MAKALAH KONSEP TOLERANSI DALAM AL-QUR'AN
PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama dianggap sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sendiri sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik dan saling klaim kebenaran memang sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai macam konflik sehingga terjadi perpecahan. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan berlabel agama sehingga realitas kehidupan yang timbul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidakharmonisan.
Dituduhkan bahwa Islam adalah agama intolerans, disiarkan dengan pedang, agama kapitalisme, exclusive, hanya agama orang-orang Arab, dan sebagainya. Juga di Indonesia, tuduhan tersebut masih ada, walaupun tidak dengan terang-terangan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketiadaan rasa saling menghargai atas pluralitas pemahaman dalam tubuh islam sendiri, hingga islam seolah beraneka panorama dalam tubuh yang sama.
Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan sebuah perbincangan tentang sesuatu yang dianggap sebagai dasar permasalahan, yaitu toleransi; Toleransi dalam sudut pandang wahyu Tuhan, wahyu yang telah dititipkan untuk dijadikan buku pintar manusia menjadi khalifah di bumi.
Pembahasan akan dibatasi pada permasalah-permasalahan berikut:
1. Makna dan segi-segi toleransi
2. Konsep toleransi dalam al-Qur’an
3. Toleransi dalam bingkai ke-Bhinneka-an
4. Toleransi dalam tataran aplikasi
5. Hubungan toleransi dengan fanatik
6. Dari toleransi ke sinkretisme
7. Paradoks toleransi
PEMBAHASAN
A. Makna Toleransi
Terma toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerantia dalam bahasa Latin. Dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata tasamah atau tasahal yaitu; to overlook, excuse, to tolerate, to be indulgent, tolerant, forbearing, lenient, merciful. Perkataan tasamah; bermakna hilm dan tasahul; diartikan indulgence, tolerance, toleration, forbearance, leniency, lenitt, clemency, mercy dan kindness.
Di dalam “Encyclopaedia Britannica” tidak ada kata toleransi, yang ada hanyalah kata tolerance tetapi termasuk dalam istilah industri. Bahkan anehnya, di dalam “Encyclopaedia of The Social Sciences”, kata tolerantion artinya disuruh melihat kata INTOLERANCE (see Intolerance!). Ini berarti, kata-kata Intolerance-lah yang lebih populer di negeri-negeri Barat, bukan kata-kata toleransi.
Akan tetapi, dalam kamus Webster’s New American Dictionary halaman 1050 bahwa toleransi ialah “liberality toward the opinions of other; patience with others,” maksudnya memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain.[1]
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.[2]
Adapun toleransi agama adalah sikap sadar menjadi makhluk sosial yang hidup tidak sendiri dan mengakui adanya perbedaan keyakinan serta menjunjungtinggi nilai pluralitas, yang kesemuanya termanifestasikan dalam wujud kebebasan dan saling menghargai dalam menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.
B. Segi-Segi Toleransi
1. Mengakui hak setiap orang
Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap-laku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain.
2. Menghormati keyakinan orang lain
Soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing. Orang yang memaksakan keyakinannya, apalagi dengan jalan kekerasan atau terror, baik yang halus maupun kasar, akhirnya akan mengakibatkan orang lain bersikap hypokrit atau munafik saja. Hal inilah yang menimbulkan bertumpuknya dendam dan kedengkian.
3. Agree in disagreement
Istilah di atas (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu didengungkan oleh Prof. Dr. H. Mukti Ali. Perbedaan tidak harus ada permusuhan, karena perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.
4. Saling mengerti
Tidak akan terjadi saling menghormati antara sesama orang bila mereka tidak ada saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.
5. Kesadaran dan kejujuran
Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dan kepolosan sikap-laku, hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat akan tertib dan tenang.
6. Jiwa falsafah pancasila
Falsafah pancasila merupakan suatu landasan yang telah diterima oleh segenap manusia Indonesia, merupakan tata-hidup yang pada hakekatnya adalah konsensus dan diterima praktis oleh bangsa Indonesia, yang merupakan dasar negara kita.
