sanad  merupakan salah satu langkah penelitian hadits setelah dilakukannya takhrij, langkah ini dilakukan dalam penelusuran suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah ada periwayatan lain yang menjadi pendukung dan penguat hadits yang kita teliti atau tidak. Jadi i’tibar ini diperoleh dari hasil penggabungan beberapa buah hadits setelah melakukan takhrij.
Setelah melakukan i’tibar selanjutnya dicari syahid dan mutabi’nya, syahid adalah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagai sahabat, sedangkan mutabi’ periwayat yang berstatus pendukung yang bukan shahabat Nabi.[3]
Hadits tentang berpegang teguh pada sunnah Nabi dari Abu Hurairah ini tidak memiliki syahid, dari kalangan shahabat hanya abu Hurairah yang meriwayatkannya. Sedangkan untuk muttabi’  nya ada lima kelompok: Pertama, ‘Atho’ bin Yasar, yang merupakan periwayat kedua, mempunyai beberapa mutabi’ yaitu; Al-A’raj, Abu Salamah, Abu ‘Aqlamah, Hamam bin Munabah, Abu Yunus dan Abu Shalih yang semuanya meriwayatkan dari abu Hurairah.
Kedua, Hilal bin ‘Ali, yang merupakan periwayat ketiga, mempunyai mutabi’ dengan berbagai jalur; Abu Zanad dari Al-A’raj, Ibnu Syihab dari  Abu Salamah, Ya’la bin ‘Atho’ dari Abu ‘Aqlamah, Mu’amar bin Rasyid dari Hamam bin Munabah, Haiwah bin Syuraih dari Abu Yunus,  dan al-A’masy dari Abu Shalih.
Ketiga, Fulaih bin Sulaiman yang merupakan periwayat keempat, memiliki mutabi dengan jalur yang beragam yakni; Mughiroh dan  Sufyan bin ‘Uyainah dari Abu Zanad, Ziyad bin Sa’ad dan Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab, Syu’bah bin al-Hajaj dan Abu ‘Awanah dari Ya’la bin ‘Atho’, ‘Abdu ar-Razaq dari Mu’amar bin Rasyid, Ibnu Wahab dari Haiwah bin Syuraih, Abu Mu’awiyah dan Waki’ bin al-Jarh dari al-A’masy.
Keempat, Muhammad bin Sinan  yaitu periwayat kelima, di antara mutabi’nya adalah; Yunus bin Muhammad dan Saroih dari fulaih bin Sulaiman, Yahya bin Yahya dari Mughiroh, Zuhair bin Harb dari Sufyan bin ‘Uyainah, Ibnu Juraih dari Ziyad bin Sa’ad, Ibnu Wahab dari Yunus bin Yazid, Mu’adz bin Mu’adz dan Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah bin al-Hajaj, Abu Kamil dari Abu ‘Awanah, Muhammad bin Rafi’ dari ‘Abdu ar-Razaq, Abu Thahir dari Ibnu Wahab, Abu Bakar dari Abu Mu’awiyah dan Waki’ bin al-Jarh,.
Kelima, al-Bukhori merupakan periwayat keenam atau mukharij, memiliki beberapa mutabi’ yaitu; Ahmad bin Hambal dari Yunus bin Muhammad dan Saroih, Muslim dari Yahya bin Yahya, Zuhair bin Harb, dari Abu Kamil, Muamar bin Rafi’, Abu Thahir, Hajaj dan Maki bin Ibrahim dari Ibnu Juraih, Harmalah bin Yahya dari Ibnu Wahab, ‘Ubaidillah dari Mu’adz bin Mu’adz, Muhammad bin Basyar dari Muhammad bin Ja’far, Ibnu Majah dari Abu Bakar.
Dari hasil i’tibar menghasilkan dua kesimpulan yaitu; pertama hadits ini tergolong hadits ahad dalam kategori ghorib. kedua hadits ini mempunyai 15 jalur periwayatan, walaupun hasil takhrij hanya diperoleh sejumlah 7 hadits. Hal ini disebabkan karena ada beberapa hadits yang mempunyai jalur periwayatan yang lebih dari satu, di antaranya hadits Imam Muslim, Bab al-Imaroh (kepemimpinan), No.3417, Imam Muslim, Bab al-Imaroh (kepemimpinan), No. 3418, Ibn Majah, Bab Muqadimah, No. 3, dan Ahmad ibn Hanbal, Bab Baqi Musnadal-Muktsirin, No. 8373
D.   Kritik Sanad
1.   Skema Sanad
حدثنا
 


 




Hadits ini terdiri dari enam periwayat, adapun untuk nama-nama perawi serta urutan sanad hadits riwayat Abu Hurairah tentang berpegang teguh pada sunnah Nabi ini dapat dilihat di tabel di bawah ini:
No
Nama Periwayat
Urutan Periwayat
Urutan sanad
1
Abu Hurairoh
Periwayat I
Sanad VI
2
‘Atho’ bin Yasar
Periwayat II
Sanad V
3
Hilal Ibn ‘Ali
Periwayat III
Sanad IV
4
Fulaih bin Sulaiman
Periwayat IV
Sanad III
5
Muhammad bin Sinan
Periwayat V
Sanad II
6
Imam Bukhari
Periwayat VI/mukharij
Sanad I/mukharij

2.  Kualitas Perawi Hadits
a.   Abu Hurairoh
Nama lengkapnya adalah  ‘Abdu ar-Rahman bin Shokhru al-Dusi al-Yamani. Dan dikatakan bahwa dulu pada masa jahiliyah, Abu Hurairah bernama ‘Abdu Syamsi dan kunyahnya Abu al-Asud kemudian sejak bersama Nabi, namanya diganti oleh Nabi dengan nama ‘Abdullah dengan kunyah Abu Hurairah. Ia termasuk thabaqah shahabat yang hafidh. Dalam maktabah Syamilah disebutkan bahwa ia wafat pada tahun 59 H namun dalam mausu’ah tahun 57 H. Adapun untuk tanggal lahirnya tidak ditemukan.
Ia termasuk shahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist, mengingat Nabi sering ditemani olehnya dan iapun sering bertanya mengenai masalah keagamaan dan banyak belajar hadits dari Nabi. Dengan demikian Nabi adalah guru Abu Hurairah. Namun selain berguru Nabi ia juga berguru kapada shahabat lain, yaitu Ubai bin Ka’ab, Usamah bin Zaid bin Haritsah, Bashrah bin Abi Bashrah al-Ghofari, Umar bin al-Khathab, al-Fadhli bin al-‘Abas,Ka’ab al-Akhbar, Abu Bakar ash-Shidq, ‘Aisyah.
Sedangkan muridnya di antaranya: Ibrahim bin Ismail, Ibrahim bin ‘Abdullah bin Hanin, Ibrahim bin ‘Abdullah bin Qaridl, Anas bin Malik, Jabir bin ‘Abdullah, Basyir bin Ka’ab, Tsabit bin ‘Iyad al-Ahnafi, Harits al-‘Udzri, Ja’far bin ‘Iyadh,Humaid bin ‘Abdu ar-Rahman bin ‘Auf, Ziyad bin Qoyis al-Madani, Sa’id bin al-Musayab, Sulaiman bin Yasar, Shalih bin Abi Shalih, ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqash, ‘Abdullah bin ‘Abas, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khatab, ‘Atho’ bin Yasar, Abu Amamah bin Sahal bin Hanif.
Mengingat Abu hurairah adalah shahabat yang terjamin keadilan dan kestiqahannya dan lebih-lebih ia hidup semasa dengan Nabi dan berguru langsung kepadanya maka untuk kredibilitasnya tentu sudah tidak perlu ditanyakan lagi.
b.     ‘Atho’ Ibn Yasar
Nama lengkapnya adalah ‘Atho’ bin Yasar al-Hilali, ia termasuk thabaqah dari tabi’in pertengahan, wafat di Iskandar pada tahun 103 H. Guru-gurunya adalah: Ubay bin Ka’ab, Usamah bin Zaid, Jabir bin ‘Andullah, Zaid bin tsabit, ;Abdullah bin Salam, ‘Abdullah bin ‘Abas, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khatab, ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Maimunah, Ummu Salamah. Untuk nama-nama muridnya yaitu: Isma’il bin ‘Abdu al-Rahman bin Abi Dzuaib, Bakar bin Suadah al-jadzami, Habib bin Abi Tsabit, Zaid bin Aslam, Shofwan bin Salim, ‘Ubaidillah bin Muqsam, ‘Amru bin Dinar, Hilal bin ‘Ali, Abu Salamah bin ‘Abdu al-Rahman bin ‘Auf, Abu ‘Abdullah Maula Isma’il bin ‘Ubaid.

Penilain ulama:
Ibnu Mu’in, Abu zar’ah dan Nasa’i    : ثقة
Abu Hatim                                          : لم يسمع منه[4]
Ibnu Sa’ad                                          : ثقة
Karena ulama yang menilai negatif lebih banyak daripada yang menilai positif, maka yang lebih diunggulkan adalah yang positif, jadi Hilal bin ‘Ali mempunyai kualitas stiqah.
c.      Hilal Ibn ‘Ali
Nama lengkapnya adalah Hilal bin ‘Ali bin Usamah, dan juga ada yang mengatakan Hilal bin Abi Maimunah, Hilal bin Abi Hilal al-Qurasyi al-‘Amiri, al-Madani. Ia termasuk thabaqah Shighor at-Tabi’in. Wafat pada tahun 100 H. Ia berguru kepada: Anas bin Malik, ‘Abdu al-Rahman bin Abi ‘Umrah, ‘Atho’ bin Yasar, Abi Salamah bin ‘Abdu al-Rahman bin ‘Auf, Abi Maimunah al-Madani. Adapun murid-muridnya yaitu: Ziad bin Sa’ad, Sa’id bin Abi Hilal, ‘Abd al-‘Aziz bin al-Majisyun, Fulaih bin Sulaiman, Malik bin Anas, Yahya bin Abi Katsir.
Penilaian ulama:
                        Abu Hatim                  : شيخ يكتب حديثه[5]
                        An-Nasa’I                   : ليس به بأس
                        Ibnu Hiban                  : ثقة
                       
Karena kebanyakan ulama yang menilai positif lebih banyak daripada yang menilai negatif, maka yang lebi diunggulkan adalah yang positif, yakni berkualitas stiqah.
d.    Fulaih Ibn Sulaiman
Nama lengkapnya adalah Fulaih bin Sulaiman bin Abi al-Mughirah, ia termasuk thabaqah dari kibaru atba’u at-tabi’in. Wafat pada tahun 168 H. Guru-gurunya yaitu: Ayub bin ‘Abd al-Rahman bin Sha’sha’ah, Tsabit bin ‘Iyadh al-Ahnafi, Rabi’ah bin Abi ‘Abd al-Rahman, Zaid bin Aslam, Sa’id bin al-Harits al-Anshori, Hisyam bin ‘Urwah, Hilal bin Abi ‘Ali, Yahya bin Sa’id al-Anshori. Sedang untuk murid-muridnya ia memiliki beberapa murid yakni; Ishaq bin ‘Isa ibn ath-Thiba’, Al-Hasan bin Muhammad bin ‘A’yan al-Harani, Ziyad bin Sya’id al-AnshoriSa’ad, ‘Abdullah bin Wahab, Muhammad bin Sinan, Abu Daud ath-Thayalisi, Abu ‘Amir al-‘Uqd
Penilaian ulama:
‘Utsman bin Sa’id                   : ضعيف[6]
‘Abas ad-Dauri                       : ليس بقوى ، و لا يحتج بحديثه أثبت منه
Abu Hatim                              : ليس بالقوى
Abu Daud                               : صدق
An-Nasa’I                               : ضعيف
Hakim Abu Ahmad    : ليس بالمتين عندهم[7]
Daraquthni                              : ليس به بأس
‘Ali Ibnu Madani                    : ضعيف
Albarqi                                    : ضعيف
As-Saji                                    : الصدق
Ibnu Hiban                              : ثقة
Hakim Abu ‘Abdullah                        : يقوى أمره
Walaupun banyak yang menilainya dho’if, akan tetapi karena penilaian tersebut tidak diimbangi dengan argument yang kuatmaka Fulaih bin Sulaiman dapat dianggap stiqah
e.      Muhammad bin Sinan
Nama lengkapnya adalah ‘Uqbah bin Yasar, terkenal dengan nama ibnu Sinan, dan juga terkadang dipanggil al-Jalas. Ia termasuk dalam thobaqah shighor at-tabi’in. Wafat pada tahun 223 H. Guru-gurunya antara lain: Guru:Ibrahim bin Thahman, Sulaim bin Hayan, Syarik bin ‘Abdullah, Fulaih bin Sulaiman, Muhammad bin Muslim, Nafi’ bin ‘Umar, Hamam bin Yahya, Abu Mu’awiyah.   
.Ia memiliki beberapa murid di antaranya: ’Abbas bin Ja’far, Muhammad bin Isma’il (imam al-Bukhari), Muhammad bin Yahya, Ibrahim bin Abi ’Ablah, Ziyad bin Mukhraq, Syu’bah bin al-Hajaj, Abu Mujahid ’Ibad bin Shalih, ’Abdu al-Warits bin Sa’id, Abu Balaj al-Fazari,
Penilaian ulama:
Ishaq bin Manshur      : ثقة[8]
Ibnu Hibban                : ثقة
Ibnu Hajar                   :  ثقة
Adz-Dzahabi               :  ثقة
Sebagaimana yang kita ketahui dari beberapa penilaian hampir semua ulama memberikan predikat stiqah kepada Muhammad bin Sinan, maka ia termasuk golongan rawi yang tsiqah.
f.      Imam Bukhari
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahimbin al-Mughirah bin al-Bardizbah, kunyahnya Abu ‘Abdillah. Ia mulai menghafal hadits ketika berusia 10 tahun. Ia hafal 100.000 hadits shahih dan 200.000 yang tidak shohih. Ia lahir pada tanggal 13 Syawal  tahun 194 H dan wafat pada tanggal 30 Ramadhan (malah hari raya Idul Fitri) tahun 256 H di Samarkand.
Ia berguru kepada Adl-Dlahhak bin Mukhallad Abu Ashim an- Nabil, Makki bin Ibrahim al-Handlali, ‘Ubaidillah bin Musa al-’Abbasi Muhammad bin Sinan, Yahya bin Ma’in dll.   Sedangkan murid-murid beliau adalah At-Turmudzi, Muslim, an-Nasa’I, Ibrahim bin al-Ishaq al-Hurri, Muhammad bin Ahmad ad-Daulabi, dan yang terakhir yaitu Manshur bin Muhammad al- Bazwadi.[9] 
Penilaian ulama:
Ibnu Huzaimah           : Tidak ada yang lebih tahu dan                                   hafal  hadis selain dia.
Ibnu Sholah                    : Ia bergelar Amir al-Mukminin dalam hadis.
Ibnu Hibban                   : tsiqat.
Ahmād bin Siyār al-Marūzi        :beliau adalah seorang pencari ilmu, suka bergaul dengan sesama, berkonsentrasi pada keilmuan hadis, menguasai berbagai keilmuan, dan ahli Hifdz.
Amr bin Ali: sesuatu yang tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismāil (Imam al-Bukhāri) bukanlah hadits.                                                                                       
3.     Persambungan Sanad
Dalam meniliti persambungan sanad ada dua aspek yang harus diteliti, yakni hubungan antara periwayat dan metode dan adat tahammul wa al-ada’ yang dipakainya. Sebagaimana yang kita ketahui rantai sanad tidak hanya berisi nama rawi akan tetapi juga adat tahammul wal ada’ yaitu lambang yang digunakan dalam menerima suatu hadits. Dengan adanya lambang ini kita akan terbantu dalam meneliti persambungan sanadnya. Adapun beberapa lambang yang digunakan dalam sanad hadits berpegang teguh pada sunnah Nabi adalah sebagai berikut:
a.       Abu Hurairah sebagai periwayat pertama (w. 59 H), ia adalah salah satu shahabat yang mempunyai hubungan dekat dengan Nabi mengingat karena Nabi adalah gurunya dan ia juga setia menemani Nabi . Ia selalu menghabiskan hari-harinya bersama Nabi dan sering bertanya tentang suatu permasalahan kepada Nabi, sehingga ia memperoleh banyak ilmu dari Nabi. Oleh karena hubungannya dengan Nabi yang begitu dekat, maka persambungan sanadnya adalah muttashil. Hal ini diperkuat dengan lambang yang digunakan yaitu قال  , itu berarti Abu Hurairah menerima hadits tersebut didengar dan disaksikan langsung dari Nabi.
b.      ‘Atho’ bin Yasar sebagai periwayat kedua (w. 94 H)  mempunyai hubungan guru dan murid dengan Abu Hurairah (w.59), jarak tahun meninggal antara keduanya tidak terlampau jauh, dengan demikian mereka masih dimungkinkan saling bertemu. Untuk lambang periwayatan yang digunakan adalah sighat عن . Menurut para ulama, hadits yang menggunakan lafal عن mempunyai sanad yang terputus, oleh karena banyak ulama yang menilainya stiqah dan adanya kemungkinan saling bertemu maka gugurlah pendapat tersebut. Dengan demikian sanad antara ‘Atho’ bin Yasar dengan Abu Hurairah adalah muttashil.
c.       Hilal bin ‘Ali sebagai periwayat ketiga (w. 100 H) juga mempunyai hubungan guru dan murid dengan ‘Atho’ bin Yasar (w. 94). Dengan jarak tahun meninggal yang hanya terlampau 6 tahun, maka sangat dimungkinkan bahwa mereka saling bertemu. Adapun untuk lafadz yang digunakan dalam periwayatan adalah shighat عن . Menurut para ulama, hadits yang menggunakan lafal عن mempunyai sanad yang terputus, oleh karena banyak ulama yang menilainya stiqah dan adanya kemungkinan saling bertemu maka gugurlah pendapat tersebut. Dengan demikian sanad antara Hilal bin ‘Ali dengan ‘Atho’ bin Yasar adalah bersambung.
d.      Fulaih bin Sulaiman sebagai periwayat keempat (w.168 H) dengan Hilal bin ‘Ali (w.100 H), oleh karena mereka mempunyai hubungan guru dan murid, masih dimungkinkan mereka saling bertemu.Walaupun banyak di antara para ulama yang memberikan penilain negatif padanya, akan tetapi penilaian tersebut tidak didasari dengan alasan yang pasti, maka ia tetap dianggap stiqah. Untuk shighat yang digunakan adalah حدثنا, ini berarti Fulaih mendengar hadits langsung Hilal bin ‘Ali. Jadi sanad antara keduanya dinilai muttashil.
e.       Muhammad bin Sinan sebagai periwayat kelima (w. 223 H) dengan Fulaih bin Sulaiman (w. 168 H). Antara mereka ada hubungan guru dan murid, adapun shighat yang digunakan adalah  حدثنا, ini berarti Muhammad bin Sinan mendengar hadits langsung dari Fulaih bin Sulaiman. Jadi sanad antara keduanya dinilai muttashil.
f.       Imam al-Bukhari sebagai periwayat keenam /mukharij, (w. 256 H) dengan Muhammad bin Sinan (w. 223 H) memiliki hubungan guru dan murid dan mereka dipastikan saling bertemu mengingat jarak tahun wafat keduanya tidak terlalu jauh. Sedangkan untuk shighat periwayatan yang dipakai adalah  حدثنا, ini berarti Imam Bukhari mendengar hadits langsung dari Muhammad bin Sinan. Jadi sanad antara keduanya dinilai muttashil
4.     Kemungkinan Terhindar dari Syadz dan ‘Illah
     Suatu hadist dapat dikatakan shahih jika terhindar dari adanya syadz, yakni tidak ada perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang rajih (lebih kuat) darinya[10]. Untuk mengetahui ada dan tidaknya syadz dalam suatu hadits dapat dilakukan cara menggabungkan semu jalur periwayatan yang ada untuk matan yang mempunyai tema yang sama.
      Sedangkan yang dimaksud dengan terhindar dari ‘illah adalah tidak adanya cacat yang dapat merusak keabshahan hadits tersebut sementara secara dlahir tidak nampak (kelihatan selamat dari cacat).[11]Jalan untuk mengetahui apakah suatu hadits mempunyai illah apa tidak dapat dilakukan dengan cara menggabungkan semu jalur periwayatan dan memperhatikan perbedaan rawi-rawinya dan menimbang antara kualitas rawi satu dengan rawi yang lain kemudian barulah dapat ditentukan hukumnya.
      Setelah dilakukan penggabungan jalur periwayatn hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah dengan jalur-jalur periwatan hadits lain yakni yang diriwayatkan oleh Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad bin Hambal, menghasilkan kesimpulan bahwa hadits ini terhindar dari kemungkinan adanya syadz dan ‘illah. Kesimpulan tersebut didapat karena semua jalur periwayatan tidak ditemukan adanya pertentangan makna, malah saling melengkapi sehingga dapat dipastikan terhindar dari syadz. Walaupun ada perbedaan pemakaian shighat yakni ada yang memakai fi’il madhi dan di hadits yang lain memakai fi’il mudhori’, akan tetapi itu tidak merusak makna yang dikandung. Jadi hadits tersebut juga dapat dipastikan terhindar dari ‘illah.
5.     Kesimpulan Kritik Sanad
Berdasar hasil penelitian dari setiap langkah dalam kritik sanad yaitu para periwayatnya mempunyai kualitas yang bagus juga adanya ketersambungan sanad yang sampai kepada Nabi dan tidak adanya syadz dan ‘illah, maka hadits tentang berpegang teguh pada sunnah Nabi mempunyai status shahih.
E.   Kritik Matan
Langkah selanjutnya setelah kita melakukan kritik sanad adalah kritik matan, adapun langkah-langkah dalam kritik matan ini tentunya berbeda dengan langkah dalam kritik sanad karena objeknyapun berbeda. Pertama kita harus membandingkan semua redaksi matan dari berbagai periwayat untuk diketahui apakah periwayatnnya secara bi al-ma’na atau bi al-lafdli. Kedua adalah meneliti kandungan makna matan hadits, untuk mengetahui kandungan maknanya, ada beberapa metode yang disusun oleh beberapa ulama hadits, salah satunya adalah metode milik Shalahuddin al-Adlabi, [12]beberapa metodenya di antaranya:
1.Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an
2.Tidak bertentangan dengan hadits dan sirah Nabi
3.Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, dan fakta sejarah
Setelah melakukan perbandingan redaksi matan hadits bahasan dengan redaksi matan dari hadits riwayat lain, maka dihasilkan beberapa variasi matan sebagai berikut:
No
Sumber
Redaksi Matan
1
ShahihBukhar, no.673
قَالَ كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
2
Ahmad ibn Hanbal, no. 8373
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُ الْجَنَّةَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا وَمَنْ يَأْبَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
3
Imam Muslim, , no. 3418
An-Nasa’i, , no. 4122
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
4
Imam Muslim, , no.3417
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ يَعْصِنِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعْ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
5
An-Nasa’i, , no. 5415
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَكَانَ يَتَعَوَّذُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ جَهَنَّمَ وَفِتْنَةِ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَفِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

Dari perbandingan redaksi matan hadits di atas, dapat disimpulkan bahwa hadits yang menjadi pokok bahasan adalah diriwayatkan bi al-ma’an karena dari matan ke matan lafadlnya tidak sama persis, walaupun berbeda itu hanya berbeda dalam pemakaian shighat, yang memakai fi’il mudhori’ seperti dalam hadits riwayat Imam Muslim, , no.3417 dan yang lainnya memakai fi’il madhi. Dan juga ada sedikit tambahan keterangan seperti pada hadits riwayat Ahmad ibn Hanbal, no. 8373 disebutkan keterangan waktu yaitu “pada hari qiyamat” namun di hadits lain tidak disebutkan, namun hal tersebut tidak mengurangi atau mengubah makna hadits.
Kaidah pertama adalah tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk taat kepada Rasulullah saw, yang tidak kurang dari 19 kali terulang di dalam al-Qur’an.[13] Perintah tersebut terkadang menggabungkan antara Allah dan Rasul-Nya seperti dalam surat Ali-‘Imran ayat 32 dan al-Anfal ayat 1.
@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". Ali imran
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ÉA$xÿRF{$# ( È@è% ãA$xÿRF{$# ¬! ÉAqߧ9$#ur ( (#qà)¨?$$sù ©!$# (#qßsÎ=ô¹r&ur |N#sŒ öNà6ÏZ÷t/ ( (#qãèÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur bÎ) OçFZä. tûüÏZÏB÷sB ÇÊÈ
Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul[593], oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman. Al-anfal.
Dan dalam ayat lain juga disebutkan mengenai perintah taat kepada Rsulullah, yakni surat an-Nisa’ ayat 80.
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ
 Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. An-Nisa
Dan terkadang juga ada yang dipisah penyebutannya, seperti dalam sura tan-Nisa ayat 59
 $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ.
 Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. An-Nisa
Penggabungan dan pemisahan tersebut mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad saw harus ditaati perintah-perintahnya baik yang bersumber dari Allah swt (al-Qur’an), seperti ayat-ayat kelompok pertama maupun perintah-perintah yang merupakan kebijasanaan beliau seperti ayat-ayat kelompok kedua. Ayat-ayat tersebut dapat dijadikan pendukung hadits tentang berpegang teguh kepada sunnah Nabi saw. Dengan demikian hadits riwayat Imam Bukhari tentang berpegang teguh pada sunnah Nabi tidaklah bertentangan dengan al-Qur’an
Kaidah kedua adalah tidak bertentangan dengan hadits lain dan sirah Nabi, Kaidah ketiga adalah tidak bertentangan dengan akal sehat, indra, dan fakta sejarah. Jika dilihat dari pesan dari hadits riwayat Bukhari ini tidaklah bertentangan dengan hadits riwayat Ibnu Majah, Bab Muqadimah, no. 43, dalam asbabul wurudnya dijelaskan ketika menjelang wafatnya Nabi, beliau berswasiat yang berbunyi:
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا قِيدَ انْقَادَ
Hadits di atas merupakan wasiat terakhir Nabi yang berisikan  adanya kewajiban untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi, jadi hadits ini dapat dijadikan pendukung dari hadits riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah ini.
Kaidah yang ketiga adalah tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan fakta sejarah. Allah telah beriman dalam surat al-Baqarah ayat 213:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“Manusia itu adalah umat yang satu , maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka  kitab dengan benar untuk memberi keputusa di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”.
Jika ditelaah lebih lanjut, ayat ini secara tidak langsung memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi yang notabene sebagai sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an. Jadi secara logika tidak mungkin kita menginkarinya karena sunnah Nabi adalah rujukan kita dalam menyelesaikan permasalah jika dalam al-Qur’an tidak ditemukan penyelesaiannya.
Fakta sejarahpun tidak mengingkari fungsi sunnah itu sendiri, ini dibuktikan bahwa ada sebagian permasalahan yang ditemukan penjelasannya atau penyelesaiannya di sunnah Nabi dan tidak ditemukan dalam al-Qur’an, seperti dalam hal tata cara sholat, dalam al-Qur’an hanya disebutkan mengenai kewajiban untuk mengerjakannya dan tidak dijelaskan bagaimana caranya, kemudian munculah hadits Nabi yang menjelaskan tentang tata cara sholat.
Melihat karena matan hadits riwayat Bukhari ini tidak bertentangan dengan matan hadits dari riwayat lain yang setema dan kandungan maknanya juga tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, hadits, sirah Nabi, akal sehat dan fakta sejarah, maka hadits ini dapat digolongkan ke dalam hadits yang shahih dan maqbul                                                                                                          
F.    Kesimpulan
Dari berbagai langkah-langkah yang sudah dilakukan, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.                  Berdasarkan takhrij al-hadits, hadits ini mempunyai 6 hadits dari periwayat Muslim (no. 3417 dan 3418), An-Nasa’i (no.4122 dan 5415), Ibnu Majah no. 3, dan Ahmad no.8373.
2.                   Bedasarkan i’tibar as-sanad hadits ini tergolong hadits ahad dalam kategori ghorib dan mempunyai 15 jalur periwayatan, walaupun hasil takhrij hanya diperoleh sejumlah 7 hadits
3.                  Berdasarkan hasil penelitian terhadap sanad, hadits riwayat Bukhari ini tergolong hadits shahih
4.                  Berdasarkan hasil penelitian pada matan, hadits riwayat Bukhari ini tergolong hadits yang shahih dan maqbul.
5.                  Secara kontekstual, hadits riwayat Bukhari ini bersifat permanen dan universal karena masih dapat diterpkan ke dalam masa sekrang.
6.                  Hadits ini dapat dijadikan argument untuk membantah adanya kelompok-kelompok yang ingkar pada sunnah Nabi.
Demikianlah makalah penelitian hadits riwayat Bukhari tentang berpegang teguh pada sunnah Nabi, semoga hasil penelitian ini dapat meningkatkan iman kita kepada Nabi Muhammad saw sebagai pembawa ajaran syari’at Islam agar kita tidak termasuk menjadi golongan yang ingkarus sunnah. Amin ya robbal ‘alamin.





DAFTAR PUSTAKA

Sulaiman, Nur. Antologi Ilmu Hadits, Jakarta: GP Press, 2008, hlm. 200-201
Suryadi dkk., Metodologi Penelitian Hadits, Yogyakarta: Pokja Akademik, 2006.
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007.
Rahman, Fathur.a Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974. Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004.
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi Yogyakarta: Teras, 2008.
CD Mausu’ah al-Hadits asy-Syarif, Versi 2 t.tp: Global Islamic Softwere Company, 1997.


[1] Nur Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: GP Press, 2008), hlm. 200-201
[2] Suryadi dkk.,Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2006), hlm.32.
[3] Suryadi dkk.,Metodologi Penelitian Hadits, (Yogyakarta: Pokja Akademik, 2006), hlm.67
[4] Adz-Dzahabi, Tahdzib at-Tahdzib, hlm. 199 juz 4
[5] Ibid., hlm.155 juz 6
[6] Ibid., hlm…
[7] Ibid., hlm. 8
[8]Ibid., hlm. 8
[9] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadits, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 366.
[10]Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), hlm. 123
[11] Mahmud Thahhan, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004), hlm. 97
[12] Shalahuddin al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matan (Beirut:  Dar al-Afaq al-jadidah, 1983), hlm. 230, sebagaimana dikutip dari Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadits Nabi: Perspektif Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-Qardhawi (Yogyakarta: Teras, 2008), hlm. 17-18.
[13] Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: GP Press, 2008), hlm. 201.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar