PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HADIST

Admin Sunday, April 10, 2016 Add Comment

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP HADIST

A.      Latar Belakang.

Dierah kemajuan teknologi akibat perkembangan globalisasi, saat ini informasi dan ilmu pengetahuan akan mudah masuk dan dicerna oleh masyrakat dan bangsa, sehingga dari efek perkembangan tersebut akan di jadikan sebagai wacana atau sistem yang mereka berlakukan. pendidikan saat ini di indonesia lebih condong pada hegemoni Barat, di mana konsep pendidikan bercorak ateistik, sekulartistik, matrealistis, rasionalistis, emperis dan skeptis.
Hingga pada kini, dari produk pendidikan yang akan dipersiapkan untuk melanjutkan tongkat estapet, malah merusak apa yang menjadi tujuan pendidikan pada umunya yakni menjadikan manusia yang berilmu serta beriman. karena hegemoni barat tersebut mengakibatkan dari faham ateistis sehingga konsep pendidikan di indonesia masih terjadi dikotomi ilmu pengetahuan, dengan faham matrealistik banyak anak-anak negeri ini putus dari sekolah karena mahalnya pendidikan, sehingga dari rangkaian tersebut melahirkan generasi yang individualistic, hal tersebut telah di hindari dan di tekan dalam rancangan regulative pendidikan nasional.

Pencapaian tujuan pendidikan ditentukan sebagaimana tercantum dalam UUD No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu �berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab�.[1]



Konsep yang seperti hal tersebut harus segera diatasi demi cita-cita bangsa ini, dengan disesuaikan konsep dengan budaya indonesia religiutas islami. karena hal ini sejalan dengan pandangan seluruh ahli pendidikn yang mengatakan bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak dapat diimpor ataupun diekspor kesuatau negara atau masyarakat.



Pendidikan akan kita ketahui penekanannya pada keseimbangan dan keseriusan perkembangan hidup manusia. Maka pendidikan diartikan sebagai usaha mengubah tingkahlaku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan pada alam sekitarnya melalui proses kependidikannya dan kehidupan pada alam sekitarnya melalui proses yang dilandasi dengan nilai-nilai kependidikan. [2]



Dalam upaya merealisasikan tujuan pendidikan tersebut; nampaknya belum optimal dan kurang berhasil, seperti di tegaskan dalam GBHN 1999 yaitu di bidang pendidikan masalah yang dihadapi adalah berlangsungnya pendidikan yang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna dan hak kehidupan. [3]



Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang di berikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karena masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk, bahkan kehidupan beragama belum memberikan jaminan akan peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat. Merebak penyakit social, korupsi dan sejenisnya, kriminalitas, pemakaian obat terlarang, perilaku formal kehidupan keagamaan dengan perilaku realitas nyta kehidupan keseharian.[4]



Sejalan dengan dengan itu, kini sudah waktunya agar konsep pendidikan di indonesia mengacu pada islam sebagai ajaran yang universal yang lebih mengarah pada ahlakulkarimah yang berilmu pengetahuan, sehingga menghasilkan berbagai keunggulan yang pada akhirnya memberikan solusi yang baik untuk negeri ini. terutamanya masalah pendidikan, terjadinya keterbelakanagan dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, peradaban, kesehatan, disiplin dan sebagainya. penyebab utamanya adalah karena keterbelakangan dalam bidang pendidikan. atas dasr inila, maka sejak awal kehadirannya di muka bumi ini, islam selalu menempatkan pendidikan sebagai agenda utama dalam upaya memperbaiki keadaan masyrakat yang kacau balau .



Pembicaraan seputar Islam dan pendidikan tetap menarik, terutama dalam kaitannya dengan upaya membangun sumber daya manusia muslim.islam sebagai agama dan pandangan hidup yang diyakini mutlak kebenaranan akan memberikan arah dan landsan etis serta moral pendidikn. dalam kaitaannya ini Malik Fadjar mengatakan bahwa: hubungan antara islam dan pendidikan memiliki hubungan filosofis yang mendasar, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis.



Namun dalam kajian tersebut dalam pemikiran islam dalam upaya menghubungkan islam dengan masalah yang dijumpai masih menuai perbedaan pendapat dari para ahli. dalam hal ini, kalangan ummat islam sampai sekarang terdapat tiga aliran yang sering menimbulkan kontroversi. pertama, islam sebagai agama terakhir dan penyempurna, adalah agama yang ajarannya mencakup segala aspek kehidupan ummat manusia. kalangan ini biasanya mengemukakan pernyataan ini, bahwa islam mengatur permasalahan kecil, seperti bagaimana adab atau tata cara masuk kamar kecil sampai pada masalah- masalah kenegaraan, kemanusian, termasuk didalamnya bidang pendidikan. kelompok ini biasanya dijuluki kelompok universal bersikap lebih radikal, dan dalam memahami islam umumny lebih skriptualis.



Kelompok kedua yang berpendapat bahwa islam hanya mengatut hubungan antara manusia dengan tuhannya. mengajak.manusia kembali pada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. adapun urusan-urusan kedunian, termasuk masalah pendidikan, manusia diberikan hak otonomi untuk mengatur berdasarkan kemampuan akal budi yang di berikan kepada manusia. kelompok ini berpendapat bahwa pendidikan islam itu tidak ada, melainkan yang ada adalah pendidikan islami.



Pendidikan menurut kelompok ini secara epistemologi berada dalam kawasan yang bebas nilai, tidak mempunyai konteks dengan islam. islam hanya menempati kawasan aksiologi, nilai-nilai etis dalam pemanfaatan, dan berada diluar struktur ilmu pendidikan. kelompok kedua ini, berpendirian bahwa islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.



Kelompok ketiga berpendapat bahwa islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sistem nilai dan norma yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting sosial yang dimensi ruang dan waktu tertentu. kelompok ini biasanya dipelopori oleh kalangan cendikiawan yang secara intelektual mampu menagkap ide moral.[5]



Ketiga pendapat tersebut sebenarnya tidak ada yang paling benar, sehingga yang satu menyalahkan yang lain. karena persoalan pemahaman sebenarnya bersifat relatif kebenarannya adapun kebenarannya yang absolut hanyalah islam itu sendiri, kontraversi yang sering timbul dalam pemahaman pendidikan islam sangat berdampak terhadap kesiapan kelembagaan pendidikan islam dalam merancang system pendidikan yang tepat untuk merespon perkembangan masyarakat keikinian. Sehingga lewat makalah ini penulis merasa berkompetisi untuk menyelam dan mengkaji alasan problematic yang mendasarinya serta berniat memberikan solusi atas permasalahan tersebut dengan mengangkat Topik Makalah Dengan judul �Lambatnya Perumusan Pendidikan Islam Dalam Merespon Kecenderungan Perubahan Masyarakat Kekinian�.

B.      Konsep Pendidikan Agama Islam

1.      Pengertian Pendidikan Agama Islam

Pada saat ini dunia pendidikan memiliki banyak cabang, di antaranya pendidikan bahasa Inggris, pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan Dasar Matematika, pendidikan Islam dan lain-lain. dalam bab ini yang akan dibahas adalah tentang pendidikan Islam. istilah pendidikan Islam berasal dari gabungan dua kata yaitu kata �pendidikan� dan �Islam�. dalam bahasa Arab, pendidikan Islam dikenal dengan At Tarbiyatul Al Islamiyah (��������� ���������). Adapun  dalam bahasa Inggris sering disebut Islamic Education.

Kata pendidikan yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.[6]Sedangkan Islam yaitu agama universal yang Allah perintahkan kepada seluruh manusia dan imani Rosul-Rosulnya.[7]Jadi pendidikan Islam yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran tentang Agama Universal.



Pendidikan merupakan kata yang sudah sangat umum. Karena itu, boleh dikatakan bahwa setiap orang mengenal istilah pendidikan. Begitu juga Pendidikan Agama Islam ( PAI ). Masyarakat awam mempersepsikan pendidikan itu identik dengan sekolah, pemberian pelajaran, melatih anak dan sebagainya. Sebagian masyarakat lainnya memiliki persepsi bahwa pendidikan itu menyangkut berbagai aspek yang sangat luas,termasuk semua pengalaman yang diperoleh anak dalam pembetukan dan pematangan pribadinya, baik yang dilakukan oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri. Sedangkan Pendidikan Agama Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan berisikan ajaran Islam.



Pendidikan sebagai suatu bahasan ilmiah sulit untuk didefinisikan. Bahkan konferensi internasional pertama tentang pendidikan Muslim (1977) , seperti yang dikemukakan oleh Muhammad al-Naquib al-Attas, ternyata belum berhasil menyusun suatu definisi pendidikan yang dapat disepakati oleh para ahli pendidikan secara bulat .



Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa :"Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".[8]



Sedangkan definisi pendidikan agama Islam disebutkan dalam Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SD dan MI adalah :



"Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertakwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman."



Sedangkan menurut Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar untuk menyiapkan siswa agar memahami ajaran Islam (knowing), terampil melakukan atau mempraktekkan ajaran Islam (doing), dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari (being).



Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran Islam, keterampilan mempraktekkannya, dan meningkatkan pengamalan ajaran Islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan utama Pendidikan Agama Islam adalah keberagamaan, yaitu menjadi seorang Muslim dengan intensitas keberagamaan yang penuh kesungguhan dan didasari oleh keimanan yang kuat.



Upaya untuk mewujudkan sosok manusia seperti yang tertuang dalam definisi pendidikan di atas tidaklah terwujud secara tiba-tiba. Upaya itu harus melalui proses pendidikan dan kehidupan, khususnya pendidikan agama dan kehidupan beragama. Proses itu berlangsung seumur hidup, di lingkungan keluarga , sekolah dan lingkungan masyarakat. Salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pendidikan agama Islam saat ini, adalah bagaimana cara penyampaian materi pelajaran agama tersebut kepada peserta didik sehingga memperoleh hasil semaksimal mungkin.



Apabila kita perhatikan dalam proses perkembangan Pendidikan Agama Islam, salah satu kendala yang paling menonjol dalam pelaksanaan pendidikan agama ialah masalah metodologi. Metode merupakan bagian yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari semua komponen pendidikan lainnya, seperti tujuan, materi, evaluasi, situasi dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Pendidikan Agama diperlukan suatu pengetahuan tentang metodologi Pendidikan Agama, dengan tujuan agar setiap pendidik agama dapat memperoleh pengertian dan kemampuan sebagai pendidik yang professional.



Guru-guru Pendidikan Agama Islam masih kurang mempergunakan beberapa metode secara terpadu. Kebanyakan guru lebih senang dan terbiasa menerapkan metode ceramah saja yang dalam penyampaiannya sering menjemukan peserta didik. Hal ini disebabkan guru-guru tersebut tidak menguasai atau enggan menggunakan metode yang tepat, sehingga pembelajaran agama tidak menyentuh aspek-aspek paedagogis dan psikologis.



Setiap guru Pendidikan Agama Islam harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai berbagai metode yang dapat digunakan dalam situasi tertentu secara tepat. Guru harus mampu menciptakan suatu situasi yang dapat memudahkan tercapainya tujuan pendidikan. Menciptakan situasi berarti memberikan motivasi agar dapat menarik minat siswa terhadap pendidikan agama yang disampaikan oleh guru. Karena yang harus mencapai tujuan itu siswa, maka ia harus berminat untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk menarik minat itulah seorang guru harus menguasai dan menerapkan metodologi pembelajaran yang sesuai.



Metodologi merupakan upaya sistematis untuk mencapai tujuan, oleh karena itu diperlukan pengetahuan tentang tujuan itu sendiri. Tujuan harus dirumuskan dengan sejelas-jelasnya sebelum seseorang menentukan dan memilih metode pembelajaran yang akan dipergunakan. Karena kekaburan dalam tujuan yang akan dicapai, menyebabkan kesulitan dalam memilih dan menentukan metode yang tepat.



Setiap mata pelajaran memiliki kekhususan-kekhususan tersendiri dalam bahan atau materi pelajaran, baik sifat maupun tujuan, sehingga metode yang digunakan pun berlainan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya dari segi tujuan dan sifat pelajaran tawhid yang membicarakan tentang masalah keimaman, tentu lebih bersifat filosofis, dari pada pelajaran fiqih, seperti tentang shalat umpamanya yang bersifat praktis dan menekankan pada aspek keterampilan. Oleh karena itu, cara penyajiannya atau metode yang dipakai harus berbeda.[9]



Selain dari kekhususan sifat dan tujuan materi pelajaran yang dapat membedakan dalam penggunaan metode, juga faktor tingkat usia, tingkat kemampuan berpikir, jenis lembaga pendidikan, perbedaan pribadi serta kemampuan guru , dan sarana atau fasilitas yang berbeda baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini semua sangat mempengaruhi guru dalam memilih metode yang tepat dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.



Seluruh umat manusia harus mengetahui tentang pendidikan Islam secara keseluruhan agar memantapkan keimanan dan ketaatan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. apabila mereka tidak mengetahui tentang pendidikan Islam sama saja, mereka hanya Islam dalam KTP (Islam KTP). Pada hakikatnya, mereka mengakui bahwa mereka beragama Islam, tetapi mereka tidak mengetahui apa agama Islam itu.



Pendidikan Islam dapat dijumpai di berbagai lembaga-lembaga yang berbasis Islami mulai dari tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi, seperti: MI, pondok pesantren, MTs, MA, IAIN, dan lain-lain. Namun pendidikan Islam juga bisa diperoleh di lembaga-lembaga umum misalnya : SD, SMP, SMA, SMK, dan lain-lain, sebagai salah satu mata pelajaran.



Pendidikan Islam dikaitkan dengan konsepsi kejadian manusia yang sejak awal kejadiannya sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna yang dibekali potensi akal dan ilmu.[10]Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna harus bisa menjadi khalifah yang berilmu dan bertanggungjawab atas apa yang telah dipimpinnya.



2.      Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam



Setiap pengetahuan atau ilmu mempunyai dasar-dasarnya. Dasar pendidikan Islam adalah Al-Qur�an dan Al-Hadits (sunah Nabi). Di atas kedua pilar ini dibangun konsep dasar pendidikan Islam.[11]Menuntut ilmu adalah instruksi agama, karena ilmu merupakan salah satu bekal manusia di alam kubur agar tidak tersiksa di alam baqa�. Allah SWT. memerintahkan manusia untuk membaca sesuai firman-Nya :



�&t??%$# EO??$$I/ y7In/u? ?I%�!$# t,n=y{ CEE   t,n=y{ z`�|?SM}$# �`IB @,n=t? CEE   �&t??%$# y7?/u?ur ?Pt??.F{$# C?E   ?I%�!$# zO�=t? EOn=s)?9$$I/ C?E   zO�=t? z`�|?SM}$# $tB ?Os9 �Ls>��t? CIE  







Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,  Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.



Demikian juga dalam hadits Nabi perintah menuntut ilmu sebagai kewajiban yang harus dilakukan umat Islam, meskipun tempat menuntut ilmu di daerah non Muslim, seperti hadits Nabi:



���� ����� ��� ������.



Artinya: �Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina.�



Dari konsep tersebut sangat terlihat jelas bahwa islam sangatlah merespon masalah pendidikan, sementara  Tujuan dari Pendidikan Islam adalah sebagai berikut:



a.         Mengarahkan manusia agar menjadi khalifah Tuhan muka bumi dengan sebaik-baiknya, yaitu melaksanakan tugas memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan aturan-aturan dan kehendak Tuhan.



b.        Mengarahkan manusia agar tugas kekhalifahannya di muka bumi dilaksanakan dalam rangka beribadah kepada Tuhan SWT.



c.         Mengarahkan manusia agar berakhlak mulis, sehingga  ia tidak menyalahgunakan fungsi kekhalifahannya.



d.        Membina dan mengarahkan potensi akal, jiwa dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan ketrampilan untuk mendukung tugas pengabdian dan kekhalifahanya.



e.         Mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat�.[12]



Pendidikan Islam berfungsi membina dan menyiapkan peserta didik yang berilmu, berteknologi, beriman, dan beramal sholeh. Untuk melahirkan manusia yang baik (ahsan) agar bisa menjalankan kekhalifahannya di muka bumi. Semua dilakukan hanya semata-mata untuk beribadah kepada Allah. hal ini diperkuat dengan firman Allah:



����� �������� �������� ��������� ���� �������������. (56)



Artinya: �Tidaklah kami menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah�.







C.       Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam.



Pendidikan agama islam adalah keseluruhan dari ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hal tersebut dapat dipahami bahwa ruang lingkup pendidikan agama islam meliputi keserasian, keselarasan dan keseimbangan antara:



1.        Hubungan Manusia dengan Allah SWT



2.        Hubungan Manusia dengan sesame Manusia



3.        Hubungan manusia dengan dirinya; dan



4.        hubungan manusia dengan mahkluk lain di lingkungannya



Ada ruang lingkup bahan Pelajaran Pendidikan agama islam meliputi tujuh unsure pokok, yaitu:



1.        Keimanan



2.        Ibadah



3.        Al-Qur�an



4.        Akhlak



5.        Muamalah



6.        Syariah, dan



7.        Tarikh.[13]



Pendidikan islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia pada aspek rohani dan jasmani dengan cara bertahap oleh karena itu suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan/pertumbuhan dapat tercapai melalui proses karena tidak ada satupun mahkluk ciptaan Tuhan diatas bumi ini dapat mencapai kesempurnaan/kematangan hidup tanpa berlangsung sebuah proses. Akan tetapi suatu proses yang diinginkan disebuah lembaga pendidikan adalah proses yang terarah dan bertujuan yaitu mengarahkan anak didik kepada titik optimal kemampuannya sehingga pendidikan sebagai suatu proses bukan suatu seni atau teknik.



Pendidikan islam akan kita ketahui penekanannya pada keseimbangan dan keseriusan perkembangan hidup manusia. Maka pendidikan islam menurut Prof. Dr Omar Muhammad Al-Touny Al-Syahbani[14]diartikan sebagai usaha mengubah tingkahlaku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatan dan kehidupan pada alam sekitarnya melalui proses kependidikannya dan kehidupan pada alam sekitarnya melalui proses kependidikan yang dilandasi dengan nilai-nilai islam



Pendidikan merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan kemampuan proses kependidikan manusia akan dapat dimanusiakan yang mampu menaati ajaran agama-Nya dengan menyerahkan diri secara total.



Pendidikan adalah tuntutan manusia sejak ia lahir hingga mencapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dan lingkungan masyarakatnya. Menurut Mortimer J Adler[15]mengartikan pendidikan adalah proses dengan mana semu kemampuan manusia bakat serta kemampuan lain yang diperolehnya dapat mempengaruhi untuk disempurnakan dengan kebiasaan yang baik



Sedangkan menurut Hernan H. Horne dalam J Adler menginginkan pendidikan harus dipandang sebagai suatu proses penyesuaian diri manusia dengan alam sekitarnya, sesama manusia dan kosmos yang berlaku di sekitarnya.[16]



Tapi pada kongres se-dunia pada tahun 1980. Dinyatakan bahwa pendidikan islam untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, aspiritukal, pikiran, kecerdasan, dan panca indra. Oleh karena itu pendidikan islam harus mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan bahasa baik secara individu maupun kelompok serta mendorong aspek-aspek kearah kebaikan dan kearah pencapaian kesempurnaan hidup.



Jadi melatih dan mengembangkan (cater for) mengandung pengertian tentang usaha meningkatkan taraf kehidupan melelui seluruh aspek-aspek untuk mengarahkan proses pendidikan islam. Yang tidak mungkin dapat sampai ketujuan yang telah ditetapkan, tanpa melalui proses tahap demi tahap. Mengingat manusia dengan kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai kematangan hidup, setelah berkembang mellui tingkat hidup kejiwaan dan kejasmanian dengan pengaruh atau bimbingan dari generasi yang diperoleh. [17]



Dalam kaitannya dengan esensi pendidikan islam yang dilandasi oleh filsafat pendidikan yang benar dan mengarahkan proses kependidikan islam menurut, Dr. Muhammad Fadel Al-Jawali guru besar pendidikan di unifersitas Tunisia, mengungkapkan cita-citanya bahwa pendidikan yang harus dilaksanakan oleh umat islam adalah pendidikan keberagaman yang berlandaskan keimanan yang berdiri diatas filsafat pendidikan yang bersifat menyeluruh. Beliau juga menambahkan iman yang benar menajadi dasar dari setiap usaha pendidikan yang benar, karena iman yang benar memimpin manusia kearah ahklak mulia. Ahlak mulia memimpin manusia kearah usaha mendalami harkat dan menuntut ilmu yang benar sedangkan ilmu yang benar memimpin manusia kearah amal saleh. [18]



Yang dipandang sebagai ilmu yang benar yang mampu menghasilkan amal saleh adalah luas cakupannya, yaitu ilmu yang dapat memberikan manfaat kepada kehidupan dunia yang serba modern dalam semua bidang baik yang bersifat teoritis maupun praktis, berupa sains dan teknologi modern.



Menurut Muhammad Fadil Al-Djawali, Pendidikan islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan yang mengangkat derajat kemanusiannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar).



Dengan demikian pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan, keterbukaan terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari diri anak didik. Demikian barulah fitrah untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan factor dari luar akan mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar. Oleh karena itu pendidikan secara operasional mengandung dua aspek yaitu aspek menjaga atau memperbaiki serta aspek menumbuhkan dan membina. [19]



Dalam merumuskan suatu kurikulum pendidikan islam tentunya melibatkan komponen utama yaitu target dan tujuan yang sangat jelas dan komprehensif, karena manfaat bagi peserta didik untuk dapat menentukan kandungan dan metode yang ingin dicapai pendidikan tersebut. Dalam proses pendidikan islam metode yang dianggap tepatguna dengan berdaya apabila ia mengandung nilai-nilai intrinsic dan ekstrinsic yang sejalan dengan materi pelajaran secara fungsional dapat dipakai untuk merealisasikan nilai-nilai ideal yang terkandung dalam tujuan pendidikan islam, karena inti yang menjadi tujuan akhir dari pada pendidikan islam adalah menjadi peserta didik sebagai manusia yang paripurna atau insane kamil dalam bahasa Al-Qur�an.



H. M. Arifin   dal;am bukunya ilmu pendidikan agama islam menjelaskan yang dimaksud dengan pendidikan islam adalah menanamkan akhlak dan takwa serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur menurut ajaran islam. [20]



Sementara Menurut H. A. Rahman Getteng yang mengomentari pendidikan islam di Indonesia menjelaskan bahwa tujuan pendidikan islam di Indonesia adalah terbentuknya manusia muslim yang memiliki budi pekerti luhur dan berkepribadian pancasila. [21]



Sedangkan Syahminan Zaini merumuskan bahwa pendidikan islam ialah usaha mengembangkan fitra manusia dengan ajaran agama islam, agar terujud (tercapai) kehidupan manusia yang makmur dan bahagia.



Berbagai batasan mengenai pendidikan islam yang telah penulis ketengahkan di atas, pada intinya memiliki suatu kesamaan persepsi tentang tujuan diterapkannya pendidikan islam. Yakni pada intinya diharapakan manusia tersebut dapat terbentuk kepribadiannya menjadi manusia yang sempurna yang diistilahkan insan Kamil. Maka untuk membentuk sosok manusia sempurna tersebut tentunya bukan hal yang mudah dalam suatu proses pendidikan islam, apabila hal itu tidak memilki pilihan yang jelas dan tegas mengenai konsep pendidikan yang sebagai sarana untuk mencapai tujuan pendidikan islam. Orientasi pendidikan islam adalah memenuhi kebutuhan umat manusia yang menambahkan kemajuan yang dapat mensejahterahkan hidupnya masa kini, masa datang dan masa depannya di ahirat kelak. [22]



Istilah tarbiyah yang dijadikan konsep untuk memaksudkan pendidikan islam, telah umum dipakai atau digunakan menurut Al-Nahlawi dan Baidhawi bahwa istilah pendidikan tersebut memenuhi atau mencakup 4 (empat) unsure yaitu:



1.    Menjaga dan memlihara fitrah anak menjelang dewasa (balig)



2.    Mengembangkan seluruh potensi



3.    Mengarahkan seluruh fitrah dan potensi menuju kesempurnaan



4.    Dilaksanakan secara bertahap. [23]



Menurut hasan Langgulung dalam bukunya pendidikan dan peradaban islam, menjelaskan bahwa sistem pendidikan yang diterapkan di barat sangat menekankan pada aspek pengajaran dan latihan, dan sedikit sekali menekankan perhatian pada aspek bagaimana pendidikan tersebut dapat dibentuk sehingga mampu melahirkan sikap siterdidik agar mempuhnyai akhlak yang menjadi dasar dari setiap budaya. [24]



Pendidikan islam pada dasarnya adalah merupakan upaya pembinaan dan pengembangan potensi manusia agar tujuan kehadirannya didunia sebagai hamba dan sekaligus sebagai khalifa Allah.



Pendidikan islam merupakan tema yang sengaja diangkat untuk melihat dan meneliti tentang kelayakannya dalam penerapan proses keberhasilannya pada lembaga pendidikan umum dalam rangka pembinaan pengajaran serta pembentukan peserta didik (siswa) menuju manusia yang paripurna menurut kehendak agama islam. Menurut H. Zuhairini dalam Namsa[25]mendefinisikan pendidikan agama sabagai usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran islam. Sedangkan, pengajaran agama berarti pemberian pengetahuan agama kepada anak, supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.



Rumusan pengertian-pengertian pendidikan di atas kiranya dapat membantu pemahaman tentang pengertian pendidikan/pengajaran agama islam dengan tetap berpijak pada peradaban-peradaban dan persamaan-persamaan sehingga akan muncul kearufan dan kebijakan untuk menelaah dan menerjemahkan sesuai kondisi serta kebutuhan itu sendiri. Maka pendidikan agama islam adalah usaha sadar yang berlangsung dalam kehidupan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam membentuk kepribadian serta kebahangiaan dan kesejahteraan hidupnya.







D.      Lambatnya Rumusan Pendidikan Islam Terhadap Arus Perubahan Sosial



Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.[26]



Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan.



Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya dan tidak memiliki cirri khas keagamaan secara baik.



Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.



Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang �terkurung� dalam satu �ruang asing� yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.[27]



Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi �kecil� dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain.� Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state.



Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as the economic world system.



Adapun jika melihat diskursus diatas, maka respon lembaga pendidikan Islam dewasa ini dapat dikatakan terbagi kepada 2 (dua) bagian, dimana kedua respon ini memiliki daya positif yang perlu kita kaji secara seksama.



Pertama, lembaga pendidikan Islam yang tetap berpegang teguh pada tradisi ilmiah konvensional. Lembaga pendidikan Islam yang memiliki corak seperti ini masih dapat kita temukan pada pondok-pondok pesantren salaf, dimana mereka tetap mempertahankan metode pengajian dan pembelajaran yang dilaksanakan sama dengan (tanpa perubahan) dengan system yang telah ada semenjak lembaga pendidikan tersebut didirikan. Karena asumsi mereka perubahan yang ada, terutama perubahan yang terjadi dari sisi ekonomi, globalisasi dikhawatirkan dapat merusak tatanan pendidikan keislaman dan akhlak peserta didik.



Kedua, lembaga pendidikan Islam yang terbuka dan senantiasa menyesuaikan perkembangan zaman. Lembaga seperti ini dapat ditemukan pada pondok pesantren modern serta lembaga pendidikan Islam yang telah menyelenggarakan Madrasah. Dimana mereka tidak hanya mengajarkan tentang kurikulum keagamaan sebagai pondasi pembinaan keimanan dan akhlak peserta didik, tetapi lembaga pendidikan Islam jenis ini pun menerapkan system tekhnologi dan informasi untuk menerjemahkan ilmu kepada peserta didiknya.



Namun bagaimanapun, berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:



1.    Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)



2.    Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)



3.    Tercapainya tujuan hablum minal�alam (hubungan dengan alam).[28]







F.      Respon Perubahan Sosial Terhadap Lembaga Pendidikan Islam



Permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas, peralatan dan juga terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.



Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat. Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.



Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan �kelas dua�. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan �kelas dua� dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas.



Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya.[29]



Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih.[30]











F.      Kesimpulan.



pengertian pendidikan islam sebagai uapya menggembangkan, mendorong, serta mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. Sebenaranya pendidikan dan pendidikan islam tidak jauh berbeda, dilihat dari pengertiannya. Beda dengan pendidikan yang ada di barat, dimana  Pengertian Pendidikan Barat. Seperti yang ditulis sebelumnya bahwa tujuan pendidikan itu tidak bisa lepas dari tujuan hidup manusia. Sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival), baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Dengan begitu tujuan pendidikan harus berpangkal pada tujuan hidup. Di Barat, pendidikan menjadi ajang pertarungan ideologis dimana apa yang menjadi tujuan pendidikan secara tidak langsung merupakan tujuan hidup  berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain . Di sinilah perbedaan pendapat para filosof Barat dalam menetapkan tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT yang menggambarkan orang-orang Dahriyyun (Naturalist), Mereka berkata tidak ada hidup kecuali hidup kita di dunia ini. Kita mati kita hidup, tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa. Sedangkan mereka dalam hal ini tidak tahu apa-apa. Mereka hanyalah menyangka-nyangka.



Pada tataran filosofis dan praksis pendidikan Islam di Indonesia tak luput dari bermacam persoalan baik yang bersifat akut maupun faktual. Persoalan akut seperti diskursus yang tak kunjnung usai antara ilmu agama dan ilmu umum. Sementara problema faktual lebih terkait pada masalah-masalah teknis implementatif pelaksanaan pendidikan Islam. Peta pendidikan Islam meliputi pertama: pendidikaan keagamaan yakni diniyah, pesantren; kedua: matakuliah/ pelajaran Agama Islam di IAIN/Perguruan Tinggi & TK//SD/SMP/A; serta ketiga: pendidikan umum bercirikan Islam seperti TKI/RA/BA, SDI/MI/MTs, SMUI/MA/K dan PTAI.



Berbagai persoalan dan hambatan mencuat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam tak dapat dielakkan sebagai ekses dari implementasi kebijakan pendidikan nasional yang di disain pemerintah. Persoalan di hulu yang berkaitan filosofis pendidikan Islam telah menimbulkan diskursus, demikian pula di hilir pada tataran implementatif pendidikan Islam masih jauh dari kesempurnaan spirit ajaran Islam. Senyata dan sejatinya nilai-nilai Islam sangat universal dan pengejawantahan nilai-nilai Islam akan membawa manfaat bagi semua (rahmatan lil alamin).



Apabila dipandang dari era modern ini. Perumusan pendidikan islam harus modern, yaitu; pendidikan islam sebisa  menyentuh setiap aspek kehidupan peserta didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat peserta didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar.







G.      Implikasi



Tidak banyak berbeda dengan praktek pendidikan lain pada umumnya, pendidikan Islam juga terkena demam pendidikan sebagai pabrik tenaga kerja. Bahkan dalam kasus tertentu lembaga pendidikan Islam kalah jauh dalam menciptakan tenaga kerja andal terutama di bidang teknologi. Pada dasarnya dunia pendidikan Islam tidak seharusnya menolak terhadap praktek pendidikan tekno-okonomis oriented. Selama memperhatikan dimensi-dimensi intelektual, kultural, nilai-nilai transendental, keterampilan fisik, dan kepribadian, maka orientasi tersebut justru amat diperlukan. Hal ini menandakan bahwa seharusnya praktek pendidikan harus mampu mengintegrasikan kebutuhan pragmatis dan obyektif dengan kebutuhan idealisme. Pendidikan bukan sekedar industri tenaga kerja atau intelektual, tetapi sekaligus menumbuhkembangkan industri ukhrawi dan duniawi; sekuler sekaligus transenden. Lembaga pendidikan Islam seharusnya mengintegrasikan dimensi kecerdasan, moralitas, dan profesionalitas dan menjadikannya sebagai orientasi dalam pelaksanaan pendidikan.











[1] Sekretariat MPR/DPR RI, GBHN, (Jakarta: Sekretariat MPR-RI, 1999-2004), hal. 60



[2] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet  I; Jakarta: PT  Bumi  Aksara  2003),  hal. 12



[3] Sekertaris MPR/DPR RI, 1999. GBHN 1999-2004, Jakarta : Sekretariat MPR-RI, hal. 60



[4] George J. Mouly, tth. Psychology for effective Teaching, New York: Holt Rincheat and Winston, hal. 278



[5] H. Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan.., Op.Cit, hal. 77



[6] http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan, di akses pada tanggal 12 Oktober 2014



[7] http://islam.murni.wordpress.com/2009/10/31/definisi Islam/, di akses pada tanggal 12 Oktober 2014  



[8] Sekretariat MPR/DPR RI, GBHN, (Jakarta: Sekretariat MPR-RI, 1999-2004), hal. 60



[9] http://illsionst.blogspot.com/2011/06/pendidikan-islam-di-era-globalisasi.html , di akses pada tanggal 12 Oktober 2014



[10] Ahmad Arifin, (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. (Cet.II; Yogyakarta: Teras, 2009). hal. 1



[11] Haidar Putra Daulay, Pemberdayaan Pendidikan Islam di Indonesia. (Cet.I; Jakarta: Rineka Cipta. 2009), hal. 7



[12] Ahmad Arifin, (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan ...., Op.Cit, hal. 36.



[13] H.M. Arifin., Opcit., hal. 24



[14] Ibid,  hal. 12



[15] Mortimer, j. Adler, 50 pemikir paling berpengaruh terhadap dunia pendidikan modern



[16] Ibid.  hal.  13



[17] Filsafat pendidikan islam, Muzayyin Arifin Hasil kongres se-Dunia tentang pendidikan islam dan kurikulum pendidikan islam tahun 1980., hal. 15



[18] Muhammad Fadiil Al-Jawali, Filsafat Islam.  (Cet  II; Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998),  hal. 17



[19] Ibid,., h 17



[20] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Op. Cit.., hal. 21



[21] H.A. Rahman Getteng, Sistem Informasi Manajemen Pendidikan,  (Cet II, Jakarta: Bumi Aksara Bandung 2006), hal. 56



[22] Yunus Namsa, Metodologi Pendidikan Islam, (Cet.I; PT Surya Sarana Utama divisi Grafika, 2003). hal. 39



[23] Al-Nahlawi dan Badawi, Filsafat Islam.  (Cet. II., Bandung: Mizan 2001), hal. 21



[24] Hasan Langgulung, pendidikan Dan Peradaban Islam., (Cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), hal. 54



[25] Yunus Namsa, Op. Cit. ��hal. 7



[26] Hasan Langgulung, pendidikan Dan.., Op.Cit, hal. 71



[27] Al-Nahlawi dan Badawi, Filsafat Islam, Op.Cit. hal. 55



[28] Ahmad Arifin, (ed). Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan ...., Op.Cit, hal. 44



[29] Ibid, hal. 50-51



[30] Hasan Langgulung, pendidikan Dan.., Op.Cit, hal. 121