C. Konsep Toleransi Dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.
Telah diketahui bersama, bahwa Islam adalah agama toleransi dan tidak ada paksaan di dalam memeluk agama di dalamnya. Tidak hanya dalam akidah dan hal-hal yang bersangkutan dengannya saja, tetapi larangan mempergunakan paksaan atau kekerasan itu berlaku umum dalam bidang-bidang kehidupan dalam rangka antar-hubungan manusia atau bidang mu’amalah.
Agama Islam tidak hanya mengakui kemerdekaan dan kebebasan tersebut dalam teori saja, tetapi memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap kemerdekaan tersebut.
Dalil-dalil yang menjelaskan tentang toleransi dan kemerdekaan beragama:[3]
1) Surat al-Baqarah: 256
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)
2) Surat al-Mumtahinah: 8-9
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)
3) Surat al-Nahl: 125
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)
4) Surat al-Hujurat: 13
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
5) Surat Ali Imran: 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)
6) Surat al-Kahfi: 29
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (29)
7) Surat Yunus: 99
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99)
8) Surat al-Qashash: 56
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)
9) Surat al-Nahl: 37
إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (37)
10) Surat al-Insan: 3
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)
11) Surat al-A’raf: 185
أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (185)
12) Surat al-Baqarah: 164
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)
13) Surat al-Syura: 15
فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آَمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (15)
14) Surat al-Hajj: 39-40
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)
Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan mengenai prinsip atau konsep dalam bertoleransi adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama
b. Menyeru orang kepada Islam dengan jalan kebijaksanaan dan dengan jalan bertukar pikiran yang baik (musyawarah), karena dakwah tidak boleh dengan bersikap keras kepala
c. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan baik kepada mereka yang tidak sefaham atau tidak seagama, asalkan mereka tidak memusuhi dan memerangi kaum muslimin.
d. Allah telah memberi jalan atau petunjuk yang lurus, tinggal terserah kepada setiap manusia untuk memilihnya atau menolaknya.
e. Salah satu cara menemukan iman adalah berfikir dan mengadakan penyelidikan, bukan dengan paksaan.
f. Kaum muslimin harus berjuang untuk mempertahankan keamanan biara, gereja, tempat peribadatan orang-orang Yahudi, dan masjid.
Patut menjadi perhatian bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan aspek toleransi dan kasih sayang yang telah diberikan oleh Tuhan dan Rasulullah, tidak diperkenankan adanya paksaan karena sesungguhnya antara kebaikan dan kezaliman sudahlah jelas. Memaksakan kehendak bukanlah hak manusia.
Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan toleransi harus ada paradigma kesetaraan dalam agama. Paradigma tersebut dimulai dari keberagaman yang terbuka dan bertanggungjawab. Pilihan beragama seseorang atau sebuah kelompok sesungguhnya tidak semata-mata merupakan pilihan teologis, melainkan juga pilihan sosiologis. Karenanya, paradigma tidak ada paksaan dalam agama menjadi penting. Di satu sisi Tuhanlah yang menegaskan pentingnya kebebasan beragama. Di sisi lain juga terkandung pentingnya kebebasan dalam ranah sosiologis. Di sinilah perlu penerjemahan paradigma tidak ada paksaan dalam agama pada ranah teologis dan sosiologis.
Terdapat empat hal penting yang patut dijadikan etika dalam berdakwah. Pertama, dakwah dengan hikmah. Kedua, dengan nasehat yang santun (bi al-mau’idhat al-hasanah). Ketiga, debat yang konstruktif dan inovatif (wa jadilhum bil allati hiya ahsan), dan keempat, teologi “Tuhan Maha Tahu”.
Di tengah menguatnya keberagaman diperlukan toleransi yang bersifat aktif. Artinya, dakwah dan debat yang seringkali dijadikan sebagai ajang untuk memupuk kebencian dapat digantikan sebagai ajang untuk memupuk keterbukaan terhadap yang lain. Pendapat seseorang itu haruslah diasifati secara relativ karena tiddak ada manusia yang sempurna dan memegang kebenaran mutlak. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Karena itu, relativitas harus memacu setiap insan untuk senantiasa belajar dari yang lain untuk melihat dirinya sendiri. Barangkali kebenaran ada di pihak yang lain.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.
Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah al-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.
D. Toleransi Dalam Bingkai Ke-Bhinneka-an
Indonesia merupakan negara kesatuan. Dia menghimpun berbagai macam warna kulit, bentuk mata dan model rambut dalam satu tubuhnya, bangsa Indonesia. Indonesia tidak mengenal rasisme. Kedaulatan, persatuan dan kesatuan adalah nilai yang senatiasa dijunjungnya, sebagaimana yang terangkum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ikka.
Dalam hal ini, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, maupun keyakinan. Hal ini merupakan suatu keniscayaan.
Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.
Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau menghilangkannya dengan alasan apapun. Bahkan atas nama agama. Toleransi sejati hanya dapat terwujud apabila kesadaran meluaskan wawasan ke ruang-ruang yang menyekat, menjadikan sikap rendah hati sebagai tiangnya, agar berani untuk menghadapi bahwa hidup itu adalah keragaman, yang tak satu pun diantarannya atas nama keyakinan apapun dapat dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain ataulah sebagai upaya mulai dalam rancang sistematik penyeragaman keyakinan.
Tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, hal itu telah di atur dalam jaminan konstitusi pasal 29 UUD 1945 ayat 2; begitupun hak hidup dan kebebasan berpendapat juga sama telah dijamin oleh undang-undang. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk warga yang mengaku bangsa Indonesia untuk tidak bersikap toleransi kepada orang lain dalam hal apapun.
Akan tetapi, tentu yang dikehendaki toleransi dalam beragama di Indonesia yang memiliki kurang lebih enam agama, bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritual semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk, sistem, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Satu hal yang tidak bisa dielakkan dalam konteks toleransi adalah ketegangan antara idealisme dan realitas. Idealisme agama sendiri dan realitas keberagamaan di Indonesia yang tidak satu. Belakangan ini, intoleransi dalam prakteknya lebih banyak dipilih daripada toleransi. Karena itu -bisa dikatakan- yang terjadi sesungguhnya adalah krisis toleransi di pelbagai level kehidupan. Wacana yang terkemuka adalah intoleransi, bahkan wacana tersebut telah mendapatkan justifikasi dari pandangan keagamaan. Dalam masalah ini, Abdul Husein Sya’ban menyampaikan sebuah otokritik yang perlu mendapatkan catatan khusus:
Kita sesungguhnya tidak mengerti toleransi di antara kita, baik pada level individu maupun kolektif, kelompok, organisasi maupun partai politik. Bahkan pada tataran tertentu kita senantiasa memupuk perseteruan di antara kita, baik dalam satu aliran, satu partai, satu bangsa maupun satu golongan. Kita sudah menyaksikan dengan seksama peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis toleransi, pemberangusan kebebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain.[4]
Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran.
Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
E. Toleransi Dalam Tataran Aplikasi
Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.
Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.
Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.
Sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT.
Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga. “Barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya”.[5] Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik. Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, kita tidak perlu untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan yang ada di dunia.
Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun. Namun, untuk bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita. Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga sebagai komunitas terkecil kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas.
Terakhir, prinsip toleransi dalam perspektif islam ketika kita sudah meyakini bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT.
Para ulama sepakat agar toleransi menjadi salah satu alternatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena toleransi bukan sekadar hak, tetapi kewajiban. Tuhan pun dalam kitab suci-Nya disebut Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Karena itu, Sila Ketuhanan yang Maha Esa harus dipahami dalam konteks mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan itu secara konsekuen dan konsisten, utamanya dalam hal toleransi.
Salah satu hal yang menjadi keprihatinan bersama dalam konteks kebangsaan muncul gejala yang kian memupuk intoleransi, terutama antara satu kelompok kepada kelompok lain. Realitasnya, tidak sedikit warga NU yang mulai diusik pihak-pihak lain perihal tradisi dan praktik keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, dibaan, barzanji, istigasah, dan lain-lain. Di Bandung, Jawa Barat, pesantren yang secara kultural berbasis nahdiyin diserang warga setempat karena mengusung tema kebangsaan.
