MAKNA FILOSOFIS SIMBOL-SIMBOL BANGUNAN MASJID KRATON SOKO TUNGGAL TAMANSARI YOGYAKARTA

Admin Wednesday, May 09, 2018 Add Comment

MAKNA FILOSOFIS SIMBOL-SIMBOL BANGUNAN MASJID KRATON SOKO TUNGGAL TAMANSARI YOGYAKARTA; KAITANNYA DENGAN BUDAYA JAWA

(Tinjauan Semiotika-Struktural)

Abstrak: Dalam kehidupan masyarakat Indonesia serta Jawa pada khususunya, Masjid merupakan sumber kebersamaan yang dengannya sendi keislaman awal terbentuk. Nuansa Islam Jawa yang penuh akan makna simbolis terekam dalam realitas wujud yang nyata seperti halnya keunikan bentuk dan nama. Pada dasarnya, keberadaan masjid Kraton Soko Tunggal yang ada di Kampung Tamansari merupakan suatu nilai luhur yang terus terjaga. Norma-norma dalam kehidupan masyarakat sekitar dalam bentuk metafisik teologis tergambar dari keunikan tiang dari masjid Kraton Soko Tunggal. Keunikan inilah yang berusaha untuk penulis angkat dalam penulisan kajian ini. 

Penelitian yang dilakukan oleh penulis pada dasarnya berusaha untuk mengangkat beberapa persoalan yang terkait dengan Masjid Kraton Soko Tunggal dan peranannya dalam masyarakat sekitar Masjid Kraton Soko Tunggal dan Yogyakarta dalam skupnya yang lebih luas . Beberapa hal yang dapat kami sebutkan adalah, pertama bagaimana makna filosofis dari bentuk konstruksi bangunan masjid yang ada sehingga dapat memberikan pengaruh yang besar kepada masyarakat sekitar dan Yogyakarta. Kedua, apa yang dilakukan agar keunikan dan kekhususan bentuk bangunan dapat menjadi salah satu control sosial ditengah-tengah era modernitas seperti saat ini. 

Sebagai penelitian lapangan, maka penulis memilih untuk menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Adapun pendekatan yang penulis pilih adalah pendekatan filosofis yang menuntut penulis untuk terjun langsung kelapangan merasakan dan merenungi kehidupan sehari-hari masyarakat Tamansari. Selain itu, survei, wawancara dan dokumentasi menjadi salah satu metode kami dalam melakukan pengumpulan data guna mendapatkan hasil yang maksimal. Namun demikian, penulis tidak menutup diri dengan mengabaikan beberapa tulisan yang pernah mengangkat Masjid Kraton Soko Tunggal dalam kajiannya. Beberapa tulisan yang ada juga penulis gunakan sebagai salah satu reverensi tambahan dan pembanding dalam kajian ini. 

 Dalam akhir kajian penulis terhadap Makna filosofis Masjid Kraton Soko Tunggal, penulis menemukan bahwa Masjid Kraton Soko Tunggal telah lama berperan aktif dalam menjaga kelestarian nilai-nilai agama dan budaya yang terakulturasi dalam bentuk konstruksi nan indah yakni Masjid Kraton Soko Tunggal itu sendiri. Keselarasan antara alam metafisik dan fisik tergambar dalam simbol dan bentuk yang ada. Hubungan antara Tuhan dengan Makhluk serta bagaimana keseharusan makhluk tergambar jelas dalam simbol-simbol masjid yang sekilas sederhana namun penuh akan makna. Keseluruhan hasil kajian dari penelitian penulis tergambar jelas dalam karya sederhana ini..

SKRIPSI PENDEKATAN MAQASIDUS SYARIAH TAHIR BIN ASYUR

Admin Wednesday, May 09, 2018 Add Comment

SKRIPSI PENDEKATAN MAQASIDUS SYARIAH  TAHIR BIN ASYUR TAFSIR MAQASIDI

Pendekatan Maqasid al-Syari’ah Tahir Ibn ‘Asyur dan Aplikasinya dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir

Abstrak: Beragam produk tafsir yang terkesan ideologis dikarenakan model pendekatan yang digunakan selama ini. Selain itu, problem urgen penafsiran yang berkutat pada dua kaidah dasar penafsiran yang memiliki implikasi penafsiran dalam era kontemporer ini. Oleh karena itu, Ibn ‘Asyur seorang mufassir kontemporer sekaligus ahli maqasid al-syari’ah telah mencoba menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan maqasid al-syari’ah dalam kitab al-Tahrir wa al-Tanwir yang disebut dengan tafsir maqasidi. Dalam skripsi yang berjudul Tafsir Maqasidi Pendekatan Maqasid al-Syari’ah Tahir Ibn ‘Asyur dan Aplikasinya dalam Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, penulis berusaha mengaplikasikan pendekatan maqasid al-syari’ah dalam tafsirnya, sehingga tampak berbeda dengan produk tafsir selama ini, yaitu lebih mengedepankan tujuan hukum syari’at. Karena tidak mungkin Allah mensyari’atkan hukum tanpa mengandung tujuan maslahah. Di dalam tafsirnya, Ibn ‘Asyur menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an melalui analisis teks hingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai tujuan hukum, baik dalam wilayah akidah atau teologi, ibadah, munakahat, mu’amalat dan jinayah. Ibn ‘Asyur sebagai penerus Syat}ibi, tidak membatasi maqasid al-syari’ah pada tataran usul al-khamsah saja, namun juga prinsip egalitarianisme musawah, kemudahan taisir, toleran samahah dan kebebasan hurriyyah. Oleh karena itu, dalam skripsi ini akan mengkaji pendekatan maqasid al-syari’ah serta aplikasinya dalam tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.
Jenis penelitian yang digunakan adalah library research dan metodenya adalah deskriptif-analitis. Yaitu mendeskripsikan dari latar belakang kehidupan Ibn ‘Asyur, pendidikan serta karya-karyanya. Kemudian mendeskripsikan gambaran umum maqasid al-syari’ah dan yang melingkupinya. Kemudian mendeskripsikan metodologi pendekatan maqasid al-syari’ah Ibn ‘Asyur, lalu menganalisisnya dan kemudian mencoba mengaplikasikan dalam penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

Dalam skripsi ini, penulis menyimpulkan bahwa dengan pendekatan maqasid al-syari’ah Ibn ‘Asyur berarti segala hukum yang disyari’atkan oleh Allah mengandung tujuan atau hikmah. Selain itu, pendekatan maqasid al-syari’ah memberikan pengetahuan baru tentang metodologi pendekatan dalam penafsiran al-Qur’an. Sehingga dapat diambil nilai-nilai universalnya sebagai solusi produk tafsir yang selama ini tampak ideologis. Akhirnya, tujuan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan problem solver dapat diaplikasikan.

MAKALAH KONSEP TOLERANSI DALAM AL-QURAN

Admin Wednesday, May 09, 2018 Add Comment

MAKALAH KONSEP TOLERANSI DALAM AL-QUR'AN

PENDAHULUAN
Belakangan ini, agama dianggap sebuah nama yang terkesan membuat gentar, menakutkan dan mencemaskan. Agama di tangan para pemeluknya sendiri sering tampil dengan wajah kekerasan. Dalam beberapa tahun terakhir banyak muncul konflik, intoleransi, dan kekerasan atas nama agama. Pandangan dunia keagamaan yang cenderung anakronostik dan saling klaim kebenaran memang sangat berpotensi untuk menimbulkan berbagai macam konflik sehingga terjadi perpecahan. Fenomena yang juga terjadi saat ini adalah muncul dan berkembangnya tingkat kekerasan berlabel agama sehingga realitas kehidupan yang timbul adalah saling curiga mencurigai, saling tidak percaya, dan hidup dalam ketidakharmonisan.
Dituduhkan bahwa Islam adalah agama intolerans, disiarkan dengan pedang, agama kapitalisme, exclusive, hanya agama orang-orang Arab, dan sebagainya. Juga di Indonesia, tuduhan tersebut masih ada, walaupun tidak dengan terang-terangan. Dan lebih menyedihkan lagi, ketiadaan rasa saling menghargai atas pluralitas pemahaman dalam tubuh islam sendiri, hingga islam seolah beraneka panorama dalam tubuh yang sama.

Makalah ini mencoba untuk mengetengahkan sebuah perbincangan tentang sesuatu yang dianggap sebagai dasar permasalahan, yaitu toleransi; Toleransi dalam sudut pandang wahyu Tuhan, wahyu yang telah dititipkan untuk dijadikan buku pintar manusia menjadi khalifah di bumi.

Pembahasan akan dibatasi pada permasalah-permasalahan berikut:

1. Makna dan segi-segi toleransi

2. Konsep toleransi dalam al-Qur’an

3. Toleransi dalam bingkai ke-Bhinneka-an

4. Toleransi dalam tataran aplikasi

5. Hubungan toleransi dengan fanatik

6. Dari toleransi ke sinkretisme

7. Paradoks toleransi

PEMBAHASAN

A. Makna Toleransi


Terma toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance atau tolerantia dalam bahasa Latin. Dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata tasamah atau tasahal yaitu; to overlook, excuse, to tolerate, to be indulgent, tolerant, forbearing, lenient, merciful. Perkataan tasamah; bermakna hilm dan tasahul; diartikan indulgence, tolerance, toleration, forbearance, leniency, lenitt, clemency, mercy dan kindness.

Di dalam “Encyclopaedia Britannica” tidak ada kata toleransi, yang ada hanyalah kata tolerance tetapi termasuk dalam istilah industri. Bahkan anehnya, di dalam “Encyclopaedia of The Social Sciences”, kata tolerantion artinya disuruh melihat kata INTOLERANCE (see Intolerance!). Ini berarti, kata-kata Intolerance-lah yang lebih populer di negeri-negeri Barat, bukan kata-kata toleransi.

Akan tetapi, dalam kamus Webster’s New American Dictionary halaman 1050 bahwa toleransi ialah “liberality toward the opinions of other; patience with others,” maksudnya memberikan kebebasan (membiarkan) terhadap pendapat orang lain, dan berlaku sabar menghadapi orang lain.[1]

Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan syarat-syarat azas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.[2]

Adapun toleransi agama adalah sikap sadar menjadi makhluk sosial yang hidup tidak sendiri dan mengakui adanya perbedaan keyakinan serta menjunjungtinggi nilai pluralitas, yang kesemuanya termanifestasikan dalam wujud kebebasan dan saling menghargai dalam menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.

B. Segi-Segi Toleransi

1. Mengakui hak setiap orang

Suatu sikap mental yang mengakui hak setiap orang di dalam menentukan sikap-laku dan nasibnya masing-masing. Tentu saja sikap atau perilaku yang dijalankan itu tidak melanggar hak orang lain.

2. Menghormati keyakinan orang lain

Soal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing. Orang yang memaksakan keyakinannya, apalagi dengan jalan kekerasan atau terror, baik yang halus maupun kasar, akhirnya akan mengakibatkan orang lain bersikap hypokrit atau munafik saja. Hal inilah yang menimbulkan bertumpuknya dendam dan kedengkian.

3. Agree in disagreement

Istilah di atas (setuju di dalam perbedaan) adalah prinsip yang selalu didengungkan oleh Prof. Dr. H. Mukti Ali. Perbedaan tidak harus ada permusuhan, karena perbedaan selalu ada di dunia ini, dan perbedaan tidak harus menimbulkan pertentangan.

4. Saling mengerti

Tidak akan terjadi saling menghormati antara sesama orang bila mereka tidak ada saling mengerti. Saling anti dan saling membenci, saling berebut pengaruh adalah salah satu akibat dari tidak adanya saling mengerti dan saling menghargai antara satu dengan yang lain.

5. Kesadaran dan kejujuran

Kesadaran jiwa menimbulkan kejujuran dan kepolosan sikap-laku, hal tersebutlah yang menjadikan masyarakat akan tertib dan tenang.

6. Jiwa falsafah pancasila

Falsafah pancasila merupakan suatu landasan yang telah diterima oleh segenap manusia Indonesia, merupakan tata-hidup yang pada hakekatnya adalah konsensus dan diterima praktis oleh bangsa Indonesia, yang merupakan dasar negara kita.

C. Konsep Toleransi Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata tasamuh atau toleransi secara tersurat hingga kita tidak akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara eksplisit al-Qur’an menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu, ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam implementasi toleransi dalam kehidupan.

Telah diketahui bersama, bahwa Islam adalah agama toleransi dan tidak ada paksaan di dalam memeluk agama di dalamnya. Tidak hanya dalam akidah dan hal-hal yang bersangkutan dengannya saja, tetapi larangan mempergunakan paksaan atau kekerasan itu berlaku umum dalam bidang-bidang kehidupan dalam rangka antar-hubungan manusia atau bidang mu’amalah.

Agama Islam tidak hanya mengakui kemerdekaan dan kebebasan tersebut dalam teori saja, tetapi memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap kemerdekaan tersebut.

Dalil-dalil yang menjelaskan tentang toleransi dan kemerdekaan beragama:[3]

1) Surat al-Baqarah: 256

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (256)

2) Surat al-Mumtahinah: 8-9

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

3) Surat al-Nahl: 125

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)

4) Surat al-Hujurat: 13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)

5) Surat Ali Imran: 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (159)

6) Surat al-Kahfi: 29

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا (29)

7) Surat Yunus: 99

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ (99)

8) Surat al-Qashash: 56

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (56)

9) Surat al-Nahl: 37

إِنْ تَحْرِصْ عَلَى هُدَاهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ يُضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ (37)

10) Surat al-Insan: 3

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3)

11) Surat al-A’raf: 185

أَوَلَمْ يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ وَأَنْ عَسَى أَنْ يَكُونَ قَدِ اقْتَرَبَ أَجَلُهُمْ فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ (185)

12) Surat al-Baqarah: 164

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (164)

13) Surat al-Syura: 15

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آَمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ (15)

14) Surat al-Hajj: 39-40

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ (39) الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ (40)

Dari dalil-dalil di atas, dapat disimpulkan mengenai prinsip atau konsep dalam bertoleransi adalah sebagai berikut:

a. Tidak ada paksaan dalam memeluk agama

b. Menyeru orang kepada Islam dengan jalan kebijaksanaan dan dengan jalan bertukar pikiran yang baik (musyawarah), karena dakwah tidak boleh dengan bersikap keras kepala

c. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan baik kepada mereka yang tidak sefaham atau tidak seagama, asalkan mereka tidak memusuhi dan memerangi kaum muslimin.

d. Allah telah memberi jalan atau petunjuk yang lurus, tinggal terserah kepada setiap manusia untuk memilihnya atau menolaknya.

e. Salah satu cara menemukan iman adalah berfikir dan mengadakan penyelidikan, bukan dengan paksaan.

f. Kaum muslimin harus berjuang untuk mempertahankan keamanan biara, gereja, tempat peribadatan orang-orang Yahudi, dan masjid.

Patut menjadi perhatian bersama agar dalam dakwah dapat mempertimbangkan aspek toleransi dan kasih sayang yang telah diberikan oleh Tuhan dan Rasulullah, tidak diperkenankan adanya paksaan karena sesungguhnya antara kebaikan dan kezaliman sudahlah jelas. Memaksakan kehendak bukanlah hak manusia.

Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan toleransi harus ada paradigma kesetaraan dalam agama. Paradigma tersebut dimulai dari keberagaman yang terbuka dan bertanggungjawab. Pilihan beragama seseorang atau sebuah kelompok sesungguhnya tidak semata-mata merupakan pilihan teologis, melainkan juga pilihan sosiologis. Karenanya, paradigma tidak ada paksaan dalam agama menjadi penting. Di satu sisi Tuhanlah yang menegaskan pentingnya kebebasan beragama. Di sisi lain juga terkandung pentingnya kebebasan dalam ranah sosiologis. Di sinilah perlu penerjemahan paradigma tidak ada paksaan dalam agama pada ranah teologis dan sosiologis.

Terdapat empat hal penting yang patut dijadikan etika dalam berdakwah. Pertama, dakwah dengan hikmah. Kedua, dengan nasehat yang santun (bi al-mau’idhat al-hasanah). Ketiga, debat yang konstruktif dan inovatif (wa jadilhum bil allati hiya ahsan), dan keempat, teologi “Tuhan Maha Tahu”.

Di tengah menguatnya keberagaman diperlukan toleransi yang bersifat aktif. Artinya, dakwah dan debat yang seringkali dijadikan sebagai ajang untuk memupuk kebencian dapat digantikan sebagai ajang untuk memupuk keterbukaan terhadap yang lain. Pendapat seseorang itu haruslah diasifati secara relativ karena tiddak ada manusia yang sempurna dan memegang kebenaran mutlak. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Karena itu, relativitas harus memacu setiap insan untuk senantiasa belajar dari yang lain untuk melihat dirinya sendiri. Barangkali kebenaran ada di pihak yang lain.

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadahnya. Bahkan Islam melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata tasamuh atau toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru”, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.

Karena itu, agama Islam menurut hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, maka beliau menjawab: al-Hanafiyyah al-Samhah (agama yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.

D. Toleransi Dalam Bingkai Ke-Bhinneka-an

Indonesia merupakan negara kesatuan. Dia menghimpun berbagai macam warna kulit, bentuk mata dan model rambut dalam satu tubuhnya, bangsa Indonesia. Indonesia tidak mengenal rasisme. Kedaulatan, persatuan dan kesatuan adalah nilai yang senatiasa dijunjungnya, sebagaimana yang terangkum dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ikka.

Dalam hal ini, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, maupun keyakinan. Hal ini merupakan suatu keniscayaan.

Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi. Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat-istiadat, dan sebagainya.

Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau menghilangkannya dengan alasan apapun. Bahkan atas nama agama. Toleransi sejati hanya dapat terwujud apabila kesadaran meluaskan wawasan ke ruang-ruang yang menyekat, menjadikan sikap rendah hati sebagai tiangnya, agar berani untuk menghadapi bahwa hidup itu adalah keragaman, yang tak satu pun diantarannya atas nama keyakinan apapun dapat dijadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain ataulah sebagai upaya mulai dalam rancang sistematik penyeragaman keyakinan.

Tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, hal itu telah di atur dalam jaminan konstitusi pasal 29 UUD 1945 ayat 2; begitupun hak hidup dan kebebasan berpendapat juga sama telah dijamin oleh undang-undang. Oleh karenanya, tidak ada alasan untuk warga yang mengaku bangsa Indonesia untuk tidak bersikap toleransi kepada orang lain dalam hal apapun.

Akan tetapi, tentu yang dikehendaki toleransi dalam beragama di Indonesia yang memiliki kurang lebih enam agama, bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritual semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk, sistem, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Satu hal yang tidak bisa dielakkan dalam konteks toleransi adalah ketegangan antara idealisme dan realitas. Idealisme agama sendiri dan realitas keberagamaan di Indonesia yang tidak satu. Belakangan ini, intoleransi dalam prakteknya lebih banyak dipilih daripada toleransi. Karena itu -bisa dikatakan- yang terjadi sesungguhnya adalah krisis toleransi di pelbagai level kehidupan. Wacana yang terkemuka adalah intoleransi, bahkan wacana tersebut telah mendapatkan justifikasi dari pandangan keagamaan. Dalam masalah ini, Abdul Husein Sya’ban menyampaikan sebuah otokritik yang perlu mendapatkan catatan khusus:

Kita sesungguhnya tidak mengerti toleransi di antara kita, baik pada level individu maupun kolektif, kelompok, organisasi maupun partai politik. Bahkan pada tataran tertentu kita senantiasa memupuk perseteruan di antara kita, baik dalam satu aliran, satu partai, satu bangsa maupun satu golongan. Kita sudah menyaksikan dengan seksama peperangan, pembantaian dan pembunuhan massal yang disebabkan krisis toleransi, pemberangusan kebebasan berpendapat dan peminggiran kelompok lain.[4]

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita atau pada keluarga/saudara kita sesama. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara. Maka akan timbul rasa kasih sayang, saling pengertian dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran.

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian dalam tingkat praktek-praktek sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.



E. Toleransi Dalam Tataran Aplikasi

Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. ketika suatu saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dari sisi kemanusiaan kita.

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem ke-Esaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.

Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, urusan petunjuk dan hidayah adalah hak mutlak Tuhan SWT. Maka dengan sendirinya kita tidak sah memaksa kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an menganjurkan agar dalam interaksi social, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.

Sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural. Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT.

Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga. “Barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya”.[5] Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik. Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, kita tidak perlu untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan yang ada di dunia.

Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun. Namun, untuk bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita. Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga sebagai komunitas terkecil kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas.

Terakhir, prinsip toleransi dalam perspektif islam ketika kita sudah meyakini bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT.

Para ulama sepakat agar toleransi menjadi salah satu alternatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena toleransi bukan sekadar hak, tetapi kewajiban. Tuhan pun dalam kitab suci-Nya disebut Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, dan Maha Pemaaf. Karena itu, Sila Ketuhanan yang Maha Esa harus dipahami dalam konteks mengimplementasikan nilai-nilai ketuhanan itu secara konsekuen dan konsisten, utamanya dalam hal toleransi.

Salah satu hal yang menjadi keprihatinan bersama dalam konteks kebangsaan muncul gejala yang kian memupuk intoleransi, terutama antara satu kelompok kepada kelompok lain. Realitasnya, tidak sedikit warga NU yang mulai diusik pihak-pihak lain perihal tradisi dan praktik keagamaan, seperti tahlilan, yasinan, dibaan, barzanji, istigasah, dan lain-lain. Di Bandung, Jawa Barat, pesantren yang secara kultural berbasis nahdiyin diserang warga setempat karena mengusung tema kebangsaan.

Kenyataan itu menunjukkan, wawasan tentang pentingnya toleransi masih minim di tengah masyarakat. Karena itu, diperlukan kebesaran jiwa dan kerendahan hati dari seluruh pihak bahwa bangsa ini akan besar bila toleransi diterjemahkan dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Dua hal inilah (keadilan dan toleransi) yang semestinya menjadi garapan utama PBNU dalam munas di Surabaya, yaitu mendorong pemerintah agar menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan kepada masyarakat agar menerapkan toleransi secara konsisten demi keutuhan bangsa dan Negara.

F. Hubungan Toleransi Dengan Fanatik; Sebuah Pembatasan

Sekilas, toleransi dan fanatik tampak kontras jika dipersandingkan. Karena seolah mereka duduk selalu saling membelakangi satu sama lain. Atau ada yang bilang bahwa mereka adalah musuh bebuyutan. Padahal mereka justru dua sahabat lama yang saling merindukan. Keduanya bisa hidup seiring sejalan.

Fanatisme sebenarnya merupakan sebuah sikap yang sangat terpuji. Sebab ketika kita menganut kepercayaan tertentu, maka sikap ideal yang harus kita yakini dalam hati adalah bahwa kepercayaan kita itulah yang paling benar. Sebagai seorang Muslim, penyusun menganggap bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Yang lain tidak benar. Teman-teman yang beragama Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya pun, silahkan berpendapat bahwa agama merekalah yang benar, sedangkan yang lainnya tidak benar. Inilah inti dari fanatisme. Dan sikap ini hanya untuk ‘i’tiqad dalam hati.



Apakah sikap seperti ini tidak berbahaya bagi kelangsungan toleransi?

Dalam beragama, ketika seseorang fanatik terhadap Islam, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengislamkan seluruh hidupnya. Islam adalah way of life. Fanatisme terhadap apapun akan membuat kita berusaha mengidentikkan diri dengan si FAN tersebut. Tapi tragisnya, masyarakat kita cenderung sangat permisif terhadap sikap fanatik yang ditujukan bagi makhluk yang bersifat duniawi (artis, tokoh politik, negara tertentu). Namun, ketika seseorang fanatik terhadap agama yang dianutnya, kita ramai-ramai mencela, menyebutkan sebagai sikap yang sangat tidak terpuji.

Fanatisme yang dilakukan secara benar tak akan mungkin bertolak belakang dengan toleransi. Islam misalnya, adalah agama yang penuh toleransi. Islam memberikan ajaran yang sangat sempurna tentang bagaimana kita sebaiknya berhubungan baik dengan saudara-saudara kita yang bukan beragama Islam. Bahkan faktanya, di negara manapun yang mayoritas penduduknya Islam, warga non muslim dapat hidup dengan aman dan nyaman.

Fanatisme sama sekali tidak bertolak belakang dengan toleransi. Fanatisme tidak sama dengan "tidak bisa menerima perbedaan". Dalam konteks perbedaan, fanatisme adalah sikap untuk "berpegang teguh pada keyakinan yang kita anut, namun selalu menghargai siapa saja yang memiliki keyakinan yang berbeda." Inilah fanatisme yang sebenarnya. Karena tanpa fanatisme, bisa menimbulkan keraguan akan keyakinannya sendiri. Dan fanatisme yang seperti inilah yang telah diterapkah oleh Rasulullah SAW beserta para sahabatnya.

Sikap fanatisme yang baik bukanlah halangan untuk bersahabat dan berhubungan baik dengan orang-orang yang memiliki keyakinan yang berbeda. Sudah demikian banyak orang yang membuktikan hal ini.

 Lantas tentang toleransi, adalah sesuatu yang sangat baik. Tapi sebenarnya, toleransi pun ada batasnya. Sebab toleransi yang kebablasan akan membuat kita terjerumus pada sikap "mengikuti perilaku golongan lain." Dalam Islam, dibuat pembagian yang tegas antara "toleransi agama" dengan "toleransi umat beragama".

Toleransi agama adalah sikap permisif terhadap ajaran agama lain. Contoh konkrit: Umat Islam ikut merayakan hari Natal, atau umat Kristen ikut puasa di bulan Ramadhan. Inilah jenis toleransi yang tidak diperbolehkan. Sebab sikap seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip fanatisme. Sikap toleransi terhadap ajaran agama menunjukkan bahwa keyakinan kita terhadap agama yang kita anut tidak terlalu kuat. Artinya, kita tidak fanatik terhadap agama kita sendiri. Kalau terhadap agama saja kita tidak fanatik, lalu "objek" apalagi yang akan kita fanatiki?

Yang perlu kita kembangkan dan lestarikan sebenarnya adalah toleransi umat beragama. Maksudnya, kita menjaga hubungan baik dengan penganut agama lain. Kita bersahabat dengan mereka, saling silaturahmi, menjalin kerjasama bisnis, dan sebagainya. Semua itu boleh-boleh saja. Selama hubungan yang terjalin masih sebatas hubungan sosial kemanusiaan, tak ada yang perlu dipermasalahkan.

Tapi ketika sudah menyangkut ritual keagamaan dan sejenisnya, ini tidak boleh dilakukan karena sudah melanggar asas toleransi dan fanatisme. Ini adalah toleransi yang kebablasan. Ini adalah fanatisme yang lemah serta bobrok.

Toleransi yang kebablasan akan membuat kita kehilangan identitas (karena kita sibuk menyesuaikan diri dan mengekor pada orang lain). Fanatisme yang lemah akan membuat kita sangat permisif terhadap keyakikan dari golongan lain. Jalan tengahnya adalah melaksanakan toleransi yang pada tempatnya (toleransi umat beragama) dan fanatisme yang tetap menghargai perbedaan.



G. Dari Toleransi ke Sinkretisme; Sebuah Kekeliruan Besar

Di antara konsepsi-konsepsi yang dikatakan sebagai wajah atau jalan menuju pada toleransi agama yang menuju kepada sinkretisme adalah:

a. Semua agama adalah sama

Pandangan ini berbahaya. Sebab akibatnya akan mencampur-adukkan antara agama-agama, dan membuat orang hipokrit terhadap agamanya sendiri dan identitas agamanya akan hilang. Namun banyak tokoh agama yang mengatakan kalau semua agama adalah sama benarnya, demi persatuan. Tidak disadari, mereka telah berkata hal-hal yang bertentangan dengan nuraninya dan akal sehat, yang justru akan mengaburkan identitas setiap agama.

b. Agama campuran

Pandangan ini menjadikan semua agama semacam suatu syntesis saja, yang di dalamnya terdapat dasar-dasar dari semua agama yang dapat menjadikan semua pemeluknya rukun. Bisa dikatakan sebagai suatu aliran Theosofi, walaupun nama ini pada mulanya digunakan untuk sebutan yang menyatakan berbagai agama yang lebih menitik beratkan “pengetahuan tentang Tuhan” yang merupakan ajaran campuran dari bermacam agama.

c. Humanisme universil

Yang dimaksud adalah suatu ajaran dimana dasarnya ialah pemikiran untuk meninjau semua agama, diambil yang baik, yang sesuai dengan perkembangan dunia modern sekarang ini. Atau ajaran-ajaran yang dianggap baik oleh semua agama tersebut dan kemudian dijadikan suatu ikatan baru. Namun masing-masing pemeluk dari agamanya masih tetap dalam ikatan agamanya semula.



H. Paradoks Toleransi; Apakah Praktek Toleransi Membingungkan?

Cacat lahir gagasan toleransi adalah gagasan ini secara konseptual mengandaikan segala sesuatu – celakanya “intoleransi” termasuk di dalamnya – itu sejatinya ditolerir. Contoh kasus larangan terhadap Ahmadiyah, apapun yang kita lakukan, membiarkan atau menghujat FPI (Front Pembela Islam) karena mereka percaya bahwa Ahmadiyah itu sesat dan karenanya harus dibubarkan secepatnya, anda sudah bersikap intoleran. Entah karena Anda membiarkan anggota FPI bersikap intoleran kepada pengikut Ahmadiyah, atau karena Anda telah mencederai keyakinan anggota Ahmadiyah yang semestinya “dihormati” juga. Jadi, pertanyaannya bukan apakah sikap yang tidak toleran itu harus ditolerir atau tidak, tetapi apakah kita benar-benar bisa selalu bersikap toleran? Paradoks memang mungkin terjadi.

Toleransi itu ambigu. Kasus bulan puasa misalnya, siapakah yang semestinya menunjukkan toleransi? Mereka yang berpuasa atau yang tidak? Yang ada hanya orang yang marah-marah: “Dasar orang kafir tidak toleran!” atau “Orang Islam puasanya manja!.”

Kejadian di atas bisa untuk dihindari. Di sini perlu adanya pemahaman yang mendalam dan serius mengenai toleransi. Toleransi dilaksanakan tidak sepihak, dan toleransi yang benar tidak akan mungkin mendiskreditkan pihak lain. Dan komentar penyusun terhadap kasus FPI yang mengobar api untuk membubarkan Ahmadiyah, dia terlalu over-fanatik dan terlalu depan menanggapi dan menyelesaikan kasus terkait, padahal ada yang lebih berwenang menyelesaikan hal tersebut. Karena intervensinya yang berlebih dalam hal ini, oleh karenanya menimbulkan sedikit persengketaan dan ketersinggungan pihak lain.

Jadi, tidaklah praktek toleransi itu membingungkan antara toleransi di satu sisi dan intoleransi di sisi lain.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari sekian penjelasan di atas, maka yang menjadi perhatian adalah pada hakikatnya bukanlah toleransi itu sendiri. Namun meluasnya tindakan intoleran yang sudah hampir membudaya di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, negara harus mempunyai komitmen yang kuat untuk senantiasa mendorong demokratis yang meletakkan paradigma partisipasi sebagai bagian terpenting dalam mewujudkan kehidupan yang damai dan toleran. Toh, pada hakikatnya masyarakat sudah mampu, bahkan membumikan toleransi dalam kurun waktu yang panjang. Negara juga harus mampu melakukan fungsi proteksi dan regulasi bagi publik agar hak-hak asasi publik tidak dilecehkan oleh pihak lain.

Jalan menuju toleransi harus dimulai dari khazanah setiap agama, adat, dan kelompok masyarakat yang mempunyai konsern untuk membangun kembali toleransi yang mulai rapuh dan punah. Setiap agama dan kelompok masyarakat harus memprioritaskan pentingnya toleransi dan perdamaian. Dengan demikian, lambat-laun toleransi akan menemukan momentumnya di tengah menguatnya tindakan intoleren yang ada.

Demikianlah isi pemaparan kami yang sedikit menguak masalah yang terjadi di negara kita, salah satunya adalah toleransi yang kemudian menimbulkan munculnya istilah intoleransi di kalangan masyarakat. Sangatlah memungkinkan dalam makalah kami, masih banyak hal-hal yang sekiranya belum kami cantumkan di dalamnya. Oleh karena itu, kami meminta saran beserta kritiknya guna perbaikan makalah selanjutnya.

Terima kasih...

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Kursyid. 1986. Islam dan Fanatisme. Bandung: Pustaka.

CD-ROM al-Maktabah al-Syamilah.

CD-ROM al-Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, Global Islamic Software. 1991-1997.

DEPAG RI. 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.

Hasyim, Umar. 1991. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Http://prinsip-prinsip-toleransi-antara-umat-beragama

Http://toleransi/dalam/perspektif/agama-agama/dan/upacara/ritual/ceremonial

Http://reaktualisasi-toleransi–agama

Http://cetak/biru/toleransi/indonesia

Http://pluralisme-agama-toleransi

Http://batas-batas/toleransi/embun/tarbiyah

Http://halal-bihalal-dan-toleransi-beragama

Mahmud, Muhammad Badjuri. 1994. Reaktualisasi Islam dalam Hidup Keberagamaan. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.

Misrawi, Zuhairi. 2007. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. Jakarta Selatan Indonesia: Fitrah.

Shadily, Hassan dan John M. Echols. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

www.kompas.com



[1] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 23.

[2] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 22.

[3] Umar Hasyim, Toleransi Dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog Dan Kerukunan Antar Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1991), hlm. 245-249

[4] Zuhairi Misrawi. Al-Qur’an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme dan Multikulturalisme. (Jakarta Selatan Indonesia: Fitrah, 2007), hlm. 180.

[5] Dalam Bukhori 5560 disebutkan

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ قَالَ سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالَ وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Semantics and the Quran Toshihiko Izutsu

Admin Wednesday, May 09, 2018 Add Comment
1.      Semantics of the Qur’an
The Quran is approachable by a number of different points of view such as theological, philosophical, sociological, grammatical, exegetical, etc. For each of these methods, the Quran presents many differences but equally important aspects. So, become evident if we can relate semantic methodology to Quranic studies and we will see whether there is any real advantage in approaching Quran by this method.

“Semantics” according to etymology is a science concerned with the phenomenon of meaning in the widest sense of the word, so wide, indeed, that almost anything that may be considered to have any meaning at all is fully entitled to constitute an object of semantics.

We don’t have regularity of semantics science. Everybody has different theories of meaning. Who speaks of semantics has considered himself entitled to define and understand the word as he likes. Izutsu has his own conception of semantics and describe the major concern of a semanticist. In the manner of methodological principles can be known the most concrete and profound problems raised by the language of the Quran.

According to Izutsu, “semantics” is an analytic study of the key-terms of a language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the weltanschauung or world view of the people who use that language as a tool not only of speaking and thinking, but more important still of conceptualizing and interpreting the world that surrounds them.

Semantics of the Quran is a research of analytically and methodologically the major concepts, those are the concepts that seem to have played a certain role in the formation of the Quranic vision of the universe.

2.      Integration of Individual Concepts
All of the most important words which represent the major concepts such as Allah, Islam, Nabi, Iman, Kafir, etc. when under study (examine) the meaning of each of them in the Quranic context, is not so simple. One word with another one have separated  position in the Quran, but they are closely interdependent and produce the concrete meanings from the entire system of relations accurately. Because of that, in analyzing the individual key concepts that are found in the Quran we should never lose sight of the multiple relations which each of them bears to others in the whole system.

None of the key terms that play a decisive role in the formation of the Quranic world-view including the name of God: Allah, is made in new. Almost all of them had been used in some forms or other in pre-Islamic times. When the Islamic Revelation began to use these words in the general context struck the Mecca’s people as something quite strange, unfamiliar, and become unacceptable.

Islam brought these words and combined them into a new concept entirely which until that era was still unknown. And the most important, the transmission of these concepts, and re-arrangement  basically of  moral and religious values so radically evolutionized the Arab conception of the world and human existence.

Eventhough there is impact of context on word-meanings (before and after pre-Islamic times), the word in the new system still keeps hold on the same basic meaning which it had in the old system.

Example:

“Allah” had known by Arabic’s people pre-Islamic times. The name was appeared in:

·         Pre-Islamic poetry

·         Personal names

·         Old inscriptions

·         Some people or some ethnics in Arab believed in God named Allah and recognized Him as Creator

Arabic’s people believed that “Allah” as one of Gods. But Muhammad said that “Allah” as absolutely supreme, unique, the one, and only God in existence, degrading all other gods to the position of batil (false) as opposed to haqq (real). The new Islamic conception of the supreme God affected the whole structure of the vision of the universe

3.      “Basic” Meaning and “Relational” Meaning

At this topic, Toshihiko would like to explain a technical distinction between ‘basic’ meaning and ‘relationsl’ meaning, as one of the major methodological concepts of semantic, in order to make easily analytic work later.

The ‘basic’ meaning of a word is something inherent in the word itself, which it carries with it wherever it goes. And the ‘relational’ meaning is something connotative that comes to be attached and added to the former by the word’s having taken a particular position in a particular field, standing in diverse relation to all other important words in that system.

The example of this term such are; the word “kitab” (book), basically this word mean the same whether it is found in the Qur’an or outside of the Qur’an. This word as long as it is actually felt by the speech community to be one word. Keeps it fundamental meaning –a general meaning of book- wherever it is found, whether is happens to be used as a key term in a given system of concepts or more generally outside of that particular system.

As the relational meaning is constructed in a system consisted of many words referring to a certain concept, this system is then called semantic field. The word of yawm, basically means day, is introduced by the Qur’an in a neighborhood with other words like qiyamah, ba’ts, din, hisab, etc. This combination forms a semantic field, which associates to a concept of resurrection and the Last Judgment. The words in this neighborhood composition inter-impact to the meaning of each individual word.

4.      Vocabulary and Weltanschauung
We must know that the words in a language form are a closely-knit system. The main pattern of that system is determined by a certain number of particularly important words. It is necessary to note that not all the words in a vocabulary are the equal value in forming the basic structure of ontological conception underlying the vocabulary, however important they may appear from other points of view.

Toshihiko Izutsu said that those word which play a really decisive role in making up the basic conceptual structure of the Qur’anic world view. He called them “key terms” of the Qur’an, such as Allah, Islam, Iman (believe), Kafir (infidel), Nabiy (prophet), Rasul (apostle of God), etc.

Semantic fields are often composed in the larger system namely vocabulary. In this system, the relations among semantic fields are composed by the multi-relations of each key-term. Thus, the relations form a diagram of overlapping system within a bigger system. At simple, we can say that vocabulary is a multi-strata structure. The composition of key-words with their complexities forms a semantic field, as a stratum, and then the composition of semantic fields, also with their complexities and complicated overlapping pictures, shape a multi-bigger-strata named vocabulary.

Considering the complicated and overlapping composition among semantic fields, then how to detect an individual semantic field is structured, so we could find the weltanschauung of it, is the next complicated step. To know a conception of an individual semantic field, we have to isolate it from its complicated composition, and a new technical term is then needed, focus word. Focus word is a particularly important key-word which indicates and delimits an independent and distinctive conceptual sphere, semantic field, within the larger system, whole vocabulary.

Focus word is farily flexible. It is important notion that a key-word could be in not one semantic fields. And it is this fact which makes the overlapping scheme of semantic fields within vocabulary. In relation to focus word, certain key-word could considered focus word in certain semantic field, but it just become the ordinary key-word in the other semantic fields. Therefore, to this focus word might be a help to isolate a semantic fields one to another, and then to be understood word view.

KISAH ISTRI FIRAUN DAN MARYAM DALAM AL-QURAN (Studi atas Tafsir Al-Mizan karya Tabatabai

Admin Tuesday, May 08, 2018 Add Comment

KISAH ISTRI FIR'AUN DAN MARYAM DALAM AL-QUR'AN (Studi atas Tafsir Al-Mizan karya Tabatabai

ABSTRAK
Kaum wanita muslimah pada umumnya, memerlukan suri tauladan agung 
yang menjadi simbol wanita mulia, yang telah dikisahkan dalam al-Qur’an. Sosok
wanita teladan ini sebagai tolok ukur dalam perbaikan diri menuju fitrah wanita
sejati. Seiring perubahan zaman, kaum wanita banyak mengalami berbagai erosi,
misalnya kemerosotan dalam kepribadian, akhlak bahkan aqidah. Salah satu
penyebabnya adalah krisis figur wanita teladan. Wanita muslimah semakin jauh
meninggalkan teladan sejati mereka yang telah terbukti mampu memainkan peran
positif.
Oleh karena itu, penelitian tentang tokoh-tokoh wanita dalam al-Qur’an
sangat urgen atau penting dilakukan berdasarkan beberapa alasan, pertama, sosok
wanita dalam al-Qur’an sebagai suri tauladan agung, dan simbol wanita mulia
dalam sejarah Islam. Kedua, pengulasan keteladanan dan pesan moral al-Qur’an
yang terkandung dalam kisah-kisah tersebut. Ketiga, signifikansi pesan moral
kisah wanita dalam al-Qur’an dalam konteks masa kini. Pengkajian figur wanita
yang akan penulis lakukan adalah pengkajian kisah dua tokoh wanita, yaitu istri
Fir’aun dan Maryam.
Penulis akan mengkaji kedua tokoh tersebut melalui tafsir al-Mizan fi
Tafsir al-Qur’an karya Tabataba’i. Kekhususan dalam kitab tafsir al-Mizan yang
merupakan karya monumentalnya ini di dalam membahas beberapa ayat gender
penulisnya memberikan nuansa esoterik yang hampir tidak kita jumpai di dalam
kitab tafsir kalangan Sunni.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif
analitis, yakni mengumpulkan data yang ada, menafsirkannya dan mengadakan
analisa yang interpretatif dengan cara menyelami kemudian mengungkap arti dan
nuansa yang di maksud oleh seorang tokoh. Selanjutnya untuk menganalisa data
digunakan metode deduktif, yaitu menganalisa data-data yang bersifat umum,
kemudian ditarik ke dalam kesimpulan yang bersifat khusus. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui detail-detail penafsiran Tabataba’i ketika menafsirkan ayat-ayat
al-Qur'an tentang kisah istri Fir'aun dan Maryam.
Berdasarkan uraian dalam penelitian ini, maka dapat dihasilkan beberapa
kesimpulan yaitu, pertama, keteguhan iman yang tergambar dalam diri istri
Fir’aun yaitu, Asiyah. Kisah istri Fir’aun mengandung pesan moral yang sangat
berharga, bahwa dalam diri seseorang yang suci dan murni dari kekafiran dan
kemunafikan, meskipun berdampingan dan bergaul dengan seorang yang kafir,
maka hatinya tetap teguh memegang prinsip dan keimanannya. Sifat keibuan pada
diri Asiyah, ketika menyelamatkan bayi Musa dari kekejaman Fir’aun, yang
hendak membunuhnya. Kedua, kesalehan dan kesucian diri, yang tergambar jelas
dari sosok Maryam. Dengan berbekal iman kepada Allah SWT Maryam tetap
tegar dan ikhlas menerima segala ujian dari Allah SWT. Pemeliharan diri dengan
menutup aurat dengan jilbab atau hijab. Keimanan dan ketakwaan mampu
menumbuhkan rasa tenang dalam hati dan tentram dalam jiwa. Keimanan juga
menumbuhkan rasa optimisme, keberanian, perasaan harga diri dan harapan serta
rasa dekat dengan Tuhan.

CIVIL SOCIETY & KONSTRUK DEMOKRASI DALAM AYAT AL-QURAN

Monday, May 07, 2018 Add Comment

CIVIL SOCIETY & KONSTRUK DEMOKRASI DALAM AYAT AL-QUR'AN

Book Review: 
Oleh.  Mahfuz Masduki

Judul Buku   : Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun 
Demokrasi dalam Peradaban Nusantara.
Penulis   : Hasyim Muhammad
Editor     : Mu’ammar Ramadhan & Zainal Abidin
Volume   : 198 hlm.
Penerbit  : TERAS, Sleman Yogyakarta.
Cetakan  : Cetakan I, November 2007.
ISBN      : 979-9781-22-1.

Sebagaimana diketahui masyarakat Muslim, bahwa sebagian pandangan Barat selama ini sering menyamakan negara Islam dengan agama yang memiliki gaya fundamentalistik, radikal teroris dan anti demokrasi. Hal itu sebagaimana disimpulkan oleh beberapa pemikir Barat bahwa kebudayaan Islam tidak dibawa dengan ide-ide kebenaran atau prinsip seperti yang dipahami oleh negara Barat. Bahkan kebudayaan Islam, sebagaimana diakui sebagian masyarakat Barat ditandai oleh kekuasaan yang personalisme dan pragmatisme di mana otoritas mengambil keputusan tentang hukum hampir pasti dipaksakan kepada masyarakatnya.[1]

Pandangan yang demikian, setidaknya menjadikan Hasyim Muhammad mencoba untuk meluruskan dengan menurunkan sebuah buku, Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara.[2] Buku ini mencoba untuk mengeksplorasi lebih jauh bahwa Islam juga mengenal apa itu demokrasi dan apa itu civil society, sebuah sistem kepemerintahan yang sudah diterapkan pada era muslim awal.[3]
Demokrasi, menurut Hasyim Muhammad, merupakan sistem yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Dan Islam memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan ini. Dalam QS. Ali Imran (3): 159 dan QS. Asy Syura (42): 38, dijelaskan betapa Islam memerintahkan untuk berdemokrasi. Prinsip demokrasi yang bersendikan kebebasan pendapat, bermufakat, dan berserikat tidak diperlakukan sebagai kekufuran. Islam mempersilahkan kepada siapa saja untuk mengadakan perkumpulan baik dibidang ekonomi, sosial, politik dsb.[4]

Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain. Ada beberapa ayat al-Qur'ân yang menggambarkan prinsip-prinsip di atas, atau secara implisit menampilkan sebagai ciri negara demokrasi di antaranya adalah: 1). Keadilan (QS. 5:8); Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada taqwa, 2). Musyawarah (QS. 42:38); Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110); Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.

3). Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10); Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. 4). Keamanan (QS. 2:126); Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa. 5). Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40); Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

Dalam Islam juga menyingung masalah civil society dengan memperdulikan beberapa hak manusia yang paling dasar. Apa yang disebut dengan hak asasi manusia dalam aturan buatan manusia adalah keharusan (dharurat) yang mana masyarakat tidak dapat hidup tanpa dengannya. Nabi saw telah menegaskan hak-hak ini dalam suatu pertemuan besar internasional, yaitu pada haji wada’. Dari Abu Umamah bin Tsa’labah, Nabi saw bersabda:

"Barangsiapa merampas hak seorang muslim, maka dia telah berhak masuk neraka dan haram masuk surga." Seorang lelaki bertanya: "Walaupun itu sesuatu yang kecil, wahay rasulullah ?" Beliau menjawab: "Walaupun hanya sebatang kayu arak." (HR. Muslim).



Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..." (QS. 2: 267).

Menurut Hasyim Muhammad, al-Qur'an memberikan hak pada setiap orang untuk berbeda satu sama lain. Perbedaan merupakan keniscayaan bagi setiap manusia, karena masing-masing dibentuk oleh lingkungan, status sosial, pendidikan serta peradaban yang menyelimutinya.[5] Kesemuanya akan membentuk karakter dan sikap, pandangan dan pemikiran yang berbeda satu sama lain. Yang terpenting dan harus dijaga dalam al-Qur'an adalah toleransi pada setiap komunitas atau individu yang berbeda tersebut

Perbedaan –dikatakan Hasyim Muhammad- merupakan kehendak Allah untuk menguji sejauh mana mereka mengaktualisasikan potensi yang diberikan oleh Tuhan untuk kebaikan. Al-Qur'an akan memberikan balasan amal kebaikan yang mereka lakukan. Karena itulah, al-Qur'an pada dasarnya telah menguraikan panjang lebar akan hak-hak dasar tersebut, termasuk di dalamnya kebebasan.[6]

Ada hak-hak alamiah seperti; a). Hak Hidup  Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179). Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi:

"Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati. Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).



Ada juga b). Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi. Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain.[7] Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?" (QS. 10: 99).

Untuk menjamin kebebasan kelompok, masyarakat dan antara negara, Allah memerintahkan memerangi kelompok yang berbuat aniaya terhadap kelompok lain (QS. 49: 9). Begitu pula hak beribadah kalangan non-muslim. Khalifah Abu Bakar menasehati Yazid ketika akan memimpin pasukan: "Kamu akan menemukan kaum yang mempunyai keyakinan bahwa mereka tenggelam dalam kesendirian beribadah kepada Allah di biara-biara, maka biarkanlah mereka". Khalid bin Walid melakukan kesepakatan dengan penduduk Hirah untuk tidak mengganggu tempat peribadahan (gereja dan sinagog) mereka serta tidak melarang upacara-upacaranya.

Kerukunan hidup beragama bagi golongan minoritas diatur oleh prinsip umum ayat "Tidak ada paksaan dalam beragama." (QS. 2: 256). Sedangkan dalam masalah sipil dan kehidupan pribadi (ahwal syakhsiyah) bagi mereka diatur syari’at Islam dengan syarat mereka bersedia menerimanya sebagai undang-undang. Firman Allah:

"Apabila mereka (orang Yahudi) datang kepadamu minta keputusan, berilah putusan antara mereka atau biarkanlah mereka. Jika engkau biarkan mereka, maka tidak akan mendatangkan mudharat bagimu. Jika engkau menjatuhkan putusan hukum, hendaklah engkau putuskan dengan adil. Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang adil." (QS. 5: 42).



Ada juga, c). Hak Bekerja. Islam tidak hanya menempatkan bekerja sebagai hak tetapi juga kewajiban.[8] Bekerja merupakan kehormatan yang perlu dijamin. Nabi saw bersabda: "Tidak ada makanan yang lebih baik yang dimakan seseorang daripada makanan yang dihasilkan dari usaha tangannya sendiri." (HR. Bukhari).

Dan Islam juga menjamin hak pekerja, seperti terlihat dalam hadist: "Berilah pekerja itu upahnya sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah). d).  Hak Hidup. Islam melindungi segala hak yang diperoleh manusia yang disyari’atkan oleh Allah. Di antara hak-hak ini adalah; Hak Pemilikan, Hak Berkeluarga, Hak Keamanan, Hak Keadilan, Hak Saling Membela dan Mendukung, Hak Keadilan dan Persamaan.[9]

Manusia, pada hakikatnya, secara kodrati dinugerahi hak-hak pokok yang sama oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak pokok ini disebut hak asasi manusia (HAM). Hak asasi manusia adalah sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.

Pada gilirannya, hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, di mana hak-hak asasi ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang lain. Umumnya, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam (sebagai akibat dari pola pendidikan ala Barat yang dikembangkan semenjak jaman penjajahan Belanda dan diteruskan di era republik pasca proklamasi kemerdekaan hingga kini) mengenal konsepsi HAM yang berasal dari Barat.

Masyarakat Indonesia, mengenal konsepsi HAM itu bermula dari sebuah naskah Magna Charta, tahun 1215, di Inggeris, dan yang kini berlaku secara universal mengacu pada Deklarasi Universal HAM (DUHAM), yang diproklamasikan PBB, 10 Desember 1948. Padahal, kalau mau bicara jujur serta mengaca pada sejarah, sesungguhnya semenjak Nabi Muhammad S.A.W. memperoleh kenabiannya (abad ke-7 Masehi, atau sekira lima ratus tahun/lima abad sebelum Magna Charta lahir), sudah dikenalkan HAM serta dilaksanakan dan ditegakkannya HAM dalam Islam.

Atas dasar itu, tidaklah berlebihan kiranya bila sesungguhnya konsepsi HAM dalam Islam telah lebih dahulu lahir tinimbang konsepsi HAM versi Barat. Bahkan secara formulatif, konsepsi HAM dalam Islam relatif lebih lengkap daripada konsepsi HAM universal.

Konsep civil society lahir dan tumbuh dari daratan Eropa sekitar abad ke-17 M dalam konteks masyarakat yang mulai melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama. Agama saat itu mulai tersekularisasi dalam arti wewenang dan legitimasi kekuasaan mulai dilepaskan dari tangan agamawan.

Dengan demikian, civil society aslinya adalah bersifat sekularistik, yang telah mengesampingkan peran agama dari segala aspek kehidupan. Dan tentu saja civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, dan individualisme. Maka adalah suatu anakronisme, tatkala Hasyim Muhamad dalam buku ini, Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara,[10] mencoba lebih jauh menjelaskan akan keberadaan civil society dalam al-Qur'an.[11]

Akan tetapi, menjadi menarik tatkala uraian yang diberikannya sangat lugas dan apik. Buku ini pada dasarnya, sebagaimana dikatakan penulisnya, Hasyim Muhammad, merupakan paduan dari dua judul tulisan yang berbeda. Yang pertama berasal dari tulisan hasil penelitian Tafsir Tematis mengenai Civil Society dalam al-Qur'an yang mengkaji ayat-ayat al-Qur'an tentang hak-hak warga negara.

Adapun yang kedua, berasal dari tulisan tentang tradisi berdemikrasi dalam sejarah Nusantara. Buku ini sangat tepat untuk dijadikan buku pegangan Mahasiswa yang sedang menempuh perkuliahan pendidikan kewarganegaraan dihubungkan dengan kajian al-Qur'an. Karena apa yang ditulis oleh Hasyim Muhammad ini, selalu didasarkan atas kajian al-Qur'an bahkan juga dibumbui dengan uraian hadis Nabi.



[1] Gambaran tentang hal tersebut semakin menguat ketika mereka melihat fenomena politik yang berkembang, seperti di Afganistan atau Aljazair. Sehingga kesimpulan Max Stackhouse yang mengklaim Islam sebagai tradisi agama yang tidak sesuai dengan konsep-konsep masyarakat yang demokratis semakin mendapat legitimasi.

[2] Hasyim Muhammad, Tafsir Tematis; Al-Qur'an & Masyarakat, Membangun Demokrasi dalam Peradaban Nusantara, (Yogyakarta; Teras, 2007).

[3] Hasyim Muhammad, Ibid, 64

[4] Hasyim Muhammad, Ibid, 110-112.

[5] Hasyim Muhammad, Ibid, 136-139.

[6] Hasyim Muhammad, Ibid, 139-158.

[7] Hasyim Muhammad, Ibid, 155.

[8] Hasyim Muhammad, Ibid, 140..

[9] Hasyim Muhammad, Ibid., 136-164.

[10] Hasyim Muhammad, Ibid,.

[11] Hasyim Muhammad, Ibid, 63-83.