soal ushul fiqih uas semester satu

soal ushul fiqih uas semester satu

Admin Wednesday, January 20, 2010 1 Comment
1. ushul fiqih mempynyai peran yang sangat strategis untuk menjaga dinamika kelenturan ajaran agama dalam berdialektika dengan problema sosial kemanusiaan dan kealaman. klaim ajaran islam sebagai shalihun likulli makan wal azman sebagai penerjemahan dari wacana "wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin" menjadi tanggung jawab ushul fiqih dalam melakukan istinbath al-hukm, baik dengan metode interpretasi bahasa (bayan), metode kausasi (ta'lili), dan metode kemashlahatan (istishlahi).
2. istishan sebagai salah satu istidlal al-hukm telah melahirkan polemik berkepanjangan dikalangan ulama ushuliyyin hingga saat ini. Penolakan keras dari imam syafi’i terhadap istihsan karena dianggap berpotensi membuat syariah sendiri (man istahsana faqad syarra’a) mendapat reaksi yang tidak kalah sengit dari para pendukungnya. Fenomena munculnya kelompok islam beraliran keras (fundamental) seperti HTI, FPI, laskar jihad dan yang beraliran liberal semisal JIL, JIMM komunitas islam emansipatoris ditenggarai sebagai derivasi dari adanya konflik istihsan diatas. Jelaskan dan berikan contoh dari pola kerja istihsan!
3. baru-baru ini ada seorang pekerja seni yang melakukan operasi perubahan kelamin dari laki-laki . menjadi perempuan. Perubahan status jenis kelamin itu mendapat pengesahan dari Pengadilan Negeri setempat. Jelaskan bagaimana pendapat Saudara dalam perspektif ushul fiqih. Gunakan istidlal yang tepat dan argumentatif.
4. jelaskan kembali dengan singkat dan padat (latar belakang masalah-rumusan-metode-pembahasan-kesimpulan) tugas makalah yang dikerjakan. Maksimal 20 baris.

ABID AL-JABIRI DAN PEMIKIRANNYA

Admin Saturday, January 16, 2010 2 Comments

ABID AL-JABIRI DAN PEMIKIRANNYA

Seteleh terjadinya Renaisans pada sekitar abad pertengahan di Eropa menjadikan sebuah implikasi yang besar terhadap paradigma pemikiran umat manusia setelah kejadian tersebut. Weltanschauung (baca: pandangan dunia) masyarakat Barat ketika itu berubah terbalik seratus delapan puluh derajat. Perubahan itu ditandai dengan kemenangan “akal” atas dominasi “gereja” sebagai konsekuensi dari pemisahan yang dilakukan Eropa antara agama dan politik, lebih tepatnya meminjam bahasanya Dr. Ir. Syahrur melakukan “perceraian” kekuasaan antara gereja dan negara yang secara otomatis mengubah weltanschauung mereka dari Teosentris menjadi Antroposentris. Ditambah dengan penemuan mesin uap oleh James Watt dan pendirian pabrik-pabrik secara massal membuat perubahan tersebut menjadi signifikan menuju abad baru yang disebut modernitas. Segala fenomena tersebut menjadikan Eropa mendominasi dan menguasai dunia Islam. Ironisnya Islam ‘yang sebenarnya’ justru terdapat di Eropa yang notabene bukan muslim sebgaimana dilansir oleh Muhammad Abduh.

Modernisasi yang sedang berjalan di Eropa tersebut secara tidak langsung memberikan dampak hingga ke dunia Arab. Diawali dengan invasi Napoleon pada tahun 1798 ke Mesir, membuat masyarakat Mesir “sadar” akan kemajuan yang dialami Eropa dan ketertinggalan mereka. Walaupun banyak yang menganggap kemajuan modernisasi Eropa merupakan ancaman terhadap agama, tetapi hal tersebut tetap membuat beberapa kalangan “resah “ dan bangkit untuk mengejarnya.

Dari sini mereka menangkap adanya fenomena stagnasi pemikiran dari dunia Arab-Islam, lebih jauh lagi peradaban dan keagamaan memasuki era kontemporer seperti yang mereka lansir mendorong terjadinya suatu kesadaran akan perlunya melakukan suatu evaluasi. Problem inti dari isu kebangkitan disini dipetakan menjadi tiga masalah: 1) sikap terhadap turas (warisan tradisi). 2) sikap terhadap barat dan 3) sikap terhadap modernitas.

Upaya mengejar ketertinggalan masyarakat Arab terbentur oleh tradisi dan budaya mereka, yang dalam hal ini didominasi oleh Islam. Sebagai masyarakat yang pernah meraih golden age pada masa pemerintahan Islam, mereka sulit untuk melupakan tradisi dan budaya tersebut apalagi meninggalkannya. Sehingga upaya tadi melahirkan beberapa aliran dan corak pemikiran yang menawarkan solusi. Setidaknya terdapat tiga kelompok, menurut Bollouta, yang mencoba memberikan wacana pemikiran mengenai tradisi dan budaya vis a vis modernitas:
Pertama, kelompok yang menawarkan wacana transformatif. Kelompok ini adalah mereka yang menginginkan dunia Arab lepas sama sekali dari tradisi masa lalunya, karena tradisi masa lalu tidak lagi memadai bagi kehidupan kontemporer. Tokoh-tokoh dari kelompok ini adalah kalangan Kristen yang berhaluan Marxis seperti Adonis, Salamah Musa, Zaki Najib Mahmud, dan lain-lain.

Kedua, kelompok yang menawarkan wacana reformatif. Adalah mereka yang menginginkan bersikap akomodatif, dengan mereformasi tradisi yang selama ini digelutinya. Wakil dari kelompok ini adalah Arkoun, Hassan Hanafi, al-Jabiri, dll.

Ketiga, kelompok yang disebut idealis-totalistik. Mereka menginginkan agar dunia Arab kembali kepada Islam murni, khususnya aliran salaf dengan slogan kembali kepada al-Quran dan hadis. Wakil dari kelompok ini seperti Muhammad Ghazali, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, dan lain-lain.

Dengan adanya kronologi diatas penulis tertarik untuk menelaah pemikiran Abid al-Jabiri sebagai bagian dari kelompok reformatif. Walaupun tujuan makalah ini bukanlah untuk membahas seluruh pemikirannya, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran mengenai peta pemikiran Jabiri.

Sesuai dengan latar belakang masalah sebagai mana yang telah kami tulis diatas maka maka perlu di susun suatu perumusan masalah, hal ini di maksudkan untuk tidak terjadinya kesimpang siuran dan penafsiran antara penenulis dengan pembaca. Dengan demikian maka perumusan masalah dalam makalah ini , penulis akan berpijak pada masalah yang telah di uraikan di muka . Adapun perumusan masalah yang di jadikan ukuran dalam makalah ini sebagai berikut,:

1. Biografi Abid Al-Jabiri
2. Karya-karya Abid Al-Jabiri
3. Metode dan Pendekatan Abid Al-Jabiri
4. Pemikiran Abid Al-Jabiri
5. Kritik terhadap Pemikiran Abid Al-Jabiri

1. Adapun penulisan makalah ini sesuai dengan rumusan diatas bertujuan untuk mengetahui Biografi, Karya- karya, Metode dan Pendekatan, Pemikiran, dan Kritik terhadap Pemikiran Abid Al-Jabiri.

2. Dengan adanya makalah ini di harapkan menjadi masukan kepada para pembaca serta pada generasi penerus Islam dan bangsa ini.

Untuk mendukung penelaahan yang lebih mendetail, penulis berusaha untuk melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun karya-karya yang relevan terhadap topik kajian ini.

Penelitian ini bila dilihat dari jenisnya adalah termasuk dalam kategori Penelitian Kepustakaan (library research), yakni: suatu penelitian yang menggunakan buku-buku (karya-karya Ilmiah) sebagai sumber datanya. Sedangkan bila dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk bersifat Deskriptif, yakni: berusaha memaparkan data-data dari tokoh Abid al-Jabiri.

Biografi Abid Al-Jabiri

Muhammad al-Jabiri lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. dan pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah, yang merupakan sekolah agama swasta yang didirikan oleh oposisi kemerdekaan. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya di sekolah menenggah dari tahun 1951-1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic high School setelah Maroko merdeka. Sejak awal al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan gurunya juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter.

Jabiri muda merupakan seorang aktvis politik berideologi sosialis. Dia bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP), yang kemudian berubah menjadi Union Sosialiste des Forces Populaires (UNSFP). Pada tahun 1975 dia menjadi anggota biro politik USFP.

Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Dari tahun 1964 dia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1966 dia bersama dengan Mustafa al-Qomari dan Ahmed Sattati menerbitkan dua buku teks, pertama tentang pemikiran Islam dan kedua mengenai filsafat, untuk mahasiswa S1.

Karya-karyanya

Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya dimulai dengan penerbitan buku Nahnu wa al-Turast -nya, disusul dua tahun kemudian dengan al-Khitab al-’Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku tersebut seperti sengaja dipersiapkan sedemikian rupa sebagai pengantar kepada grand proyek inteletualnya ‘Naqd al-’Aql al-’Arabi (kritik akal Arab).

Buku ini bertujuan sebagai upaya untuk membongkar formasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah apa saja yang dapat diambil dari pemikiran Islam klasik tersebut. Karya-karyanya yang lain: Takwim al-’Aql al-’Arabi, Bunya al-’Aql-’Arabi, al-A’ql al-Siyasi-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Dirasah Taahliliyah Naqdiyyah li Nuzum al-Qiyam fi al-Thaqafah al-Arabiyyah. Karya terpentingnya yang termasuk al-Turath wa al Hadatshah, Ishkaliyyah al Fikr al-’Arabi al-Mua’asir, Tahafual al-thafut intisaran li ruh al-Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Qadaya al-Fikr al ‘Mu’asir Al’awlamah, Sira’ al-Hadarat, al-Wahdah ila al-Ahklaq, al-Tasamuh, al-Dimaqratiyyah. Tahun 1996, al-Mashru al-Nahdawi al-’Arabi Muraja’ah naqdiyayh, al-Din wa al Dawlah wa Thabiq al-Shari’ah, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Muthaqqafun fi al-Hadarah al-’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah Ibn Rusyd, al-Tahmiyyah al-Basyaraiyyah di al-Watan al-‘Arabi.

Pendekatan

Adapun pendekatan yang digunakan al-Jabiri dalam melakukan kajiannya terhadap objek penelitian adalah dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis. Hal ini sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki oleh al-Jabiri. Dengan bermodalkan philosophical approaches yang menjadi background pendidikannya, Jabiri menawarkan solusi untuk memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab sepuluh Abad lebih.

Metode

Adapun metode yang digunakan Abid al-Jabiri adalah dekonstruktif yaitu mengubah tradisi yang kurang relevan dengan realitas dan bersikap eksis terhadap tradisi yang relevan. Tradisi tidak seluruhnya di konstruksi ulang akan tetapi dilakukan konstruksi terhadap tradisi yang tidak relevan lagi. Ini menunjukkan bahwa al-Jabiri menolak kelompok transformatif serta idealistik yang secara realita keduanya tidak dapat menjawab modernitas.

Pemikiran al-Jabiri

Agar lebih memudahkan fokus kepada pemikiran al-Jabiri, makalah ini akan mengeksplorasi pemikiran al-Jabiri dari beberapa buku yang mengulas pemikirannya melalui karya trilogi magnum opus-nya (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, dan al-‘Aql al-Siyasi al-‘Arabi), yang tergabung dalam Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Ditambah beberapa tulisan maupun artikel yang mendukung.

Trilogi Abid al-Jabiri ini timbul adalah berangkat dari keresahannya menghadapi fakta yang mengenaskan. Ketika membaca diskursus Arab kontemporer dalam masa seratus tahun yang lampau, mereka (baca: Arab) tidak mampu memberikan kontentum yang jelas dan definitif, walaupun untuk sementara, terhadap proyek kebangkitan yang mereka gembar-gemborkan. Kesadaran mereka terhadap urgensi kebangkitan tidak berdasarkan realitas dan orientasi perkembangannya, melainkan berdasarkan sense of difference (baca: jurang pemisah) antara Arab kontemporer yang terbelakang dan kemajuan Barat modern. Akibatnya, tegas Jabiri, sampai saat ini diskursus kebangkitan Arab tidak berhasil mencapai kemajuan dalam merumuskan “blue print (cetak biru) kebangkitan peradaban” baik dalam tataran utopia proporsional, maupun dalam perencanaan ilmiah.

Turats dan Modernitas

Jabiri memulai dengan mendifinisikan turats (tradisi). Tradisi dalam pengertiannya yang sekarang tidak dikenal di masa Arab klasik. Kata “tradisi” diambil dari bahasa Arab “turats”, tetapi di dalam al-Quran tidak dikenal turast dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya yang dimaksud turats (tradisi) menurut Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu.

Kemudian Jabiri mencoba menjembatani antara realitas tadisi Arab dengan modernitas yang dialami Barat. Walaupun Jabiri mengakui bahwa modernitas Eropa mampu menjadi representasi kebudayaan “universal”, tetapi modernitas Eropa tidak mampu menganalisis realitas kebudayaan Arab yang terbentuk jauh di luar dirinya. Menurutnya, konsep modernitas–pertama dan paling utama–adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Karena modernitas adalah upaya melampaui pemahaman tradisi, yang terjebak dalam tradisi ini, untuk mendapatkan sebuah pemahaman modern, dan pandangan baru tentang tradisi.

Karena itu, gagasan modernitas bukan untuk menolak tradisi, atau memutus masa lalu, melainkan untuk meng-up grade sikap serta pendirian dengan mengandaikan pola hubungan kita dengan tradisi dalam tingkat kebudayaan “modern”. Dan karena itu, konsep modernitas adalah dalam rangka mengembangkan sebuah metode dan visi modern tentang tradisi. Modernitas adalah sebuah keharusan bagi seorang intelektual–selain diri sendiri–supaya dia mampu menjelaskan segenap fenomena kebudayaan serta tempat di mana modernitas muncul. Sehingga modernitas yang demikian ini, menjadi sebuah pesan dan dorongan perubahan dalam rangka menghidupkan kembali pelbagai mentalitas, norma pemikiran beserta seluruh apresiasinya.

Akal Arab dan Titik Awalnya

Akal Arab dalam triloginya, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah yang diberikan oleh peradaban Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan, atau aturan epistemologis, yakni sebagai kumpulan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Jabiri melihat bahwa kumpulan konsep dan prosedur pemikiran yang mengatur dengan ketat pola pandang orang Arab dan pola interaksinya dengan sesuatu itu memang ada. Berarti, orang Arab adalah individu anak manusia yang akalnya terbuka, tumbuh dan berkembang dalam dalam peradaban Arab, hingga (peradaban Arab itu) memformat referensi pemikirannya yang utama, kalu bukan satu-satunya.

Dalam hal ini Jabiri membagi akal menjadi dua. Pertama adalah ‘Aql al-Mukawwin. Akal dalam pengertian ini disebut dengan nalar (akal) murni, sesuatu yang membedakan manusia dengan hewan. Semua manusia mempunyai akal tersebut. Sedangkan yang kedua adalah ‘Aql al-Mukawwan. Akal dalam pengertian kedua ini disebut nalar (akal) budaya, yaitu suatu nalar manusia yang dibentuk oleh budaya masyarakat tertentu di mana orang tersebut hidup. Yang kedua inilah yang Jabiri maksud sebagai “Akal Arab”.

Setelah itu Jabiri mengulas mengenai titik awal Akal Arab bermula. Sebagaimana diketahui, ada tiga titik pijak yang biasa digunakan sebagai permulaan penulisan sejarah Arab, yaitu masa Jahiliyah, masa Islam, dan masa kebangkitan.

Jabiri sendiri mengambil jalan berbeda, dengan memulainya dari “masa kodifikasi” (‘Asr al-tadwin). Tanpa menafikan keberadaan masa Jahiliyah dan produk-produknya, begitu juga pengaruh masa Islam awal dalam peradaban Arab. Dengan pendapat bahwa sruktur akal Arab telah dibakukan pada disistematisasikan pada masa kodifikasi tersebut, sehingga konsekuensinya, dunia berpikir yang dominan pada masa itu mempunyai kontribusi terbesar dalam menentukan orientasi pemikiran yang berkembang kemudian, di satu pihak, dan mempengaruhi persepsi kita terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya, di pihak lain.

Epistemologi; Burhani, Bayani, dan ‘Irfani

Jabiri sangat menekankan epistemologi pemikiran Arab kontemporer sebagai jalan untuk menghadapi modernitas. Jabiri memetakan perbedaan prosedural antara pemikiran yang bermuatan ideologis dengan epistemologis filsafat Arab. Menurutnya, muatan epistemologis filsafat Arab-Islam, yakni ilmu dan metafisika memiliki dunia intelektual berbeda dengan muatan ideologisnya, karena pada muatan yang kedua (muatan ideologis) terkait dengan konflik sosio-politik ketika ia dibangun. Kedua istilah itu (epistemologis-ideologis) sering dipakai Jabiri dalam studinya tentang Akal Arab. Seorang tokoh bisa saja menggunakan pisau pemikiran yang sesuai untuk memecahkan problematika yang dihadapinya.

Jabiri mencatat adanya sebuah problematika struktural mendasar pemikiran dalam struktur Akal Arab, yaitu kecenderungan untuk selalu memberi otoritas referensial pada model masa lampau (namuzhaj salafi). Kecenderungan inilah yang menyebabkan wacana agama terlalu berbau ideologis dengan dalih otentisisme (ashalah). Padahal menurutnya, dalam membangun model pemikiran tertentu, pemikiran Arab tidak bertolak dari realitas, tetapi berangkat dari suatu model masa lalu yang dibaca ulang. Menurut menurut Jabiri, tradisi (turats) dilihat bukan sebagai sisa-sisa atau warisan kebudayaan masa lampau, tetapi sebagai “bagian dari penyempurnaan” akan kesatuan dalam ruang lingkup kultur tersebut, yang terdiri atas doktrin agama dan syariat, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, dan harapan-harapan. Tradisi bukan dimaknai sebagai penerimaan secara totalitas atas warisan klasik, sehingga istilah otentisitas menjadi sesuatu yang debatable.

Untuk menjawab tantangan modernitas, Jabiri menyerukan untuk membangun epistemologi nalar Arab yang tangguh. Sistem yang menurut skema Jabiri hingga saat ini masih beroperasi, yaitu:

a. Epistemologi Bayani

Secara bahasa, bayani berarti penjelasan, ketetapan, pernyataan. Secara istilah, dimaknai sebagai pola piker bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad. sistem epistemologi indikasi serta eksplikasi (‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih) serta ‘ulum al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse). Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Menurut Abid al-Jabiri dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal menempati posisi sekunder dalam arti perangkat membedah kebenaran yang mempunyai kedudukan otoritas yang lebih rendah ari pada teks. Tugas akal dalam konteks ini adalah menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara untuk mengaplikasikan interpretasi teks tersebut berada di luar progam epistemologi ini.

b. Epistemologi Burhani

Yang dimaksud disini adalah bahwa mengukur benar tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan kemampuan manusia berupa pengalaman manusia dan akal dengan terlepas dari teks wahyu yang bersifat sakral dan dapat memunculkan peripatik. Sumber epistemology ini adalah realita dan empiris; alam sosial dan humanities dalam arti ilmu adalah diperoleh dari hasil percobaan, penelitian, eksperimen, baiak di laboratorium ataupun alam nyata, baik yang bersifat social maupun alam.

c. Epistemology Írfani

Dalam bahasa arab searti dengan ma’rifah, Dikalangan para sufi, ma’rifah disini diartikan sebagai pengetahuan langsung tentang tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk tuhan. disiplin gnotisisme  (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.

Ketiga model epistemologi diatas jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya.

Jabiri tidak melihat ketiga sistem epistemologis ini–pada bentuknya yang ideal–hadir dalam setiap figur pemikir. Masing-masing sistem selalu hadir dalam bentuk yang lebih-kurang telah mengalami kontaminasi. Sistem epistemologi tersebut berasimilasi antara satu sistem dengan sistem yang lain, yang kemudian mencapai stagnasi dan menjadi kekuatan tunggal yang dominan pada masa al-Ghazali pada abad ke-5 H dimana pada masa tersebut terjadi penyerangan terhadap kajian filsafat yang kemudian dipahami sebagai penyerangan terhadap seluruh kajian filsafat. Dan pertarungan antara al-Ghazali dan Ibnu Rusydi pada masa tersebut telah mmembuat ketidak akuratan nasib filsafat dilingkungan Islam. Relasi aktif yang berlangsung antara pasangan-pasangan tersebut dapat disebut dengan “processed structure” (al-bunyah al-muhassalah) . Dalam hal ini terdapat tiga bentuk konstituen “processed structure” yang mempengaruhi sruktur Akal Arab sejak masa kodifikafikasi pada abad ke-2 H yaitu, kekuatan kosakata, kekuatan asal derivasi, dan kekuatan metafora (al-tajwiz). Ketiga kekuatan tersebut bekerjasama untuk mempertahankan status quo selama sepuluh abad lebih. Sebuah kerjasama yang membuahkan Akal Arab yang tidak realistis. Artinya tidak memperhatikan hukum sebab-akibat dan tidak berangkat dari realitas faktual.

Sungguh pun demikian, Jabiri tidak menganggap semua sistem tersebut usang. Menurutnya, terdapat jalan untuk memajukan Akal Arab untuk mengejar ketertinggalannya dengan Barat melalui apa yang disebut olehnya “Proyek Peradaban Andalusia”. Singkatnya, Jabiri mengajak untuk melakukan rasionalisme kritis untuk menjawab tantangan modernitas seperti yang telah dilakukan oleh peradaban Andalusia yang dimotori oleh Ibn Rusyd dkk.

Akal Politik Arab

Jabiri melihat aktivitas politik Arab mempunyai motif-motif (al-muhaddidat) dan pengejawantahan (al-tajalliyat). Adapun motif-motif tersebut, Jabiri melihat tiga motif yang dominan dalam praktik politik Arab. Motif ideologis (al-‘aqidah), motif ikatan in-group sedarah (al-qabilah) dan motif materi (al-ghanimah).

Motif pertama tidak diartikan sebagai akidah agama dalam pengertian yang lazim, melainkan “fenomena politis” yang terdapat dalam dakwah Nabi Muhammad saw. dan peranannya dalam memberikan inspirasi terhadap imajinasi sosial-politik kelompok muslim pertama, di satu pihak, dan reaksi balik yang disampaikan oleh lawan-lawannya, yaitu kaum kafir Quraisy, di pihak lain. Sedangkan dengan motif kedua adalah peranan ikatan in-group di antara klan-klan Arab satu sama lain, baik yang bersifat positif maupun negatif, dalam praktik politik Arab di masa awal. Dan yang ketiga, motif al-ghanimah berarti pengaruh kepentingan ekonomi dalam pemihakan politik dan ideologis dalam sejarah Islam. Di sini Jabiri meriwayatkan bahwa penolakan yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy terhadap ajaran Nabi Muhammad saw, bukan hanya disebabkan oleh ajaran tauhid yang melarang penyembahan terhadap berhala an sich. Akan tetapi, disebabkan juga bahwa berhala-berhala tersebut merupakan sumber penghasilan mereka dan sekaligus sebagai penunjang ekonomi masyarakat ketika itu.

Untuk itu, Jabiri menganalisa praktik politik yang saling berkelidan tersebut pada masa Islam awal. Di sini pun Jabiri membagi fase perkembangan Islam awal menjadi tiga fase; pertama, fase dakwah Muhammad, yang diwakili dengan masa di mana Nabi memimpin jamaahnya pada periode Makkah dan menjalankan tugas sebagai kepala negara pada periode Madinah. Kedua pada fase negara Islam yang established, yang diwakili pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Dan ketiga fase ledakan kekacauan (nation under riots), yang diwakili pada masa timbulnya kerajaan politik (al-mulk al-siyasi) yang membangkitkan kembali kejahiliyahan dari kuburnya, kali ini dalam bentuk despotisme dan diktatorisme kerajaan monarki.

Timbulnya kerajaan politik ini (al-mulk al-siyasi) ini merupakan salah satu bentuk pengejawantahan (al-tajalliyat) dari Akal Politik Arab, di samping timbulnya mitos keimaman yang dimunculkan oleh kaum Syiah. Selain itu, timbul pula Ideologi kesultanan dan–apa yang disebut oleh Jabiri sebagai–fiqh siyasah yang dimunculkan oleh dinasti Abbasiyah. Ideologi kesultanan diadopsi oleh Ibn al-Muqaffa’ dari tradisi kekaisaran Persia, sedangkan fikih politik merupakan kompilasi hukum “agama” yang mempunyai tendensi kuat untuk mensyahkan kekuasaan junta militer (ashab al-syaukah). Tak perlu ditegaskan lagi, lanjut Jabiri, bahwa ideologi kesultanan inilah yang sampai sekarang mendominasi praktik politik Arab. Membuat rakyat yang seharusnya memegang supremasi kekuasaan, dikungkung oleh khurafat dan menyerah kepada takdir.

Untuk hal tersebut Jabiri menawarkan konsep sebagai jalan keluar bagi Akal Politik Arab, dengan bertolak pada fase dakwah Muhammad yang menurutnya sebagai prototipe ideal:

1. Mengubah masyarakat klan menjadi masyarakat madani yang multipartai, mempunyai asosiasi-asosiasi profesi, organisasi-organisasi independen dan lembaga konstitusi.

2. Mengubah ekonomi al-ghanimah yang bersifat konsumerisme dengan sistem ekonomi produksi. Serta membangun kerjasama dengan ekonomi antarnegara Arab untuk memperkuat independensi.

3. Mengubah sistem ideologi (al-aqidah) yang yang fanatis dan tertutup dengan pemikiran inklusif yang bebas dalam mencari kebenaran. Serta membebaskan diri dari akal sektarian dan dogmatis, digantikan dengan akal yang berijtihad dan kritis.

Sekilas pemikiran Jabiri mengenai Akal Pilitik Arab “hampir” menyerupai sekularisme. Tetapi dalam hal ini bukan berarti Jabiri mendukung sekularisme, menurutnya, sekularisme tidak cocok dengan umat Islam, karena sekularisme didasarka pada pemisahan gereja dan agama. Pemisahan demikian ini memang diperlukan pada suatu masa di lingkungan Kristen. Karena tidak ada gereja dalam Islam, tidak ada kebutuhan akan suatu pemisahan semacam ini. Umat Islam menghendaki agar Islam dijaga dan diterapkan sebagai acuan etis dan Syari’ah, hukum yang diilhami oleh ketentuan Ilahi, sebagai dasar dan prinsip bagi kehidupan sosial dan politik, di dalam lingkup pengetahuan masa lalu yang diperbaharui.

Kritik Terhadap al-Jabiri

Sub bab ini kami rasa perlu sedikit disinggung dikarenakan sebuah paparan pemikiran seseorang akan lebih perceft ketika dijelaskan juga berbagai kritik yang timbul dengan adanya pemikiran seseorang tersebut. Ketika sebuah pemikiran dilontarkan ke ruang publik, maka sangat wajar apabila terjadi pro dan kontra dikarenakan berbagai pandangan yang berbeda didalam menyikapi sebuah masalah. Demikian pula dengan pemikiran Jabiri mengenai Kritik Nalar Arab-nya. Di antaranya adalah mengenai integritas dan kejujurannya sebagai seorang intelektual. Jabiri, dalam pandangan mereka, sering tidak jujur ketika membuat kutipan dari tulisan-tulisan pemikir terdahulu. Dia cendrung bersikap selektif, memilah dan memilih apa yang hanya sesuai dengan tujuannya, dan tentu saja ideologinya. Jabiri, dalam berbagai tulisannya, menuduh dunia Arab Timur yang direpresentasikan oleh Ibn Sina, al-Ghazali, dan Syiah dengan espitemologi bayani dan ‘irfani-nya sebagai sumber keruntuhan tradisi intelektual Islam. Dia selanjutnya mengagungkan dan mengidolakan tokoh-tokoh dunia Maghribi seperti Ibn Rusyd, Ibn Tufail, Ibn Bajah, Ibn Khaldun, yang berpijak pada epistemologi burhani.

Selain itu kritikan lebih tajam dilakukan oleh Tarabisi, penulis buku Naqd Naqd al-‘Aql al-‘Arabi, yang hampir seluruh isinya mempreteli dan “menelanjangi” orisinalitas Jabiri. Di bagian pertama saja Tarabisi dengan terang-terangan mengatakan bahwa Jabiri bukanlah orang pertama yang mengasaskan proyek Kritik Akal Arab ini. Tarabisi kemudian merujuk tulisan Zaki Najib Mahmud yang berjudul al-‘Aql al-‘Arabi Yatadahwar di majalah Ruz al-Yusuf tahun 1977. Setelah melakukan kajian yang mendalam dengan memakan waktu hampir delapan tahun, Tarabisi sampai kepada kesimpulan bahwa ide Jabiri tidak orisinil dan bahkan secara implisit Tarabisi menyebut Jabiri telah melakukan plagiat, karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya, meskipun secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang lain–secara sadar atau tidak–sesuai dengan keinginannya.

Kemudian kesalahan fatal lain yang banyak disinyalir olah para pengkritisinya adalah sikap selektif Jabiri dalam membuat kutipan. Ia cenderung memlilih perkataan dan pendapat orang lain yang hanya sesuai dengan tujuan dan ideologinya demi untuk mempertahankan pandangannya, meskipun dalam pendapat tersebut tidak sesuai dengan konteks yang diinginkan. Sebagai contoh, menurut Tizini dalam sebuah seminar yang dihadirinya di Tunis pada tahun 1982, Jabiri pernah mengungkapkan bahwa pikiran al-fikr dan akal Arab adalah bayani. Untuk memperkuat argumennya dia telah menyebutkan al-jahidz dalam kitab al-bayan wa al-tahyin sebagai contoh, kata Tizini dalam hal ini Jabiri telah melaksanakan dua kesalahan. Pertama generelasi yang dilakukan atas pemikiran Arab dengan hanya mengambil satu contoh yaitu al-jahid, kedua sample yang digunakannya yaitu al-jahidz, tidak dapat mewakili keseluruhan bangunan akal Arab.

Contoh lain adalah yang diungkapkan oleh Nur al-din al-daghir dalam usahanya untuk membuktikan dan mempertahankan rasionalitas mazhab Arab Maghribi, di mana ia menjadi bagian dari padanya, dan selanjutnya membuktikan keterpengaruhan Syiah dengan pemikiran asing, ia hanya merujuk kepada empat buku teks Syiah saja. Sementara untuk membuktikan hal yang sama dari kelompok Sunni dan hanya memilih buku yang punya kecenderungan salafi Ashariyyah seperti Maqalat Islamiyyin-nya Imam al-Ashari, al-Farq Bayn firaq-nya Abdul Qahar, Mihaya al Aqdam-nya Shahrastani, al-Masail fi al Khilaf bayn al Basriyyin wa al Baqdadiyin-nya Ibn Rusyd Naysaburi dan al-Fatawa-nya Ibn Taimiyyah.

Analisis

Abid al-Jabiri adalah sosok pemikir intelektual yang dapat dikatakan eksklusif di mana ia dapat menghasilkan karya-karyanya yang begitu banyak dan bermanfaat penting bagi ilmu pengetahuan kita. Hasil karyanya yang begitu banyak dapat memperluas pengetahuan tentang filsafat.

Dengan kritik nalar arab yang merupakan sebagian dari pemikirannya serta berbagai cara dan jalan yang di tempuh beliau untuk menyampaikan gagasannya yang dapat dikatakan bernilai sangat tinggi merupakan usaha beliau yang dapat dikategorikan sebagai suatu gerakan Islam yang mungkin lain daripada yang lain. Dikarenakan gagasan beliau dapat lebih diterima setelah mematangkan analisis dan kritik terhadap gerakan sebelumnya.

Al-Jabiri menjelaskan apa itu tradisi dan bagaimana posisi akal arab sebagai bagian dari komponen eksternal dari tradisi tersebut, dimana dengan membedah hakikat tradisi dan hubungannya dengan nalar arab akan lebih efektis sebagai senjata mengalahkan modernitas dan kemunduran Islam yang pernah memperoleh kejayaan tersebut.

Dengan demikian terbebas dari pro-kontra terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Al-Jabiri, hendaknya kita tidak terlalu larut pada konten “apakah gagasan seseorang itu bersifat orsinil atau merupakan plagiat belaka” dikarenakan problem utama adalah bagaimana cara mengentaskan keredupan cahaya Islam. Berawal dari pemahaman ini diharapkan paradigma pemikiran akan lebih fokus kepada tujuan, bukan terpaku dan stagnan pada asal gagasan seseorang seperti yang dilontarkan al-Jabiri.

Kesimpulan

Muhammad al-Jabiri yang berlatar pendidikan filsafat ini lahir di Figuig, sebelah selatan Maroko pada tahun 1936. Pendidikannnya dimulai dari tingkat ibtidaiyah di madrasah Burrah Wataniyyah dan melanjutkan pendidikan sekolah menenggahnya dari tahun 1951-1953 di Casablanca serta memperoleh Diploma Arabic high School dan meneruskan univeristas Damaskus Syiria. kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan dan menyelesaikan program Masternya pada di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), dan beberapa guru yang lain. Ia adalah seorang aktvis politik berideologi sosialis Di samping aktif dalam politik, Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional.

Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku. Topik yang selalu dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi. Karir intelektualnya dengan penerbitan buku Nahnu wa al-Turast -nya,

dalam melakukan kajian, abid pendekatan historis-filosofis. Hal ini sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki oleh al-Jabiri Dan dengan metode dekonstruktif yaitu mengubah tradisi yang kurang relevan dengan realitas dan bersikap eksis terhadap tradisi yang relevan. Tradisi tidak seluruhnya di konstruksi ulang akan tetapi dilakukan konstruksi terhadap tradisi yang tidak relevan lagi. Ini menunjukkan bahwa al-Jabiri menolak kelompok transformatif serta idealistik yang secara realita keduanya tidak dapat menjawab modernitas.

Adapun pemikiran Abid al-Jabiri berkisar pada Turats dan Modernitas,Akal Arab dan Titik Awalnya, Epistemologi; Burhani, Bayani, dan ‘Irfani dan Akal Politik Arab. Dalam hal ini timbul kritik dari berbagai kalangan yang mungkin mempunyai penulaian tersendiri terhadap pemikiran al-Jabiri seperti dugaan plagiasi, adanya sikap subjektifitas sesuai dengan alur ideologi yang dilakukan oleh al-Jabiri. Akan tetapi bagaimanapun juga pemikiran Jabiri–terlepas dari pro dan kontra terhadap pemikirannya tersebut–yang tertuang dalam Kritik Nalar Arab-nya merupakan pemikiran yang patut diapresiasi. Pemetaan yang dilakukannya terhadap epistemologis dan ideologi yang berkembang di dunia Arab memberikan warna baru dan ciri khasnya tersendiri. Dengan bermodalkan philosophical approaches yang menjadi background pendidikannya, Jabiri menawarkan solusi untuk memecahkan stagnasi yang terjadi di dunia Arab sepuluh Abad lebih.

Walaupun demikian, sebagai seorang pembaca, kita seharusnya mengambil jarak dan tidak bersikap taken for granted terhadap pemikiran Jabiri. Sikap tersebut dibutuhkan agar penilaian yang terjadi terhadap sebuah pemikiran diharapkan objektif dan tidak memihak.

Daftar Pustaka

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Mohammed Arkound, Islam Rethinking. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

Nasution, Harun, Prof. Dr. Pembaharuan Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

http://kommabogor.wordpress.com/2008/01/13/al-jabiri-dan-kritik-nalar- arab/

http://www.edukasi.net/mol/mo_full.php?moid=104&fname=sej201_04.htm

http://andaluciadedywsanusi.blogspot.com/2009/03/muhammad-abid-al- jabiri-1.html dengan tulisan yang berjudul Muhammad Abid Al- Jabiri; karya-karya Al-Jabiri diakses pada tanggal 22 Desember 2009.

http://sophiessence.blogspot.com/2009/06/nalar-arab-abid-al-jabiri-dan- tajdid.html dalam tulisan yang berjudul “Nalar Arab ‘Abid al-Jabiri dan Tajdid Kontemporer”

http://www.geocities.com/jurnal_iiitindonesia/pemikiran_islam_kontempore r.htm

http://www.islamemansipatoris.com/

Nasution, Harun, Prof. Dr. Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986.

Ngainun Naim, Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: Teras, 2009.

Nasution, Khoiruddin, Prof. Dr. H. MA, Pengantar Studi Islam. Yogyakarta: ACAdeMIA+TAFAZZA,2009.

Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. penerjemah Ilyas Hasan, Judul asli Pioneers of Islamic Revival,Bandung: Mizan, 1996.

Syahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Kontemporer - al- Kitab wal Qur’an; qiraah mu’asirah, diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin, MA dan Burhanuddin Dzikri, S. Th. I Yogyakarta: Perum POLRI Gowok, 2008

Dengan terselesaikannya tugas ini, saya berharap agar Ibu memberi nilai yang layak paling tidak sembilan puluh lebih, hal ini dikarenakan:

1. Sistematika yang saya gunakan sesuai dengan yang ibu perintahkan.

2. Adanya berlebih didalam pemaparan bahasan dengan memperluas cakupan bahasan yang ada sehingga lebih lengkap.

3. Sumber yang digunakan tidak hanya berupa buku akan tetapi juga mencakup berbagai tulisan maupun artikel yang relevan dengan pembahasan.

HUKUM ROKOK DALAM ASPEK USHUL FIQIH

Admin Saturday, January 16, 2010 1 Comment

HUKUM ROKOK DALAM ASPEK USHUL FIQIH


Telah menjadi suatu kejelasan bahwa Islam adalah agama yang bersifat universal dan tidak dibatasi oleh ras dan golongan apappun bentuknya. Begitu juga cakupan ajarannya meliputi semua aspek. Jadi, tidak ada istilah ada satu persoalan yang tidak termasuk bagian dari agama. Karena ajaran agama itu menjelaskan masalah dunia dan akhirat, yang nyata dan gaib dengan segala penjelasan dan ketentuannya.

Semua ajaran Islam itu bersumber dari Al-Quran dan hadits Rasul. Termasuk dalam hal penggunaan akal (ilmu pengetahuan) sebagai bagian dari pertimbangan untuk menetapkan masalah agama. Sumber itu disebut dengan ijtihad. Adapun tujuan akhir dari ajaran agama yang diambil dari sumbernya itu adalah kemashlahatan manusia. Jadi, apa pun bentuk ajaran agama, sasarannya adalah kemashlahatan manusia. Hanya itu. Ketegasan tujuan atau target agama itu jelas dari rumusan para pakar penetapan hukum Islam dengan “mashlahah adalah syariah” (kesejahteraan adalah ajaran agama) dan “syariah adalah mashlahah” (ajaran agama adalah kemashlahatan).
Dengan sifatnya yang universal tak terbatas islam menjadi agama yang seharusnya mempunyai ajaran yang elastis. Demikian dimaksudkan agar dapat terus hidup lestari ila yaumil qiyamah. Oleh karena itu dengan berkembangnya zaman banyak sekali masalah-masalah baru dimana berbagai permasalahan tersebut tentunya tidak dijumpai diawal pensyariatan, sehingga interpetasi dari para pewaris islamlah yang bertanggungjawab dalam menjawab berbagai permasalahan yang ada.
Dengan demikian jelas bahwa agama Islam berupaya mewujudkan kemashlahatan manusia. Kemashlahatan itu tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk semua manusia. Bahkan agama menjelaskan bahwa ada unsur primer dari ajaran agama yang mesti dipelihara. Karena hal itu adalah faktor penentu kemashalahatan itu sendiri. Unsur-unsur utama itu yaitu agama, diri, akal, kehormatan dan harta. Lima unsur ini disebut dengan al-umur dharuriyyah (unsur-unsur primer). Ketika kelimanya rusak atau salah satu dari yang lima tersebut maka perbuatan itu termasuk yang keluar dari tujuan agama (kemashlahatan manusia).

Adapun berbagai aspek yang dibicarakan menyangkut permasalahan “mashlahah” disini dengan paradigma universal tentunya menuntut interpretasi islam sebagai agama tersebut dilakukan dengan menyeluruh pula dalam arti hukum atau wacana yang ditetapkan harusnya dapat menarik kemashlahatan bersama tidak mashlahah disatu sisi akan tetapi berdampak mudharat disisi yang lain. Inilah pentingnya sikap keterbukaan dan dialektika ketika ditemukan suatu permasalahan menyangkut bersama dimana tampak bertentangan antara pelaku yang ada.

Hal ini akan ditemukan dengan jelas dan transparan pada permasalahan hukum rokok dimana dari dahulu sampai sekarang banyak ditemukan berbagai pendapat. Ada yang mengatakan haram, makruh, mubah, bahkan wajib. Disinilah pentingnya mengaplikasikan konsep islam universal dimana dalam konteks kekinian, hasil akhir diharapkan dapat menyeluruh tanpa ada ketimpangan disatu sisi saja.

Berangkat dari hal ini penulis tertarik untuk memaparkan permasalahan seputar hukum rokok yang notabene tidak ditemukan kata sepakat secara keseluruhan pada hukum yang ditetapkan dengan harapan agar menjadi wacana dan merupakan salah satu wujud keterbukaan dengan tujuan dihasilkannya sebuah keputusan hukum yang mengandung ruh kemashlahatan bersama sesuai dengan tujuan agama islam rahmatan lil alamin.

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi hal yang “membumi” bahwa rokok merupakan sesuatu yang sampai sekarang tidak ada kata sepakat didalam hukumnya. Hal ini dikarenakan dalam menentukan suatu hukum perlu diadakan berbagai analisis terkait dengan objek dimana analisis tersebut dilakukan secara menyeluruh dari berbagai aspek kehidupan. Akan tetapi, kenyataan tetap berpihak kepada tidak adanya satu hukum secara universal terkait dengan rokok tersebut. satu golongan yang berpendapat bahwa rokok adalah haram membawa sekarung argumen pendukung pendapat mereka. Begitu juga golongan yang memandang bahwa rokok adalah halal atau makruh bahkan wajib.
Selain itu hasil konsensus komisi fatwa MUI yang secara tegas menghukumi haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri, terjadi pro-kontra terhadap fatwa kontroversial tersebut. Dengan adanya fatwa tersebut terjadi kritik bahwa fatwa MUI tersebut terasa bersifat otoriter. Dengan kata lain seakam MUI mengunci tafsir yang lain terhadap hukum yang ada dan seakan ingin menjadi suara yang tunggal dan ingin ditaati tanpa adanya dialog yang saling memberikan kemaslahatan antara satu dengan yang lain.
Berawal dari sinilah penulis mencoba untuk meneliti agar dapat diketahui bagaimana hukum rokok tersebut dengan tinjauan ushul fiqh. Dimana agar dapat tersingkap argumen yang mengatakan kehalalan, keharaman, hukum mubah, ataupun hanya makruh saja.
B. Perumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya. Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:
1. Apa definisi rokok.
2. Bagaimana pendapat seputar hukum rokok dalam ushul fiqih.
3. Apa dalil yang digunakan untuk menentukan hukum tersebut.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui definisi rokok.
2. Untuk mengetahui berbagai hukum rokok dalam ushul fiqih.
3. Untuk mengetahui dalil yang digunakan untuk menentukan hukum tersebut.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan mencari berbagai data dari bebagai sumber yang layak.
1. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini berbentuk library research yaitu dengan meneliti sejumlah kepustakaan (library research),kemudian mengelompokkannya. Setelah itu dianalisis dan dikelompokkan sesuai dengan arah penelitian.
2. Sumber Data Terdiri Dari
a. Berbagai buku ushul fiqih untuk menentukan kaidah atau pedoman hukum.
b. Berbagai sumber terkait lewat internet.

A. Definisi Rokok

Untuk pengertian rokok diperoleh definisi sebagaimana berikut:
a. Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain.
b. Menurut undang-undang Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan, rokok adalah: Hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Dari kedua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rokok adalah olahan sejenis tanaman tembakau dan mempunyai bentuk yang berfariasi dan mengandung zat berupa nikotin dan tar dimana secara umum dikonsumsi dengan membakarnya.

B. Hukum Rokok

ketetapan hukum rokok dari para fuqaha klasik dalam berbagai mazhab di samping dikarenakan belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak rokok berdasarkan riset kesehatan yang akurat, maka secara umum hukum tersebut ditetapkan kepada hukum mubah. Pada dasarnya tidak ada nash yang shorih (jelas) yang mengatakan bahwa rokok itu haram. Dan dalam kaidah ushul fiqih Syafi’i bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah mubah (الأصل فى الأشياء الاباحة) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya dalam arti menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya. karena tidak ditemukan dalil baik dari al-Qur’an maupun al-Hadits yang mengharamkan rokok, maka pengambilan hukumnya dengan istishab (kembali ke hukum asalnya) yaitu mubah. Jadi hukum rokok pada asalnya adalah mubah. Walaupun ada sebagian imam yang dengan selektif telah menghukumi rokok dengan hukum haram seperti Imam Ibnu Hazm, bahwa ternyata sebagian ulama telah lebih dahulu mengetahui bahaya yang dikandung rokok. Beliau mengibaratkan dengan menetapkan haramnya memakan sesuatu yang menimbulkan mudharat berdasarkan nash umum. Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah haram berdasarkan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu”. Maka menurutnya, barangsiapa yang menimbulkan mudharat pada dirinya sendiri dan pada orang lain berarti ia tidak berbuat baik; dan barangsiapa yang tidak berbuat baik berarti menentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada segala sesuatu itu.”

Merokok sebenarnya dapat dikategorikan perbuatan isyraf yang diharamkan Islam, sebab menurut Imam Ibnu Hazm yang dimaksud syraf itu adalah dapat berupa: menafkahkan harta untuk sesuatu yang diharamkan Allah swt sedikit maupun banyak; berbuat boros pada sesuatu yang tidak diperlukan, yang menghabiskan kekayaannya; menghambur-hamburkan harta secara sia-sia, meskipun dalam jumlah kecil. Allah berfirman:“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan (isyraf).
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am:141)
Setelah berlalunya waktu dan berbagai riset kesehatan menemukan berbagai dampak negatif tentang rokok, maka wajar setelah itu terjadi perbedaan-pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini, sebagian berpendapat haram, sebagian berpendapat makruh, sebagian lagi mengatakan boleh (mubah) dan terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsinya, dan sebagian lagi tidak memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci. Bahkan sebagian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya.

1. Dalil Yang Mengharamkan

Di antara ulama yang secara tegas mengharamkan dan melarang merokok ialah Syekhul Islam Ahmad as-Sanhuri al-Bahuti al-Hambali, dan dari kalangan mazhab Maliki ialah Ibrahim al-Laqqani (keduanya dari Mesir); Abdul Ghats al-Qasysy al-Maliki (dari Maroko); Najmuddin bin Badruddin bin Mufassiril Qur’an; dan al-Arabi al-Ghazzi Al’Amiri As-Syafii (dari Damaskus); Ibrahim bin Jam’an dan muridnya Abu Bakar bin al-Adhal (dari Yaman); Abdul Malik al-Ishami dan muridnya Muhammad bin ‘Allamah, serta Sayyid Umar Khawajah, Isa Asy Syahwai Al Hanafi, Makki bin Faruh Al Makki, dan Sayid Sa’ad al- Balkhi al-Madani (dari Turki). Hal ini disebabkan bahwa secara umum rokok dapat menimbulkan mudharat yang menyentuh wilayah dharuriyat al-khamsah mencakup:

1. Mudharat jasmani dimana rokok menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, merusak kesehatan mulut dan gigi, bahkan dapat menimbulkan penyakit saluran pernafasan dan paru-paru dan juga dipandang sebagai hal yang memabukkan. Selain itu bahaya yang ditimbulkan dan menjadi dampak bagi orang lain adalah lebih besar, padahal Nabi pernah bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan sikap saling membahayakan pihak lain” Dalam konteks ini tepat sekali perkataan sebagian ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang lebih sering terjadi.

2. Mudharat finansial yaitu membakar uang secara sia-sia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tabdzir (menyia-nyiakan harta) yang dibenci Allah, dengan membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia dan akhirat bahkan justru membahayakan. Sedangkan Nabi saw telah melarang membuang-buang harta, Allah berfirman: “ dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros (mubadzirin) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Berbagai masalah ini sudah lama menjadi kajian fiqih kontemporer yang dibahas oleh para ulama kontemporer seperti Syekh Hasanain Makhluf, mufti Mesir berpendapat bahwa hukum asal rokok adalah mubah tetapi keharaman dan kemakruhannya timbul akibat faktor-faktor lain, seperti jika menimbulkan mudharat (banyak ataupun sedikit) terhadap jiwa maupun harta ataupun pada kedua-duanya. Atau karena mendatangkan mudharat dan mengabaikan hak orang lain. Apabila terdapat unsur-unsur seperti ini maka hukumnya menjadi makruh atau haram, sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya dan bila sebaliknya jika tidak terdapat dampak negatif seperti itu maka hukumnya halal.
Disamping itu ada yang berpendapat bahwa rokok adalah sesuatu yang mengandung zat racun, sehingga mengkonsumsi rokok sama dengan mengkonsumsi racun sehingga dihukumi haram.

Dengan penemuan medis yang akurat, bahwa rokok memang mengandung berbagai zat yang beracun. Dalam menentukan hukum tidak hanya melihat dari satu aspek saja akan tetapi melibatkan para ahli dan pakar dalam kajian tersebut sehingga dengan adanya penemuan medis ini rokok dapat dikategorikan sebagai barang yang beracun.

2. Dalil yang memakruhkan

Meskipun sebagian ulama telah mendeskripsikan dalil keharaman rokok akan tetapi hukum tersebut belum membuahkan kata sepakat, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah rokok ini memang khilafiyah dan sesuatu yang keharamannya masih diperselisihkan perlakuan hukum dan kategori syariah terhadap perokok tidaklah sampai pada tingkat sebagaimana keharamannya yang telah disepakati secara ijma’ (konsensus ulama). Karena itulah sulit rasanya untuk menggolongkan dan memberi predikat pelakunya sebagai orang yang fasik dan dianggap gugur kesaksiannya, apalagi jika fenomena rokok ini sudah demikian merata atau mayoritas penduduk di berbagai belahan bumi.
Sebenarnya pro-kontra tentang haramnya rokok berporos pada debat tentang kadar manfaat dan bahaya (madharat), baik secara personal maupun sosial. Di sisi lain, dampak buruk rokok juga diakui, tetapi tidak bisa dipukul rata. Sifatnya kasuistis dan relatif. Kadar bahayanya masih dalam dosis yang belum bisa dikualifikasi ”haram mutlak”. Manfaat rokok, bagi mereka, tidak bisa disepelekan. Terutama manfaat sosial-ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja, kelangsungan hidup petani tembakau, pasokan pendapatan negara, dan kiprah sosial industri rokok.

Abdurrahman Nafis, pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, menyebutkan bahwa status rokok tergantung dua elemen. Apakah mengandung sifat ”memabukkan” (muskir) atau ”membahayakan” (mudhir) saja, yang tidak sampai memabukkan. Bila muskir, kata Abdurrahman, ulama sepakat, hukumnya haram. Tapi, bila hanya mudhir, tidak bisa langsung disimpulkan haram. Tergantung kadar bahayanya. Dianalogikan dengan kandungan formalin dan zat kimia lainnya dalam makanan. Bila dalam dosis wajar dan tidak terlalu berbahaya, statusnya halal. Tapi, bila melampaui standar sehingga sampai mematikan, baru haram.

Rokok dinilai tidak ”memabukkan”, tapi sekadar ”membahayakan”. Kadar bahanya pun bersifat kasuistis. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jakarta, Cholil Nafis, menambahkan variabel lain yang membuat barang konsumsi dikategorikan haram. Selain memabukkan, juga najis. Rokok tidak sampai memabukkan dan tidak najis. Maka, hukum rokok tidak sampai haram mutlak.
Haramnya rokok dipandang akan lebih menarik kemudharatan dengan melihat nasib ribuan keluarga yang ekonominya bergantung pada industri rokok, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mengingat tidak ada dalil yang eksplisit dan spesifik mengharamkan rokok, sebagian berpendapat bahwa paling tinggi hukum rokok itu makruh.

3. Dalil Yang Menghalalkan

Diantara para ulama yang mengharamkan dan memasang hukum makruh, akan tetapi masih ada sebagian ulama yang membolehkan seperti Imam Abdul Ghani an-Nabilisi, ulama dari mazhab maliki. Hal ini dapat dijumpai pada pendapat beliau dalam kitab ash-Shulh Baina al-Ikhwan Fi Hukmi Ibahah Syurbi ad-Dukhan. Beliau menyatakan bahwa:
“wahai Umat Muhammad yang berilmu dan mengamalkannya, lalu menyangka bahwa rokok itu haram. Anda keliru menyangka salah pernyataanku. Sebab pernyataanku ini tidak pernah bohong. Anda mengharamkan rokok tidak pernah dilandasi ilmu dan tidak pula dilandasi dengan eksperimen yang benar. Eksperimen adakalanya penuh dengan kebodohan dan kesalahan. Bukankan dikatakan, bahwa rokok itu bisa menghangatkan badan meski juga bisa membahayakan akal. Maka berfatwalah berdasar dua sifat yang dikandungnya itu. Katakan bahwa merokok bisa menjadi suatu kejahatan disamping juga ibadah. Mereka yang hanya menganggap jelek pada rokok dan mengharamkannya adalah sebuah penipuan yang besar. Pada mulanya merokok memang berbahaya, namun setelah dijemur ia boleh dikonsumsi”.

BAB III Penutup

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada ujung lain. Atau Hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesies lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan.
Hukum rokok secara umum ditetapkan kepada hukum mubah dikarenakan tidak ada nash shorih yang mengatakan bahwa rokok itu haram dengan kaidah ushul fiqih Syafi’i bahwa segala sesuatu pada asalnya adalah walaupun ada sebagian imam yang dengan selektif telah menghukumi rokok dengan hukum haram seperti Imam Ibnu Hazm dengan mengibaratkan dengan menetapkan haramnya memakan sesuatu yang menimbulkan mudharat berdasarkan nash umum
Setelah berbagai riset kesehatan menemukan berbagai dampak negatif tentang rokok, maka terjadi perbedaan-pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini, sebagian berpendapat haram dikarenakan bahwa secara umum rokok dapat menimbulkan mudharat yang menyentuh lima wilayah dharuriyah. Sebagian berpendapat makruh dengan alasan mengganggu orang lain dan sebagian lagi mengatakan boleh (mubah) seperti Imam Abdul Ghani an-Nabilisi, ulama dari mazhab maliki.

Daftar Pustaka

Abu Zahra, Muhammad. Ushul Fiqih . Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
CD. ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el- Barnamij fi Tarajim wa Thabaqat, Global Islamic Software
Ibnu Hazm, Al-Muhalla CD.ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el- Barnamij fi Tarajim wa Thabaqat, Global Islamic Software
Imam Malik, Al-Muntaqa bab al-Qadha fil Mirfaq. CD.ROM. al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el- Barnamij fi Tarajim wa Thabaqat, Global Islamic Software
http://www.dipa.biz. com http://www.haryobayu.web.id/?aksi=detail_blog&nomor=666
http://rokok.komunikasi.org/artikel/index.ph
http://cc.bingj.com/cache.aspx?q=rokok&d=4610965271348306&w=1e1a56 b5,a7942902
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Yunus BS, Muhammad Kitab Rokok Nikmat dan Mudharat yang Menghalalkan atau Mengharamkan. Yogyakarta: Kutub, 2009.
AL-FARABI DAN PEMIKIRANNYA

AL-FARABI DAN PEMIKIRANNYA

Admin Tuesday, January 05, 2010 1 Comment
AL-FARABI DAN PEMIKIRANNYA







BAB I.

PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH


dalam sebuah kehidupan, eksistensi tuhan dianggap sebagai syarat penting untuk mempercayai dan meyakini akan keesaan tuhan, seperti para filosof-filosof islam yang mencoba memberikan diskripsi ataupun pandangan terhadap eksistensi tuhan.
Eksistensi yang sebenarnya yang ada, tidak akan tidak ada untuk selamanya, bahkan ia selalu ada. Ia adalah pencipta yang maha kuasa, dan maha bijaksana. Para filosof islam mencoba mengkaitkan antara keesaan akal dan keesaan tuhan. Seperti yang di angkat oleh Al-Kindi dan Ibnu Sina. Yang nantinya menjadi awal tersendiri bagi kemajemukan dan pemahaman para penganut agam di Indonesia khususnya islam di Indonesia. Hasil-hasil pemikiran tentang kemajuan tuhan yang di komparasikan dengan realita-realita yang ada, ”Esa adalah akal yang mengetahui dirinya”. Penting sekali kami menganut dua tokoh pemikir islam yang nantinya berguna untuk kita renungi bersama tentang pemikiran Al-Kindi dan Ibnu Sina untuk Indonesia sebagai benteng untuk memperkokoh keimanan akan eksistensi tuhan yang sebenarnya.
B. RUMUSAN MASALAH
Sesuai dengan latar belakang masalah sebagai mana yang telah kami tulis diatas maka maka perlu di susun suatu perumusan masalah , hal ini di maksudkan untuk tidak terjadinya kesimpang siuran dan penafsiran antara penenulis dengan pembaca. Dengan demikian maka perumusan masalah dalam makalah ini , penulis akan berpijak pada masalah yang telah di uraikan di muka . Adapun perumusan masalah yang di jadikan ukuran dalam makalah ini sebagai berikut,:
“ Bagai manakah sejarah Al- Farabi mulai dari Biografi Al-Farabi, Karya Al-Farabi dan Pemikiran Alfarabi “.

C. TUJUAN
1. Penulisan makalah sejarah Al – Farabi ini betujuan agar dapat mengetahui Biografi al- farabi, Karya Al-Farabi dan Pemikiran Al- Farabi
2. Dengan adanya makalah ini di harapkan menjadi masukan kepada para pembaca serta pada generasi penerus Islam dan bangsa ini.


C. Rumusan Masalah
Berdasarkan penegasan istilah dan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah studi ini adalah: Bagaimana Relevansi Konsep Kesadaran Paulo Freire dengan Proses Pengembangan Masyarakat.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana relevansi konsep kesadaran Paulo Freire terhadap proses pengembangan masyarakat.
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis: Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan disiplin ilmu dalam Pengembangan Masyarakat.
b. Kegunaan Praktis: Sebagai bahan masukan bagi kalangan fasilitator dalam melakukan pengembangan masyarakat demi terciptanya masyarakat madani.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk mendukung penelaahan yang lebih mendetail, penulis berusaha untuk melakukan kajian terhadap beberapa pustaka ataupun karya-karya yang mempunyai relevansi terhadap topik kajian ini. Adapun beberapa buku dan beberapa skripsi yang berhasil penulis telusuri, serta dapat dijadikan ba
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini bila dilihat dari jenisnya adalah termasuk dalam kategori Penelitian Kepustakaan (library research), yakni: suatu penelitian yang menggunakan buku-buku (karya-karya Ilmiah) sebagai sumber datanya. Sedangkan bila dilihat dari sifatnya, penelitian ini termasuk bersifat Deskriptif-Analitik, yakni: berusaha memaparkan data-data pemikiran Paulo Freire tentang kesadaran dan menganalisanya dengan tepat serta merelevansikannya dengan proses pengembangan masyarakat.
2. Pengumpulan Data
Dalam melakukan pengumpulan data, karena kajian ini merupakan penelitian pustaka, maka cara pengumpulan datanya adalah dengan menelusuri dan menelaah literatur-literatur atau bahan-bahan pustaka, seperti buku-buku, majalah, jurnal dan lain-lain yang relevan dengan masalah studi ini. Sumber data yang primer adalah karya-karya Paulo Freire yakni: Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (2004), Pendidikan Sebagai Proses (2005), Pedagogi Pengharapan (2005), Pendidikan Kaum Tertindas (2000), Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan (1984), Pedagogi Hati (2005) sementara karya-karya ilmiah (buku, skripsi, majalah dan tulisan-tulisan ilmiah) lainnya sebagai sumber data skunder.
Seperti lazimnya penelitian Library research, penyusunan skripsi ini merujuk pada sumber di atas, yang ditulis langsung oleh Paulo Freire yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Penulis tidak menggunakan buku aslinya karena keterbatasan kemampuan penulis.han perbandingan maupun rujukan dalam penulisan ini, yakni:


BAB II

PEMBAHASAN


I. BIOGRAFI AL- FARABI.

Nama lengkapnya Nama asal Al-Farabi ialah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Tarkhan Al-Uzdag ibnu Awzalagh al Farabi. Ia dilahirkan di desa Wasij, suatu distrik kota Farab, yang termasuk wilayah kekuasaan Turki namun terletak di dekat perbatasan dengan Parsi (Khurasan). Ayahnya menikah dengan wanita Turki dan merupakan seorang jendral Komando Tentara Mesir dan pernah menjadi seorang hakim. Al Farabi dilahirkan pada tahun 870 M dan meninggal dalam usia 80 tahun, yaitu pada bulan Desember 950 M ketika dalam perjalanannya menuju Damaskus. Dalam bahasa Latin ia dikenal dengan : Alfarabius atau Avennasar, seorang filosof Islam terbesar. Ia dijuluki sebagai “The Second Master” (Guru Kedua = al-Mu’allimuts-Tsani), sedangkan “The First Master” disandang oleh Aristoteles. Ibnu Khaldun menempatkannya diatas Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Ia lahir di Wasij, Distrik farab ( sekarang di kenal dengan nama atrar , Turkistan pada tahun 257 H ( 870 M ) .Di sebut Farabi karena kelahirannya di farrab , yang juga di sebut kampung utrar . Dahulu masuk daerah Iran , akan tetapi sekarang menjadi bagian dari Republik Uzbekistan , dalam daerah Turkestan , Rusia . Ayahnya berkebangsaan Persia sebagai seorang Jenderal , yang memiliki posisi penting di Parsi. dan Ibunya berkebangsaan Turki .Kepribadian Al- Farabi , sejak kecil ia tekun dan dan rajin belajar . Dalam berolah kata , tutur bahasa , ia mempuyai kecakapan luar biasa.
Al Farabi , waktu masih mudanya , talah berjalan meninggalkan kampung halaman tercintanya yaitu Farrab. demi mencari ilmu pengetahuan . Kemudian ia sampai di Baghdad . Di sana ia belajar tentang ilmu bahasa Arab , dan kemudia ia meneruskan pelajaran tentang ilmu logika pada Abu Basyar Matta, putra Yunus. Untuk memperoleh Ilmu Filsafat , ia pergi ke harran , dan di sana ia menjadi murid Yuhahhan Ibnu Khailan . ia juga sangat tertarik akan ilmu – ilmu Ariestuteles, yang di berikan oleh Yuhanna , buku Anima, di bacanya sampai dua ratus kali , berulang ulang . Buku Phisica , di bacanya sampai empat puluh kali.
Kemudia ia mengembara di sepanjang jalan raya Suria , Mesir dan akhirnya ia sampai ke Damaskus , dalam keadaan miskin . Di Damaskus , ia mendapatkan pekerjaan sebagai tukang jaga kebun, pada malam hari. Kemudia kesungguhan dan ketekunanya dalam belajar tedengar oleh Pangeran Saiful Daulah. Sebagai Pangeran Damaskus Dikala itu , ia memberikan bantuan kepada al- Farabi , empat dirham sehari. Al- Farabi merasa puas dengan bantuan yang sedikit ini . dan dengan inilah ia belajar , mengajar, mengarang , dan lain – lain pekerjaan , dalam dunia kesusastraan .
Al Farabi memperdalami semua Ilmu yang telah di selidiki Al – Kindi , Sehinga tidaklah heran jika paham filsafatnya tidak jauh berbeda dengan filsafatnya Al- Kindi. Perbedaannya hanyalah, bila al- Farabi cenderung kepada sufi ( tasawwuf ) sedang kan al- Kindi tidak. Al- Farabi menjadi besar di mata Dunia , terutama di Dunia Eropa , bukan saja lantaran kemampuan di bidang filsafat , akan tetapi karena ilmu logika ( mantik ) dan metafisika, selain dari pada itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam ilmu filsafat politik.
Al- Farabi yang mula mula menulis tentang “ Assiyasatul madaniah “ yakni yang di namakan orang sekarang “ Politik ekonomi ( menurut kami yang pas secara lafdiyahnya adalah politik negara bukan politik Ekonomi ) “ yang di pandang oleh orang Eropa pada umumnya , sebagai pendapat yang orisinil. Meskipun seorang filusuf Muslim , pada abad sebelumnya telah menguraikan dasar- dasar ilmu tersebut, dan sesudah Al- Farabi diikuti lagi oleh seorang filusuf muslim pula yaitu Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang masyhur “ Muqaddimah “ dengan tidak diantar oleh filusuf lainnya. Dari tangan Ibnu Khaldun ilmu ini sampai ke Maciavelli , Hegel , Gibbon, dan lain – lainnya. Konon kitab ‘ Assyiyasatul Madaniyah “ ada yang di cetak di Beirut 1906. Dalam encyclopaedia of science ( Ihsaul Ulum ) ia memberikan ihtisar umum tentang semua ilmu , Sebuah ihktisar karya ini dalam bahasa latin memperlihatkan sedikit gambaran tentang luasnya lapangan yang di bicarakan yng terbagi atas lima bagian , yaitu berbagai cabang ilmu pengetahuan : bahasa , logika , Ilmu Pasti, , ilmu alam dan ilmu Ekonomi. , politik dan sosial. Sebuah karya Al- Farabi lain dan masyhur yang dengan luas di pergunakan Roger Balcon dan Albertus Magnus ialah tafsirannya atas organun , karangan arestoteles yang sebelum itu amat sulit untuk di fahami oleh orang yang hendak mempelajarinya.

Karangan “ tendensi Filsafat Plato dan Aresto teles “ uraiannya tentang etika berjudul “ As Sirat ul Fasilah “ yang merupakan sebagian dari hasil karnyanya yang lebih luas dan lebih besar berjudul “ Mabadiul Maujudad “ , memperlihatkan sifat inteleknya yang serba segi. Dan al farabi meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa karya – karyanya yang agung pada usia 80 tahun di damaskus pada bulan Desember 950 M .


II. KARYA – KARYA AL FARABI ;

Karya Al Farabi dituangkan dalam 60 karangan utuh, 17 komentar & 25 risalah. Masalah yang dibahas menyangkut macam-macam cabang ilmu. 14 buah ilmu politik, 43 buah tentang ilmu logika, 11 buah tentang ilmu musik. 10 buah membicarakan ilmu fisika meliputi kimia dan kedokteran. Sedangkan 11 buah mengungkapkan tentang rahasia-rahasia ketuhanan/teologi. Menurut Ensiklopedia Britanica keahliannya dalam bidang matematika, fisika, kedokteran, filsafat & tasawuf sama kuatnya dengan bidang ilmu budaya termasuk musik. Dalam hal ini penganutnya antara lain, Vincent of Beauvais (1190-1264 M), Jerome of Moravvia & Raymond Lull, sebagai mana tersirat dalam bukunya Specu1um Doctrinal. Beberapa karya al- Farabi yang terkenal antara lain:
Diantara judul
karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat

a. Syuruh Risalah Zainun al – Kabir al- Yunani


c. Risalah fima yajibu Ma’rifat qabla Ta’allumi al Falasifah


g. Ara’ Ahl al Madinah al- Fadilah.

h. Ihsha’ Al Ulum wa al – Ta’rif bi aqhradiha,

i. Maqalat Fima’ ani al- Aql.

j. Fushul al- Hukm,

k. Risalah al- Aql’

l. Al Syiyasah Al Madinah

m. Al- Masail al. Falsafiyah wa al Ajwibah ‘ anha.

n. Al- Ibanah’ an Ghardi Aristo fi kitabi ma ba’da al tabi’ah.


III. PEMIKIRAN AL-FARABI
A. Pemaduan Filsafat
Al- Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang sebelumnya terutama pemikitan plato, Aristoteles , dan plotinus , juga antara agama dan filsafat. Karena itu ia terkenal dengan filsuf sinkretesme yang mempercayai kesatuan filsafat Dalam Ilmu logika dan fisika ia di pengaruhi oleh aristoteles . Dalam masalah akhlak dan politik , ia di pengaruhi oleh Plato, Sedangkan dalam masalah metafisika , ia di pengaruhi oleh platinous.
Sebenarnya , usaha kearah sinkretisme pemikiran telah di mulai muncul pada aliran neo – Platonisme. Namun Al- Farabi lebih luas karena ia bukan saja mempertemukan aneka aliran filsafat , juga penekanannya bahwa aliran- aliran filsafat itu pada hakekatnya satu , meskipun pemunculannya berbeda corak ragamnya.
Al- Farabi menggunakan interpretasi batini , yakni dengan menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pemikiran antara Plato dan Aristoteles . Menurut Al- Farabi , sebenarnya Aristo teles mengakui alam rohani yang terdapat di luar alam ini . Jadi kedua filsuf ini sama – sama mengakui adanya edea – edea pada zat Tuhan . Kalaupun terdapat perbedaan , maka hal itu tidak lebih dari tiga kemungkinan.:
1. Definisi yang di buat filsafat tidak benar
2. Pendapat orang banyak tentang pikiran – pikiran falsafi dari kedua filsuf tersebut terlalu dangkal . Adanya kekeliruan dalam pengetahuan orang orang yang menduga bahwa antara keduanya terdapat perbedaan dalam dasar- dasar falsafi;
3. Pengetahuan antra adanya perbedaan antara keduanya tidak benar . Padahal definisi filsafat menurut keduanya tidaklah berbeda, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang yang ada secara mutlak .

Adapun perbedaan agama dengan filsafat, tidak mesti ada karena karena keduanya mengacu kepada kebenaran , dan kebenaran itu hanyalah satu, kendatipun posisi dan cara memperoleh kebenaran itu berbeda, satu menawarkan kebenaran dan lainnya mencari kebenaran. Tetapi kebenaran yang ada pada keduanya dalah serasi karena bersumber dari akal aktif. Kebenaran yang diperoleh filsuf dengan perantaraan Akal Mustafad, Sedangkan agama melaui wahyu dengan perantaraan nabi. Dan al- Farabi mengagungkan filsafat dari agama , karena ia mengakui bahwa ajaran agama Islam Mutlak kebenarannya.

B. Meta Fisika
pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal. Dalam sistem yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa” dengan “pluralitas alamiah” ini merupakan titik berangkat atau dasar utama dalam membangun filsafat seluruhnya.
Filsafat Al-Farabi dapat dikelompokkan ke dalam Neoplatonis. Ia mensintesiskan buah pikir dua pemikir besar yaitu Plato dan Aristoteles berupa al- Maujud al- Awwal sebagai sebab pertama bagi segala yang ada . Dalam Pembuktian adanya Tuhan Al- Farabi mengemukakan dalil Wajib al- Wujud dan Mumkin al Wujud , menurutnya segala yang ada ini dua kemungkinan dan tidak ada alternatis yang ketiga.
Wajib al – wujud adalah wujudnya tidak boleh tidak ada, adanya dengan sendirinya , esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada , Jika wujud ini tidak ada , maka akan timbul kemustahilan , karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang di sebut dengan Tuhan.
Mumkin al- Wujud maksudnya adalah Tidak akan berubah menjadi wujud aktual tanpa adanya wujut yang menguatkan , dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al- wujud. . Walau pun demikian , mustahil terjadi daur dan tasalsul ( Prosessus in infinutum ) , kerena rentetan sebab akibat itu akan ber akhir pada wajib al- wujud.
Al- Farabi menglkasifikasikan yang wujud kepada dua rentetan yaitu :
1. Rentetan wujud yang esensinya tidak berfisik . termasuk dalam hal ini Varitas yang tidak berfisik dan tidak menempati fisik ( Allah , akal pertama , dan uqaul al- akhlak ) , serta yang tidak berfisi tetapi bertempat pada fisik ( Jiwa, bentuk , dan materi ) .
2. Rentetan wujut yang berfisik yaitu benda benda lagit , manusia , hewan , tumbuh – tumbuhan , benda – benda tambang , dan unsur-0 unsur yang empat ( air, udara, tanah, dan api ).
Tujuan Al- Farabi mengemukakan teori emanasi tersebut untuk menegaskan ke maha Esaan Tuhan . Karena tidak mungkin yang Esa berhubungan dengan yang tidak Esa atau banyak . Adai kata alam di ciptakan secara langsung , mengakibatkan Tuhan berhubungan dengan yang tidak sempurna , dan ini menudai ke Esaannya . Jadi dari Tuhan yang maha Esa hanya muncul satu yakni akal pertama yang berfungsi sebagai perantara dengan yang banyak. Disamping itu Tuhan juga bagi Al Farabi tidak mempuyai kehendak , karena hal itu membawa ketidak sempurnaan , termasuk melimpahnya yang banyak dari dirinya secara sekali gus dan itu tidak terjadi dalam waktu . dari pendapat ini al- Farabi haya menyatakan alam adalah taqoddum zamani bukan taqoddum zati.
Menurut al-Farabi Alam semesta muncul dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan doktrin kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk menjelaskan ini.48
Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali
immaterial.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4. Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi. Proses emanasi itu adalah sebagai berikut:
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama. Kemudian secara bersamaan timbul wujud dan akal sebagaimana berikut:
Wujud III/Akal II
Wujud Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
wujud dirinya = Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III
wujud Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
wujud dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV
wujud Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
wujud dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V
Wujud Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
Wujud dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI
wujud Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
wujud dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII
wujud Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
wujud dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII
wujud Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
wujud dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX
wujud Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
wujud dirinya Bulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi timbulnya akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api, udara, air dan tanah. Sepuluh lingkaran geosentris yang disusun oleh al-Farabi berdasarkan sistem Ptolomeus.

C. Jiwa
Adapun tentang jiwa, Al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan kebadan yang lain.
Jiwa manusia sebagaimana halnya materi asal memancar dari Akal kesepuluh. kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda, dan binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah, yang beruap, berkadar dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya.


Jiwa – jiwa manusia mempuyai daya- daya , sebagai berikut. :
1. Daya gerak seperti makan , memelihara dan berkembang.
2. Daya mengetahui yaitu ; merasa , Imaginasi
3. Daya berfikir yakni : Akal praktis dan teoritis
Daya teoritis terbagi kepada tiga tingkatan.
• Akal Potensial baru mempuyai potensi berpikir dalam arti ; melepaskan arti – arti atau bentuk – bentuk dari meterinya.
• Akal Aktual , telah dapat melepaskan arti – arti dari materinya , dan arti –arti itu telah mempuyai wujud akal dengan sebenarnya , bukan lagi dalam bentuk potensi , tetapi dalam bentuk aktua.
• Akal Mustafad ; telah dapat menangkap bentuk semata- mata yang tidak di kaitkan dengan materi dan mempuyai kesanggupan mengadakan komonikasi dengan akal.

D. Hubungan Politik Dengan Pemerintahan
Sejalan dengan Plato, aristoteles, Ibn al-Rabi, Farabi, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan untuk bermasyarakat karena tidak mungkin memenuhi kebutuhan sendiri tanpa melibatkan bantuan dan kerja sama dengan orang lain.
Kepemimpinan dapat tumbuh karena adanya keahlian bawaan yang bisa mengarahkan orang untuk menegakkan nilai-nilai etis dan tindakan-tindakan yang mampu memelihara apa yang ada secara mantap, keahlian itu adalah pemerintahan atau sejenisnya, sementara politik adalah bentuk operasional dari keahlian itu.
Politik ada dua macam, yaitu: pertama, Pemerintahan yang menegakkan tindakan-tindakan sadar, cara hidup, disposisi positif, yang dengan cara demikian kebahagiaan dapat tercapai, dalam hal ini terwujud dalam pemerintahan utama di mana kota-kota dan bangsanya tunduk pada pemerintah. Kedua, Pemerintah yang menegakkan sesuatu yang diasumsikan sebagai kebahagiaan padahal bukan, inilah pemerintah jahiliyah. Pemerintah kedua ini bentuknya beraneka ragam, bila yang dikejar kehormatan tersebut timokrasi dan bila tujuan lain yang dikejar maka namanya sesuai dengan tujuan.
E. Pemerintah dan Kepala Negara
Dalam rangka merealisir negara, Farabi menfokuskan perhatiannya kepada kepala negara, kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan bagi badan yang merupakan sumber koordinasi oleh karena itu, pelerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis melainkan meliputi etika sebagai pengendali “way of life”.
Sejalan dengan itu kepala negara harus memenuhi kualitas lihur, yaitu:
Lengkap anggota badannya
Baik intelegensinya
Multi intelektualitas
Pandai mengemukakan pendapat dan mudah mengerti
Pencinta pendidikan
Jujur
Berbudi luhur
Adil
Optimis dan
Istiqomah
Farabi ingin menggambarkan pula pentingnya bagi kepala negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktivitas hewani seperti korupsi, manipulasi, tirani yang merupakan aktualisasi pemerintahan jahiliyah, pemerintahan apatis dan sesat (DRs. Muh. Azhar. MA, 1996 : 76-81).
F. Kota Demokratis
Kota demokratis dalam pemikiran politik al-Farabi nampaknya adalah sebuah alternatif untuk terwujudnya sebuah kota utama. Model kota utama yang terlalu idealistik, dan juga mensyaratkan adanya seorang pemimpin yang sempurna, karena pemimpin yang sempurnalah yang mampu menujukkan dan mengarahkan yang dipimpinnya pada kebahagiaan, yang tentu akan sulit sekali ditemukan sosoknya. Sedangkan manusia membutuhkan sebuah institusi negara untuk dapat menjalani hidup mereka. Oleh karena itu muncul opsi kota demokratis, di mana seperti yang dikatakan al-Farabi dalam al-Siyasah al-Madaniyah bahwa kota ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang diidealkan, paling tidak memiliki peluang lain yang lebih besar daripada kota-kota dengan model lainnya.
“Sangatlah mungkin bahwa lama-kelamaan orang-orang utama akan bermunculan di kota itu. Yakni filosof, ahli retorika, dan penyair, yang menggeluti berbagai hal. Ada kemungkinan pula untuk mengumpulkan, sedikit demi sedikit dari kota itu (orang-orang) tertentu (yang membentuk) bagian dari kota utama itu. Inilah hal terbaik yang terjadi di kota seperti itu.”
Kota demokrasi sendiri adalah kota di mana penduduknya memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Dan untuk membentuk kota utama, sebagaimana disinggung di atas karena sulitnya mewujudkan kota utama secara langsung, maka cara yang paling efektif adalah dengan terlebih dahulu membentuk kota demokratis yang memiliki kebaikan dan keburukan yang berjalan beriringan.

G. Moral .


Konsep moral yang ditawarkan al-Farabi dan menjadi satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan jiwa dan politik. Dalam buku Risalah fi al-Tanbih ‘ala Subul al-Sa’adah dan Tahshil al-Sa’adah, al-arabi menekankan empat jenis sifat utama yang harus mejadi perhatian untuk mencapai kabahagiaan di dunia dan akherat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni (1) keutamaan teoritis,yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar dan mengajar; (2) keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan oranghal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalam hal ini, kemampuan membbuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan jenis ini dengan keutamaan pemikiran budaya (fadha’il fikriyyah madaniyyah);(3) keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada di bawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia; (4) keutamaan amaliah, diperoleh dengan dua cara, yaitu pernyataan-peryataanyang memuaskan dan merangsang. Cara lain adalah pemaksaan.
Selain keutamaan di atas, al-Farabi menyarankan agar bertindak tidak berlebihan yang dapat merusak jiwa dan fisik, atau mengambil posisi tengah-tengah. Hal itu dapat ditentukan dengan memperhatikan zaman, tempat, dan orang yang melakukan hal itu, serta tujuan yang dicari, cara yang digunakan dan kerja yang memenuhi semua syarat tersebut. Berani misalnya, adalah sifat terpuji yang terletak diantara dua sifat tercela, membabi buta (tahawwur) dan penakut (jubn). Kemurahan (al-karam) terletak antara dua sifat tercela, kikir dan boros (tabdzir) Memelihara kehormatan diri (iffah) terletak antara dua sifat tercela, keberandalan (khala’ah) dan tidak ada rasa kenikmatan.
H. Teori Pengetahuan

Al-Farabi berpendapat bawa jendela pengetahuan adala indera, sebab pengetahuan masuk ke dalam diri manusia melalui indera. Sementara pengetahuan totalitas terwujud melalui pengetauan parsial, atau pemahaman universal merupakan asil penginderaan terhadap hal-al yang parsial. Jiwa mengetahui dengan daya. Dan indera adalah jalan yang dimanfaatkan jiwa untuk memperoleh pengetahuan kemanusiaan. Tetapi pengetahuan inderawi tidak memberikan kepada kita informasi tentang esensi segala sesuatu, melainkan hanya memberikan sisi lahiriah segala sesuatu. Sedangkan pengetahuan universal dan esensi segala sesuatu hanya dapat diperoleh melalui akal.
Menurut al-Farabi, di dalam manusia terdapat suatu kesiapan dan persiapan fitrah untuk membebaskan totalitas dari gambaran-gambaran inderawi yang bersifat parsial dan tersimpan di dalam daya fantasi dengan bantuan akal aktif. Sehingga, akal potensial pindah ke akal aktual kemudian ke tingkat akal mustafad, dimana ia membentuk seluruh objek rasional menjadi rasional secara aktual. Dan yang beremanasi kepadanya dari akal aktif adalah suatu daya yang memungkinkannya memahami objek rasional secara langsung.
Menurut al-Farabi, akal aktif mengumpulkan semua gambaranyang ada dalam dirinya, lalu mengirimnya ke alam indera agar mengenakan materi, sebagaimana juga mengirimnya ke akal manusia agar menghasilkan pengetahuan. Diantara gambaran-gambaran yang ada di dalam akal manusia dan gambaran-gambaran di dalam alam indera terdapat kesesuaian universal yang membuat pengetahuan menjadi yaqiniyah (pasti).
Kesesuaian itu dibawa kepusat semua gambar inderawi dan rasional dari akal aktif. Adapun tujuan dari akal manusia adalah kebersambungan dengan akal yang terppisah dan mengidentikkan diri dengannya. Artinya, bahwa pengetahuan yaqiniyah tidak akan dicapai kecuali melalui emanasi yang berasal dari akal aktif sebagai pemberi pengetahuan dan pemberi gambar-gambar. Oleh karena itu ia disebut ma’rifah isyiraqiyah (pengetahuan iluminatif). Ja’far Ali Yasin mengatakan, “seakan-akan dalam proses memahami ini, jiwa memulai dari indera berakhir di balik indera hingga ke tingkat akal mustafad". Kapan saja ia memiliki kesiapan total, maka ia akan ke tingkat akal aktif tanpa perantara. Lalu ia memberikan sebuah daya pemahaman totalitas secara langsung, maka pada saat itu gambar-gambar alam pasial bersepakat dengan objek rasional abstrak dengan alasan bahwa akal aktif adalah yang pertama dan terakdir di dalam pengetahuan menusia ini, baik pengetahuan yang bersifatinderawi maupun rasional.” Dalam hal itu, al-Farabi sangat terpengaruhh oleh aristoteles dan kaum neo-Platonis, dan dia berusaha melakukan penggabungan diantara keduanya. Oleh karena itu, pendapatnya tentang pengetahhuan sama dengan pendapat Aristoteles, sedangkan pendapatnya tentang pengetahuan yang diemanasi dari akal aktif sama dengan pendapat kaum Neo-Platonis.
Falsafah Kenabian Al Farabi
al-Farabi adalah merupakan orang pertama yang membahas tetnag kenabian secara lengkap sehingga penambahan dari orang lain hampir
tidak ada. Total kenabian al-Farabi yang merupakan bagian terpenting dalam
filsafat, ditegakkan atas dasar-dasar psikologi dan metafisika, dan erat
hubungannya dengan lapangan-lapangan akhlak Pada waktu membicarakan negeri
utama dari al-Farabi kita melihat bahwa manusia dapat berhubungan dengan al
aql al fa’āl, meskipun terbatas hanya pada orang tertentu.
Hubungan tersebut bisa ditempuh dengan dua jalan,
yaitu : jalan fikiran dan jalan imajinasi penghayalan), atau dengan perkataan
lain melalui renungan fikiran dan inspirasi (ilham). Sudah barang tentu tidak
semua orang dapat mengadakan hubungan dengan al aql al fa’āl. melainkan
hanya orang yang mempunyai jiwa suci yang dapat menembus dinding-dinding alam
gaib dan dapat mencapai alam cahaya. Dengan melalui renungan-renungan fikiran
yang banyak, seorang hakim (bijaksana) dapat mengalahkan hubungan tersebut dan
orang semacam inilah yang bisa diserahi oleh al-Farabi untuk mengurusi negeri utama
yang dikonsepsikannya itu, Akan tetapi di samping melalui pemikiran hubungan
dengan al aql al fa’āl bisa terjadi dengan jalan imajinasi, dan keadaan
ini berlaku bagi nabi-nabi. Semua ilham dan wahyu yang disampaikan kepada kita
merupakan salah satu bekas dan pengaruh imajinasi tersebut.
Kalau kita
kembali kepada pembahasan psikologi dari al-Farabi maka kita akan mengetahui
bahwa imajinasi memainkan peranan yang penting dan memasuki segi-segi
gejala-gejala psikologis yang bermacam-macam. Imajinasi tersebut erat
hubungannya dengan kecondongan dan perasaan, dan ada pengaruhnya pada gerak
fikiran dan kemauan, serta mengarahkannya kepada arah tertentu. Di samping ini,
imajinasi menyimpan obyek-obyek inderawi dan gambaran-.gambaran alam luar yang
masuk kepada otak melalui indera-indera, Malah kadang-kadang tidak hanya
menyimpan gambar-gambar fikiran tetapi juga membuat gambaran baru sama sekali
yang tidak ada keserupaaanya dengan obyek-obyek inderawi. Di antara gambaran-gambaran
yang baru sama sekali yang diciptakan oleh imajinasi ialah impian-impian.
Dengan demikian maka al-Farabi telah menyebutkan dua macam imajinasi, seperti
yang disebutkan oleh sarjana-sarjana psikologi modern, yaitu imagination
creatrice (imajinasi pencipta), dan imagination conservatrice (imajinasi
penyimpang). Yang penting dalam hubungannya dengan soal kenabian ialah
bagaimana pengaruh imajinasi terhadap impian dan pembentukannya sebab apabila
soal impian ini bisa ditafsirkan secara ilmiah, maka soal kenabian dan kelanjutan-kelanjutannya
bisa ditafsirkan pula Sebagaimana dimaklumi.

kenabian adakalanya terjadi pada waktu tidur ataupun jaga, atau dengan
perkataan lain, dalam bentuk impian yang benar atau wahyu. Perbedaan antara
kedua cara ini bersifat relatif dan hanya mengenai tingkatannya, tetapi tidak
mengenai esensinya (hakikatnya). Impian yang benar tidak lain adalah merupakan
salah satu cabang kenabian yang erat hubungannya dengan wahyu dan tujuannya
juga sama Meskipun berbeda caranya. Jadi apabila kita dapat menerangkan salah
satunya, maka dapat pula kita menerangkan yang lain. Hubungan antara kedua cara
tersebut dijelaskan oleh al-Farabi dalam bukunya Ara’u Ahl Madinah
al-Fadhilah. Kalau imajinasi dapat mengadakan gambaran-gambaran tersebut dengan
bentuk alam rohani. Misalnya orang tidur melihat langit dan orang-orang yag
menempatinya serta meraskan senang terhadap kenikmatan-kenikmatan yang ada di
dalamnya. Di samping itu imajinasi kadang-kadang naik kealam langit dan
berhubungan dengan al aql al fa’āl untuk menerima hal-hal yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa
perorangan, dan dari sini maka terjadilah peramalan.
Hubungan tersebut bisa terjadi di waktu siang atau
pun di waktu malam, dan dengan adanya hubungan ini maka kita dapat menafsirkan
kenabian, karena. hubungan tersebut merupakan sumber impian yang benar dan
wahyu Al-Farabi mengatakan sebagai berikut “jika kekuatan imajinasi pada
seseorang kuat sekali, sedangkan obyek-obyek inderawi yang datang padanya dari
luar tidak mampu menguasai kekuatan tersebut maka sampai menghabiskan
keseluruhannya, dan orang tersebut tidak memakai kekuatan imajinasi itu untuk
kekuatan-kekuatan berfikirnya, melainkan di samping mengahdapi kedua pekerjaan
tersebut masih ada kelebihan yang banyak dan yang dipakai oleh kekuatan
imajinasi untuk menghadapi pekerjaan-pekerjaannya yang khusus, sedang keadaan
imajinasi ketika menghadapi kedua pekerjaan tersebut pada waktu jaga, sama
dengan keadaan imajinasi ketika terlepas dari jaga yaitu waktu tidur, maka dari
kekuatan imajinasi tersebut yang berhubungan dengan kekuatan al aql al fa’āl ini,
terpantullah gambaran-gambaran yang sangat indah dan sempurna”. Orang yang
melihat hal sedemikian itu mengatakan bahwa Tuhan mempunyai kebesaran yang
agung dan mengagumkan, dan ia melihat perkara-perkara ajaib yang tidak mungkin
sama sekali terdapat pada alam maujud. Apabila kekuatan imajinasi seseorang
telah mencapai akhir kesempurnaan, maka tidak ada kalangannya pada waktu jaga
untuk menerima dari al aql al fa’āl peristiwa-peristiwa sekarang atau
peristiwa-peristiwa mendatang, atau obyek-obyek inderawi yang merupakan
salinannya. Ia dapat pula menerima salinan-salinan dan obyek-obyek fikiran dan wujud-wujud
lain yang mulia dan, melihatnya pula. Dengan adanya penerimaan-penerimaan itu
maka orang tersebut mempunyai ramalan (Nubuwwah) terhadap perkara-perkara
ketuhanan. Ini adalah tingkatan yang paling sempurna yang basa dicapai oleh
kekuatan imajianasi dan dicapai oleh manusia karena kekuatan tersebut Jadi ciri
khas pertama seorang nabi menurut al-Farabi, ialah bahwa ia mempunyai daya
imajinasi yang kuat dan memungkingkan dia dapat berhubungan dengan al aql al
fa’āl, baik pada waktu ia tidur maupun pada waktu ia jaga. Dengan imajinasi
tersebut ia bisa menerima pengetahuan-pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang
nampak dalam bentuk wahyu dan impian yang benar. Wahyu tidak lain adalah
limpahan dari Tuhan melalui al aql al fa’āl. Selain nabi nabi-nabi ada
orang yang kuat daya imajinasinya, tetapi di bawah tingkatan nabi-nabi, dan
oleh karena itu tidak dapat berhubungan dengan al aql al fa’āl, kecuali
pada waktu tidur, dan kadang-kadang mereka sukar untuk dapat mengutarakan apa
yang diketahuinya. Adapun orang awam, maka imajinsinya lemah sekali dan tidak sampai berhubungan dengan al aql al fa’āl baik di waktu malam maupun di waktu siang.






















BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al Farabi Nama lengkapnya adalah Abu Nasir Bin Muhammad Bin Auzalugh Bin Turkhan Beliau memperdalam semua Ilmu yang telah di selidiki Al – Kindi , sehinga tidaklah heran jika paham filsafatnya tidak jauh berbeda dengan filsafatnya Al- Kindi. Perbedaannya hanyalah, bila al- Farabi cenderung kepada sufi ( tasawwuf ) sedang kan al- Kindi tidak. Al- Farabi menjadi besar di mata Dunia , terutama di Dunia Eropa , bukan saja lantaran kemampuan di bidang filsafat , akan tetapi karena ilmu logika ( mantik ) dan metafisika, selain dari pada itu, ia pun mempuyai aliran sendiri dalam ilmu filsafat politik. Juga ia mempuyai keahlian didalam dunia musik yang ia tingkatkan menjadi sebagai ilmu
Menurut penjelasan Al- Farabi , pokok – pokok pembahasan logika ialah untuk memeriksa dan memperbedakan , antara benar dan palsu . penyelidikan ini akan membawa kita pada suatau ilmu, atau pendapat , yang belum kita ketahui . Karena itu , yang menjadi sasaran dalam pelajaran logika adalah memperbedakan baik dan jahat , benar dan salah. Sehingga akhirnya , kita akan sampai pada tahap kesempurnaan . Kesempurnaan dapat membersihkan jiwa – jiwa yang bersih , akan dapat mencapai keberuntungan sempurna dan keputusan yang sebenarnya. Al- farabi tegas menyatakan bahwa logika itu , adalah bagian filsafat dalam arti bukan ilmu yang berdiri sendiri . Pendapat Al- Farabi ini sekarang sudah dibenarkan oleh sarjana barat.
Al- Farabi mengajarkan agar tiap tiap orang mempelajari logika , karena dengan itu , orang dapat membedakan , mana konsepsi yang salah dan mana pula putusan yang tidak benar.





CATATAN PUSTAKA
1. Hasyimsyah Nasution MA. Dr. Filsafat Islam ( Gaya Media Pratama Jakarta, 2002)
2. Mustofa H. Drs. Filsafat Islam (Pustaka Setia Bandung 1997)
3. Ibrahim Madkour, el Farabi dalam MM Sharif 9 ( ed) A history of Muslim Philosophy 1963) .
4. Tj. De Boer , Tarekh al- Falsafah fi al- Islam , terjemahan Arab oleh Abd al Hadi abu raidah 1988.
5. Dewan enseklopedi islam ,Ensiklopedi islam (Jakarta ichtiyar baru van hoeve ,1997)
6. Imam Munawwir ( Pt Bina Ilmu , Surabaya, 2006 )