A. Pendahuluan.
Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia. Kitab suci itu mempunyai banyak fungsi, antara lain sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia, yakni petunjuk menuju keselamatan dan kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mengetahui nilai petunjuk kalamullah tersebut, kiranya perlu dilakukan usaha penelitian dan pengkajian terhadapnya. Kitab suci yang lebih dikenal dengan nama al-Furqan diturunkan Allah swt dalam bentuk yang lengkap dan sempurna.[1]
Karena, al-Qur’an adalah kitab terakhir yang berfungsi sebagai pelengkap dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya. Di samping itu, kalamullah juga memberikan dasar-dasar aturan, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, hubungan dengan sesama manusia, serta mengatur kepentingan mereka secara umum.
Perbincangan tentang (t)uhan adalah perbincangan yang sulit, demikian kata Karen Armstrong. Namun, kaum monoteis bersikap positif tentang bahasa sambil tetap menyangkal kapasitasnya untuk mengekspresikan realitas transenden.[2] Tidak sedikit dari kaum monoteis yang mencoba mencari tahu tentang Tuhannya, bagaimana dapat mengenal (mencinta) dan dikenal (dicintai) oleh Tuhan. Manusia yang demikian dalam al-Qur'an disebut dengan rabani.
Kata rabbani sendiri biasanya ditujukan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan), atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para nabi dan Rasul Tuhan, jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya.[3] Asumsinya, manusia rabbani adalah manusia yang mampu dan sering melakukan komunikasi dengan Tuhannya. Tulisan ini mencoba mencari tahu apa makna dan konsep rabbani dalam al-Qur'an surah Ali Imran ayat 79, dan seperti apa sebenarnya manusia rabbani itu dalam perspektif ilmu semantik.
B. Konsep Rabbani dalam al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 79.
Sebagai dasar pembahasan konsep rabbani dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 79, maka pada bagian ini terlebih dahulu akan dibahas berbagai aspek yang berhubungan dengan seluk beluk ayat tersebut. Dalam hal ini akan dijabarkan pembahasan lafal dan terjemahnya, asbab an-nuzul, dan penafsiran para ulama. Teks lafal dan terjemah Qs: Ali Imran: 79 adalah sebagai berikut :
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan ke-Nabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”. Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al- Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Q.S.Ali Imran/3:79).
Arti Kata-kata (al-mufradat) ayat ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
البشر adalah manusia, yaitu manusia secara umum baik lelaki atau wanita, satu atau banyak.[4] Menurut Ibnu Abbas dan Atho’, al-Basyaar berarti Nabi Isa atau Nabi Muhammad saw.[5] Dengan demikian kata al-basyar di sini memiliki arti umum yang tidak terpancang pada jenis kelamin ataupunnyang lainya.
الحكم: Hikmah, yaitu pengetahuan mengenai al-Kitab dan rahasia-rahasianya, yang hal ini memerlukan pengamalan, dan pengetahuan yang mendalam.
العباد : Al-‘Ibad: bentuk tunggalnya ‘abdun dengan makna ‘abidun orang yang menyembah (hamba). Al-‘Ibad merupakan bentuk jama’ dari ‘abdun, yang artinya hamba.
الربانيين : Ar-Rubbaniyyin, bentuk tunggalnya rubbani yang dinisbatkan kepada lafadz rabb dengan mendapatkan tambahan alif dan nun,[6] yang berfungsi untuk tafkhim yang berarti ‘ulama ‘alimin.[7] Sebagaimana dikatakan Sibawaih, artinya adalah dikaitkan dengan Tuhan dan taat terhadap-Nya.[8] Dikatakan bahwa Rajulun Ilahy artinya bila ia selalu taat kepada Allah dan mengetahui-Nya. Diriwayatkan, bahwa Muhammad ibnu Hanafiyah berkata sewaktu wafatnya ibnu Abbas, ”pada hari ini, telah wafat seorang rubbaniy umat ini. Menurut Ibnu Abbas rubbaniyyin di sini berarti .حكماء – علماء - والحلماء yang berarti orang yang cerdik, orang yang berilmu dan orang yang santun.[9]
Sementara itu, sebab-sebab diturunkannya (asbab al-nuzul) ayat di atas adalah: “dalam suatu riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari al- Baihaqi yang bersumber dari Abbas dikemukakan, ketika pendeta kaum Yahudi dan kaum Nashrani Najran berkumpul di hadapan Rasulullah saw., dan diajak masuk Islam, berkatalah Abu Rafi’: “Ma’adzallah (Aku berlindung kepada Allah dari itu)”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut, sebagai sanggahan bahwa tiada seorang Nabi pun yang mengajak kepada umatnya sendiri untuk menyembah dirinya sendiri.[10]
Dalam riwayat lain yang disebutkan oleh Abdul Razaq yang bersumber dari al-Hasan mengemukakan bahwa seorang laki-laki menghadap Rasulullah saw., dan berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mengucapkan salam kepada tuan sebagaimana memberi salam kepada teman kami, apakah tidak perlu sujud kepada tuan? Nabi menjawab: ”Jangan, cukup kamu menghormat Nabimu dan memberitahukan yang hak kepada yang layak kau beritahu, karena sesungguhnya tidak dibenarkan seorang bersujud kepada selain Allah”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut sebagaimana penegasan atas ucapan Rasulullah.[11]
Setelah diketahui bagaimana makna kata dan asbab al-nuzul-nya, maka akan dijelaskan bagaimana penafsiran beberapa ulama terhadap ayat ini. Menurut Musthafa al-Maraghi, ayat ini menjelaskan bahwa Nabi yang telah diberi al-Kitab dan al-hikmah memerintahkan agar menjadi manusia yang rabbani secara lansung, tidak melalui perantara atau tawasul. Nabi memberikan petunjuk kepada mereka pada wasilah hakiki yang dapat mengantarkan seseorang ke arah rabbani, yaitu mengajarkan al-Kitab dan mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu al-kitab, mengajarkan, dan mengamalkannya seorang bisa menjadi rabbani yang diridlai Allah. Ilmu yang tidak bisa membangkitkan amal bukanlah ilmu yang benar.[12]
Pendapat ini lebih menekankan contoh keimanan yang dimiliki oleh manusia rabbani agar selalu mengesakan Allah dalam hal apapun. Sehingga dalam hal ini manusia rabbani dituntut untuk menjadi teladan bagi keimanannya untuk masyarakat sekitarnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Menurut Hasbi ash-Shiddiqie, ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt. memandang tawasul (beribadah atau melakukan acara agama dengan perantara orang lain) sama dengan menjadikan beberapa Tuhan selain Allah. Para Rasul itu hanya menunjukkan kepada manusia tentang jalan yang benar atau menyampaikan apa yang menjadi tugasnya, yaitu mengajarkan al-Kitab dan mempelajarinya. Dengan mengetahui isi al- Kitab dan mengamalkannya maka menjadi seorang sebagai manusia yang rabbani (hidup menurut aturan Tuhan). Ayat ini juga mendorong (memotivasi) orang yang berilmu untuk beramal dan menunjukkan bahwa ilmu dan penebarannya itulah yang menjadikan kita rabbani (dipancari sinar ketuhanan). Orang yang mempelajari ilmu tanpa adanya keikhlasan tidak akan memperoleh keridlaan dari Allah. Dirinya sama dengan pohon yang tidak memberikan kemanfaatan apa pun, karena pohon itu tidak berbuah.[13]
Pendapat ini lebih menekankan agar manusia rabbani harus selalu menjadikan Allah sebagai tempat meminta baik itu meminta ilmu, rizqi maupun yang lainnya.
Menurut Ibnu Katsir, dalam ayat ini Allah swt. berfirman: Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Akan tetapi seseorang Rasul akan berkata kepada manusia, “Jadilah kamu orang-orang rabbani! ”yakni, Ulama’ yang ahli fiqih, ahli ibadah dan bertaqwa.[14] Dengan demikian manusia rabbani harus menjadi contoh dan teladan bagi umat yang dipimpinnya.
Pendapat ini lebih menekankan agar manusia rabbani selalu bertaqwa, beriman kepada Allah dimanapun tempatnya dan selalu mempelajari segala ilmu yang berkaitan dengan pengetahuan sehingga akan menjadi orang yang alim.
Menurut Hamka, ayat ini menjelaskan bahwa Nabi-nabi hanya mengajak agar manusia berhubungan langsung kepada Allah. Nabi hanya sebagai penunjuk jalan, mengajarkan bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan dzikir, sembahyang dan ibadah lain yang diajarkan Allah sendiri dengan perantara Rasul itu. Nabi tidak menyuruh supaya pengikutnya itu menjadi budak-budak penyembah Nabi, tetapi menuntut agar manusia itu menjadi keluarga yang sangat dekat dengan Tuhan. Orang yang sangat dekat dengan Tuhan itu disebut rabbani.[15]
Pendapat ini lebih menekankan agar manusia rabbani menjadi teladan dalam hal ibadah yang berkaitan dengan Allah sebagai Tuhannya, baik itu yang dilakukan secara berjama'ah maupun secara individu.
Dari pendapat beberapa mufassir dapat dipahami bahwa seorang yang mengetahui dan mengamalkan isi kandungan al-Qur’an akan menjadi manusia yang rabbani (dipancari sinar ketuhanan) dalam kehidupannya, sehingga orang tersebut akan selalu mempunyai kepribadian yang luhur sehingga akan menjadikan contoh bagi lingkungan disekitarnya dan bagi umat Islam pada umumnya. Orang yang memiliki kepribadian luhur tanpa dilandasi dengan nilai-nilai rabbani tentunya tidak akan memperoleh keridhaan. Begitu pula orang yang dipancari dengan sinar ketuhanan dituntut untuk selalu mengembangkan kepribadian yang luhur, yang ada dalam dirinya sesuai dengan tuntutan zaman, terutama yang berkaitan dengan moral, tatakrama, adab dan kepribadian seseorang, sehingga orang tersebut akan menjadai uswah atau teladan. Sebab, ia mendapat tuntutan untuk selalu berpegang teguh sesuai dengan tuntutan Allah swt.
C. Analisa Semantik terhadap Pengertian Rabbani dan Konsep Rabbani dalam Surah Ali Imran: 79.
Kemunculan semantik sebagai bagian dari linguistik[16] yang dimunculkan oleh "Braille"di akhir abad 19 – ini masih menjadi perdebatan terhadap munculnya semantik sebagai disiplin ilmu makna – dengan judul tesisnya Essai de Semantique[17] merupakan suatu perkembangan terhadap kebutuhan makna dalam ilmu kebahasaan. Semantik melakukan upaya pemaknaan terhadap simbol-simbol teks yang berakar dari teks itu sendiri. Pembagian pamahaman makna dalam semantik disajikan dengan beragam latar belakang, mulai dari makna dalam perbedaan suara (fonetik), makna dalam perbedaan gramatikal, makna dalam perbedaan leksikal, dan makna dalam perbedaan sosiolinguistik. Sedangkan pada proses berikutnya semantik lebih memahami pada kontekstulitas teks untuk menghasilkan sebuah makna. Semantik lebih banyak berputar pada psikologi simbol teks sehingga menghasilkan sebuah makna, sedangkan semiotik melakukan pendekatan sosiologi simbol benda dalam menghasilkan makna.
Dalam semantik, pergulatan dalam analisa makna suatu teks terus berkembang hingga saat ini, baik yang menganalisa dari unsur leksikal, gramatikal, maupaun kontekstual. Masing-masing memiliki daya analisa yang sambung, yang tidak dapat dilepaskan dalam kajian semantik. Pendekatan semantik dalam menafsirkan al-Qur’an lebih nampak pada pemaknaan yang mereposisikan teks al-Qur’an pada tekstualitas dan kontekstualitasnya. Selanjutnya semantik sebagai bagian dalam ilmu kebahasaan memberikan daya tambah terhadap dimensi bahasa dan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
Toshihiko Izutsu,[18] lebih jauh mengglobalkan pemaknaan al-Qur’an dalam dimensi makna dasar dan makna relasional. Analisa ini mempunyai kecenderungan pemaknaan yang sangat luas dari segala dimensi pembentukan ayat-ayat al-Qur’an. Satu sisi semantik memang memiliki daya teori yang mampu mengungkap makna teks yang lebih baik. Ini membuktikan bahwa antara semantik dan al-Qur’an sama-sama memiliki karakteristik penganalisaan. Al-Qur’an sebagai kitab suci yang membawa segala simbol yang menyertai teksnya, baik secara idiologi, kesejarahan, norma, dan segala segmen kehidupan kemanusiaan yang terkandung dalam al-Qur’an. Sedangkan semantik secara disiplin keilmuan membentangkan analisa teks yang sangat khusus sebagai ilmu bantu bahasa.
Menurut Izutsu Tuhan (Allah) dalam al-Qur'an adalah satu-satunya Wujud yang pantas disebut “wujud”, (R)ealitas di mana tidak satupun di seantero dunia ini yang dapat melawan-Nya. Secara semantik rabb (Tuhan) adalah kata fokus tertinggi dalam kosa-kata al-Qur'an, yang menguasai seluruh medan semantik, bahkan seluruh sistem. Kata Allah (rabb) ini di lwankan dengan kata “manusia “(‘abd atau rabbani). Sebab, manusia, sifatnya, perbuatan, psikologi, kewajiban, dan tujuannya juga menjadi pusat perhatian pemikiran al-Qur'an. Dalam hal ini, bagaimana manusia bereaksi terhadap firman Tuhan menjadi persoalan yang utama.[19]
Reaksi manusia terhadap firman Tuhan sangat beragam. Manusia (al-insan) yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah sebagai reaksi atas firman-Nya di dalam al-Qur'an di sebut dengan rabbani.Dalam bahasa Arab maupun al-Qur’an istilah rabbani sama dengan rabbaniyyah, yakni masdar shina’i (masdar bentukan) yang dinisbatkan kepada rabb yang berarti Tuhan. Rabba berasal رب – يرب , yang berarti
نشاء الشيئ من حال الى حال الى حال الثمام
(Mengembangkan sesuatu dari suatu keadaan pada keadaan lain, sampai kepada keadaan yang sempurna).[20] Huruf Ya’ yang berada di belakangnya adalah ya’ nisbah, (ya’ untuk membangsakan). Artinya, penisbatan tersebut ditujukan kepada rabb atau Allah swt.,[21] yaitu orang yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah,[22] dan akan diangkat derajatnya yang setinggi-tingginya oleh Allah swt.[23] Oleh karena itu, rabbani adalah orang yang dibangsakan kepada Tuhan. Kata rabbani biasanya juga ditunjukkan kepada manusia sebagai julukan (laqab) manusia rabbani (orang yang dididik Tuhan),[24] atau dapat bermakna semangat berketuhanan, yang merupakan inti dari semua ajaran para Nabi dan Rasul Tuhan,[25] jika tali hubungannya dengan Allah sangat kuat, tahu dan mengamalkan ajaran agama maupun kitabnya.
Dengan demikian, istilah rabbani diturunkan dari ar-Rabb dengan pengertian sebagai at-Tarbiyyah.[26] Demikianlah arti kata “Rabb” yang sebenarnya adalah salah besar yang tidak dapat ditoleransikan dan membatasi artinya hingga menjadi hanya memelihara, pembimbing. Sebab, istilah rububiyyah mencakup banyak arti yang luas: pertama, memelihara dan menjamin atau memenuhi kebutuhan yang dipelihara. Sebagaimana diterangkan dalam al-Qur'an surat Yusuf ayat 23.
قال معاذالله انه ربي احسن متواي
Kata (Yusuf) Aku berlindung kepada Allah, Aku tidak akan menghianati tuanku yang memeliharaku baik-baik ".
Kedua, membimbing serta mengawasi di samping memperbaiki segala hal sebagaimana firman Allah dalam surat as-Syu'ara ayat 77-80.
فانهم عدو لى الا رب العالمين الذى خلقنى فهو يهدين والذى هو يطعمنى ويسقين واذا مرضت فهو يشفين
Sesungguhnya apa yang kamu dan nenek moyang kamusembah itu, adalah musuhku semua, kecuali Rabbal 'alamin, yaitu yang menciptakan aku, maka Dialah yang memberika aku petunjuk. Dan dialah menjamin makan dan minumku, apabila aku sakit maka Dia jugalah yang menyembuhkan".
Ketiga, mengandung makna pemimpin sebagaimana firman Allah
هو ربكم واليه ترجعون
Dia adalah Rabb kamu, dan kamu semua dikembalikan kepada-Nya (Qs: Hud 24).
Keempat, mengandung makna kepala yang diakui kekuasaannya, berwibawa dan yang semua perintahperintahnya dipatuhi dan diindahkan sebagaimana firman Allah
ولا يتخد بغضنا بعضا اربابا من دون الله
Dan kita tidak saling menjadikan Rabb-rabb (Tuhan) selain Allah (Qs: Ali Imron : 64).
Kelima, makna raja dan pemilik, sebagaiamana firman Allah
سبحان ربك رب العزة عما يصفون
Maha suci Tuhanmu, Tuhan yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakana (Qs: as-Shoffa : 180)
Berangkat dari keterangan di atas, maka dapat digambarkan relasi semantik antara Tuhan (rabb) dengan segala sifat yang menempel pada-Nya dan relasi kepada hamba-Nya (rabbani) dengan segala sifat yang ada padanya, sebagai berikut:
Berangkat dari teorinya Izutsu, maka tabel di atas dengan jelas menunjukkan adanya relasi Tuan-Hamba.[27]
Pada akhirnya, relasi Tuan-Hamba di atas akan membentuk relasi lain, yakni relasi komunikatif antara Tuan dan Hamba. Sebab, makna rabbani adalah orang atau manusia yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah. Ia akan menjadi teladan dalam hal ibadah yang berkaitan dengan Allah sebagai Tuhannya, baik itu yang dilakukan secara berjama'ah maupun individu. Ibadah itu sendiri adalah salah satu bentuk relasi komunikasi antara manusia rabbani dengan Tuhannya (rabb), komunikasi di sini dapat berbentuk komunikasi verbal seperti do’a[28] dan komunikasi non-verbal seperti shalat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manusia rabbani dengan segala sifat baik yang menempel padanya adalah manusia yang senantiasa dituntut untuk sadar melakukan komunikasi dengan baik kepada rabb-Nya.
Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan adanya relasi komunikatif antara rabb dan rabbani-Nya .
| |||||
|
D. Kesimpulan.
Konsep rabbani dalam al-Qur'an surah Ali Imran ayat 79 adalah manusia yang alim dan selalu taat kepada perintah Allah. Secara psikologis ia adalah hamba yang senantiasa beriman, ikhsan, taqwa, ikhlas, tawakkal, syukur, sabar, jujur, cerdik, terampil, tegas dan adil.
Rabbani dalam medan semantik di lawankan dengan rabb. Sebab, keduanya memenjadi pusat pemikiran al-Qur'an. Tuhan (rabb) dan manusia (rabbani) adalah dua kutub yang saling bertentangan, satu di atas dan satu di bawah. Akhirnya, secara semantik, konsep rabbani pada akhirnya membentuk relasi Tuan-Hamba dan relasi komunikatif antara keduanya.
[1] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 25.
[2] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, Kisah Pencaran Tuhan yang dilakukan Oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 25.
[3] Syahri Harahap, Islam Dinamis Menegakkkan Nilai-Nilai Ajaran Al-Qur'an dalam Kehidupan Moderent di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 254.
[4] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Libanon-Bairut: Darul Fikri, t.t), I: 195.
[5] Imam Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud al Farrai al-Baghawi as-Syafi’i, Tafsir al- Baghawi (Libanon-Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.t), hlm. 248.
[6] Imam Al-Muhaqqiqin Waqadwatul Mudaqqiqin, al-Qadhi Nasiruddin Abi Sa’id Abdillah bin Umar bin Muhammad as-Syirazi al-Baidhawi, Tafsir Al-Baidhawi (Bairut-Libanon: Darul Kutub al-‘Alamiyah, tt.), II:167.
[7] Muhammad Abdussalam Syahin, Hasyiyatushawi ala Tafsiril Jalalin Syarah al-Alamah syaikh Muhammad showi al-Mishri al-Khuluqi al-Maliki (Bairut–Libanon: Dar al-Kutub al- ‘Alamiyah, t.t), I: 219.
[8] Imam Fakhrudin Muhammad bin Umar bin Husain bin Hasan bin Ali al-Tamimi al-Bakri ar-Razi as-Syafi’i, Tafsirul Kabir (Bairut-Libanon: Darul al-Kutub al-Alamiyah, 1990), VIII: 98.
[9] Muhammad Ali as-Shabuni, Shafwatus Tafasir (Bairut-Libanon: Darul al-Qur’anul al- Karim, t.t), hlm. 212.
[10]Qomaruddin Shaleh, HAA. Dahlan, MD, Asbabun Nuzul: Latar BelakangnHistoris Turunnya al-Qur’an (Bandung: CV. Diponegoro, 1982), hlm. 99-100.
[11] Ibid., hlm. 100.
[12] Ahmad Musthofa Al-Maraghi, Tafsir, hlm. 352-353. Hal yang sama juga dikatakan oleh Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Terj. As’ad Yasin dkk (Jakarta: Gema Insani, 2001), III: 145.
[13] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddiqie, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nur (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), hlm. 624-625.
[14] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Taisiru al-Aliyul Qadir li Ikhtishari Tafsir Ibnu Katsir, terj. Shihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 539.
[15] Haji Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar (Jakarta: Panji Masyarakat, 1982), III: 263.
[16] Dalam perkembangan selanjutnya, semantik juga dapat dikatagorikan dalam bidang ilmu filsafat. Pendekatan ini lebih banyak dipengaruhi oleh beberapa sub filsafat dan pemaknaan yang tidak dapat disentuh oleh kajian linguistik. Bebeapa pengaruh tersebut nampak pada pemaknaan yang bersifat analitik, sintatik, dan kontradiktif. Lihat. Asmah HJ. Omar, Essays on Malaysian Linguistis (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dna Pustaka, 1998), hlm. 86.
[17] Ibrahim Anis. Dalalah al-Alfadz (Kairo: Maktabah al-abhalw,1958), hlm. 3.
[18] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Semantik Terhadap al-Qur'an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997).
[19] Ibid., hlm 77-78. lebih lanjut, Izutsu membagi relasi antara manusia dengan Tuhan, yakni relasi ontologis, relasi komunikatif, relasi Tuan-hamba, dan relasi etik.
[20] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, At-Tauhid lish-Shaffil Awwal al-Aliy, terj. Agus Hasan Bashari (Jakarta: Yayasan al-Shofwa, 2000), hlm. 25.
[21] Muhammad Farid Wahdi, Dairotul Ma’anfil Qur’an: Kamus Umum Bahasa Arab (Bairut- Libanon: Darul Ma’rifat, 1971), hlm. 176.
[22] Al-Alamah Nidhamuddin al-Hasan bin Muhammad bin Husain al-Qamy an-Nisabury, Tafsir Gharaibul Qur’an Wa Rakhaibul Fulqan (Bairut-Libanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah, tt.), VI: 195. Lihat juga Sayyid Muhammad Husain at-Thaba thabai, Mizan fi Tafsiril Qur’an (Bairut:: Darul Fikri, 712 H ), III: 317.
[23] Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi, Tafsir Munir al-Mu’alimin Tanzil (Bairut- Libanon: Darul Fikri, tt.), I: 118.
[24] Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an fi Syahril Qur’an: Tadarus Kehidupan di Bulan Ramadlan, dari judul asli al-Qur’an fi Syahril Qur’an, terj. Irwan Raikhan dan Abu Fahmi (Yogyakarta: Madani Pustaka Hikmah, 2000), hlm. 26.
[25] Syahri Harahap, Islam Dinamis, hlm. 254.
[26] Syed Muhammad Al-Naquid Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 73.
[27] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan, hlm. 79.
[28] Hal ini karena manusia rabbani dituntut untuk selalu menjadikan Allah sebagai tempat meminta baik itu meminta ilmu, rizqi maupun yang lainnya.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar