Dalam pembahasan tentang konsep wahdatul wujud yang dikenalkan oleh imam ibn arabi ini ada baiknya sebelum membahas lebi jauh tentang konsep tersebut adalah mengetahui makna wujud itu sendiri dari segi etimologi, terminology, balaghi maupun secara falsafi.
Wujud secara bahasa etimologi berasal dari bahasa arab “وجد” yang bermakna menemukan.[1] Sedangkan pengertiannya secara terminology ada dua macam yang mempunyai perbedaan secara distingtif.
(a) wujud sebagai suatu konsep: ide tentang “wujud ” eksistensi(wujud bil ma’na al-masdhari).
(b) bisa berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada (exsist)atau yang hidup(subsist) yaitu(wujud bil ma’na maujud).[2]
Dari aspek balaghi wujud mempunyai pengertian sesuatu yang tetap serta dapat dijangkau dengan indera. Pengucapan kata wujud secara majazi pun dapat dilihat dalam perkataan syaikh Qarib allah[3] :
هذا الوجود وان تعدد ظاهرا وحياتكم ما فيه الا انتم
بل انتم نفس الوجود حقيقة فالذات والافعال كلا منكم
Dalam pengertian wujud, para filosuf berbeda pendapat dalam pemahaman dan dari segi penempatan terhadap suatu objek. Karena banyaknya pengertian yang diajukan oleh para filosuf yang mendasarkannya tergantung epistemology filosofi yang ada pada masing-masing dari mereka.
Dari beberapa pengertian tentang wujud yang dilihat dari berbagai aspek, sekiranya bisa dijadikan tahap pengenalan mula-mula dalam memahami wahdah al-wujud yang nantinya akan dijelaskan secara sistematis tentang konsep tersebut. Dengan berbagai pendekatan, telah banyak para sarjana barat mengkaji tentang konsep imam muhyiddin ibn ‘arabi ini. Namun pada masanya wahdah al-wujud ini tidak jarang menuai banyak kritikan dari bererapa orang yang bermacam-macam bentuk respon dari mereka. Sebagian dari mereka ada yang tidak sependapat dengan konsep ini lalu mengkritiknya lewat karya tangannya, tapi tidak jarang ada yang sampai bersikap anarkis dengan berusaha membunuh beliau karena ajarannya dianggap menyesatkan.
Selanjutnya, dalam pemahasan tentang wujud, ibn ‘arabi membedakan antara wujud yang mutlak(ultimate existence) dengan wujud yang mungkin atau realitas terbatas. Dalam realita transcendental dan juga kosmos beliau berpendapat ada dua wujud yang memiliki sifat dari dua hal di atas. Being yang dimaksudkan oleh ibn ‘arabi ontologinya bersifat absolut yang tidak bersandar pada materi apapun. Wujud inilah yang berdiri pada hakikatnya sendiri(self subsisting). Dalam penamaan wujud mutlak ini, Beliau menamakannya dengan berbagai macam penyebutan. Beberapa istilah sering beliau gunakan seperti the good-nya plato, the one Plotinus, serta substansi universalnya imam asy’ari yang beliau sebut dalam beberapa karya-nya.
Dalam bukunya, AE.affifi menyimpulkan tentang pandangan ibn ‘arabi tentang wujud yang mutlak, yaitu:
(1) Mutlak dalam pengertian bahwa wujud itu tidak terbatas kepada bentuk khusus apapun tapi umum bagi semua bentuk.
(2) Mutlak dalam pengertian bukan wujud dalam semua bentuk tapi wujud yang mentransendensikan semua bentuk.
(3) Mutlak sebagai makna yang bukan suatu penyebab dari segala sesuatu dan mutlak bebas.
(4) Kadang-kadang ibn ‘Arabi mengidentifikasikan yang mutlak dengan apa yang dinamakan realitas dari realitas(haqiqah al-haqaiq).[4]
Ibn ‘arabi merupakan sufi ternama spanyol yang memunculkan pemikiran-pemikiran tentang eksistensi dan substansi. Layaknya sufi lainnya, beliau mengatakan tentang eksistensi tuhan bahwa wujud itu adalah satu dan merupakan suatu kesatuan absolut. Wujud tuhan merupakan sumber dan sebab dari semua yang mempunyai wujud. Karena pada hakikatnya, alam ini tidak berwujud. “Tidak berwujud” ini tidak dapat diartikan secara harfiah karena akan menjadi pemahaman yang salah. Dalam hal ini beliau seakan-akan menyamakan ujud tuhan sebagai suatu hal yang “universal”. Dalam kitab fushusul hikam beliau berkata:
“Kalaulah itu bukan karena penetrasi tuhan, dengan melalui bentuk-Nya, di dalam semua eksistensi, Maka dunia ini mungkin tidak ada. Persis seperti kalaulah itu bukan karena realitas-realitas Universal yang dapat dipahami(al-haqa’iq al-ma’qula al-kulliyah)maka tentu tidak akan ada predikasi-predikasi(ahkam) tentang objek yang eksternal.”[5]
Theosofi ibn ‘Arabi
Suatu epistemology mistisisme adalah pengetahuan intuitif (Esoterik) yang cenderung mempunyai peranan dalam proses dunia sufisme. Sebuah upaya yang hanya dijalani oleh para sufi yang berkecimpung dalam dunia mistisime. Sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan para filosuf, mereka ingin mencapai sebuah kebenaran mutlak dengan caranya sendiri. Namun ada perbedaan disini, jika para filosuf menggunakan rasio dalam proses pencariaannya, Sedangkan mayoritas sufi menggunakan intuisi (‘Irfani) dalam mencapai hakikat dari segala hakikat. Tapi tak jarang ada juga para sufi yang berusaha mengafiliasi dan mengkombinasi formula dalam keduanya.
Ibn ‘arabi merupakan seorang sufi yang menekankan pada sisi imajinasi sebagai cara untuk mendapatkan pengetahuan yang sejati tentang realitas dari segala realitas. Pertama, beliau mempelajari fenomena dan kemudian mempelajari yang riel. Perjalanan progresif yang digambarkan secara imajinatif olehnya membawa kepada suatu pemahaman tentang wujud satu yang universal.[6]
Pandangan ibn ‘Arabi tentang wujud yang mutlak ini kemudian terkonsep dalam suatu ajarannya yang terkenal dengan “Wahdatul Wujud”. Sebenarnya nama itu bukanlah suatu nama yang diberikan olehnya terhadap konsep tersebut. Wahdatul wujud merupakan istilah yang diberikan oleh ibn taymiyah.
Ibn taymiyah adalah seorang ‘ulama yang menentang keras terhadap ajaran yang diusung oleh ibn ‘arabi. Beliau berbeda pandangan dengan ajaran sentral ibn ‘arabi hingga beliau mengecam terhadap ajaran wahdatul wujud itu. Namun, karena kritik keras dari beliau itulah pada akhirnya ajaran sentral ibn ‘arabi lebih terkenal dengan nama itu hingga saat ini.[7]
Seperti yang telah dikemukan pada bab sebelumnya, Pandangannya tentang wujud itu adalah terdapat dua jenis wujud, wujud mutlak dan wujud terbatas. Wujud mutlak merupakan sumber dari segala yang ada dan realitas-realitas yang bersifat mungkin adanya. Universalitas ultimate exsistence meliputi segala yang ada. Jika tidak ada tuhan maka dunia tidak akan ada pula, dan segala yang ada ini merupakan penampakan-Nya. Dengan segala power of power yang dimiliki oleh tuhan, Dunia ini menjadi suatu realitas yang mungkin ada. Kosmos adalah wujud penampakan wajah tuhan, alam dan seisinya pada hakikatnya adalah substansi dari wujud tuhan. Jika memang ada perbedaan antara wujud tuhan dan ciptaannya itu hanya dalam segi lahirnya saja, sedangkan pada hakikatnya dalam dunia hanya ada satu wujud, yaitu tuhan semesta alam yang bersifat absolute dan tidak terbatas.
Dalam pandangan ibn ‘Arabi Tuhan tidak hanya dilihat dari satu sisi, yaitu sebagai tuhan yang esa. Akan tetapi, tuhan juga merupakan hakikat dari segala yang ada.beliau menjelaskan dalam kitab fushus al-hikam tentang kriteria universalitas wujud. Pertama Wujud yang universal itu tidak mempunyai ‘ain, Kedua, mempunyai hokum dan pengaruh terhadap realitas yang nyata. Keberadaan ini hanya dapat diketahui secara rasional. Yang Ketiga, setiap ang bereksistensi itu senantiasa diasosiasikan pada bentuk nyata.[8]
Dalam wahdatul wujud itu ada dua unsur proses mundaraj dan mundamaj. Mundamaj adalah proses persembunyian zat dari abdi yang memecah dirinya menjadi rabb. Sedangkan mundaraj adalah proses kebalikan dari mundamaj, yaitu dzat yang esa melebur di dalam beberapaوحدة دارالكثرة) ).
Paham inilah yang dipandang tidak selaras dengan ajaran tauhid serta dikritik oleh para ulama’ seperti ibn taymiyah. Sebenarnya, apa yang menjadi penyebab adanya pengklaiman bahwa ajaran ini menyesatkan? Pada bab selanjutnya akan dijelaskan apa saja yang menjadi permasalahan sehingga timbul upaya pemusnahan terhadap ajaran sekaligus tokoh yang membawa ajaran tersebut.
Menjadi sebuah kewajaran dalam dunia mistisisme, apabila para sufi sering mengeluarkan syatahat-syatahat dari tutur lisannya. Pada saat mereka mengalami ekstase, seakan kebahagiaan meliputi batin mereka karena mereka merasa telah menemukan apa yang semala itu mereka cari. Mereka seakan mabuk dalam pesta minuman kebenaran. Ungkapan imajinasi seseorang yang intens dalam tauhid sehingga tidak sadar akan segalanya kecuali Dia yang Maha Ada.[9]
Sebagaimana yang ibn ‘arabi ungkapkan dalam salah satu syi’irnya:
فيحمدني واحمده ويعبدني واعبده
ففي حال اقربه وفي الأعيان اجحده
فيعرفني وانكره واعرفه فاشهده[10]
[1] AW Munawwir, kamus al-munawwir arab-indonesia terlengkap cetakan ke II(Surabaya:Pustaka Progresif, 1997)hlm 1538
[2] AE. Affifi,A mystical philosophy of muhyiddin ibn ‘arabi terj oleh sjahrir mawi dan nandi rahman(Jakarta:Gaya media pratama, 1995)hlm 13
[4] AE. Affifi…….hlm 14.
[5] AE. Affifi…….hlm 15. Selanjutnya lihat fushus al-hikam li ibn ‘ara bi hlm 34.
[6] AE.Affifi….hlm 154-155.
[7]Rosihon Anwar dkk, ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000) Hlm 146.
[8] Afif Anshori, tasawuf falsafi syeikh hamzah fansuri (Yogyakarta: gelombang pasang, 2004) Hlm 81.
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar