Hadis Nabi tentang diharamkannya Tatto

Admin Saturday, December 25, 2010

Hadis Nabi tentang diharamkannya Tatto

(Perspektif Sosial Budaya)
Abstrac: From time to time, tatto with both of it’s definition and function always changes. In the past, it was used to give a mark for certain animals and cattles. And nowadays, tatto in our latest culture, was considered as one of art expression. In relation with the Islamic tradition which literally prohibited using of Tatto, this article is written to get down to how the phenomen of Tatto is, and what must be the best understanding to compromize both of two important things : Islamic Tradition, and the Indonesian social culture.

Kata Kunci : Tatto, Indonesia, hadis dan Sosial Budaya
A. Fenomena Tatto dalam tradisi ke-Indonesia-an Kontemporer : Ragam pemaknaan masyarakat kita tentang Tatto
image / pixabay.com
Diantara anggapan yang banyak beredar dalam masyarakat kita dewasa ini tentang tatto adalah kedudukannya sebagai bagian dari seni (Part of Art). Ber-tatto adalah kegiatan seni grafis dengan menggambar sebuah pola atau desain.[1] Dengan kata lain, selain berwujud artefak nyata yang dapat dilihat dan dirasakan, tatto adalah entitas yang memiliki nilai-nilai estetis yang mampu mengekspresikan perasaan emosional pemiliknya secara individual dan subjektif dan suka - suka.[2]

Di Indonesia, konsumsi paling banyak terhadap tatto dilakukan oleh kelompok remaja. Misalnya komunitas Punker dan Rocker. Menurut mereka, selain mampu mewadahi kreativitas dan menjadi ekspresi seni, tatto dibuat untuk menunjukkan identitas kelompok. Untuk memasang tattopun tidaklah susah, di sepanjang jalan Malioboro (Yogyakarta) seseorang bisa memasang tatto (temporal) dengan waktu yang singkat dan biaya yang sangat terjangkau. Tak hanya itu, trend tatto ini, juga gencar dilakukan oleh banyak seniman dan musisi tanah air. Sebut saja Tora Sudiro, Nava Urbach dan Sella Marcia yang dengan bangganya memamerkan tatto mereka.

Menurut Hatib Abdul kadir Olong, tatto di kalangan para pemuda adalah budaya tanding (counter culture). Yaitu budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai ajang perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Dengan kata lain, tato secara ideal merupakan bentuk penantangan, protes politis, hingga perang gerilya semiotik terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan.[3]

Agaknya, telah terjadi pergeseran paradigmatik dalam masyarakat tentang pemaknaan tatto. Jika dahulu, tatto identik dengan sosok penjahat dan kriminal, maka sekarang, tatto tidak dapat digunakan sebagai satu – satunya tolok ukur dalam menilai apakah seseorang itu jahat atau tidak.[4] Meskipun masih banyak kalangan yang menganggap bahwa pemakaian tatto adalah sesuatu yang tabu, tetapi ada sebagian kalangan yang lain yang tampaknya tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Dari perspektif sosiologis, counter culture merupakan gejala sosial yang lumrah terjadi, apalagi dalam masuarakat majemuk. Keinginan untuk eksis, dan pergerakan untuk mencari perhatian lebih adalah sesuatu yang wajar. Namun tentu saja, budaya baru tersebut tak lepas dari nilai positif dan negatif yang meliputinya. Meskipun tak ada tolok ukur yang pakem dalam menentukan apakah sebuah budaya termasuk “baik” atau “buruk”, setidaknya dengan melihat dampak – dampak yang diakibatkan olehnya, akan memberikan kita gambaran tentang bagaimana kita harus menyikapinya. Dampak – dampak inilah yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.

B. Definisi tatto dan sejarah perkembangannya : tinjauan historis

Untuk mendapatkan gambaran yang memadai mengenai sejauh mana tatto eksis dalam kehidupan masyarakat kita dan apa serta bagaimana jenis tatto yang banyak digunakan, penting diungkapkan terlebih dahulu sejarah perkembangan tatto tersebut. Paparan ini, juga akan digunakan sebagai pertimbangan – pertimbangan dalam menarik konklusi dari keseluruhan analisa yang digunakan.

Tatto berasal dari bahasa Tahiti, Tatau, yang berarti tanda atau gambar pada kulit seseorang yang dibuat dengan cara menusuk, menggores, ataupun melukai dengan sesuatu alat yang tajam atau runcing yang telah dicelupkan kedalam tinta, sehingga bekas luka tersebut akan membekas seumur hidup. Sehingga sebenarnya tatto adalah bekas luka tersebut.[5]

Dalam catatan Ady Rosam, Dosen seni rupa, universitas Negeri Padang, Sumatra Barat, tatto tertua di dunia adalah tatto Mentawai.[6] Menilik sejarahnya, masing – masing kebudayaan memiliki alasan tersendiri dalam pemakaian tatto. Bangsa Yunani kuno memakai tatto sebagai tanda pengenal para anggota badan intelijen mereka. Sebuah tatto menunjukan pangkat dari si mata-mata tersebut. Berbeda dengan bangsa Romawi yang menggunakan tattoo untuk tanda bahwa seseorang itu berasal dari golongan budak.[7]

Adapun di Mentawai, tatto mempunyai beragam makna dan fungsi. Tatto bagi Suku Mentawai merupakan identitas dari individu dalam kelompok. Masing-masing bentuk gambar tatto, mencerminkan sebuah status Sosial khusus. Seorang dukun mempunyai tatto bermotif bintang di bagian bahu, tatto bermotif binatang menandakan sebagai seorang pemburu binatang. Sedang tatto yang bermotif lingkungan seperti batu, tumbuh-tumbuhan merupakan suatu bentuk sinergitas masyarakat dengan alam[8]

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa tatto dalam sejarah awalnya lebih dianggap sebagai sesuatu kebutuhan yang primer dari pada fungsinya sebagai ekspresi seni. Motif pembuatan tatto di masa – masa itu adalah : (1) penanda suatu identitas tertentu (2) wujud manifestasi mistisme yang berdasarkan keyakinan akan sakralitas gambar – gambar dalam tatto. Dan  dalam presentasi kecil, (3) dipakai untuk menghias diri.

Begitulah perkembangan pemahaman masyarakat tentang tatto. Sedangkan jika dilihat dari bahan serta cara membuatnya, tatto juga terus mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi masyarakat dan level pengetahuan di zamannya.

Pada awalnya, Orang-orang pedalaman masih menggunakan teknik manual dan dari bahan-bahan tradisional. Orang-orang Eskimo misalnya, memakai jarum yang terbuat dari tulang binatang. Di kuil-kuil Shaolin menggunakan gentong tembaga yang dipanaskan untuk mencetak gambar naga pada kulit tubuh. Sedang di Mentawai, zat pewarna (pigmen) yang digunakan merupakan hasil olahan dari tumbuh – tumbuhan yang ditumbuk.

Sungguh kontras jika dibandingkan dengan keadaan sekarang saat pembuatan Tatto dilakukan dengan mesin elektrik. Cara pembuatannya adalah dengan memasukkan (menyuntikkan) tinta ke dalam lapisan paling luar kulit epidermis seseorang. Tinta itu kemudian akan menyatu dengan sendirinya dengan bagian kulit tersebut. Ketika jarum mesin tinta menusuk kulit, jarum tersebut telah memasukkan tinta dan menyimpannya di bagian dermis kulit. Secara kasat mata tatto berada dibagian epidermis, atau dibagian lapisan luar kulit. Dermis ini terletak di bagian lapisan kedua dari kulit, karena pada sel dermis kondisi selnya lebih stabil dari pada lapisan epidermis sehingga tinta tatto akan selamanya berada disana sepanjang usia orang yang menggunakannya (baca : permanen).[9]

Sebagian tinta tattoo secara teknis bukan merupakan tinta pada umumnya. Tinta tattoo adalah pigmen yang tersuspensi dalam cairan khusus (carrier solution). Sedangkan pigmen itu sendiri tidak semuanya berasal dari tumbuhan. Namun ada yang berasal dari logam dan polimer tertentu. Pigmen-pigmen inilah yang nantinya akan menentukan warna pada tattoo.

Dulunya pigmen hanya berasal dari mineral tanah bagian atas, karbon hitam, dan sintesis dari tumbuh-tumbuhan, namun kini sudah banyak industri pigmen sintesis yang bukan saja berasal dari tumbuhan, namun juga berasal dari sintesis polimer dan logam dalam bentuk garam-garaman.

Sehingga dapat di pastikan akan memberikan dampak yang sangat jelas jika digunakan pada manusia, mulai dari alergi ringan, penyakit kulit, serta reaksi phototoxic ( yaitu reaksi yang terjadi karena adanya cahaya, terutama cahaya matahari. Dimana pigmen bereaksi dengan cahaya tersebut dan mengakibatkan keracunan atau kerusakkan pada kulit dan sel). pigmen yang bereaksi dengan cahaya biasanya akan berubah menjadi hitam berkilat dan pigmen jenis seperti ini biasanya sangat berbahaya, walaupun sebagian ada yang mungkin cukup aman, namun lebih banyak yang bersifat radioaktif dan toxic.[10] Belum lagi jika penyuntikannya dilakukan dengan jarum dan alat – alat yang tidak steril dan higienis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, dari segi medis, pemakaian tatto sangat tidak dianjurkan[11].

Dari pembahasan di atas, jika, kita menyebut tatto dalam konteks masa sekarang, maka ia merujuk kepada salah satu dari dua jenis tatto yang ada. Pertama, tatto permanen yang dibuat dengan cara dan resiko yang telah dipaparkan panjang lebar di atas. Kedua, temporal, yang dilakukan dengan mengecat kulit luar seseorang dengan pewarna tertentu yang bisa hilang dengan sendirinya setelah waktu tertentu sesuai dengan jenis dan kadar yang digunakan.

C. Pandangan para pakar hukum Islam mengenai konsumsi masyarakat terhadap tatto

Jika demikian kondisi sebenarnya dari tatto dilihat dari pandangan medis, maka ada beberapa pendapat dari para pakar hukum Islam menyikapi fenomena semakin merebaknya tatto di masyarakat.

Dalam fikih Islam klasik, pro dan kontra yang timbul pada permasalahan tatto bukanlah semata – mata berada pada kisaran boleh atau tidaknya menorehkan tatto pada tubuh kita. Karena mayoritas ulama setuju dengan pengharaman tatto karena dua alasan pokok: (1) mengandung unsur menyakiti diri sendiri (Dharar). Dan (2) dianggap sebagai orang yang kufur akan nikmat Allah karena telah merubah ciptaan Allah. Dan (3) memiliki tatto menyebabkan seseorang tidak sah sholatnya, karena tidak memenuhi syarat sahnya sholat : suci pakaian dan badan, dan tempat. Hal ini dikarenakan tinta atau zat pewarna yang digunakan dalam tatto dianggap najis karena bisa dipastikan terkena atau tercampur darah saat proses penusukan jarum tatto. Serta ada anggapan bahwa (4) tatto dapat menghalangi air masuk ke dalam kulit ketika berwudlu dan juga mandi besar.

Meskipun demikian, Sebagian kelompok yang agak toleran menyatakan bahwa yang membuat tatto itu haram adalah proses membuatnya. Adapun masalah tinta yang menutupi kulit, maka sebenarnya tidak demikian. Sebab, sebagaimana keterangan medis,  pada tato, tidak ada lapisan yang menghalangi kulit dari terkena basah air. Hal ini karena tinta tatto itu bukan merupakan selaput yang menutup kulit, melainkan tinta yang masuk ke dalam bagian dalam kulit.[12]

Banyak perbedaan pendapat justru muncul pada keharusan menghapus tatto. Menurut al-Syaikh ‘Abd al-Muhsin al-’Abbād, al-Imām al-Nawāwī, dan Ibnu Hajar, bila tatto dilakukan setelah baligh dengan kemauan sendiri, maka diwajibkan untuk menghilangkannya asalkan mengilangkan tatoo tersebut tidak sampai merusak anggota tubuh (kulit) yang tertatto atau menimbulkan rasa sakit yang di atas kewajaran. Bila demikian, maka tidak diharuskan menghilangkannya dan cukup bertaubat dan sah shalatnya.[13]

Begitulah perdebatan yang terjadi di kalangan Fuqahā’, paling tidak ada dua hal penting yang dapat disimpulkan : (1) para Fuqahā’ juga menunjukkan bahwa, diinjau dari segi fikih, mashlahah pembuatan tatto lebih sedikit dari mafsadahnya. Dan (2) meskipun ada beberapa ahli fikih yang toleran dalam menyikapi permaslahan memasang maupun menghapus tatto, namun semuanya menekankan agar sebisa mungkin tatto dijauhi.

D.                  Memahami hadis tentang dilarangnya tatto : Tinjauan Sosial-Budaya

Bab ini, akan mencoba menjelaskan pokok bahasan dalam makalah ini (tatto dalam perspektif budaya), ditinjau dari hukum Islam ke-dua : hadis Nabi SAW. Sebuah teks hadits yang telah diriwayatkan oleh al- Bukhārī nomor 5476 berbunyi :

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ

 “Rasulullah melaknat wanita yang menyambung rambutnya, melakukan tato di wajahnya, menghilangkan rambut dari wajahnya, menyambung giginya, demi kecantikan, karena mereka telah merubah ciptaan Allah".

  Jika dikaji kulitas hadits tersebut maka akan dijumpai bahwa rantaian para rawi yang terdapat dalam sanad tersebut dapat dinilai shahih karena tidak ada satupun rawi di dalamnya dinilai “buruk”. Juga dari proses takhrīj, hadits ini menunjukkan banyaknya hadits pendukung yang juga diriwayatkan oleh para mukharrij lainnya seperti yang tercantum di bawah ini : Muslim no. 3966, Turmūdzī no. 2706, Nasā’ī no. 5011, 5018, 5019, 5020, 5157, 5158, 5159, Abū Dāwūd no. 3638, Ibn Mājah no. 1979, Ahmad no. 3687, 3749, 3759, 3760, 3881, 3919, 4010, 4058, 4114, 4171, 4196, 3202, dan 2533.

Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi yang meliputinya, serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan.[14]Adalah perlu dipertimbangkan bahwa sebagian hadis adalah berdasarkan suatu kebiasaan (baca : tradisi) temporer di masa itu. Karenanya, tak salah jika kita berpegang kepada makna kandungannya, bukan kepada maknanya secara literal.[15] Inilah yang kemudian mendasari apa yang disebut dengan kontekstualisasi. Bahwa hadis – hadis Nabi terikat dengan kondisi masyarakat di zaman itu, dan para pembacanya, terikat dengan kondisi ia berada. Karenanya tak heran jika kontekstualisasi telah terjadi hampir di setiap proses pemahaman hadis Nabi.[16]

Adapun  konteks sosio-historis saat hadis itu muncul, baik yang mikro maupun makro, dapat dibaca dari paparan Ibn Hajar al-’Asqalānī dalam Fath al-Bārī bi Syarh al-Bukhārī sebagaimana berikut :

al-Wāsyimāt adalah jam’ dari kata Wāsyimah yang berarti orang yang menatto, sedang al-Mustausyimāt adalah jam’ dari kata Musytausyimah yang berarti orang yang meminta ditatto…berkata para pakar bahasa (Arab): al-Wasym adalah menusukkan jarum atau benda lain (yang sepertinya) ke salah satu anggota tubuh sampai keluar darah, kemudian diberi sesuatu hingga berwarna hijau…Imām Abū Dāwūd dalam Sunan-nya menyebutkan: al-Wāsyimah adalah orang yang membuat tanda di wajahnya dengan pewarna ataupun tinta[17]

Penjelasan ini mngindikasikan bahwa tattoo yang dimaksud pada zaman nabi adalah sudah sebagaimana klasifikasi yang dipaparkan pada bab pertama. Sehingga baik yang permanen maupun yang temporal, dua – duanya telah ada pada zaman Nabi SAW. Sehingga pelarangan ini berlaku bagi keduanya.

Dalam hal tatto temporal, keharaman ini didukung oleh firman Allah dalam al –Nisā’ ayat 119 yang berbunyi :

Artinya: “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. Barangsiapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”

Dalam tafsir Aisar al-Tafāsīr, Ibn Jauzī, dan al-Tsa’labī berpendapat bahwa makna kalimat mengubah ciptaan Allah salah satunya adalah dengan mentato[18]

E.                   Kesimpulan

Pada akhirnya, setelah menilik beberapa permasalahan yang berkaitan dengan tatto dan juga respon yang timbul dari kalangan ulama dan juga para medis, maka pemakalah berkesimpulan bahwa pemasangan tatto dalam bentuk temporalnya ataupun permanen tidak diperbolehkan. Hal ini berdasarkan pertimbangan akan:

(1) banyaknya madlarat yang timbul dibandingkan maslahat yang ada pada pemakaian tatto baik dari segi kesehatan maupun hukum Islam (al-Mayaqqah fī adā’ al-Ahkām) Karena pada hakikatnya, dengan mentatto diri berarti sama dengan menyiksa diri. Menyiksa karena terasa sakit dalam proses membuatnya, juga menghilangkannya. Karena satu dari dua cara untuk  menghilangkannya adalah dengan disetrika atau anda dapat memilih teknologi laser yang biaya operasionalnya diperkirakan di atas 50 juta rupiah; dalam hal ini berlaku kaidah : “al-Dhararu Yuzāl.”

(2) Pemakaian tattoo mengandung unsur Syubhāt, karena kebanyakan kita tentu ‘Awwām  tentang bahan – bahan yang digunakan. Maka dalam hal ini berlaku Man ittaqā al-Syubhāt fa qad     fī ‘irdhihi wa dīnihi.

(3) Dari segi historis, perubahan persepsi tentang tattoo cenderung mengalami perubahan yang lebih jelek. Karena orientasi seni tak hanya bisa ditunjukkan dengan tattoo, tetapi masih banyak cara lain yang lebih elegan; dan

(4) Meskipun secara kultural, tattoo telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan masyarakat, hal ini tidak bisa serta merta dijadikan legitimasi akan bolehnya membuat tattoo. Budaya yang ada adalah netral dan sama sekali tidak mengindikasikan bahwa pemakaian tattoo dewasa ini “legal” dan “baik”.

Wa allāhu A’lam bi al-Shawāb

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman. Soeharto : Sisi Gelap Sejarah Indonesia .Yogyakarta : Penerbit Ombak. 2004.

Abdurrahman. Al Jawahir al Hisan fi Tafsir al Qur’an (Tafsir al-Tsa’labi), dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Versi Edisi 2.11.

Al Jazairi, Abu Bakar. “Aysir al-Tafasir”, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Versi Edisi 2.11.

Al-Nawawi. Syarah Shahih Muslim. Dalam CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif.

Al-Qaradhawy, Yusuf. Bagaimana memahami hadis Nabi SAW, terj. Muhammad al-Baqir. Bandung : Kharisma. 1997.

Al Asqalani, Ibnu Hajar. Syarah Shahih Bukhari; Fath al-Bari. Dalam CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif.

Boaz, Franz. Primitive Art. New York  : Dover Publication, Inc. 1955.

Ember, Carol R. dan  Melvin Ember, Cultural Anthropology (New Jersey : Prentice-Hall, Inc. 1977.

Hebidge, Dick. Asal-Usul dan Ideologi Subkultur Punk. Yogyakarta : Penerbit Buku Baik. 1999.

Ilyas, Hamim. Kontekstualisai hadis dalam Studi Agama. dalam ed. Hamim Ilyas, Suryadi, Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta : PT Tiara Wacana. 2002 .

Jacobs, Melville and Stern Berndhard J, General Anthropology : A Brief Survey of Physical, Cultural, and Social Anthropology, (New York : Barnes and Noble, 1952.

Olong, Hatib Abdul Kadir. Tatto. Yogyakarta: LkiS. 2006.

Soemardjo, Jakob. Filsafat Seni. Bandung : ITB Press. 2000.

http//.blogspot.com/2008/04/sejarah-tatto.htm, diakses tanggal 16-10-11.

http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_material/kandungan_bahan_kimia_dalam_tinta_tato/ diakses tanggal 17 Oktober 2009

http://bikin.web.id/tag/dampak-tato/diakses tanggal 18 -10 - 09

http://rixco.multiply.com/journal/item/183/BAHAYANYA_TATOO_DARI_SEGI_MEDIS. diakses tangal 17 Oktober 2009.

http://www.tanyadokteranda.com/artikel/umum/2009/01/tatto-baik-untuk-kulit. diakses tanggal 17 Oktober 2009.

http://safuan.wordpress.com/2007/10/23/pandangan-islam-dan-medis-tentang-merenggangkan-gigi-wasyr-membuat-tato-wasm-dan-menyambung-rambut-washl/. Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

http://images.google.ae/images?um=1&hl=en&sa=X&oi=spell&resnum=0&ct=result&cd=1&q=picture+henna&spell=1. Diakses tanggal 9 Oktober 2009.


[1] Dick Hebidge, Asal-Usul dan Ideologi Subkultur Punk, (Yogyakarta : Penerbit Buku Baik, 1999), hlm. 235-236. Lihat juga Melville Jacobs and Stern Berndhard J, General Anthropology : A Brief Survey of Physical, Cultural, and Social Anthropology, (New York : Barnes and Noble, 1952), hlm. 260.

[2] Jakob Soemardjo, Filsafat Seni, (Bandung : ITB Press, 2000), hlm. 15-16.

[3] Hatib Abdul Kadir Olong, Tatto,(Yogyakarta: LkiS, 2006), hlm. 27.

[4] Di Indonesia, antara tahun 1983-1985, terjadi pembasmian orang-orang bertato, suatu kasus pembunuhan ribuan orang jalanan yang ditembak petrus (pembunuh misterius), yakni penembakan terhadap para preman atau residivis kriminal yang mayatnya ditaruh di tempat umum, jumlahnya mencapai 5000 jiwa. Lihat : Asvi Warman Adam, Soeharto : Sisi Gelap Sejarah Indonesia (Yogyakarta : Penerbit Ombak, 2004)hal.147.

[5] Hatib Abdul Kadir Olong, Tatto...hal. 194-195.

[6]  Menurut penelitian tersebut, tatto telah muncul di banyak tempat di dunia. Diantaranya :  Mesir (1300 SM), Mentawai (pada zaman logam antara 1500-500SM), Siberia (300 SM) dan Inggris (54 SM), serta di suku – suku pedalaman Indian di Amerika, Eskimo, Hawai, dan kepulauan Marquesas. Lihat : http//.blogspot.com/2008/04/sejarah-tatto.htm, diakses tanggal 16-10-11.

Meski demikian, ada perbedaan pendapat antara para sejarawan dalam menentukan tatto tertua di dunia. Pendapat lain mengatakan : menurut data arkeologis, pemakaian tato pertama kali dilakukan oleh bangsa Mesir dengan indikasi adanya mumi bertato bertahun 4200 SM. Lihat : Carol R. Ember dan  Melvin Ember, Cultural Anthropology (New Jersey : Prentice-Hall, Inc, 1977) hal. 271.

[7] Kelompok lain, seperti Suku Maori di New Zealand membuat tatto berbentuk ukiran-ukiran spiral pada wajah dan pantat, sebagai tanda keturunan yang baik. Sedangkan di Kepulauan Solomon, Tattoo ditorehkan di wajah perempuan sebagai ritus untuk menandai tahapan baru dalam kehidupan mereka. Hampir sama, orang-orang Suku Nuer di Sudan ber-tatto untuk menandai ritus inisiasi pada anak laki-laki dan orang-orang Indian melukis tubuh dan mengukir kulit mereka untuk menambah kecantikan atau menunjukkan status sosial tertentu.lihat : Franz Boaz, Primitive Art. (New York  : Dover Publication, Inc, 1955) hal. 250-251

[8] Hatib Abdul Kadir Olong, Tatto,... hlm. 201.

[9]http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/kimia_material/kandungan_bahan_kimia_dalam_tinta_tato/ diakses tanggal 17 Oktober 2009

[10] http://bikin.web.id/tag/dampak-tato/diakses tanggal 18 -10 - 09

[11] Secara terperinci, Madaharāt tatto dari segi medis adalah : (1) Bagi para pentatto tubuhnya, maka resiko untuk terserang penyakit akan semakin tinggi. Karena dari bekas luka yang ditimbulkan itu akan mempermudah masuknya bibit  penyakit ke dalam tubuhnya. (2) Jika gambar tattonya sudah mencapai setengah dari permukaan tubuh, besar kemungkinan tubuhnya akan keracunan disebabkan oleh racun yang terkandung di tinta tatto itu. Hal ini lah yang menimpa Karl Fredrik Ljungberg Sang pemain sepak bola dunia. Baca : http://rixco.multiply.com/journal/ item/183/BAHAYANYA_TATOO_DARI_SEGI_MEDIS. diakses tangal 17 Oktober 2009. (3) Di sebuah riset yang baru dipublikasi, menindik tato pada kulit dapat menyebabkan penyakit kulit mematikan. Berdasarkan laporan kantor berita REUTERS, pusat penanggulangan penyakit dan pencegahan amerika serikat, pada 6 kejadian menunjukkan merebaknya penularan bakteri mematikan. MRSA merupakan jenis bakteri yang tumbuh berkembang melalui penindikan tato oleh pihak ilegal. MRSA adalah jenis staphylococcus yang resisten terhadap methicilin. Penyebaran virus MRSA tampak dalam bentuk benjolan-benjolan kecil atau kulit yang meradang sehingga mungkin sekali menyebabkan terjadinya problema besar dan berbahaya seperti radang paru dan kanker darah. Hal ini dikarenakan tidak sterilnya alat-alat yang digunakan dalam proses membuat tatto. baca :  http://www.tanyadokteranda.com/ artikel/umum/2009/01/tatto-baik-untuk-kulit. diakses tanggal 17 Oktober 2009. Melaui jarum juga beberapa penyakit akan mudah tertularkan seperti hepatitis B dan kanker hati. baca : http://safuan.wordpress.com /2007/10/23/pandangan-islam-dan-medis-tentang-merenggangkan-gigi-wasyr-membuat-tato-wasm-dan-menyambung-rambut-washl/. Diakses tanggal 17 Oktober 2009.

[12]http://images.google.ae/images?um=1&hl=en&sa=X&oi=spell&resnum=0&ct=result&cd=1&q=picture+henna&spell=1. Diakses tanggal 9 Oktober 2009.


[13] Lihat dalam Syarh hadits riwayat al-Bukhari no. 5476,  Fath al-Bari. Syarh hadita riwayat Muslim no. 3966, Syarh al-Nawawi CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif.

[14]  Hal ini untuk menghindari perkiraan yang menyimpang yang jauh dari tujuan yang sebenarnya (dari hadis tersebut).Lihat : Yusuf al-Qaradhawy, Bagaimana memahami hadi SAW, terj. Muhammad al-Baqir (Bandung : Kharisma) 1997. Hal. 67

[15] Lihat : Yusuf al-Qaradhawy, Bagaimana memahami hadis ...Hal. 140

[16] Prinsip ini telah ada semenjak Islam mulai berkembang. Para sahabat, dengan dimotori oleh Umar bin Khattab dan ‘Utsman bin ‘Affan telah melakukan pengubahan terhadap pembagian harta rampasan perang yang dipraktikkan di masa Nabi dan Abeberau Bakar, menerima kodifikasi al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Quraisy sebagai standar, meskipun hal itu belum pernah dilakukan oleh Nabi SAW. Generasi imam mujtahidpun, dalam periode formatif sejarah perumusan doktrin Islam, dalam batas-batas tertentu, juga melakukan kontekstualisai tersebut. Hamim Ilyas, Kontekstualisai hadis dalam Studi Agama, dalam ed. Hamim Ilyas, Suryadi, Wacana Studi Hadis Kontemporer (Yogyakarta : PT Tiara Wacana) 2002 hal 173

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam proses kontekstualisasi adalah : (1) Ideologi, yaitu penerimaan ideologi keagamaan Islam (dalam hal ini hadis) sebagai doktrin yang terbuka, (2) Otoritas, bahwa sebuah hadis, haruslah baik jalur sanad-nya, (3) Klasifikasi, dengan membedakan posisi Muhammad ketika menuturkan hadis, (4) Regulasi terbatas, bahwa banyak hadis nabi yang bukan merupakan proposisi – proposisi umum.Lihat : Hamim Ilyas, Kontekstualisai hadis.....hal 180 - 185

[17] Lihat : Lihat dalam Syarh hadits riwayat al-Bukhari no. 5476,  Fath al-Bāri. Syarh hadita riwayat Muslim no. 3966, Syarh al-Nawawi CD ROM Mausu’ah al-Hadits al-Syarif.

[18] Lihat tafsir Q.S al-Nisa :119 dalam tafsir Aysir al-Tafasir, Ibnu Jauzi , dan  al-Tsa’labi, DVD al-Maktabah al-Syamilah.
loading...

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Silahkan Tuliskan Komentar Anda disini. jika anda belum mempunyai Google Account atau Open ID, Anda bisa Menggunakan Name/Url (disarankan menggunakan opsi ini) atau Anonimous. Mohon berkomentar dengan bijak dan jangan spamSilahkan komentar