Kenyataan itu menunjukkan, wawasan tentang pentingnya toleransi masih minim di tengah masyarakat. Karena itu, diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati dari seluruh pihak bahwa bangsa ini akan besar bila toleransi diterjemahkan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dua hal inilah (keadilan dan toleransi) yang semestinya menjadi garapan utama PBNU dalam munas di Surabaya, yaitu mendorong pemerintah agar menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan kepada masyarakat agar menerapkan toleransi secara konsisten demi keutuhan bangsa dan Negara.
F. Hubungan Toleransi Dengan Fanatik; Sebuah Pembatasan
Sekilas, toleransi dan fanatik tampak kontras jika dipersandingkan. Karena seolah mereka duduk selalu saling membelakangi satu sama lain. Atau ada yang bilang bahwa mereka adalah musuh bebuyutan. Padahal mereka justru dua sahabat lama yang saling merindukan. Keduanya bisa hidup seiring sejalan.
Fanatisme sebenarnya merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Sebab ketika kita menganut kepercayaan tertentu, maka sikap ideal yang harus kita yakini dalam hati adalah bahwa kepercayaan kita itulah yang paling benar. Sebagai seorang Muslim, penyusun menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Yang lain tidak benar. Teman-teman yang beragama Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya pun, silahkan berpendapat bahwa agama merekalah yang benar, sedangkan yang lainnya tidak benar. Inilah inti dari fanatisme. Dan sikap ini hanya untuk ‘i’tiqad dalam hati.
Apakah sikap seperti ini tidak berbahaya bagi kelangsungan toleransi?
Dalam beragama, ketika seseorang fanatik terhadap Islam, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengislamkan seluruh hidupnya. Islam adalah way of life. Fanatisme terhadap apapun akan membuat kita berusaha mengidentikkan diri dengan si FAN tersebut. Tapi tragisnya, masyarakat kita cenderung sangat permisif terhadap sikap fanatik yang ditujukan bagi makhluk yang bersifat duniawi (artis, tokoh politik, negara tertentu). Namun, ketika seseorang fanatik terhadap agama yang dianutnya, kita ramai-ramai mencela, menyebutkan sebagai sikap yang sangat tidak terpuji.
Fanatisme yang dilakukan secara benar tak akan mungkin bertolak belakang dengan toleransi. Islam misalnya, adalah agama yang penuh toleransi. Islam memberikan ajaran yang sangat sempurna tentang bagaimana kita sebaiknya berhubungan baik dengan saudara-saudara kita yang bukan beragama Islam. Bahkan faktanya, di negara manapun yang mayoritas penduduknya Islam, warga non muslim dapat hidup dengan aman dan nyaman.
Fanatisme sama sekali tidak bertolak belakang dengan toleransi. Fanatisme tidak sama dengan "tidak bisa menerima perbedaan". Dalam konteks perbedaan, fanatisme adalah sikap untuk "berpegang teguh pada keyakinan yang kita anut, namun selalu menghargai siapa saja yang memiliki keyakinan yang berbeda." Inilah fanatisme yang sebenarnya. Karena tanpa fanatisme, bisa menimbulkan keraguan akan keyakinannya sendiri. Dan fanatisme yang seperti inilah yang telah diterapkah oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.
Sikap fanatisme yang baik bukanlah halangan untuk bersahabat dan berhubungan baik dengan orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Sudah demikian banyak orang yang membuktikan hal ini.
Lantas tentang toleransi, adalah sesuatu yang sangat baik. Tapi sebenarnya, toleransi pun ada batasnya. Sebab toleransi yang kebablasan akan membuat kita terjerumus pada sikap "mengikuti perilaku golongan lain." Dalam Islam, dibuat pembagian yang tegas antara "toleransi agama" dengan "toleransi umat beragama".
Toleransi agama adalah sikap permisif terhadap ajaran agama lain. Contoh konkrit: Umat Islam ikut merayakan hari Natal, atau umat Kristen ikut puasa di bulan Ramadhan. Inilah jenis toleransi yang tidak diperbolehkan. Sebab sikap seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip fanatisme. Sikap toleransi terhadap ajaran agama menunjukkan bahwa keyakinan kita terhadap agama yang kita anut tidak terlalu kuat. Artinya, kita tidak fanatik terhadap agama kita sendiri. Kalau terhadap agama saja kita tidak fanatik, lalu "objek" apalagi yang akan kita fanatiki?
Yang perlu kita kembangkan dan lestarikan sebenarnya adalah toleransi umat beragama. Maksudnya, kita menjaga hubungan baik dengan penganut agama lain. Kita bersahabat dengan mereka, saling silaturahmi, menjalin kerjasama bisnis, dan sebagainya. Semua itu boleh-boleh saja. Selama hubungan yang terjalin masih sebatas hubungan sosial kemanusiaan, tak ada yang perlu dipermasalahkan.
Tapi ketika sudah menyangkut ritual keagamaan dan sejenisnya, ini tidak boleh dilakukan karena sudah melanggar asas toleransi dan fanatisme. Ini adalah toleransi yang kebablasan. Ini adalah fanatisme yang lemah serta bobrok.
Toleransi yang kebablasan akan membuat kita kehilangan identitas (karena kita sibuk menyesuaikan diri dan mengekor pada orang lain). Fanatisme yang lemah akan membuat kita sangat permisif terhadap keyakikan dari golongan lain. Jalan tengahnya adalah melaksanakan toleransi yang pada tempatnya (toleransi umat beragama) dan fanatisme yang tetap menghargai perbedaan.
G. Dari Toleransi ke Sinkretisme; Sebuah Kekeliruan Besar
Di antara konsepsi-konsepsi yang dikatakan sebagai wajah atau jalan menuju pada toleransi agama yang menuju kepada sinkretisme adalah:
a. Semua agama adalah sama
Pandangan ini berbahaya. Sebab akibatnya akan mencampur-adukkan antara agama-agama, dan membuat orang hipokrit terhadap agamanya sendiri dan identitas agamanya akan hilang. Namun banyak tokoh agama yang mengatakan kalau semua agama adalah sama benarnya, demi persatuan. Tidak disadari, mereka telah berkata hal-hal yang bertentangan dengan nuraninya dan akal sehat, yang justru akan mengaburkan identitas setiap agama.
b. Agama campuran
Pandangan ini menjadikan semua agama semacam suatu syntesis saja, yang di dalamnya terdapat dasar-dasar dari semua agama yang dapat menjadikan semua pemeluknya rukun. Bisa dikatakan sebagai suatu aliran Theosofi, walaupun nama ini pada mulanya digunakan untuk sebutan yang menyatakan berbagai agama yang lebih menitik beratkan “pengetahuan tentang Tuhan” yang merupakan ajaran campuran dari bermacam agama.
c. Humanisme universil
Yang dimaksud adalah suatu ajaran dimana dasarnya ialah pemikiran untuk meninjau semua agama, diambil yang baik, yang sesuai dengan perkembangan dunia modern sekarang ini. Atau ajaran-ajaran yang dianggap baik oleh semua agama tersebut dan kemudian dijadikan suatu ikatan baru. Namun masing-masing pemeluk dari agamanya masih tetap dalam ikatan agamanya semula.
H. Paradoks Toleransi; Apakah Praktek Toleransi Membingungkan?
Cacat lahir gagasan toleransi adalah gagasan ini secara konseptual mengandaikan segala sesuatu – celakanya “intoleransi” termasuk di dalamnya – itu sejatinya ditolerir. Contoh kasus larangan terhadap Ahmadiyah, apapun yang kita lakukan, membiarkan atau menghujat FPI (Front Pembela Islam) karena mereka percaya bahwa Ahmadiyah itu sesat dan karenanya harus dibubarkan secepatnya, anda sudah bersikap intoleran. Entah karena Anda membiarkan anggota FPI bersikap intoleran kepada pengikut Ahmadiyah, atau karena Anda telah mencederai keyakinan anggota Ahmadiyah yang semestinya “dihormati” juga. Jadi, pertanyaannya bukan apakah sikap yang tidak toleran itu harus ditolerir atau tidak, tetapi apakah kita benar-benar bisa selalu bersikap toleran? Paradoks memang mungkin terjadi.
Toleransi itu ambigu. Kasus bulan puasa misalnya, siapakah yang semestinya menunjukkan toleransi? Mereka yang berpuasa atau yang tidak? Yang ada hanya orang yang marah-marah: “Dasar orang kafir tidak toleran!” atau “Orang Islam puasanya manja!.”
Kejadian di atas bisa untuk dihindari. Di sini perlu adanya pemahaman yang mendalam dan serius mengenai toleransi. Toleransi dilaksanakan tidak sepihak, dan toleransi yang benar tidak akan mungkin mendiskreditkan pihak lain. Dan komentar penyusun terhadap kasus FPI yang mengobar api untuk membubarkan Ahmadiyah, dia terlalu over-fanatik dan terlalu depan menanggapi dan menyelesaikan kasus terkait, padahal ada yang lebih berwenang menyelesaikan hal tersebut. Karena intervensinya yang berlebih dalam hal ini, oleh karenanya menimbulkan sedikit persengketaan dan ketersinggungan pihak lain.
Jadi, tidaklah praktek toleransi itu membingungkan antara toleransi di satu sisi dan intoleransi di sisi lain.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari sekian penjelasan di atas, maka yang menjadi perhatian adalah pada hakikatnya bukanlah toleransi itu sendiri. Namun meluasnya tindakan intoleran yang sudah hampir membudaya di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, negara harus mempunyai komitmen yang kuat untuk senantiasa mendorong demokratis yang meletakkan paradigma partisipasi sebagai bagian terpenting dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran. Toh, pada hakikatnya masyarakat sudah mampu, bahkan membumikan toleransi dalam kurun waktu yang panjang. Negara juga harus mampu melakukan fungsi proteksi dan regulasi bagi publik agar hak-hak asasi publik tidak dilecehkan oleh pihak lain.
Jalan menuju toleransi harus dimulai dari khazanah setiap agama, adat, dan kelompok masyarakat yang mempunyai konsern untuk membangun kembali toleransi yang mulai rapuh dan punah. Setiap agama dan kelompok masyarakat harus memprioritaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Dengan demikian, lambat-laun toleransi akan menemukan momentumnya di tengah menguatnya tindakan intoleren yang ada.
Demikianlah isi pemaparan kami yang sedikit menguak masalah yang terjadi di negara kita, salah satunya adalah toleransi yang kemudian menimbulkan munculnya istilah intoleransi di kalangan masyarakat. Sangatlah memungkinkan dalam makalah kami, masih banyak hal-hal yang sekiranya belum kami cantumkan di dalamnya. Oleh karena itu, kami meminta saran beserta kritiknya guna perbaikan makalah selanjutnya.
Terima kasih...
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kursyid. 1986. Islam dan Fanatisme. Bandung: Pustaka.
CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.
CD-ROM al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Global Islamic Software. 1991-1997.
DEPAG RI. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.
Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Http://prinsip-prinsip-toleransi-antara-umat-beragama
Http://toleransi/dalam/perspektif/agama-agama/dan/upacara/ritual/ceremonial
Http://reaktualisasi-toleransi–agama
Http://cetak/biru/toleransi/indonesia
Http://pluralisme-agama-toleransi
Http://batas-batas/toleransi/embun/tarbiyah
Http://halal-bihalal-dan-toleransi-beragama
Mahmud, Muhammad Badjuri. 1994. Reaktualisasi Islam dalam Hidup Keberagamaan. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.
Misrawi, Zuhairi. 2007. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta Selatan Indonesia: Fitrah.
Shadily, Hassan dan John M. Echols. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
www.kompas.com
[1] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 23.
[2] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 22.
[3] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 245-249
[4] Zuhairi Misrawi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. (Jakarta Selatan Indonesia: Fitrah, 2007), hlm. 180.
[5] Dalam Bukhori 5560 disebutkan
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar