Oleh : Dra. Yulniza, M.Ag
Dorongan terhadap tantangan penetrasi abad ke 19 M yang tarik menarik dengan kondisi objektif umat Islam saat itu, telah mewujudkan artikulatifnya pada pemikiran pembaharuan dua tokoh pembaharuan Islam, yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kedua tokoh ini dengan caranya masing-masing telah mencoba menawarkan dan melontarkan beberapa gagasan pembaharuan. Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam, pengamatan dan penulusuran terhadap kedua tokoh pembaharuan ini akan menjadi menarik, sebab paling tidak, keduanya disoroti lewat kerangka hubungan guru dengan murid.
I. Pendahuluan
Hubungan ini memungkinkan terjadinya persentuhan dan dialog intelektual yang intens di antara keduanya. Hubungan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam bentuk hubungan guru dan murid, pada kenyataannya menghasilkan logika hubungan bahwa tidak selamanya murid itu sama dengan guru. Walaupun gagasan keduanya berakar pada dasar pemikiran yang sama, yaitu semangat kembali pada ajaran ideal al-Qur'an dan Hadits. Namun tampaknya dalam beberapa hal, mereka berbeda dalam refleksi. Perbedaan dalam refleksi itu, nampaknya juga tidak bisa dipisahkan dengan kenyataan bahwa mereka datang dari dan dibentuk oleh tradisi pendidikan, pemikiran dan sosial kultural yang berbeda. Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa perbedaan pemikiran antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tentang ide-ide pembaharuannya.
II. Latar Belakang Intelektual dan Sosio Kultural Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Pada tulisan ini pemakalah akan mengemukakan beberapa hal penting yang melatar belakangi pertumbuhan intelektual kedua tokoh pembaharuan ini. Pembahasan ini rasanya sangat penting, mengingat tidak tertutupnya kemungkinan perbedaan latar belakang intelektual tersebutlah yang menimbulkan beberapa perbedaan sikap dan pandangan pembaharuan yang melontarkan keduanya. Di antara latar belakang intelektual dan sosio kultural Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tersebut dapat dijelaskan.
Pertama, Muhammad Abduh telah terbiasa berfikir rasional semenjak usia muda. Hal ini terlihat dengan ketidak puasannya dengan sistem pengajaran di Thanta 1862 M. Sedangkan Rasyid Ridha kebiasaan berfikir rasionalnya baru muncul setelah membaca majalah al-Urwah al-Watsqa. Terlebih lagi stelah bertemu langsung dan berdialog dengan Muhammad Abduh. Sementara sebelumnya, Rasyid Ridha dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan yang tradisional.
Kedua, Muhammad Abduh mempunyai hubungan yang luas dengan dunia Barat, pandai berbahasa asing, sehingga dia mampu membaca buku-buku dan naskah-naskah dari Barat. Sementara Rasyid Ridha tidak banyak berhubungan dengan dunia Barat, dan kemampuan berbahasa asingnya relatif kurang, jika dibandingkan dengan Muhammad Abduh.
Ketiga, Muhammad Abduh termasuk orang yang liberal dalam memandang aliran atau mazhab, sehingga dia dituduh menganut aliran Mu'tazilah, walaupun dia menentang keras tuduhan tersebut. Nampaknya, hal ini dilakukan semata-mata karena ingin bebas dalam berfikir. Sedangkan Rasyid Ridha dalah pemegang mazhab sampai akhir hayatnya. Dia masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.
Keempat, kondisi sosio kultural dimana Muhammad Abduh menetap di Mesir sangat kondusif untuk menyebarkan ide-ide pembaharuannya. Hal ini disebabkan oleh karena di Mesir sudah banyak ditanamkan ide-ide pembaharuan oleh para pembaharu sebelumnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika sebagian dari masyarakat cukup familiar dengan ide-ide pembaharuan. Termasuk ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Abduh. Sementara itu, kondisi Rasyid Ridha sebelum dia pindah ke Mesir belum banyak bersentuhan dengan ide-ide pembaharuan. Dan kiranya hal ini tidak mendukung sosialisasi ide-ide pembaharuannya. Kondisi ini juga diperparah oleh sikap pemerintah setempat (Turki Usmani) yang terus mengintimidasi Rasyid Ridha. Hal ini disebabkan karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya.
III. Beberapa Pendapat Antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Kalau diperhatikan jauh tentang ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh kedua tokoh ini, akan terlihat adanya perbedaan yang menyangkut refleksi-refleksi pemikiran. Perbedaan yang akan dikemukakan dalam pembahasan ini adalah menyangkut pemikiran mereka dalam bidang politik dan keagamaan.
1. Pemikiran dalam Bidang Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembaharuan dalam bidang politik, yang diperjuangan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan terhadap kewenang-wenangan pemerintah, melalui konstitusi dan undang-undang. Serta pengarahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan serta dominasi Barat.
Akan tetapi dalam hal cara untuk mencapai tujuan tersebut terdapat perbedaan antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Dalam hal ini akan dijelaskan beberapa perbedaan yang menonjol antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
a. Muhammad Abduh
Salah satu pandangan Muhammad Abduh mengenai politik ini, dapat ditelusuri lewat pernyataan Tahrir al-Tawali yang mencoba berbicara pandangan politik Muhammad Abduh. Dalam hal ini, al-Tawali menulis, sungguhpun demikian, dalam tulisan dan ucapannya ia pernah membicarakan hak rakyat untuk memperoleh keadilan dan haknya untuk meluruskan pemerintahan yang salah, karena dipengaruhi oleh hawa nafsu, penyelesaian tentang itu akhirnya ia serahkan kepada perkembangan zaman.
Lebih jauh pemikiran Muhammad Abduh tentang politik ini dapat juga dilihat dari pernyataannya tentang model pemerintahan yang ideal. Menurut Muhammad Abduh, pemerintahan yang ideal itu adalah pemerintahan yang dipegang oleh penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan atas permusyawaratan rakyat. Keanekaragaman baginya tidak menjadi persoalan dalam pemerintahan, bahkan harus direkonsiliasi menjadi umat yang universal. Sementara itu, masyarakat muslim harus diikat oleh cara persaudaraan, keinginan dan tujuan bersama. Menurut Muhammad Abduh, hal ini dapat tercapai setelahn diadakan pembaharuan di bidang sosial dan pendidikan.
Dari pemikiran ini kelihatannya Muhammad Abduh tidak begitu menekankan tentang keharusan bentuk negara yang diinginkannya. Yang terpenting baginya adalah pemerintah itu harus bersikap demokratis, serta sumber daya manusia yang mengisi pemerintahan, baik yang bertindak sebagai pejabat maupun rakyat biasa harus mendapat perhatian yang serius serta dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya. Dengan kata lain, Muhammad Abduh lebih mementingkan sumber daya manusia yang mengisi suatu negara, dengan tidak mempersoalkan wadah atau bentuk negara.
b. Rasyid Ridha
Berbeda dengan Muhammad Abduh, menurut Rasyid Ridha, dalam upaya membangun persatuan dan kesatuan umat, perlu adanya kekuasaan pemerintah dan perlu mengambil suatu bentuk negara tertentu sebagai wadahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution, bahwa Rasyid Ridha menawarkan negara yang berbentuk kekhalifahan. Untuk ini Rasyid Ridha sengaja menulis buku yang berjudul al-Khilafat aw al-Imamah al-Uzhmat. Jabatan khalifah bagi Rasyid Ridha adalah wajib syar'i dan eksistensi khalifah sangat penting dalam rangka penerapan syari'at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan politik dan pemerintahan.
Bagi Rasyid Ridha kekhalifahan ideal adalah seperti yang pernah terjadi dan dialami oleh Khalifah al-Rasyidin. Khalifah bertindak sebagai kepala negara yang mempunyai kekuasaan yang legislatif serta harus mempunyai kemampuan berijtihad. Namun demikian, khalifah tidak boleh absolut dan sewenang-wenang di dalam menjalankan kekuasannya. Karena menurut Rasyid Ridha, sistem khalifah ini juga mesti dibatasi dengan keterlibatan parlemen sebagai wakil rakyat. Lebih jauh sebagaimana yang dikutip oleh Melcolm H. Kerr, Rasyid Ridha memperinci tentang keriteria seseorang khalifah, seperti :
1) Harus seorang muslim yang sudah dewasa
2) Mempunyai kebebasan atau dewasa
3) Mempunyai kemampuan untuk berijtihad
4) Memiliki karakter yang baik
5) Mempunyai keberanian untuk ikut dalam perperangan
6) Seorang yang adil dan bijaksana
7) Mempunyai kesehatan fisik yang baik
8) Keturunan suku Quraisy
Di antara keteria tersebut, Rasyid Ridha lebih menekankan pada syarat yang terakhir, yaitu Khalifah itu keturunan suku Quraisy. Alasan yang dikemukakan adalah banyak riwayat yang mendukung persyaratan ini dan tidak diperselisihkan oleh para Jama Ahlussunnah baik Arab maupun Adam. Karena fanatiknya terhadap suku Quraisy sampai-sampai Rasyid Ridha melupakan prinsip Islam, yaitu asas persamaan. Dalam prakteknya, ketika khalifah menjalankan fungsinya maka ia harus dibantu oleh para ulama dan pemuka masyarakat. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam kenyataannya bahwa khalifah itu dipilih oleh sekelompok pemimpin dan pemuka masyarakat, termasuk para ulama yang berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut, khalifah dipilih oleh para anggota Ahl al-Halli wa al-Aqdhi yang oleh Rasyid Ridha disebut dengan ahl-Ikhtivar. Dengan demikian, rakyat tidak mempunyai hak untuk memilih dan rakyat hanya mentaati hasil pilihan ahl-Ikhtiyar. Tapi anehnya, Rasyid Ridha membenarkan pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Dengan demikian, hak dan wewenang ahl-Ikhtiyar serta batas kekuasannya dengan khalifah menjadi tidak jelas.
Berdasarkan keteria dan eksistensi seorang khalifah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, nampaknya oleh Rasyid Ridha dimaksudkan sebagai upaya mencapai kemajuan di kalangan kaum muslimin baik moril maupun materil, di samping mewujudkan kesatuan dan persatuan umat, atau disebut dengan Ukhwah Islamiyah seperti yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra, bahwa kekhalifahan dapat dianggap sebagai sistem organik religio politik yang didominasi oleh hubungan antara yang sakral dan politis. Sehingga khalifah dapat disebut sebagai figur di dunia yang mengemban amanah Nabi dan khalifah al-Rasyidin dalam memelihara kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.
Dari gambaran sekilas tentang pemikiran tentang Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas, dapat disimpulkan bahwa Muhammad Abduh tidak secara eksplisit berbicara tentang bentuk negara yang dia inginkan. Namun demikian agaknya terdapat kemungkinan yang kuat bahwa Muhammad Abduh menjadikan demokrasi sebagai syarat utama dari bentuk pemerintahan yang diinginkannya. Barangkali dari kenyataan ini dapat dikatakan Muhammad Abduh nampaknya tidak mementingkan bentuk negara. Akan tetapi hal yang terpenting menurutnya adalah bagaimana agar prinsip-prinsip demokrasi dapat diwujudkan dalam suatu negara. Dan sumber kekuasaan bagi pemerintah adalah rakyat, sehingga pemerintahan bertanggung jawab kepada rakyat.
Sementara itu, Rasyid Ridha secara tegas menunjukkan sistem kekhalifahan merupakan bentuk negara ideal yang diinginkannya. Pengalaman sejarah yang pernah muncul pada masa Khulafah al-Rasyidin, dipandangnya sebagai corak pemerintahan ideal yang pernah ada dalam sejarah Islam. Hal inilah yang nampaknya menjadi alasan ulama mengapa Rasyid Ridha memilih kekhalifahan. Dalam prakteknya, seorang khalifah dibatasi oleh parlemen yang terdiri dari ulama dan pemuka masyarakat, selain sebagai pembantu dalam menjalankan fungsinya, juga sekaligus sebagai pengawas dari segala tindakannya.
Mengenai perbedaan tentang pemikiran politik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini Munawir Gadzali berpendapat, bahwa sumbangan Muhammad Abduh kepada pemikiran politik tidak begitu banyak dan tidak utuh. Sedangkan sumbangan Rasyid Ridha pada pemikiran politik lebih banyak dan lebih utuh meskipun dalam bentuk tradisional.
2. Pemikiran dalam Bidang Keagamaan
Berhubungan dengan pemikiran keagamaan, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mempunyai keistimewaan masing-masing. Adanya perbedaan ini lebih banyak bermuara pada perbedaan metode berfikir yang mereka qadakan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa perbedaan pemikiran keagamaan dari kedua tokoh tersebut, antara lain Kedudukan akal dan wahyu, persoalan teologi dan beberapa corak penafsiran al-Qur'an.
a. Kedudukan Akal dan Wahyu
Nampaknya, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha keduanya sangat menghargai akal di samping wahyu. Hanya saja dalam penggunaannya Muhammad Abduh lebih rasional dari pada Rasyid Ridha. Melihat begitu besarnya peranan akal yang diberikan oleh Muhammad Abduh, sehingga Harun Nasution, menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada akal dari Mu'tazilah. Sedangkan Rasyid Ridha masih terikat pada pemikiran tradisional serta pendapat-pendapat masa silam.
Bagi Muhammad Abduh peranan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui kehidupan akhirat, mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan berbuat jahat, mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan berbuat buruk serta membuat hukum-hukum mengenai kewajiban. Sementara itu bagi Rasyid Ridha, akal hanya dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan tidak terhadap persoalan ibadah.
Lebih lanjut Rasyid Ridha mengemukakan, bahwa ijtihad adalah ibadah tidak diperlukan lagi. Akal hanya dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mengandung arti tegas serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan di dalam al-Qur'an dan Hadits.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bagaimana kedudukan wahyu menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh adalah penolong (al-mu'in). Kata ini dipergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurut Muhammad Abduh, wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan hidup di akhirat, untuk mengetahui kesenangan dan kesengsaraan di akhira, serta menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya dan sebagainya. Berdasarkan hal ini terlihat lagi bahwa bagi Muhammad Abduh, fungsi wahyu yang terpenting adalah sebagai penolong dan konfirmasi dalam upaya menguatkan dan menyempurnakan fungsi akal, di samping berfungsi sebagai informasi.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha, fungsi terpenting dari wahyu adalah sebagai informasi. Hal ini terlihat dari pendapat Rasyid Ridha, bahwa akal hanya mengetahui hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan (muamalat), tidak ada azab sebelum diutusnya Nabi dengan membawa wahyu. Dari pandangan ini nampaknya Rasyid Ridha lebih mengutamakan wahyu dari akal walaupun ia juga mengetahui keberadaan pemikiran rasional sekalipun terbatas.
b. Persoalan Teologi
Hal lain yang menunjukkan bahwa pemikiran Muhammad Abduh lebih rasional dari pemikiran Rasyid Ridha terlihat dengan pandangannya terhadap beberapa persoalan teologi antara lain:
Pertama, tentang sifat Tuhan,a pakah termasuk esensi atau atau keluar dari esensi. Muhammad Abduh menjelaskan bahwa hal itu di luar kemauan manusia untuk mengetahuinya. Namun demikian, dalam hal ini Harun Nasution mengemukakan bahwa Muhammad Abduh agak lebih cenderung berpendapat bahwa sifat Tuhan itu termasuk esensi. Kecenderungan ini dapat ditemukan dalam pembahasannya tentang sifat Tuhan di dalam bukunya Hasyiaah 'ala Syarh al-Dawwani li al-'Aqaid al-Adliyah. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat Tuhan itu berada di luar esensi Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat manusia (laisa kamilslihi syaiun). Sepertinya, sifat pemurah dan kasih sayang Tuhan tidak sama dengan sifat pemurah dan kasih sayang yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, tentang balasan di akhirat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa persoalan pembalasan di akhirat harus ditafsirkan secara filosofis, dalam artian bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani. Sedangkan menurut Rasyid Ridha balasan yang akan diterima di akhirat adalah bentuk jasmani. Di sini terlihat bahwa Muhammad Abduh lebih cenderung memakai metode berfikir filsafat yang rasional, sedangkan Rasyid Ridha memakai metode berfikir teolog yang tradisional.
Ketiga, tentang pnafsiran ayat-ayat yang tadassum ataui antrophomorpisme. Dalam hal ini Muhammad Abduh kelihatannya lebih liberal dari Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, tangan, kursi dan lain-lain harus diberi penafsiran, seperti tangan Tuhan ditafsirkan sebagai kekuasaan. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung memberikan pengertian secara harfiyah, sungguh pun tidak sama dengan pengertian yang dimiliki oleh manusia.
c. Beberapa Corak Penafsiran Al-Qur'an
Untuk mengetahui pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam menafsirkan al-Qur'an dapat dilihat dalam tafsir hasil kedua tokoh ini, yaitu Tafsir al-Manar.
Pada awalnya, penulisan tafsir al-Qur'an ini ketika diusulkan oleh Rasyid Ridha, Muhammad Abduh menolak. Dengan alasan, bahwa kisah-kisah tafsir sudah cukup banyak dan sudah saling melengkapi. Karena Rasyid Ridha terus mendeasa dan mengemukakan pengtingnya tafsir itu dalam upaya melakukan pembaharuan, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan kuliah-kuliah tafsir al-Qur'an tapi belum bersedia menyusunnya dalam tafsir al-Qur'an.
Muhammad Abduh mulai memberikan kuliah-kuliahnya pada tahun 1899 M dan dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dicatatnya dan kemudian disusun dalam bentuk tulisan yang sistematis. Apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dari perkuliahannya, kemudian ia serahkan kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa. Setelah mendapat pelajaran, tulisannya dimuat dalam majalah al-Manar, dari sinilah timbulnya tafsir al-Manar. Dalam kitab ini Muhammad Abduh hanya sampai memberikan tafsiran sampai pada surat an-Nisa' ayat 125 dan selanjutnya adalah tafsiran Rasyid Ridha.
Dalam menafsirkan al-Qur'an Rasyid Ridha pada dasarnya mengikuti metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh. Namun seperti yang diakui oleh Rasyid Ridha bahwa terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaan tersebut sebagaimana yang disimpulkan oleh Quraisy Shihab, yaitu :
1) Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi
2) Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3) Penyisihan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang dibutuhkan masyarakat pada masanya, baik yang menyangkut bidang hukum, argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem masyarakat yang berkembang.
4) Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama bidang tersebut.
Perbedaan pertama, keluasan Rasyid Ridha tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan Hadits Nabi. Hal ini membuktikan kemantapan Rasyid Ridha dalam bidang Hadits, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut kekurangan gurunya Muhammad Abduh, yaitu kekurangan dalam bidang Hadits dan ilmu Hadits, riwayat hafalan dan zarh wa ta'dil. Dalam hal ini Muhammad Abduh banyak menolak hadits yang dianggapnya tidak shahih sebagai konsekuensi dari kebimbingan terhadap para perawi. Sementara Rasyid Ridha berusaha untuk menerima Hadits dan kalaupun dia menolaknya bukan atas dasar seperti penolakan Muhammad Abduh, akan tetapi berdasarkan penilaian disiplin ilmu Hadits. Dengan demikian, Rasyid Ridha lebih banyak menerima Hadits dan menerapkannya dalam penafsiran dari Muhammad Abduh,.
Di samping itu, tentang penggunaan Hadits Rasyid Ridha berusaha untuk menyesuaikan pertentangan tentang Hadits dengan al-Qur'an. Sedangkan Muhammad Abduh seperti yang dikatakan oleh Syahathah. Jika pertentangan itu ditemukannya dia akan meninggalkan hadits dan menafsirkan al-Qur'an dengan akalnya.
Perbedaan kedua, keluasan Rasyid Ridha dalam menafsirkan Rasyid Ridha dengan ayat-ayat lain. Hal ini karena Rasyid Ridha banyak terpengaruh oleh Ibn Katsir dan mazhab Snni Salafi yang sangat dikaguminya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kekaguman itu mendorongnya untuk mencetak tafsir Ibn Katsir dan menyebarkan keseluruh negara Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Sedangkan Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur'an lebih banyak dipengaruhi oleh Zamakhsari seorang mufassir penganut Mu'tazilah.
Perbedaan ketiga, menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat. Dalam masalah hukum misalnya, Rasyid Ridha banyak mengagungkan pendapat ulama berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Hal ini merupakan suatu gambaran dari pada propesi Rasyid Ridha sebagai wartwan yang punya hubungan dengan seluruh lapisan masyarakat dan keanekaragaman kepercayaan. Di samping keterikatan Rasyid Ridha terhadap pendapat ulama ulama terdahulu, sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengungkapkan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Dari ketiga perbedaan yang telah dikemukakan memberikan konsekwensi yang mengharuskan adanya pembahasan kosa kata secara luas, susunan redaksi ayat serta pendapat-pendapat para ulama. Sedangkan dalam penafsiran Muhammad Abduh tidak banyak memberikan pembahasan kosa kota, tata bahasa, dan gaya bahasa kecuali dalam batas-batas yang mengantarkan kepada pemahaman kandungan menuju petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Dan inilah yang merupakan perbedaan keempat antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyangkut masalah penafsiran al-Qur'an.
IV. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang perbedaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas, terlihat bahwa tidak selamanya murid itu mengikuti pemikran-pemikiran gurunya. Kenyataan ini terlihat dari metode berpfikir dan beberapa refleksi pemikiran yang dihasilkan keduanya.
Dalam metoda berfikir Muhammad Abduh cendrung liberal, sedangkan Rasyid Ridha masih terkesan tradisional dalam batas pengertian bahwa ia masih terikat oleh mazhab yang dianutnya. Demikian juga dengan refleksi-refleksi pemikiran yang mereka tawarkan, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri. Namun demikian dalam hal-hal tertentu, sebenarnya Rasyid Ridha banyak juga menganut pemikiran gurunya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, sosial kemasyarakatan, paham tentang Sunnatullah serta kebebasan manusia berbuat dan berkehendak.
Terakhir perbedaan yang nampak antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam hubungan guru dengan murid tidak terlepas dari pengalaman dan lingkungan yang melatar belakanginya, baik sosial kultural maupun intelektual.
Dorongan terhadap tantangan penetrasi abad ke 19 M yang tarik menarik dengan kondisi objektif umat Islam saat itu, telah mewujudkan artikulatifnya pada pemikiran pembaharuan dua tokoh pembaharuan Islam, yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Kedua tokoh ini dengan caranya masing-masing telah mencoba menawarkan dan melontarkan beberapa gagasan pembaharuan. Dalam konteks sejarah pembaharuan Islam, pengamatan dan penulusuran terhadap kedua tokoh pembaharuan ini akan menjadi menarik, sebab paling tidak, keduanya disoroti lewat kerangka hubungan guru dengan murid.
I. Pendahuluan
Hubungan ini memungkinkan terjadinya persentuhan dan dialog intelektual yang intens di antara keduanya. Hubungan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam bentuk hubungan guru dan murid, pada kenyataannya menghasilkan logika hubungan bahwa tidak selamanya murid itu sama dengan guru. Walaupun gagasan keduanya berakar pada dasar pemikiran yang sama, yaitu semangat kembali pada ajaran ideal al-Qur'an dan Hadits. Namun tampaknya dalam beberapa hal, mereka berbeda dalam refleksi. Perbedaan dalam refleksi itu, nampaknya juga tidak bisa dipisahkan dengan kenyataan bahwa mereka datang dari dan dibentuk oleh tradisi pendidikan, pemikiran dan sosial kultural yang berbeda. Tulisan ini mencoba mengungkapkan beberapa perbedaan pemikiran antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tentang ide-ide pembaharuannya.
II. Latar Belakang Intelektual dan Sosio Kultural Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Pada tulisan ini pemakalah akan mengemukakan beberapa hal penting yang melatar belakangi pertumbuhan intelektual kedua tokoh pembaharuan ini. Pembahasan ini rasanya sangat penting, mengingat tidak tertutupnya kemungkinan perbedaan latar belakang intelektual tersebutlah yang menimbulkan beberapa perbedaan sikap dan pandangan pembaharuan yang melontarkan keduanya. Di antara latar belakang intelektual dan sosio kultural Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha tersebut dapat dijelaskan.
Pertama, Muhammad Abduh telah terbiasa berfikir rasional semenjak usia muda. Hal ini terlihat dengan ketidak puasannya dengan sistem pengajaran di Thanta 1862 M. Sedangkan Rasyid Ridha kebiasaan berfikir rasionalnya baru muncul setelah membaca majalah al-Urwah al-Watsqa. Terlebih lagi stelah bertemu langsung dan berdialog dengan Muhammad Abduh. Sementara sebelumnya, Rasyid Ridha dibesarkan dan dipengaruhi oleh lingkungan yang tradisional.
Kedua, Muhammad Abduh mempunyai hubungan yang luas dengan dunia Barat, pandai berbahasa asing, sehingga dia mampu membaca buku-buku dan naskah-naskah dari Barat. Sementara Rasyid Ridha tidak banyak berhubungan dengan dunia Barat, dan kemampuan berbahasa asingnya relatif kurang, jika dibandingkan dengan Muhammad Abduh.
Ketiga, Muhammad Abduh termasuk orang yang liberal dalam memandang aliran atau mazhab, sehingga dia dituduh menganut aliran Mu'tazilah, walaupun dia menentang keras tuduhan tersebut. Nampaknya, hal ini dilakukan semata-mata karena ingin bebas dalam berfikir. Sedangkan Rasyid Ridha dalah pemegang mazhab sampai akhir hayatnya. Dia masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah.
Keempat, kondisi sosio kultural dimana Muhammad Abduh menetap di Mesir sangat kondusif untuk menyebarkan ide-ide pembaharuannya. Hal ini disebabkan oleh karena di Mesir sudah banyak ditanamkan ide-ide pembaharuan oleh para pembaharu sebelumnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika sebagian dari masyarakat cukup familiar dengan ide-ide pembaharuan. Termasuk ide pembaharuan yang dilontarkan oleh Abduh. Sementara itu, kondisi Rasyid Ridha sebelum dia pindah ke Mesir belum banyak bersentuhan dengan ide-ide pembaharuan. Dan kiranya hal ini tidak mendukung sosialisasi ide-ide pembaharuannya. Kondisi ini juga diperparah oleh sikap pemerintah setempat (Turki Usmani) yang terus mengintimidasi Rasyid Ridha. Hal ini disebabkan karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya.
III. Beberapa Pendapat Antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Kalau diperhatikan jauh tentang ide-ide pembaharuan yang dilontarkan oleh kedua tokoh ini, akan terlihat adanya perbedaan yang menyangkut refleksi-refleksi pemikiran. Perbedaan yang akan dikemukakan dalam pembahasan ini adalah menyangkut pemikiran mereka dalam bidang politik dan keagamaan.
1. Pemikiran dalam Bidang Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembaharuan dalam bidang politik, yang diperjuangan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan konstitusi dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan terhadap kewenang-wenangan pemerintah, melalui konstitusi dan undang-undang. Serta pengarahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan serta dominasi Barat.
Akan tetapi dalam hal cara untuk mencapai tujuan tersebut terdapat perbedaan antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Dalam hal ini akan dijelaskan beberapa perbedaan yang menonjol antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
a. Muhammad Abduh
Salah satu pandangan Muhammad Abduh mengenai politik ini, dapat ditelusuri lewat pernyataan Tahrir al-Tawali yang mencoba berbicara pandangan politik Muhammad Abduh. Dalam hal ini, al-Tawali menulis, sungguhpun demikian, dalam tulisan dan ucapannya ia pernah membicarakan hak rakyat untuk memperoleh keadilan dan haknya untuk meluruskan pemerintahan yang salah, karena dipengaruhi oleh hawa nafsu, penyelesaian tentang itu akhirnya ia serahkan kepada perkembangan zaman.
Lebih jauh pemikiran Muhammad Abduh tentang politik ini dapat juga dilihat dari pernyataannya tentang model pemerintahan yang ideal. Menurut Muhammad Abduh, pemerintahan yang ideal itu adalah pemerintahan yang dipegang oleh penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan atas permusyawaratan rakyat. Keanekaragaman baginya tidak menjadi persoalan dalam pemerintahan, bahkan harus direkonsiliasi menjadi umat yang universal. Sementara itu, masyarakat muslim harus diikat oleh cara persaudaraan, keinginan dan tujuan bersama. Menurut Muhammad Abduh, hal ini dapat tercapai setelahn diadakan pembaharuan di bidang sosial dan pendidikan.
Dari pemikiran ini kelihatannya Muhammad Abduh tidak begitu menekankan tentang keharusan bentuk negara yang diinginkannya. Yang terpenting baginya adalah pemerintah itu harus bersikap demokratis, serta sumber daya manusia yang mengisi pemerintahan, baik yang bertindak sebagai pejabat maupun rakyat biasa harus mendapat perhatian yang serius serta dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya. Dengan kata lain, Muhammad Abduh lebih mementingkan sumber daya manusia yang mengisi suatu negara, dengan tidak mempersoalkan wadah atau bentuk negara.
b. Rasyid Ridha
Berbeda dengan Muhammad Abduh, menurut Rasyid Ridha, dalam upaya membangun persatuan dan kesatuan umat, perlu adanya kekuasaan pemerintah dan perlu mengambil suatu bentuk negara tertentu sebagai wadahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Harun Nasution, bahwa Rasyid Ridha menawarkan negara yang berbentuk kekhalifahan. Untuk ini Rasyid Ridha sengaja menulis buku yang berjudul al-Khilafat aw al-Imamah al-Uzhmat. Jabatan khalifah bagi Rasyid Ridha adalah wajib syar'i dan eksistensi khalifah sangat penting dalam rangka penerapan syari'at Islam. Hal ini sejalan dengan pandangannya bahwa Islam adalah agama untuk kedaulatan politik dan pemerintahan.
Bagi Rasyid Ridha kekhalifahan ideal adalah seperti yang pernah terjadi dan dialami oleh Khalifah al-Rasyidin. Khalifah bertindak sebagai kepala negara yang mempunyai kekuasaan yang legislatif serta harus mempunyai kemampuan berijtihad. Namun demikian, khalifah tidak boleh absolut dan sewenang-wenang di dalam menjalankan kekuasannya. Karena menurut Rasyid Ridha, sistem khalifah ini juga mesti dibatasi dengan keterlibatan parlemen sebagai wakil rakyat. Lebih jauh sebagaimana yang dikutip oleh Melcolm H. Kerr, Rasyid Ridha memperinci tentang keriteria seseorang khalifah, seperti :
1) Harus seorang muslim yang sudah dewasa
2) Mempunyai kebebasan atau dewasa
3) Mempunyai kemampuan untuk berijtihad
4) Memiliki karakter yang baik
5) Mempunyai keberanian untuk ikut dalam perperangan
6) Seorang yang adil dan bijaksana
7) Mempunyai kesehatan fisik yang baik
8) Keturunan suku Quraisy
Di antara keteria tersebut, Rasyid Ridha lebih menekankan pada syarat yang terakhir, yaitu Khalifah itu keturunan suku Quraisy. Alasan yang dikemukakan adalah banyak riwayat yang mendukung persyaratan ini dan tidak diperselisihkan oleh para Jama Ahlussunnah baik Arab maupun Adam. Karena fanatiknya terhadap suku Quraisy sampai-sampai Rasyid Ridha melupakan prinsip Islam, yaitu asas persamaan. Dalam prakteknya, ketika khalifah menjalankan fungsinya maka ia harus dibantu oleh para ulama dan pemuka masyarakat. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam kenyataannya bahwa khalifah itu dipilih oleh sekelompok pemimpin dan pemuka masyarakat, termasuk para ulama yang berpengaruh. Berdasarkan hal tersebut, khalifah dipilih oleh para anggota Ahl al-Halli wa al-Aqdhi yang oleh Rasyid Ridha disebut dengan ahl-Ikhtivar. Dengan demikian, rakyat tidak mempunyai hak untuk memilih dan rakyat hanya mentaati hasil pilihan ahl-Ikhtiyar. Tapi anehnya, Rasyid Ridha membenarkan pengangkatan putra mahkota oleh khalifah. Dengan demikian, hak dan wewenang ahl-Ikhtiyar serta batas kekuasannya dengan khalifah menjadi tidak jelas.
Berdasarkan keteria dan eksistensi seorang khalifah sebagaimana yang telah disebutkan di atas, nampaknya oleh Rasyid Ridha dimaksudkan sebagai upaya mencapai kemajuan di kalangan kaum muslimin baik moril maupun materil, di samping mewujudkan kesatuan dan persatuan umat, atau disebut dengan Ukhwah Islamiyah seperti yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra, bahwa kekhalifahan dapat dianggap sebagai sistem organik religio politik yang didominasi oleh hubungan antara yang sakral dan politis. Sehingga khalifah dapat disebut sebagai figur di dunia yang mengemban amanah Nabi dan khalifah al-Rasyidin dalam memelihara kehidupan baik di dunia maupun di akhirat.
Dari gambaran sekilas tentang pemikiran tentang Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas, dapat disimpulkan bahwa Muhammad Abduh tidak secara eksplisit berbicara tentang bentuk negara yang dia inginkan. Namun demikian agaknya terdapat kemungkinan yang kuat bahwa Muhammad Abduh menjadikan demokrasi sebagai syarat utama dari bentuk pemerintahan yang diinginkannya. Barangkali dari kenyataan ini dapat dikatakan Muhammad Abduh nampaknya tidak mementingkan bentuk negara. Akan tetapi hal yang terpenting menurutnya adalah bagaimana agar prinsip-prinsip demokrasi dapat diwujudkan dalam suatu negara. Dan sumber kekuasaan bagi pemerintah adalah rakyat, sehingga pemerintahan bertanggung jawab kepada rakyat.
Sementara itu, Rasyid Ridha secara tegas menunjukkan sistem kekhalifahan merupakan bentuk negara ideal yang diinginkannya. Pengalaman sejarah yang pernah muncul pada masa Khulafah al-Rasyidin, dipandangnya sebagai corak pemerintahan ideal yang pernah ada dalam sejarah Islam. Hal inilah yang nampaknya menjadi alasan ulama mengapa Rasyid Ridha memilih kekhalifahan. Dalam prakteknya, seorang khalifah dibatasi oleh parlemen yang terdiri dari ulama dan pemuka masyarakat, selain sebagai pembantu dalam menjalankan fungsinya, juga sekaligus sebagai pengawas dari segala tindakannya.
Mengenai perbedaan tentang pemikiran politik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha ini Munawir Gadzali berpendapat, bahwa sumbangan Muhammad Abduh kepada pemikiran politik tidak begitu banyak dan tidak utuh. Sedangkan sumbangan Rasyid Ridha pada pemikiran politik lebih banyak dan lebih utuh meskipun dalam bentuk tradisional.
2. Pemikiran dalam Bidang Keagamaan
Berhubungan dengan pemikiran keagamaan, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mempunyai keistimewaan masing-masing. Adanya perbedaan ini lebih banyak bermuara pada perbedaan metode berfikir yang mereka qadakan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa perbedaan pemikiran keagamaan dari kedua tokoh tersebut, antara lain Kedudukan akal dan wahyu, persoalan teologi dan beberapa corak penafsiran al-Qur'an.
a. Kedudukan Akal dan Wahyu
Nampaknya, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha keduanya sangat menghargai akal di samping wahyu. Hanya saja dalam penggunaannya Muhammad Abduh lebih rasional dari pada Rasyid Ridha. Melihat begitu besarnya peranan akal yang diberikan oleh Muhammad Abduh, sehingga Harun Nasution, menyimpulkan bahwa Muhammad Abduh memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada akal dari Mu'tazilah. Sedangkan Rasyid Ridha masih terikat pada pemikiran tradisional serta pendapat-pendapat masa silam.
Bagi Muhammad Abduh peranan akal dapat mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mengetahui kehidupan akhirat, mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan berbuat jahat, mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan, mengetahui kewajiban berbuat baik dan meninggalkan berbuat buruk serta membuat hukum-hukum mengenai kewajiban. Sementara itu bagi Rasyid Ridha, akal hanya dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan tidak terhadap persoalan ibadah.
Lebih lanjut Rasyid Ridha mengemukakan, bahwa ijtihad adalah ibadah tidak diperlukan lagi. Akal hanya dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mengandung arti tegas serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan di dalam al-Qur'an dan Hadits.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bagaimana kedudukan wahyu menurut Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh adalah penolong (al-mu'in). Kata ini dipergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Menurut Muhammad Abduh, wahyu menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan hidup di akhirat, untuk mengetahui kesenangan dan kesengsaraan di akhira, serta menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya dan sebagainya. Berdasarkan hal ini terlihat lagi bahwa bagi Muhammad Abduh, fungsi wahyu yang terpenting adalah sebagai penolong dan konfirmasi dalam upaya menguatkan dan menyempurnakan fungsi akal, di samping berfungsi sebagai informasi.
Sedangkan menurut Rasyid Ridha, fungsi terpenting dari wahyu adalah sebagai informasi. Hal ini terlihat dari pendapat Rasyid Ridha, bahwa akal hanya mengetahui hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan (muamalat), tidak ada azab sebelum diutusnya Nabi dengan membawa wahyu. Dari pandangan ini nampaknya Rasyid Ridha lebih mengutamakan wahyu dari akal walaupun ia juga mengetahui keberadaan pemikiran rasional sekalipun terbatas.
b. Persoalan Teologi
Hal lain yang menunjukkan bahwa pemikiran Muhammad Abduh lebih rasional dari pemikiran Rasyid Ridha terlihat dengan pandangannya terhadap beberapa persoalan teologi antara lain:
Pertama, tentang sifat Tuhan,a pakah termasuk esensi atau atau keluar dari esensi. Muhammad Abduh menjelaskan bahwa hal itu di luar kemauan manusia untuk mengetahuinya. Namun demikian, dalam hal ini Harun Nasution mengemukakan bahwa Muhammad Abduh agak lebih cenderung berpendapat bahwa sifat Tuhan itu termasuk esensi. Kecenderungan ini dapat ditemukan dalam pembahasannya tentang sifat Tuhan di dalam bukunya Hasyiaah 'ala Syarh al-Dawwani li al-'Aqaid al-Adliyah. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat Tuhan itu berada di luar esensi Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat manusia (laisa kamilslihi syaiun). Sepertinya, sifat pemurah dan kasih sayang Tuhan tidak sama dengan sifat pemurah dan kasih sayang yang dimiliki oleh manusia.
Kedua, tentang balasan di akhirat. Muhammad Abduh berpendapat bahwa persoalan pembalasan di akhirat harus ditafsirkan secara filosofis, dalam artian bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani. Sedangkan menurut Rasyid Ridha balasan yang akan diterima di akhirat adalah bentuk jasmani. Di sini terlihat bahwa Muhammad Abduh lebih cenderung memakai metode berfikir filsafat yang rasional, sedangkan Rasyid Ridha memakai metode berfikir teolog yang tradisional.
Ketiga, tentang pnafsiran ayat-ayat yang tadassum ataui antrophomorpisme. Dalam hal ini Muhammad Abduh kelihatannya lebih liberal dari Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, tangan, kursi dan lain-lain harus diberi penafsiran, seperti tangan Tuhan ditafsirkan sebagai kekuasaan. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung memberikan pengertian secara harfiyah, sungguh pun tidak sama dengan pengertian yang dimiliki oleh manusia.
c. Beberapa Corak Penafsiran Al-Qur'an
Untuk mengetahui pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam menafsirkan al-Qur'an dapat dilihat dalam tafsir hasil kedua tokoh ini, yaitu Tafsir al-Manar.
Pada awalnya, penulisan tafsir al-Qur'an ini ketika diusulkan oleh Rasyid Ridha, Muhammad Abduh menolak. Dengan alasan, bahwa kisah-kisah tafsir sudah cukup banyak dan sudah saling melengkapi. Karena Rasyid Ridha terus mendeasa dan mengemukakan pengtingnya tafsir itu dalam upaya melakukan pembaharuan, akhirnya Muhammad Abduh bersedia memberikan kuliah-kuliah tafsir al-Qur'an tapi belum bersedia menyusunnya dalam tafsir al-Qur'an.
Muhammad Abduh mulai memberikan kuliah-kuliahnya pada tahun 1899 M dan dihadiri oleh Rasyid Ridha. Keterangan-keterangan yang diberikan oleh Muhammad Abduh dicatatnya dan kemudian disusun dalam bentuk tulisan yang sistematis. Apa yang ditulis oleh Rasyid Ridha dari perkuliahannya, kemudian ia serahkan kepada Muhammad Abduh untuk diperiksa. Setelah mendapat pelajaran, tulisannya dimuat dalam majalah al-Manar, dari sinilah timbulnya tafsir al-Manar. Dalam kitab ini Muhammad Abduh hanya sampai memberikan tafsiran sampai pada surat an-Nisa' ayat 125 dan selanjutnya adalah tafsiran Rasyid Ridha.
Dalam menafsirkan al-Qur'an Rasyid Ridha pada dasarnya mengikuti metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh. Namun seperti yang diakui oleh Rasyid Ridha bahwa terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaan tersebut sebagaimana yang disimpulkan oleh Quraisy Shihab, yaitu :
1) Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi
2) Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3) Penyisihan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang dibutuhkan masyarakat pada masanya, baik yang menyangkut bidang hukum, argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem masyarakat yang berkembang.
4) Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama bidang tersebut.
Perbedaan pertama, keluasan Rasyid Ridha tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan Hadits Nabi. Hal ini membuktikan kemantapan Rasyid Ridha dalam bidang Hadits, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut kekurangan gurunya Muhammad Abduh, yaitu kekurangan dalam bidang Hadits dan ilmu Hadits, riwayat hafalan dan zarh wa ta'dil. Dalam hal ini Muhammad Abduh banyak menolak hadits yang dianggapnya tidak shahih sebagai konsekuensi dari kebimbingan terhadap para perawi. Sementara Rasyid Ridha berusaha untuk menerima Hadits dan kalaupun dia menolaknya bukan atas dasar seperti penolakan Muhammad Abduh, akan tetapi berdasarkan penilaian disiplin ilmu Hadits. Dengan demikian, Rasyid Ridha lebih banyak menerima Hadits dan menerapkannya dalam penafsiran dari Muhammad Abduh,.
Di samping itu, tentang penggunaan Hadits Rasyid Ridha berusaha untuk menyesuaikan pertentangan tentang Hadits dengan al-Qur'an. Sedangkan Muhammad Abduh seperti yang dikatakan oleh Syahathah. Jika pertentangan itu ditemukannya dia akan meninggalkan hadits dan menafsirkan al-Qur'an dengan akalnya.
Perbedaan kedua, keluasan Rasyid Ridha dalam menafsirkan Rasyid Ridha dengan ayat-ayat lain. Hal ini karena Rasyid Ridha banyak terpengaruh oleh Ibn Katsir dan mazhab Snni Salafi yang sangat dikaguminya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kekaguman itu mendorongnya untuk mencetak tafsir Ibn Katsir dan menyebarkan keseluruh negara Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Sedangkan Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur'an lebih banyak dipengaruhi oleh Zamakhsari seorang mufassir penganut Mu'tazilah.
Perbedaan ketiga, menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat. Dalam masalah hukum misalnya, Rasyid Ridha banyak mengagungkan pendapat ulama berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Hal ini merupakan suatu gambaran dari pada propesi Rasyid Ridha sebagai wartwan yang punya hubungan dengan seluruh lapisan masyarakat dan keanekaragaman kepercayaan. Di samping keterikatan Rasyid Ridha terhadap pendapat ulama ulama terdahulu, sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengungkapkan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Dari ketiga perbedaan yang telah dikemukakan memberikan konsekwensi yang mengharuskan adanya pembahasan kosa kata secara luas, susunan redaksi ayat serta pendapat-pendapat para ulama. Sedangkan dalam penafsiran Muhammad Abduh tidak banyak memberikan pembahasan kosa kota, tata bahasa, dan gaya bahasa kecuali dalam batas-batas yang mengantarkan kepada pemahaman kandungan menuju petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Dan inilah yang merupakan perbedaan keempat antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyangkut masalah penafsiran al-Qur'an.
IV. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang perbedaan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di atas, terlihat bahwa tidak selamanya murid itu mengikuti pemikran-pemikiran gurunya. Kenyataan ini terlihat dari metode berpfikir dan beberapa refleksi pemikiran yang dihasilkan keduanya.
Dalam metoda berfikir Muhammad Abduh cendrung liberal, sedangkan Rasyid Ridha masih terkesan tradisional dalam batas pengertian bahwa ia masih terikat oleh mazhab yang dianutnya. Demikian juga dengan refleksi-refleksi pemikiran yang mereka tawarkan, masing-masing memiliki ciri-ciri tersendiri. Namun demikian dalam hal-hal tertentu, sebenarnya Rasyid Ridha banyak juga menganut pemikiran gurunya, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, sosial kemasyarakatan, paham tentang Sunnatullah serta kebebasan manusia berbuat dan berkehendak.
Terakhir perbedaan yang nampak antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam hubungan guru dengan murid tidak terlepas dari pengalaman dan lingkungan yang melatar belakanginya, baik sosial kultural maupun intelektual.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar