AL-QURAN DI ERA USMAN BIN AFFAN
Al-Qur’an merupakan kitab suci kaum muslim dan menjadi sumber ajaran islam yang paling utama sehingga mereka harus beriman dan mengaplikasikanya, maka mereka akan mendapatkan kebaikan di dunia dan Akhirat. Oleh klarena itu orang islam selain mempelajari isi kandungan ayat-ayat al-Qur’an , mereka juga berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga keotentikanya, meskipun sudah jelas disabdakan Allah pada surat al-Hijr ayat 9 Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.image / huffingtonpost.com |
Dalam makalah ini penulis akan mencoba sedikit membahas al-Qur’an di Era khalifah Usman bin Affan, disini penulis membatasi beberapa permasalahan, yaitu :
1. Alasan pengumpulan al-Qur’an
2. Sikap Usman terhadap perbedaan bacaan al-Qur’an
3. Penyusunan mushaf Usmani
ALASAN PENGUMPULAN ALQUR’AN
Selama pemerintahan Usman, yang dipilih oleh masyarakat melalui bai'ah yang amat terkenal sebagai khalifah ketiga, umat Islam sibuk melibatkan diri di medan jihad yang membawa Islam ke utara sampai ke Azerbaijan dan Armenia. Berangkat dari suku kabilah dan provinsi yang beragam, sejak awal para pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan dan Nabi Muhammad, di luar kemestian, telah mengajar mereka membaca Al-Qur'an dalam dialek masing-masing, karena dirasa sulit untuk meninggalkan dialeknya secara spontan. Akan tetapi sebagai akibat adanya perbedaan dalam menyebutkan huruf Al-Qur'an mulai menampakkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat.[1]Pada masa khalifah Usman bin ‘Affan ini diupayakan pengumpulan Al-Qur’an dengan menyeragamkan kepada satu bacaan Al-qur’an yang resmi. Hal ini dilakukan karena ada laporan dari Hudzaifah ibnu al-Yaman pada tahun 25 H. Hudzaifah yang pada waktu itu berposisi sebagai pemimpin penaklukan Armenia dan Azerbaijan memerintahkan kepada kaum muslim Syam dan kaum muslim Iraq agar bersatu padu. Namun mereka malah saling memperdebatkan alquran. Kaum Muslim Syam membaca dengan qiraat Ubay bin Ka’ab sedangkan Muslim Iraq membaca dengan qiraah Ibnu Mas’ud. Akibatnya, mereka saling mengkafirkan.[2] Disamping itu, Hudzaifah mendengar penduduk Hims berkata bahwa qiraah mereka lebih baik dari yang lain. Mereka ini mempelajari Al-Qur’an dari Miqdad. Selain itu, Hudzaifah juga mendengar penduduk Damaskus berkata bahwa qiraah merekalah yang lebih baik dari yang lain, sedangkan penduduk Kufah juga berpendapat bahwa qiraah merekalah yang lebih baik, mereka memakai qiraah dari Abu Musa.[3]
Sebenarnya, Usman bin ‘Affan selain menerima laporan dari Hudzaifah telah menerima laporan juga dari orang lain tentang kasus yang sama, yang terjadi di Madinah. Seorang guru mengajarkan al-qur’an menurut suatu qira’at dan guru yang lain juga mengajarkan dengan qira’at yang lain. Akibatnya, anak-anak yang telah mempelajari al-qur’an dari mereka membacanya dengan qira’at yang berbeda-beda pula sehingga muncullah pertengkaran sampai kepada guru-guru mereka. Sehingga mereka pun saling mengkafirkan. [4]
Dari kasus-kasus di atas dapat dilihat bahwa alasan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin ‘affan adalah untuk menghilangkan perselisihan dan untuk menyeragamkan pembacaan Al-Qur’an kaum Muslim pada satu bacaan saja.
SIKAP USMAN TERHADAP PERBEDAAN BACAAN AL-QUR’AN
Berkaitan dengan terjadinya perbedaan bacaan Al-Qur’an di kalangan umat Islam, Usman bin ‘affan mengumpulkan umat Islam dan berpidato : “ Kalian yang berada di dekatku saja berbeda pendapat tentang bacaan Al-Qur’an, kemudian saling menyalahkan, apalagi orang-orang yang berada di negeri-negeri yang jauh dari aku, tentunya lebih keras dan lebih keliru lagi. Karena itu wahai sahabat-sahabat Muhammad bersepakatlah dan tulislah mushaf al-Qur’an untuk menjadi imam (standar) bagi umat manusia.[5]Mustafa Al-Azhami menambahkan bahwa setelah mendapatkan laporan tersebut, Usman menyelesaikan masalah perbedaan yang ada sampai tuntas. Beliau mengumpulkan umat Islam dan menerangkan masalah perbedaan dalam bacaan Al-Qur'an sekaligus meminta pendapat mereka tentang bacaan dalam beberapa dialek, walaupun beliau sadar bahwa beberapa orang akan menganggap bahwa dialek tertentu lebih unggul sesuai dengan afliasi kesukuan.[6]
Langkah-langkah yang ditempuh khalifah Usman bin Affan merealisasikan ide penyeragaman mushaf alquran[7]:
1. Meminjam Mushaf resmi yang telah dikerjakan Zaid di masa pemerintahan Abu Bakar kepada Hafshah untuk disalin ke dalam beberapa mushaf. Menurut beberapa riwayat, Hafshah pada mulanya enggan untuk mengirimkannya kepada Usman, namun setelah khalifah ini berjanji akan segera mengembalikannya lagi setelah menyalinnya barulah Hafshah bersedia meminjamkannya. Keengganan Hafshah meminjamkan Mushaf resmi ini bukan merupakan pencerminan sikap buruknya, melainkan merupakan pencerminan sikapnya yang hati-hati dan ketat dalam memelihara mushaf tersebut.
2. Membentuk panitia yang terdiri atas empat orang, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan Abdullah bin Haris bin Hisyam. Menurut riwayat dari Mash’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, termasuk juga orang-orang yang membantu Zaid dalam tugas ini adalah Malik bin Amir, Katsir bin ‘aflah, Ubay bin Kaab, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas. Menurut riwayat lain, termasuk dalam panitia yang diketuai oleh Zaid itu adalah Abdullah bin Umar, Abdullah bin Umar bin Ash, dan Aban bin Sa’id. Namun, menurut riwayat dari Muhammad bin Sirrin, Usman telah membentuk panitia yang terdiri dari 12 orang Quraisy dan Anshar dan termasuk diantaranya Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit.
3. Mengirim mushaf-mushaf yang telah diselesaikan oleh panitia ke berbagai pusat negeri Islam. Umumnya para ulama berpendirian bahwa jumlah mushaf yang telah disalin sebanyak empat buah. Salah satunya disimpan di Madinah, sedangkan sisanya dikirim ke Kufah, Basrah, dan Syam.
4. Memerintahkan kepada kaum Muslim di seluruh negeri Islam untuk membakar semua mushaf dan catatan-catatan al-quran yang yang tidak sesuai dengan mushaf imam yang telah mereka terima.
PENYUSUNAN MUSHAF USMANI
Mushaf Usmani ditulis berpedoman kepada Al-Qur’an yang telah ditulis pada masa Abu Bakar dengan menggunakan khat Kuffi. Karena itu, tidaklah mengherankan jika di dalam mushaf itu ba dengan penulisan banyak dijumpai bentuk penulisan kata dengan huruf yang tidak persis sama dengan pengucapannya dan berbeda dengan penulisan huruf Arab system imlai yang sesuai dengan bunyi kata yang diucapkan, tanpa ada tambahan, pengurangan, pergantian, dan perubahan.Bentuk yang dipakai oleh panitia dalam menulis mushaf Usmani ini inilah yang disebut dengan rasm Usmani. Bentuk tulisan yang membedakannya dari imlai tersebut, antara lain dengan adanya hadzf, ziyadah, hamzah, badal, fashl, dan washal.
a. Hadzf (penghapusan atau pembuangan), yaitu penghapusan huruf alif dari ya nida’, ha tanbih, kata نا bila diikuti isim dlamir, lafal Jalalah, kata اله , الرحمن , سبحن, basmallah, dll.
Selain itu juga terdapat penghapusan pada huruf ya, dan waw.
b. Ziyadah yaitu: Penambahan huruf alif apabila terletak pada posisi: a)setelah huruf waw pada setiap akhir kata jika kata itu dalam bentuk jamak atau yang disamakan dengan jamak, b)setelah hamzah yang ditandai dengan waw, dll.
Ziyadah juga ada pada huruf alif dan ya.
c. Hamzah, penulisan huruf hamzah dalam mushaf Usmani sebagai berikut:
- Jika hamzah sukun, ditulis dengan huruf sebelumnya, contoh أؤتمن .
- Jika hamzah terletak di tengah, di tulis sesuai dengan barisnya.
d. Al-Badl, penggantian huruf pada:
- Alif yang biasanya ditulis ا diganti dengan waw.
- Alif diganti dengan ى
- Ha Ta’nits diganti dengan ta maftuhah seperti رحمت
e. Washal dan fashal (penyambungan dan pemisahan). Contoh jika انdan لا bertemu,maka penulisannya الا .
Adapun prinsip penyusunan surat Al-Qur’an dalam musnad Usmani yaitu: mulai dari surat-surat panjang ke surat-surat yang lebih pendek. Tetapi prinsip ini terlihat menyimpang secara radikal dalam aplikasinya karena surat al-Fatihah yang merupakan surat yang pendek terdapat di awal, terdapat di depan surat paling panjang yaitu al-baqarah. Akan tetapi penamaannya paling popular bisa member indikasi tentang penempatannya pada urutan pertama. Penempatan surat terpendek (surat 108) tidak terletak paling akhir, penjelasan mengenai penempatan ini tidak dikemukakan sehingga tidak memuaskan bila dibanding dengan penjelasan al-fatihah.
Jumlah surat dalam mushaf Usmani 114, dengan nama-nama yang beragam. Tidak jarang satu surat memiliki lebih dari satu nama. Ke-114 surat pada masa yang awal diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu: al-Thiwal, al-Mi’un, al-Matsani, dan al-Mufashshal. Selanjutnya dalam tradisi teks Usmani pembagian Al-Qur’an ke dalam dua bagian, tiga bagian, empat bagian, dan tujuh bagian. Pada perkembangan selanjutnya kaum muslimin membagi kepada 30 juz. Bagian yang paling kecil adalah hizb yang membagi juz menjadi dua.[8]
KESIMPULAN
- Mushaf Usmani disusun sesuai suhuf resmi pada masa abu Bakar.- Mushaf Usmani disusun atas usulan dari Hudzaifah bin al-Yaman
- Panitia penyusun mushaf Usmani berjumlah 4 orang yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit.
[1] Mustafa al-A’Zhami. The History of Qur’anic Text from Revelation to Compilation.
[2] Athaillah. Sejarah Al-Qur’an : Verifikasi tentang Otentisitas Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 238
[3] Abd Shabur Syahin. Tarikh Al-Qur’an. (Nahdhah Misra, 2007) hlm.148
[4] Athaillah. Sejarah Al-Qur’an : Verifikasi tentang Otentisitas Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 240
[5] Abd Shabur Syahin. Tarikh Al-Qur’an. (Nahdhah Misra, 2007) hlm.150
[6] Mustafa al-AZhami. The History of Qur’anic Text from Revelation to Compilation.
[7] Atthaillah. Sejarah Al-Qur’an : Verifikasi tentang Otentisitas Al-Qur’an. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 242-246.
[8] Taufik Adnan Amal. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. (Yogyakarta: Foruk Kajian Budaya dan Agama, 2001). Hlm. 215
loading...
Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar