Pendahuluan
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali)”.(Q.S. al-Baqarah: 155-156)
Kematian adalah peristiwa alamiah yang pasti dialami oleh semua makhluk. Ia akan datang dengan tiba-tiba, akan menjemput siapa saja. Bukan yang paling siap, bukan pula berdasarkan abjad, usia, derajat, dan lain-lain. Namun, ia akan datang menyapa siapa saja yang Allah kehendaki dengan mengutus malaikat maut kepadanya. Tidak peduli; kepada bayi, remaja, dewasa, orang tua, miskin, kaya, atasan dan bawahan. Semua akan dijemput.
Jika demikian, yang menjadi masalah bukanlah kematian[1], karena ia akan segera datang cepat ataupun lambat. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita mempersiapkan diri menghadapinya. Entah itu mempersiapkan diri untuk menghadapinya secara langsung maupun mempersiapkan diri untuk rela ditinggalkan oleh orang yang kita cintai.
Dalam makalah ini, sedikit banyak penulis akan memaparkan hadis yang mengundang kontroversi dikalangan ulama. Yakni hadis Rasul saw tentang “mayit disiksa karena ratapan keluarganya”. Kontroversi para Ulama tidak semata-mata muncul begitu saja, kontroversi ini muncul berdasarkan adanya kontroversi dikalangan shahabat sendiri, yakni antara Umar bin Kaththab dan Aisyah, isteri Rasulullah saw. Hal ini menjadi penting untuk kita renungkan sebagai suatu peringatan bagi orang yang masih hidup terutama keluarga yang ditinggal mati.
Pembahasan
Kehidupan didunia ini tidaklah abadi selamanya, disana terdapat kebersamaan yang selalu tidak lepas dari adanya perpisahan. Setiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda dikala ia harus berpisah dengan orang yang ia sayangi. Dalam sebuah hadis, Rasulullah mengajarkan kita suatu sikap dalam meghadapi musibah maut tersebut. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya[2]:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ تُوُفِّيَتْ ابْنَةٌ لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ وَجِئْنَا لِنَشْهَدَهَا وَحَضَرَهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَإِنِّي لَجَالِسٌ بَيْنَهُمَا أَوْ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى أَحَدِهِمَا ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَدْ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ بَعْضَ ذَلِكَ ثُمَّ حَدَّثَ قَالَ صَدَرْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ مَكَّةَ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا هُوَ بِرَكْبٍ تَحْتَ ظِلِّ سَمُرَةٍ فَقَالَ اذْهَبْ فَانْظُرْ مَنْ هَؤُلَاءِ الرَّكْبُ قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا صُهَيْبٌ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ادْعُهُ لِي فَرَجَعْتُ إِلَى صُهَيْبٍ فَقُلْتُ ارْتَحِلْ فَالْحَقْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ دَخَلَ صُهَيْبٌ يَبْكِي يَقُولُ وَا أَخَاهُ وَا صَاحِبَاهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا صُهَيْبُ أَتَبْكِي عَلَيَّ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عِنْدَ ذَلِكَ وَاللَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَاللَّهِ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا شَيْئًا
Artinya:
“Dari Ubaidillah bin Abu Mulaikah berkata: salah seorang putri Utsman meninggal dunia di Makkah, kami datang untuk melayat dan menshalatkan jenazahnya. Demikian pula ibn Umar dan Ibn Abbas ra yang masing-masing duduk disampingku. Lalu Abdullah bin umar berkata kepada ‘Amr : “Apakah anda tidak mencegah orang-orang yang menangis itu? Bukanlah Rasulullah saw bersabda bahwa orang mati yang ditangisi keluarganya akan beroleh siksa?” kemudian berkatalah Ibn Abbas :”memang Umar pernah berkata seperti itu”, kemudian Abbas berkata lagi:’aku pernah keluar dari makkah bersama-sama Umar, ketika sampai di Baida’, ketika itu, kami bertemu dengan satu kafilah dibawah naungan pohon, kemudian Umar menyuruh saya untuk melihat siapakah mereka? Setelah saya melihatnya, ternyata mereka adalah kafilah shuhaib. Kemudian saya melaporkannya kepada Umar. Umar pun berkata: ‘undanglah ia (shuhaib) kapadaku. Kemudian saya kembali kepada shuhaib, dan berkata:’pergilah, temuilah Amirul mukminin!’. Ketika Umar tertikam, shuhaib datang sambil menangis dan berkata: “‘Aduhai Umar, saudaraku!’ kemudian Umar berkata: ‘apakah engkau menangisiku? tidakkah engkau tahu bahwa Rasulullah saw pernah bersabda bahwa orang mati yang ditangisi keluarganya akan beroleh siksa?” kemudian Ibn Abbas berkata: ‘setelah Umar wafat, kemudian saya menceritakan hal tersebut kepada Aisyah. Aisyah berkata: ‘semoga Allah merahmati Umar! Demi Allah Rasulullah saw tidak pernah bersabda bahwa mayat seorang mukmin akan disiksa karena ratapan keluarganya. Melainkan Rasulullah saw bersabda: Allah akan menambah siksa atas orang kafir karena ratapan keluarganya atas dirinya’. Aisyah kemudian berkata lagi: cukuplah ayat al-Quran bagi kalian:’ Tidaklah seseorang menanggung dosa seorang lainnya’. Ketika itu Ibn Abbas berkata: ‘Allah juga adalah dzat yang suka tertawa dan menangis. Ibn Mulaikah berkata: ‘Demi Allah Ibn Umar tidak memberi komentar apa-apa atas keterangan Ibn Abbas tersebut!”
Setelah dilakukan proses takhrij berkenaan dengan hadis diatas, dapat kita jumpai bahwa ternyata ada hadis lain yang bernada sama dengan hadis di atas. Hadis-hadis tersebut dapat dilacak didalam kitab:
No. | Sumber Rujukan | Kitab | Bab | Kualitas |
1 | Shahih Bukhari, No. 1206, 1208, 1210 | Janāiz | Qaul al-Nabi saw yu’ażżab al-mayyitu bi ba’di bukā’i ahlihi | sahīh |
2 | Shahih Muslim, · 1536-1540, 1542-1544, 1546, 1548 · 1541,1545 | Janāiz | Bab al-mayyitu yu’ażżab bi bukā’i ahlihi | · sahīh · hasan |
3 | Sunan Turmużī no.923 | Janāiz | Bab mā jā’a fī karāhiat al-bukā’ ‘ala al-mayyit | hasan |
4 | Sunan al-Nasā’i No. 1830 1835 | Janāiz | Al-niyāhah ‘ala al-mayyit | sahīh hasan |
5 | Sunan Ibn Mājh no.1582 | mā jā’a fī al-janāiz | Bab mā jā’a fī al-mayyit yu’ażżab bi mā nīha ‘alaihi | sahīh |
6 | Musnad Ahmad bin Hanbal, · 274 · 363 · 4633 · 4719, 5011, 5906 | Musnad al’asyrah al-mubasysyirīn bi aljannah. Musnad al-Mukatstsirin min al-Shahabah | Baqi al-Musnad al-Sabiq | · sahīh · hasan · hasan · sahīh |
Setelah menela’ah hadis-hadis diatas, ternyata hadis-hadis tersebut mayoritas diriwayatkan oleh Umar dan beberapa hadis diriwayatkan oleh Aisyah. Sejauh pembacaan penulis, setidaknya hadis-hadis tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua:
· hadits yang menyatakan bahwa mayyit diadzab karena ratapan keluarganya. Hadis-hadis ini hampir semuanya diriwayatkan oleh Umar bin Khattab dan dua diantaranya oleh anaknya, Abdullah Ibn Umar. Diantaranya: sahīh al-Bukhari, No. 1208, 1210; Shahih Muslim, No. 1536-1542, 1545, 1546; Sunan Turmużī no.923; Sunan al-Nasā’i no. 1830; Sunan Ibn Mājh no.1582; Musnad Ahmad bin Hanbal, no.274, 363, 5011[3], dan 5906[4].
· hadis yang menolak hadis tentang mayyit diadzab karena ratapan keluarganya karena bertolak belakang dengan ayat al-Quran: ‘Tidaklah seseorang menanggung dosa seorang lainnya.” (Q.S. al-An’am:146), yakni hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah. Diantaranya: sahīh al-Bukhari, No. 1206; Shahih Muslim, no.1543, 1544, 1548; Sunan al-Nasā’i no.1835[5]; Musnad Ahmad bin Hanbal, no.4633 dan 4719.
Penjelasan hadis
Musibah kematian merupakan salah satu musibah yang besar. Sebagian orang dapat menerimanya dengan lapang dada, namun sebagian lagi menolaknya bahkan terkadang mereka sampai kehilangan akal mereka dan meratapinya terus menerus. Sebelum memahami hadis ini, kita perlu menengok sejarah yang menjadi setting munculnya hadis ini.
Pada masa jahiliyyah bahkan sampai diutusnya Nabi, kita akan dapatkan kebiasaan jelek masyarakat arab pada waktu itu. Dimana jika salah seorang keluarga mereka meninggal, mereka akan meratapinya dengan tangisan dan teriakan-teriakan yang sangat histeris bahkan sampai menyobek-nyobek bajunya, memukul wajahnya, menjambak rambut dan sebagainya.[6] Hal ini umumnya dilakukan oleh wanita-wanita pada masa itu. Bahkan terkadang pihak keluarga membayar orang untuk meratapi si mayat, karena pada waktu itu semakin banyaknya orang yang meratapi kematian seseorang merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi keluarga si mayat.
Hadis yang diriwayatkan Umar dan anaknya, memberikan informasi kepada kita, bahwa seorang mayat akan disiksa karena ratapan orang yang masih hidup. Hadis ini turun berkenaan dengan konteks masyarakat diatas.[7] Dalam redaksi lain disebutkan karena ratapan keluarganya. Namun, ketika hadis tersebut dihadapkan kepada Aisyah, isteri Rasul saw, beliau menolaknya dengan alasan hadis tersebut bertentangan dengan ayat al-Qur’an surat al-An’am ayat 146 serta Rasul saw tidak pernah mengatakan demikian. Adapun hadis yang didengar Aisyah berbunyi bahwa Allah akan menambah siksa orang kafir karena ratapan keluarganya. Namun, Ibn Hajr al-‘Asqalānī dalam syarh Bukhārī mengatakan karena lafadznya umum maka hadis ini bersifat umum baik bagi orang kafir maupun mukmin.[8] Sedangkan al-Nawawi mengomentari bahwa orang kafir tersebut disiksa karena kekafiran keluarganya ketika meratapi kematian bukan karena ratapannya[9].
Kontroversi antara dua shahabat mengenai hadis diatas, menurut al-Ghazali sikap ummul mukmininlah yang dijadikan dasar untuk menguji validitas sebuah hadis yang telah berpredikat sahih, dengan berdasar pada nash-nash al-Qur’an, kitab suci yang tiada tersentuh oleh kebatilan dari arah manapun juga.[10]Jadi, menurut Muhammad al-Ghazali, orang mati yang mukmin tidak akan disiksa karena ratapan keluarganya, orang kafirlah yang akan ditambah siksanya oleh Allah karena ratapan keluarganya atas dirinya.
Dalam memahami hadis yang diriwayatkan Umar yang dianggap bertentangan dengan al-Qur’an padahal bernilai sahih, perlu adanya penafsiran yang lebih lanjut karena tidak mungkin apa yang dikatakan Rasulullah bertentangan dengan al-Qur’an maupun perkataan Rasul yang lain. Setidaknya, para Ulama telah memberikan penafsiran mengenai hadis ini. Diantaranya: tafsiran pertama, Hadits tersebut berlaku bagi mayit yang ketika hidupnya dia mengetahui bahwa keluarganya (anak dan istrinya) pasti akan meronta-ronta (nihayah) apabila dia mati. Kemudian dia tidak mau menasihati keluarganya dan tidak berwasiat agar mereka tidak menangisi kematiannya. Orang seperti inilah yang mayitnya akan disiksa apabila ditangisi oleh keluarganya. Adapun orang yang sudah menasihati keluarganya dan berpesan agar tidak berbuat nihayah, tapi kemudian ketika dia mati keluarganya masih tetap meratapi dan menangisinya (dengan berlebihan), maka orang-orang seperti ini tidak terkena ancaman dari hadits tadi. Demikianlah, ketika kita memahami tafsir hadits di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa hadits shahih tersebut tidak bertentangan dengan bunyi ayat:”Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain”. Karena pada hakikatnya siksaan yang dia terima adalah akibat kesalahan atau dosa dia sendiri yaitu tidak mau menasihati dan berdakwah kepada keluarga. Inilah pendapat jumhur ulama.[11]
Tafsiran kedua, diungkapkan oleh syaikh al-Islam Ibn Taimiyah Rahimahul-lah di beberapa tulisan beliau bahwa yang dimaksud dengan azab (siksaan) dalam hadits tersebut adalah bukan adzab kubur atau azab akhirat melainkan hanyalah rasa sedih dan duka cita. Yaitu rasa sedih dan duka ketika mayit tersebut mendengar ratap tangis dari keluarganya.[12]
Selanjutnya, al-Nawawi menyimpulkan bahwa menangis ketika ditinggal mati diperbolehkan asal tidak disertai dengan ratapan-ratapan yang berlebihan seperti teriakan-teriakan dan sebagainya. Hanya tetesan air mata saja itu diperbolehkan[13] sebagaimana Nabi juga pernah meneteskan air mata ketika putranya meninggal. Hal tersebut tergambar dalam hadis yang bernilai hasan yang diriwayatkan oleh imam Turmużī dalam Sunannya:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ خَشْرَمٍ أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَخَذَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَانْطَلَقَ بِهِ إِلَى ابْنِهِ إِبْرَاهِيمَ فَوَجَدَهُ يَجُودُ بِنَفْسِهِ فَأَخَذَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعَهُ فِي حِجْرِهِ فَبَكَى فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَتَبْكِي أَوَلَمْ تَكُنْ نَهَيْتَ عَنْ الْبُكَاءِ قَالَ لَا وَلَكِنْ نَهَيْتُ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ فَاجِرَيْنِ صَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ وَفِي الْحَدِيثِ كَلَامٌ أَكْثَرُ مِنْ هَذَا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ[14]
Hadis diatas menerangkan bahwa ketika putra Nabi saw, Ibrahim, meninggal: nabi pun menangis. Ketika ditanya oleh Abdur Rahman akan sebab apa yang membuat beliau menangis, bukankah Nabi sendiri melarang menangisi kematian seseorang? Maka jawab Nabi beliau hanya melarang ratapan-ratapan yang berlebihan seperti teriak-teriak, merobek-robek baju, serta memukul-mukul wajah dan lain sebagainya.
Analisa
Mengacu pendapat-pendapat diatas mengenai apakah mayat akan disiksa karena ratapan keluarganya, penulis mencoba memahami pesan apakah yang disampaikan Rasul saw untuk umatnya melalui hadis ini?
Menyikapi hadis ini, hemat penulis yang menjadi permasalahan bukanlah benar atau tidaknya hal tersebut. Umat Islam sering kali disibukkan dengan permasalahan benarkah adanya? Sedangkan makna yang terkandung didalamnya terabaikan. Hal ini menjadi sebuah perdebatan yang sangat hebat dikalangan umat Islam bahkan menjadikan umat Islam terpecah-pecah dan berbeda pendapat akan adanya siksa dan nikmat kubur serta manfaat amal dunia yang diperuntukkan bagi orang yang sudah meninggal.
Hadis tersebut muncul dalam konteks masyarakat yang mempunyai kebiasaan buruk yaitu meratapi keluarganya yang meninggal secara berlebihan. Maka, jelaslah bahwa hadis ini muncul untuk memberi peringatan kepada mereka supaya menghilangkan kebiasaan buruk mereka. Entah itu orang kafir apalagi mukmin. Karena tidak sepantasnyalah orang mukmin berbuat demikian, karena hal itu bukanlah termasuk sifat dari orang mukmin.
Salah satu semangat yang amat penting yang terkandung dalam hadis tersebut adalah perintah untuk bersabar ketika ditimpa musibah khususnya musibah kematian. Yang mana sabar terletak pada goncangan musibah pertama kali. Seperti sabda Rasul yang diriwayatkan oleh imam muslim dalam shahihnya[15] :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى
Artinya:
“dari Tsabit dan Anas bin Malik berkata: Rasulullah SAW bersabda: sabar itu terletak pada goncangan yang pertama kali.”
Al-Qur’an juga menyebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 155-156:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun (Sesungguhnya Kami adalah milik Allah dan kepada-Nya-lah Kami kembali)”.(Q.S. al-Baqarah: 155-156)
Pesan selanjutnya yaitu pentingnya mendidik keluarga sehingga satu sama lain tidak akan saling menjerumuskan kedalam jurang api neraka. Sebagaimana firman Allah surat al-Tahrim ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”
Telah dijelaskan diatas bahwa siksa ratapan keluarga dikhususkan bagi mereka yang tidak berwasiat kepada keluarganya untuk tidak meratapinya ketika ia meninggal. Jadi, siksa itu bukanlah karena ratapannya melainkan karena perbuatan si mayat sendiri ketika ia masih hidup ia tidak mendidik keluarganya. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan perbuatan masing-masing dihadapan-Nya, tidak ada satu orang pun yang akan menanggung perbuatan orang lain.
Kesimpulan dan penutup
Dalam menyikapi hadis-hadis eskatologis, tidak sepantasnyalah kita mempertanyakan kebenaran adanya hal tersebut. Karena hal itu Allahlah Yang Maha Mengetahui. Namun, yang lebih penting bagaimana sikap kita dalam menangkap pesan utama yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut. Seperti halnya dalam memahami hadis tentang mayat yang disiksa karena ratapan keluarganya. Ada pesan penting yang terkandung didalamnya, yakni sabar ketika ditimpa musibah.
Kiranya demikianlah makalah yang dapat penulis sajikan, ucapan terima kasih tak lupa disampaikan kepada bapak Dr, Agung Danarta, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Hadis III. Namun penulis menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kekeliruan, sehingga masih jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Ghazali, Muhammad. 1996. Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW. Terj. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan
CD Mausu’ah al-Hadits al-Syarif. Shahih al-Bukhari. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Shahih Muslim. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Sunan al-Tirmidzi. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Sunan al-Nasā’i. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Sunan Ibn Mājah. Global Islamic Software, 1991-1997.
__________________________ Musnad Ahmad bin Hanbal. Global Islamic Software, 1991-1997.
DVD al-Maktabah al-Syamilah. Fath al-Bārī.
_______________________, Syarh Muslim al-Nawāwī.
_______________________, Tuhfah al-Ahwadzi.
Munawwir, Ahmad Warson. 2002. Al Munawwir; Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Murad, Mushtafa. 2006. Saat Malaikat Maut Menjemput Orang-orang Shaleh. Jakarta:Pustaka al- Kautsar.
[1] Mushtafa Murad, Saat Malaikat Maut Menjemput Orang-orang Shaleh, (Jakarta:Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.ix.
[2] Hadis Riwayat Bukhari, Shahih al-Bukhari, Kitab al-Janāiz, Bab Qaul al-Nabi saw yu’ażżab al-mayyitu bi ba’di bukā’i ahlihi, No. 1206, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[4] Hadis ini juga diriwayatkan olah Abdullah Ibn Umar.
[5] Hadis ini menolak adanya siksa bagi mayyit mukmin yang diratapi keluarganya, namun bagi orang kafir, Allah akan menambah siksaannya jika ia diratapi oleh keluarganya.
[6] Syaraf al-Din al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, (CD. ROM. Al-Maktabah al-Syāmilah) Kutub al-Barnāmij fī syurūh al- hadīs. Vol III, hlm. 339.
[8] Ibn Hajr al-‘Asqalānī, Fath al-Bārī, (CD. ROM. Al-Maktabah al-Syāmilah) Kutub al-Barnāmij fī syurūh al- hadīs. Vol IV, hlm. 332.
[10] Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis Atas Hadis Nabi SAW, Terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1996), hlm.31.
[11] Syaraf al-Din al-Nawawi, Syarh Shahih Muslim,...bandingkan dengan Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi, Penjelasan Atas Hadis Riwayat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al- Janāiz, Bab mā jā’a fī karāhiat al-bukā’ ‘ala al-mayyit, No. 923, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[12] Dikutip dari “Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur’an” Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani rahimahullah
[14] Hadis Riwayat al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Janāiz, Bab mā Jā’a fī al-rukhsah fī al-bukā’ ‘alā almayyit, No. 926, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
[15] Hadis Riwayat Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Janāiz, Bab Fī Al- Sabri ‘Alā Al-Musībah ‘Inda Al- Sadmat Al-Ūlā, No. 1534, CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar